“Kamu dari mana, Vira?”
Langkah Savira terhenti ketika melewati ruang keluarga. Zaki sudah pulang dan sedang menemani anak-anak belajar.
“Dari apartemen Mas Lewa.”
“Lewa? Berarti kamu juga dari apartemen–“
“Vira, kamu ganti baju dulu sana. Ngobrolnya nanti aja.” Caroline menyela ucapan suaminya.
“Sayang.” Zaki tidak terima ucapannya disela.
“Ada anak-anak, Mas. Biasain bicaranya jangan depan anak-anak. Terutama Shindu.” Caroline memperingatkan sang suami yang memang lebih muda emosi itu.
Zaki mengangguk. “Ya sudah. Kamu ganti baju dulu.”
Patuh. Savira berlalu. Zaki kembali menemani anak-anak sedang Savira membantu Caroline di dapur setelah selesai membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.
“Jadi kamu dari apartemen mereka karena bantuin Langlang ngerjain makalahnya?” sahut Caroline begitu Savira selesai menceritakan semua.
“Pengawalku nggak bilang, ya?”
“Bilang. Tapi cuma bilang kalau kamu ke apartemen Langlang.”
Savira mengangguk. “Tangannya harus digip untuk waktu lama. Karena kebetulan ketemu jadi ya–“
“Minta dia sewa penulis. Memangnya kamu nggak punya kerjaan lain? Kamu udah sibuk di rumah sakit, tambah ngurusin dia bisa-bisa Shindu kamu abaikan, Vira.”
“Mas!”
“Jangan nyela aku kali ini, Yang. Kamu nggak boleh belain Savira. Ini buat kebaikan bersama. Situasi sedang nggak aman. Semakin banyak dia di luar, semakin riskan juga.”
“Kan udah ada pengawal. Lagian dia cuma bantuin Langlang kenapa, sih?”
“Memang dia nggak punya teman lain? Pahlewa juga ‘kan temannya? Jelas-jelas mereka satu apartemen,” elak Zaki sarat kesal.
“Dan apa kamu tadi bilang, Yang? Cuma? Berdua di apartemen nggak ada yang tahu cuma, Yang.”
“Kamu nuduh Vira, Mas?”
“Bukan lah. Kamu pikir aku ngomong gitu karena nggak percaya, Vira? Nggak lah. Aku percaya Vira tapi aku nggak percaya sama si belalang kupu-kupu cemong itu.”
Savira yang awalnya sudah tak enak karena membuat Zaki marah jadi tak tahan ikut tertawa bersama Caroline karena sebutan tambahan yang disematkan Zaki untuk Langlang.
“Nambah lagi, Mas, julukannya?” ledek Savira dibalas delikan Zaki.
“Pokoknya Mas nggak mau tahu. Ini pertama dan terkahir kalinya kamu bantuin dia kayak gitu. Kalau dia mau nuntut pertanggungjawaban, ya suruh aja pengawal kamu yang bantuin dia. Jangan kamu yang repot. Enak banget merintah-merintah.”
“Minta tolong, Mas,” sahut Vira.
“Sama aja. Intinya dia sengaja ambil kesempatan dengan alasan sakit. Modus banget. Cih!”
Caroline geleng kepala sementara Savira merasa apa yang diucapkan Zaki ada benarnya.
Langlang pernah menyatakan perasaan padanya. Bukan tidak mungkin ia memanfaatkan momen ini untuk mendekatinya. Meski Savira juga tidak yakin pria itu sungguh-sungguh atau hanya main-main, batinya.
“Iya, aku nggak akan ke sana lagi, Mas.”
“Bagus. Sampai mertua kamu tahu, kamu sendiri yang repot.”
“Ya kamunya jangan aduan sama Mbak Rara dan Mas Wirya dong, Yang.”
“Mana ada ngadu. Apalagi sekarang mereka sewain kita pengawal. Nggak dari kita pun mereka bakal dapat follow up dari Kanuragan Bakti-nya.”
“Sampai segitunya?” pekik Caroline tak percaya.
“Kamu pikir Mas Wirya nyewain pengawal cuma sebatas pakai jasa mereka? Nggak lah. Mas Wirya pasti bakal dapet follow up langsung. Perusahaan mereka juga ada di Bandung. Gampang untuk kordinasi sama pemiliknya.”
“Iya. Iya. Nggak usah marah-marah gitu juga, sih. Nanti cepet tua.” Caroline lantas mencebik pada suaminya.
“Kamu sih, bikin Mas emosi.”
Savira malah terkekeh. Terutama ketika Caroline menyuapkan masakan yang masih panas dari sendok di tangannya.
“Panas, Yang!”
“Maaf, maaf.” Caroline mencium pipi sang suami lalu mengusapnya lembut. “Enak, nggak?”
“Kapan coba masakan kamu nggak enak?”
Caroline terkekeh geli lalu mencubit pipi sang sumi dengan gemas.
“Panggilin anak-anak. Makan malamnya aku tata ke meja.”
Zaki mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Caroline dan Savira yang kini terlihat mendesah berat.
“Kamu harus nurut sekarang ini, Vir. Yang diomongin Mas Zaki bener. Nggak mau ‘kan sampai terjadi sesuatu sama kamu atau Shindu?”
Savira mengangguk cepat. Bagaimanapun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di depan meski hampir satu minggu ini Kagawashi atau anak buahnya tidak pernah terlihat di sekitarnya lagi.
Dan Savira kira Langlang akan mendekatinya lagi setelah malam itu. Namun yang terjadi kemudian, Langlang tidak pernah muncul di hadapan Savira selama dua hari ini. Membuat Savira jadi bertanya-tanya.
“Ck! Aku kenapa, sih, malah mikirin dia.”
“Vira?”
“Iya?” gumamnya.
“Kau bicara apa tadi?” Kujira yang mendengar Savira mendumal menatapnya heran.
“Hm?”
“Kau bicara apa tadi?”
“Tidak. Aku hanya lupa sesuatu.” Savira berkilah.
Untung saja ia bergumam dengan bahasa Indonesia sehingga Kujira tidak mengerti apa yang diucapkannya.
Kepala Kujira manggut-manggut saja lalu keduanya berjalan ke kantin rumah sakit untuk makan siang.
“Hai!”
Bola mata Savira membelalak. “Kamu sedang apa di sini? Ini ‘kan–“
“Kantin rumah sakit. Dan aku pasien di sini. Aku belum makan siang. Tidak masalah bukan kalau aku ikut dengan kalian?”
Kujira dan Savira saling tatap sebelum akhirnya Kujira mengangguk dan mengajak Langlang dengan terbuka.
Savira mendesah pasrah ketika keduanya malah berjalan lebih dulu dan meninggalkannya sendiri.
Mereka makan dalam kesunyian. Baik Savira maupun Kujira memang tidak terbiasa makan sambil mengobrol.
Apalagi pekerjaan mereka juga mengharuskan keduanya tidak banyak berleha-leha ketika sedang bertugas.
Bahkan ketika di tengah makan siang yang nikmat itu dan keduanya harus segera masuk ke ruang operasi, mereka pun bergegas meninggalkan makanan yang baru habis separuhnya.
Savira dan Kujira sama-sama membuka ponsel lalu berdiri dengan gestur tergesa-gesa.
“Kalian mau ke mana? Makannya belum habis?”
“Code blue!”
Langlang menahan lengan Savira yang hendak membawa nampan piringnya.
“Biar aku saja yang bereskan. Kalian pergi saja,” ucap Langlang.
Kujira mengangguk dan berterima kasih lalu menarik tangan Savira yang sempat tertegun karena perlakukan Langlang.
Pria itu lantas menatap lekat lantai di dekat mejanya ketika kedua bola matanya beradu dengan sebuah benda yang jatuh dan memungutnya.
Savira tak sadar menjatuhnya kalung dan cincin yang biasa ia gunakan dari sakunya.
Savira memang terbiasa meletakkan benda berhargnya itu di dalam saku daripada meninggalkannya di loker. Dan benda itu sekarang jatuh ke tangan Langlang.
Namun ada hal yang membuat Langlang mengerutkan alisnya dengan kentara. Inisial nama di dalam cincin itu membuat jantungnya mendadak berdebar.
“Satya? Siapa Satya?” gumamnya kemudian menatap ke arah pintu kantin, di mana Savira dan Kujira juga sudah menghilang dari sana.
***
“Kekasihmu itu baik sekali.”
“Dia bukan kekasihku.” Savira melepaskan pakaian operasi dan memasukkannya ke dalam tempat khusus.
Keduanya baru selesai keluar dari ruang operasi yang memakan waktu hingga tiga jam tersebut.
Kujira terkekeh lalu menepuk bahu Savira pelan.
“Aku bawa pasien ke ruangnnya dulu.”
“Kopi?”
“Tolong belikan aku kopi yang sama.”
Savira mengangguk lalu mencuci tangannya. Setelah itu ia menuju coffe shop yang masih ada di dalam area rumah sakit.
“Astaga!” Savira memekik kagek ketika Langlang berdiri menghadang jalannya tiba-tiba.
“Sory,” cengirnya tak berdosa.
Savira memilih berlalu dan mengacuhkan Langlang yang kemudian duduk kembali di kopi shop itu.
“Kamu nggak punya kerjaan lain selain ngikutin saya?”
“Saya lebih dulu ke sini.”
“Maksud saya dari tadi kamu ada di rumah sakit. Memangnya kamu tidak punya kerjaan lain.”
“Saya sedang kontrol suster Vira. Lagi pula. Kampus sedang libur.”
“Saya tidak tanya itu.”
Sedetik kemudian Savira menggigit bibir. Ucapannya benar-benar terdengar bodoh. Padahal jelas sekali barusan dia bertanya kenapa Langlang terus mengekorinya.
Jika kegiatan perkuliahannya libur, sudah pasti pria itu tidak punya kegiatan sehingga bisa mengekori Savira di rumah sakit.
Tapi memangnya, selain kuliah Langlang ini tidak punya pekerjaan lain apa selain mengikutinya? Dan kenapa alasannya selalu tentang sakit?
Langlang ini sepertinya punya hobi aneh, berkunjung dan wisata ke rumah sakit.
Savira mendesah pelan. Ia duduk tak jauh dari meja yang Langlang tempati sambil membuka ponsel dan menunggu pesannya.
“Kamu tidak merasa kehilangan sesuatu Savira?”
Savira mendongak dari layar ponselnya dan menatap Langlang dengan satu alis terangkat ke atas.
“Maksudnya?”
Langlang mengendikkan bahu lalu alrm antriannya berbunyi dan ia bangun dari duduknya.
“Apa ini?” tanya Savira begitu melihat Langlang melatakkan jinjingan kopi di atas mejanya.
“Saya yang traktir karena kemarin kamu sudah membantu saya.”
Langlang berbalik dan meninggalkan Savira yang menatapnya aneh ketika pria itu malah berbalik dan menyambung ucapannya tentang,
“Kalau sudah ingat, kamu tahu ‘kan harus menghubungi saya ke mana?”
“Menghubungi kamu?”
“Untuk sesuatu yang hilang dan saya yakin itu sangat berharga untuk kamu.”
Langlang tersenyum misterius. Membuat kening Savira berkerut makin jelas.
“Saya pamit dulu. Sampai ketemu nanti,” ucapnya lalu mengusak puncak kepala Savira.
Savira tak sempat mengelak. Dan usakkan tangan Langlang tak hanya berhasil memberantakkan rambut Savira tapi juga hatinya yang mendadak tak karuan.
“Astaga!” Savira menjenggit dari lamunannya karena alrm antriannya di atas meja.
Mengambil pesanan kopinya dan Kujira, Savira lantas serta membawa kopi yang dibelikan Langlang juga untuk rekan-rekannya.
Dan ketika shift kerjanya selesai lalu Savira mengganti pakaiannya, ia baru menyadari sesuatu yang hilang dan dibicarakan Langlang tadi.
“Aduh! Kok bisa, sih?”
“Kenapa?”
“Cincin pernikahanku hilang.”
“Hah? Kamu menaruhnya di mana?”
“Di saku. Sepertinya jatuh saat di kantin. Dan aku tahu siapa yang menyimpannya. Aku harus segera mengambilnya. Aku pergi duluan, ya, Kujira.”
“Hati-hati!” seru Kujira ketika Savira berlari begitu saja dari ruang ganti.
“Tolong antar saya ke apartemen yang kemarin?” ucap Savira begitu masuk mobil.
“Tapi nyonya, Tuan Zaki sudah berpesan untuk tidak ke sana lagi.” Pengawalnya menoleh ke belakang.
“Ini mendadak. Ada yang harus kuambil. Dan itu sangat penting.”
“Memang nyonya yakin pria itu ada di sana?”
Savira baru ingat ia belum menghubungi Langlang.
“Jalan saja dulu,” sahutnya lalu membuka ponsel untuk menghubungi Langlang.
“Sepertinya kamu sudah ingat makanya–“
“Kamu di mana?”
“Di taman kota.”
“Tunggu di sana!”
“Okay!”
Klik…
“Ke taman kota, Pak.”
“Baik, Nyonya.”
Mobil melaju dengan kecepatan sedang hingga mengantar Savira ke sebuah taman kota yang dituju.
Terlihat keramaian orang-orang dan lampu yang mulai menyala karena hari yang sudah mulai sore.
Langlang melambaikan tangan ketika melihat Savira yang mencarinya sambil menelepon.
“Lihat ke kiri,” ucapnya dalam sambungan telepon yang masih terhubung.
Savira menoleh lalu hanya menatap Langlang dari kejauhan.
“Kembalikan kalung dan cincinku. Setelah itu kuantar pulang.”
Langlang lantas menepuk bangku di sebelahnya yang kosong.
“Kemari. Atau bajumu nanti basah.”
“Hah?”
Belum Savira menyadari hal itu, tiba-tiba saja dari bawah kakinya muncul air mancur yang membuat sekujur tubuhnya basah.
Langlang tertawa menatap Savira yang kemudian berlari menghampirinya sambil mendumal kesal.
“Sudah kubilang ‘kan kemari. Gadis nakal! Susah sekali kalau diberi tahu.”
Langlang menyentil pipi Savira yang basah. Membuat rona kemerahan mendadak muncul di wajahnya.
Entah kenapa Langlang menyukai itu terutama ketika bola mata Savira membulat lucu.
Wajah cantik dan muda Savira membuat Langlang gemas hingga tak sadar tangannya kini sudah menyentuh sebelah pipi Savira sambil berkata,
“Cantik.”
Savira yang diperlakukan seperti itu bergegas menepis tangan Langlang dan meminta kalung serta cincinnya.
“Berikan barangku sekarang!”
Alih-alih memberikan kalung dan cincin itu, Langlang malah menatap telapak tangan dan wajah Savira bergantian.
“Mana?” desak Savira tidak sabar.
Langlang tersenyum miring lantas meraih telapak tangan Savira yang menengadah padanya.
Digenggamnya telapak tangan itu dan dibawanya pergi tubuh Savira yang basah dari sana.
“Kamu bilang tadi mau antar saya dulu ‘kan? Kamu juga harus ganti baju. Nanti masuk angin.”
Savira menepis tangan Langlang. Membuat langkah kaki Langlang juga ikut terhenti dan berbalik menatap Savira.
“Berikan sekarang!”
“Kenapa? Kamu takut Satya marah karena kamu menghilangkan benda pemberiannya?”
Wajah Savira mendadak dingin dan datar.
“Bukan urusanmu!”
“Siapa dia?”
“Cepat berikan!”
“Apa dia yang membuat kamu bercerai dengan–“
“Ya.” Langlang tergugu. “Dia kekasihku!”
Dan ucapan Savira itu berhasil membuat sekujur tubuh Langlang semakin membeku. Membuat mereka terpaku saling menatap di tengah taman kota yang ramai orang-orang berlalu lalang.
Di tengah air mancur lantai yang kini kembali memunculkan airnya hingga ke atas dan membasahi tubuh mereka.
Tidak hanya membasahi tubuh keduanya, namun membasuh air mata yang jatuh begitu saja di pipi Savira.
“Jadi–“
“Tolong berikan kalung dan cincin itu padaku. Sekarang!”
Langlang merogoh saku di dalam jaketnya sambil terus menatap Savira lalu memberikan kalung dan cincin itu pada Savira.
“Terima kasih.”
Savira berlalu meninggalkan Langlang begitu saja. Meninggalkan pria yang kini hanya bisa tergugu menatap punggung Savira yang kemudian menghilang di kejauhan matanya.