TUL 14 - Berbohong

1718 Words
“Kamu pucat sekali, Savira?” Kujira menyentuh bahunya. “Sepertinya aku demam.” “Kalau begitu istirahat saja. Nanti tubuhnya semakin lelah.” “Setelah menyalin laporan ini, aku akan istirahat sebentar.” Kujira menyentuh lengan Savira. “Biar aku saja yang kerjakan. Kau pergilah tidur. Tubuhmu bisa semakin lelah.” Savira menurut lalu berjalan ke ruangannya. Ruangan yang biasa digunakan perawat dan dokter untuk istirahat di sela-sela tugas mereka yang melelahkan. Savira merebahkan tubuhnya di atas kasur tingkat lalu meletakkan satu tangannya di atas kening. Dan apa yang dilakukannya saat ini membuat Savira teringat kejadian beberapa hari lalu. Saat Langlang melakukan hal serupa di apartemennya. Ya. Langlang. Nama itu melintas begitu saja di kepala Savira. Wajahnya yang terlihat syok saat Savira mengatakan soal mendiang Satya masih membayang di benak Savira. Membuatnya jadi tidak bisa beristirahat. Mendesah berat, Savira akhirnya bangun, mencari makanan lalu minum vitamin sambil membaca buku medis yang ada di ruangan tersebut. Namun karena jadwal operasi yang cukup lama, Savira akhirnya kelelahan dan mengakhiri jam kerjanya dengan keadaan lemas serta suhu tubuh yang meninggi. “Kamu sakit, Vira?” tanya Caroline yang menyambutnya bersama Shindu di depan pintu. “Kayaknya, Mbak.” Caroline menyentuh dahi Savira. “Kamu demam banget. Ganti baju terus istirahat. Nanti Mbak bawain makanannya ke kamar.” “Bunda kenapa?” Shindu ikut mencemaskan bundanya. “Bunda kangen Shindu. Bunda boleh minta peluk, nggak?” cicit Savira dengan seraut merajuk. Shindu terkekeh lalu menghampiri Savira yang berjongkok sambil merentangkan kedua tangannya. “Shindu belajar sendiri dulu, ya. Bundanya biarin ganti baju dulu.” Caroline mengusap kepala Shindu. “Shindu mau nemenin, Bunda. Boleh nggak, Mommy?” Pria kecil itu mendongak dengan raut wajah memelas. “Boleh. Tapi sekarang main dulu sama onti-onti, ya. Nanti Mommy panggil Shindu untuk bantu Mommy bawa makanan buat Bunda nanti, ya?” “Okay, Mommy!” Bocah itu tertawa girang lalu mencium pipi Savira sebelum kembali bermain dengan saudaranya. “Mas Zaki belum pulang, Mbak?” “Kayaknya pulang malem. Lagi dateng barang. Kapal importnya telat banget ‘kan satu bulan kemarin dari Indonesia.” Savira mengangguk dan berlalu ke kamarnya. Meski sudah mandi air hangat, nyatanya tubuh Savira malah semakin lemas dan meriang. “Bunda jangan sakit.” Shindu tampak mencemaksan ibunya yang terlihat lemah dan pucat itu. “Shindu nggak usah cemas. Bunda nanti baikan kok habis makan obat. Shindu udah udah makan?” Bocah itu menggeleng lalu menoleh mencari Caroline. “Mbak bawain makanan kalian. Shindu pengen makan di sini katanya biar bisa nemenim kamu.” Savira tersenyum sambil mengusap kepala Shindu lalu memeluknya. “Sayangnya Bunda manis banget. Makasih, ya, anak gantengnya Bunda.” “Shindu ‘kan sayang Bunda.” Shindu memeluk Savira lebih erat. “Kalau kamu perlu sesuatu, bilang aja sama Shindu. Shindu nanti bilang sama Mommy, ya?” pesan Caroline. “Iya, Mommy.” “Kamu perlu obat apa, Vira?” “Udah kok, Mbak. Itu.” Savira menunjuk nakas. Di atas nakas itu tampak beberapa obat yang memang Savira selalu sediakan dalam kotak P3K-nya. “Ya udah. Habiskan makanannya terus kamu tidur, ya? Besok kerja apa?” “Masuk malam, Mbak.” “Nggak bisa cuti? Kamu kayaknya jarang banget cuti juga, Vir. Sekali-kali cutinya dipake buat istirahat juga nggak masalah.” Savira memang jarang mengambil cuti bulanan karena ia biasa mengambil cuti panjang saat musim liburan agar bisa menghabiskan waktu bersama Shindu sepuasnya. “Liat besok, Mbak. Mudah-mudahan udah mendingan. Lagi banyak jadwal operasi,” terangnya dibalas desah lemah oleh Caroline. “Ya udah. Kalian makan, ya. Mbak temenin anak-anak makan juga.” Savira dan Shindu mengangguk kompak. Mereka makan bersama di atas kasur dengan menggunakan meja lipat. Lalu setelahnya Shindu menceritakan kesehariannya selama di sekolah hingga Savira ketiduran. *** Keesokannya, Savira yang sudah lebih baik memilih pergi bekerja dan menukar shiftnya dengan seorang rekan kerja. Namun karena jam kerja yang sibuk, tubuh Savira yang kelelahan membuat kondisinya yang semula membaik menjadi ambruk. Savira lupa makan siang hingga asam lambungnya naik bahkan membuatnya pingsan. Namun ketika kedua matanya terbuka, Savira merasa asing dengan ruangan yang dilihatnya. “Ini di mana?” “Sudah bangun?” Suara serak berat itu membuat Savira langsung menoleh ke arah samping. Terbangun dengan perasan gugup, Savira duduk beringsut sambil menggenggam erat ujung selimut yang dikenakannya. Bola matanya membelalak sempurna seiring dengan tubuh yang makin menegang saat pria di hadapanya berjalan menghampiri dan duduk di sisi kasur. “Tuan Kagawashi.” Pria itu menatap Savira datar dan dingin. “Kenapa saya ada di ruma, Tuan?“ “Aku menemukanmu pingsan di luar rumah sakit.” “Kenapa tidak bawa saya ke–“ “Ada yang ingin kutanyakan. Akhir-akhir kau sulit didekati. Aku tidak ingin membuat keributan dan membuatmu juga salah paham.” “Iya?” Savira mendadak linglung. Pasalnya, cara bicara Kagawashi terlihat beda dari yang terakhir kalinya mereka bertemu. Suara pintu kamar tiba-tiba terdengar diketuk. Kagawashi mempersilakan orang di luar masuk. Kamar yang ditempati Savira cukup luas. Ada sofa, tv, kulkas bahkan meja makan kecil dengan dua tempat duduk saling berhadapan. Nuansanya tidak seperti ruangan di rumah-rumah penduduk jepang pada umumnya meski ornamen dan furnitur di kamar tersebut masih bernuansa jepang. Dua orang pelayan wanita masuk, membawakan nampan makanan kemudian meletakkan dan menatanya di atas meja. Satu dari mereka lantas menghampiri Savira membantu Saviranya duduk di meja makan. Kagawashi ikut duduk di depan Savira dengan segelas kopi yang masih mengepulkan udara panas dari cangkirnya. “Makan lah.” Savira menatap Kagawashi dengan seraut gelisah. Suasana di kamar itu membuatnya tidak nyaman. Ada dua orang pengawal Kagawashi dan dua pelayan yang masih setia menunggui mereka di sana. Kagawashi lalu menoleh ke sekitar dan memberi kode pada anak buahnya agar mereka keluar dan menyisakan keduanya di bersama satu orang pengawal yang tidak bisa pergi dari sisi Kagawashi sama sekali. “Tidak usah pedulikan dia. Makan lah. Kamu ingin cepat pulang dan melihat anakmu bukan?” Jantung Savira seperti di remas. Pikirannya mendadak bergelut ribut dan hal itu membuat raut wajahnya semakin cemas. “Makan lah. Atau kuminta pelayan menyuapimu?” Savira menggeleng cepat dan mengambil sendok lalu mulai menyantap bubur di hadapannya. Savira tertegun. Rasanya enak sekali dan itu membuat perutnya yang lapar mendadak ingin segera dipenuhi. Kagawashi menyunggingkan senyum miring tipisnya melihat reaksi Savira yang tertegun karena rasa bubur yang dibuatkan pelayannya. Tangan Savira lantas bergerak semakin intens hingga bubur yang ada di dalam mangkuk itu tandas ke dalam perutnya dan beberapa makanan lainnya. Kagawashi lantas memanggil pelayan yang masih menunggu di luar kamar untuk membawakan obat untuk Savira. “Aku membawa obatku sendiri. Dan aku sudah meminumnya beberapa kali. Akan lebih baik jika aku menuntaskan obat yang sama sesuai dosis,” terang Savira. Tangan Kagawashi yang semula menyodorkan bungkusan obat kemudian menyerahkannya kembali pada pelayan. “Apa yang ingin anda tanyakan pada saya?” Kagawashi lantas memberi kode pada anak buahnya yang kemudian menyerahkan sebuah foto wanita hamil padanya. Savira yang tidak mengerti awalnya tidak menyadari kalau perempuan yang ada di dalam foto itu adalah seseorang yang pernah di tolongnya dua tahun lalu. Saat masih menjadi mahasiswa sekolah keperawatan. “Apa hubungannya denganku?” tanya Savira ketika akhirnya ia bisa mengingat dengan baik siapa wanita yang ada di dalam foto itu. “Kau sudah mengingatnya?” Savira mengangguk. “Dia adik perempuanku. Pria yang kau tolong waktu itu adalah suaminya. Berulang kali dia mencoba bunuh diri karena ingin menyusul adikku dan terus mengabaikan anak yang menurutnya menjadi penyebab adiknya pergi.” Savira mulai mengerti situasinya saat ini. ia juga ingat, wanita yang mana adalah adik perempuan kagawashi itu sempat menitipkan sebuah benda padanya. Adik Kagawashi juga berpesan untuk menyerahkan benda itu pada suaminya. Namun, situasi yang tak terduga saat itu membuat Savira tak bisa melaksanakan amanat tersebut. “Apa kau ingin menanyakan kalung yang dititipkan adikmu?” Kagawashi mengangguk. “Kau masih menyimpannya?” Savira gantian mengangguk. “Jadi selama ini anda mencari benda itu?” “Iya. Benda itu mungkin bisa menyelamatkan hidup ayah dari keponakanku.” Savira tertegun. Ia tahu keponakan Kagawashi usianya masih sangat kecil. Dan Savira seketika jadi membayangkan bagaimana selama ini anak itu hidup tanpa sosok ibu dan kondisi ayahnya yang labil. “Aku menyimpannya di apartemenku.” Savira lantas menatap jam di pergelangan tangannya. “Tapi aku harus pulang sekarang. Aku janji akan menyerahkannya besok.” Kagawashi menatap Savira cukup lama sebelum akhirnya ia setuju dan mengangguk lantas meminta pengawalnya mengantar Savira ke luar. Savira terkejut begitu tahu kalau pengawalnya juga ada di rumah Kagawashi. Kondisinya baik-baik saja. hanya sedikit lebam di sudut bibirnya. Namun ia memilih diam dan meminta pengawalnya tak menceritakan apa yang terjadi padanya mereka hari ini. Apalagi kalau sampai mertuanya tahu, akan semakin rumit kondisinya nanti. Savira juga meminta sang pengawal mengantarnya ke apartemen lama. Ia memberikan salep luka pada pengawalnya. “Pakai lah. Jangan sampai keluargaku curiga.” “Baik, Nyonya.” Savira harus menyerahkan kalung itu pada Kagawashi. Karena mungkin setelah itu, kerumitan di antara mereka akan terselesaikan. Savira bisa kembali hidup normal tanpa pengawalan dan ia juga tak perlu takut akan diganggu Kagawashi lagi. “Kamu sudah pulang? Kenapa terlambat?” Caroline yang menyambut Savira langsung memeriksa kondisi tubuh wanita itu. “Udah nggak demam. Kenapa pulangnya telat?” ulang Caroline membuat Savira akhirnya berbohong dan mengatakan kalau, “Tadi kepalaku pusing banget sampai pingsan, Mbak.” “Hah? Kenapa nggak ngabarin, Mbak?” “Makanya aku istirahat dulu. Setelah makan dan minum obat, lalu kondisiku mendingan, baru aku pulang. Maaf. Nggak ngabarin.” Caroline yang tampak cemas langsung meraih sebelah telapak tangan Savira dan menepuk-nepuknya lembut. “Ya udah. Lebih baik kamu istirahat. Shindu udah tidur sama Mas Zaki.” Savira mengangguk. Meski apa yang dikatakannya bukan kebohongan, Savira tetap saja menutupi kalau semua hal itu terjadi di rumah Kagawashi. Savira tidak mungkin membuat seisi rumahnya heboh jika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Savira sudah bertekad akan menyelesaikan masalah ini sendiri mengingat ia akhirnya paham kenapa Kagawashi mencoba mendekatinya. Savira merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Rasa lelah sekaligus perasaan yang lega membuatnya cepat memejamkan mata dan terlelap. Dalam tidurnya yang tampak gelisah, Savira akhirnya bisa bermimpi dan bertemu dengan Satya. “Mas, aku kangen kamu,” lirihnya dalam keadaan mata yang terpejam, senyum haru yang diiringi telaga yang menganak sungai dari sudut matanya dan kegelisahan yang akhirnya menghilang dari raut wajahnya yang sempat berkerut-kerut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD