Zaki bahkan tidak membiarkan Savira menemani Shindu selama dua hari hingga akhirnya Shindu diperbolehkan pulang.
Harusnya Savira menjemput Shindu keesokannya. Namun karena sudah tak tahan, Savira pamit pada Caroline untuk menginap di rumah sakit.
Zaki sedang keluar sebentar ketika Langlang dan Pahlewa yang menunggui Shindu di ruang perawatan.
“Tugas kampus nggak keganggu, Mas?” tanya Savira begitu mereka bertemu.
“Nggak, Vira.”
“Jadi ngerepotin, sih, aku.”
“Nggak tiap hari juga, Vira. Lagian kita seneng kok. Shindu anaknya nggak rewel walaupun lagi sakit.”
“Makasih, ya, Mas.”
“Sama-sama, Vira. Namanya juga perantau, kalau nggak saling bantu, susah ada yang bantu seneng ‘kan?”
Savira mengangguk. Pahlewa menjemputnya di lobi ketika Savira mengabari kalau ia akan menginap di rumah sakit malam ini.
Begitu Savira dan Pahlewa masuk ke dalam ruang perawatan, pemandangan Shindu dan Langlang yang tidur berpelukan di atas ranjang rumah sakit membuat Savira tertegun.
Entah kenapa pemandangan Langlang yang sedang memeluk Shindu membuat bayangan Satya mendadak hadir.
Selama ini hanya Zaki, laki-laki dewasa yang tidur dengan Shindu dalam posisi seperti itu. Membuat Savira tersenyum sekaligus merasa iba melihatnya.
“Vira?”
Wanita itu mengerjap, menyadari kalau sejak tadi ia masih berdiri di pintu masuk ruang perawatan Shindu.
“Masuk!”
Savira menutup pintu. Meletakkan tas di sofa bed yang ada di samping tempat tidur lalu menghampiri keduanya.
Pahlewa pamit ke toilet ketika Savira semakin mendekat dan membetulkan letak selimut mereka berdua.
Langlang yang menyadari gerakan Savira seketika mengerjap dan bangun.
Menoleh ke samping, pandangan matanya bertemu dengan pandangan Savira yang masih seperti biasa, datar dan cenderung tenang.
“Keganggu, ya?”
“Tidak apa. Kamu kenapa ke sini?”
“Shindu besok sudah boleh pulang. Kalian pulang saja malam ini. Nanti biar pengawal yang antar.”
“Aku masih mau di sini. Kalau gerak nanti Shindu bangun,” kilahnya lalu kembali memunggungi Savira.
Telapak tangannya mengusap-usap punggung kecil Shindu yang sedang memeluknya.
“Nggak apa. Ada aku yang gantikan. Kamu pulang saja. Istirahat di rumah.”
Namun Langlang masih bersikukuh hingga Pahlewa yang keluar dari toilet langsung menjewer kuping pria itu.
“Aduh! Sakit anj–“ desisnya menggantung.
Berdeham ketika mendapati Savira yang juga menatapnya, Langlang melanjutkan ucapannya.
“Sakit begok!” Lalu ia menepis tangan Pahlewa.
“Balik! Besok kita harus ketemu dosen pagi sekali.”
Mau tak mau Langlang bangun perlahan agar Shindu tak ikut bangun sebelum akhirnya pria itu masuk ke toilet untuk mencuci wajah.
Savira yang baru kembali dari luar segera menghampiri keduanya dan mengatakan kalau,
“Nanti diantar pengawalku, ya, Mas.”
Kali ini Savira mengucapkan panggilan itu dengan tatapan tertuju pada Pahlewa. Membuat Lala mendesis kesal.
“Kenapa lo?”
“Nggak ada. Ayo balik!”
Savira mengantar keduanya hingga keluar pintu kamar ruang perawatan.
“Kami pulang dulu, ya, Vira.” Pahlewa berpamitan.
“Iya. Sekali lagi makasih sudah merawat Shindu, ya, Mas Lewa.”
Lalu tatapan Savira beralih pada Langlang yang menunduk dengan kedua tangan terkurung di saku jaket sementara kakinya menendang-nendang kecil ke udara.
“Mas Langlang juga.”
Langlang mendongakkan kepalanya. Menatap Savira dengan seraut dalam.
“Makasih sudah jagain dan hibur dia dua hari ini. Lain kali kalian aku traktir, ya.”
“Santai!”
“Kencan!” celetuk Langlang begitu saja membuat Savira dan Pahlewa mengernyit heran.
“Maksudnya?”
“Saya mau satu hari kencan sama kamu. Dan ini bukan tawaran. Kalau kamu tidak mau, saya tidak terima ucapan terima kasih kamu.”
Dan begitu selesai mengucapkannya, Langlang pergi begitu saja meninggalkan Pahlewa dan Savira yang masih berdiri di tempat mereka.
Pahlewa mendengus kasar. “Dasar nggak jelas!” katanya lalu menatap Savira. “Nggak usah kamu anggap serius. Lagipula Mas Zaki minta tolongnya sama saya. Jadi lebih tepat kamu juga kalau mau kencan dengan saya,” kelakarnya dengan mimik serius.
“Mas juga?” Savira melongo lucu.
“Becanda, Vira.” Pahlewa terkekeh geli. “Pokoknya nggak usah ditanggapi. Tapi kalau soal traktiran, saya tunggu, ya? Nanti ajak Shindu kalau dia sudah baikan.”
Savira mengangguk. “Sekali lagi makasih, ya, Mas.”
Pahlewa menganggukkan kepalanya untuk terakhir kali lalu berbalik menyusul Langlang.
Savira sendiri langsung mendesah sambil menatap kepergian kedua pria itu dengan tatapan dalam.
Apa yang diucapkan Langlang membuat pikiran Savira jadi kusut. Ia bahkan tak bisa tidur padahal sudah memeluk sang anak di atas kasur.
“Bunda?”
“Ya, Sayang? Shindu kok bangun? Haus?”
Bocah itu menggeleng. “Om Baik sama Om Lucu ke mana?”
“Udah pulang. Besok harus sekolah pagi.”
“Kok nggak bilang dulu sama Shindu?” cicitnya tampak kehilangan.
“Shindu lagi bobok. Om Baik sama Om Lucu mana mungkin tega bangunin. Nanti juga ketemu lagi, kok. Shindu bobo lagi, ya?”
Bocah itu mengangguk patuh lalu menduselkan wajahnya lagi di d**a Savira. Mencari posisi paling nyaman untuk mengajak sang budanya juga tidur bersamanya.
Sayangnya, hanya Shindu yang kembali terlelap. Bahkan hingga Shindu kembali ke rumah besoknya, hanya Pahlewa yang menanyakan kondisi pria kecil itu. Membuat Savira mendadak kesal.
“Kekanak-kanakan,” makinya sebab Shindu yang merajuk ingin bertemu Langlang tidak bisa melakukan panggilan video call dengan pria itu.
“Sayang, Shindu ‘kan baru sembuh. Masih harus banyak istirahat. Om Baik sama Om Lucu juga ada kesibukan,” terangnya lembut.
“Nanti kalau Shindu udah semakin sehat, Om Baik dan Om Lucu juga nggak sibuk, Shindu bisa ketemu lagi, kok. Ya?”
Savira meraih tubuh Shindu ke dalam pelukannya. “Anak Bunda ‘jangan gini dong! Bunda sedih kalau liat Shindu juga sedih.”
“Shindu pengen main lagi sama Om Baik dan Om Lucu,” cicitnya sendu.
“Iya. Nanti boleh main, kok. Sekarang minum obat terus bobo, ya?”
Shindu memang penurut. Meski di dalam hati bocah itu ingin sedikit memaksa pada sang bunda.
Namun, mendengar kata sedih saja sudah cukup membuat Shindu luluh.
Kata itu adalah kata yang Shindu paling tidak sukai. Karena melihat Savira sedih adalah sesuatu yang Shindu juga tidak sukai.
Bukan tanpa sebab, Savira tidak pernah tahu kalau Shindu menyimpan sebuah memori lekat yang membuatnya tak suka melihat bundanya bersedih.
Shindu sudah berjanji dalam hatinya, kalau ia tidak akan pernah membuat Savira sedih sedikitpun karenanya.
Di sisi lain, kerumitan pikiran Savira masih berlanjut hingga keesokannya. Savira yang masuk kerja shift malam duduk termenung sambil menatap layar komputer di meja perawat ruang IGD.
Tatapannya memang tertuju pada layar monitor. Namun pikirannya sedang jalan-jalan.
Menarik dan menghembuskan napas beratnya kemudian, Savira akhirnya memutuskan sebuah hal.
Pagi setelah jam kerjanya selesai, Savira bergegas minta diantar ke apartemen Langlang.
Pria yang terlihat kusut dan seperti baru bangun itu langsung melongo begitu melihat siapa yang datang sepagi ini bahkan sambil membawakan sarapan.
“Vira!”
Savira hanya menatap Langlang sebelum akhirnya keresek yang ia jinjing diserahkan pada pria itu.
Langlang menerima keresek itu dengan segera lalu mempersilakan Savira masuk setelah selesai merapihkan rambutnya dengan kilat.
Namun, alih-alih masuk, Savira malah berkata ambigu tentang, “Setelah Shindu lebih baik.”
“Iya?”
“Setelah Shindu lebih baik, ayo kita kencan.”
Langlang mengerjap cepat. “Kamu… serius, Savira?”
“Kenapa? Berubah pikiran?”
Langlang langsung menggeleng. “Tidak mungkin. Saya mau. Kapan?”
“Nanti kukabari secepatnya.”
Langlang mengangguk dengan antusias. “Kamu nggak mau masuk dulu?”
“Shindu pasti sudah menunggu,” ucapnya sebelum pamit dan diangguki Langlang.
Pria itu mengepal tangan ke udara sambil berseru ‘yes’ lalu pergi ke dapur dan menata makanan yang dibawa Savira di atas meja makan.
“Kapan belinya?” tanya Pahlewa yang heran karena sarapan di meja mereka sudah tersedia kemudian.
“Savira yang bawa?”
“Oh. Terus?” Pahlewa menyuapkan sarapannya ke mulut.
“Dia setuju kencan sama gue.”
Dan kali ini Pahlewa langsung tersedak. Tatapannya terlihat tak percaya.
“Kenapa?”
“Lo nggak ngelindur? Yakin yang dateng Savira. Bukan–“
“Nggak usah mulai lo!”
“Dia sendiri yang bilang sama gue bakal nyusul lo ke sini setelah tesisnya selesai. Dia bahkan rela ngejar S2-nya lebih cepat biar bisa nyusul lo ke sini.”
Langlang hanya mengangkat jari tengahnya ke udara sambil memberikan tatapan jengah.
“Lang.”
“Jangan sampai kencan gue sama Savira batal. Gue nggak mau tahu, sampai dia ketemu Savira, gue bikin dia malu sampe rasanya nggak pengen idup!” ancamnya membuat Pahlewa mendesah pasrah.
Pahlewa tahu ucapan Langlang tidak main-main. Hanya saja, ia juga masih bingung kenapa Savira akhirnya mau diajak Langlang berkencan.
Sayangnya, Langlang tidak tahu kalau ajakan kencan itu adalah ajakan untuk pertemuan mereka yang terakhir.
Karena begitu mereka selesai berkencan, Savira yang semula terlihat hangat bahkan santai saat Langlang melakukan sentuhan seperti berpegangan tangan tiba-tiba kembali menjadi Savira yang datar dan cenderung dingin.
“Ada lagi yang mau kita lakukan sebelum berpisah?” tanyanya tenang.
“Saya boleh cium kamu?”
Savira terhenyak. Dalam hatinya menggeram. Namun sebisa mungkin ia tahan.
“Bibir?” tanyanya alih-alih menolak dan Langlang justru menggeleng sambil tersenyum hangat.
“Kening kamu. Saya nggak mau ditampar lagi,” kelakarnya membuat Savira mendengus namun mengiyakan dengan anggukan dan kata ‘okay’ yang terucap dari bibirnya.
Langlang melepaskan sabuk pengaman yang dikenakannya. Mereka berkencan tentu dengan kawalan seperti biasa.
Hanya saja kali ini Langlang mengemudikan mobil yang disewakan kakaknya saat ia mengalami luka di tangannya beberapa waktu lalu dan pengawal Savira mengikuti dari belakang.
Langlang lantas memiringkan tubuhnya ke samping. Tangannya terulur satu ke arah tengkuk leher Savira lantas menariknya agar Savira mendekat.
Sentuhan telapak tangan Langlang di belakang leher Savira seketika menimbulkan gelenyar aneh yang membuat Savira reflek memejamkan matanya begitu saja.
Bahkan hingga Langlang selesai mengecup keningnya, Savira masih betah memejamkan kedua bola matanya. Seolah menikmati rasa yang kini meninggalkan jejas di dalam perasannya.
Dan begitu kedua bola matanya terbuka, hal pertama yang Savira temukan adalah tatapan hangat Langlang dan senyum tipisnya yang menawan.
Savira seperti terjerumus, dan ia tak mengerti apa yang membuatnya justru mendekatkan wajah dan akhirnya mengecup bibir Langlang.
Satu kali sebelum kemudian Savira membuka mata untuk melihat reaksi pria yang kini tertegun menatapnya tak percaya.
Savira tersenyum tipis. Mengusap bibir Langlang dengan jempol sebelum menempelkan kembali bibirnya.
Awalnya, Langlang dibuat seperti orang bodoh. Namun begitu Savira membuka mulut dan memagut bibir atas serta bawahnya bergantian, Langlang pun ikut memejamkan dan membalas pagutan Savira.
Kedua tangan Savira mengalung erat di leher Langlang sementara kedua tangan Langlang menarik pinggang Savira agar tubuh mereka semakin dekat.
Pagutan yang semula lembut perlahan semakin menggebu dan akhirnya berubah liar.
Langlang bahkan tidak menyangka Savira berani membelah kedua bibir dan menerobos rongga mulutnya. Mengajaknya menari-nari dalam tarian lidah yang begitu menantang. Membuat deru napas mereka saling beradu.
Savira bahkan sampai melenguh ketika tangan Langlang turun ke bawah dan meremas bokongnya.
Secara reflek, telapak tangan Savira yang semula hanya bertumpu di lengannya pindah meremas-rema rambut belakang Langlang. Membuat hasrat pria itu semakin gergejolak dan membumbung tinggi.
Langlang terhanyut. Pun dengan Savira yang terbawa suasana yang ia buat sendiri hingga napasnya terasa sesak dan Savira melepas ciuman mereka lebih dulu.
Senyum bahagia Langlang terukir kala melihat wajah Savira yang memerah sementara kedua bibirnya terbuka seksi dengan mata yang masih memejam rapat.
Langlang sungguh dibuat gemas dan akhirnya memberikan gigitan kecil sebagai pamungkas adegan penutup kencan mereka hari ini.
“Terima kasih, Vira.”
Savira membuka mata. Dengan napas yang masih terengah, ia menatap Langlang dengan sorot mata yang tajam dan datar. Membuat Langlang sedikit terheran.
Savira melepaskan diri. Mengambil tisu untuk membersihkan jejak saliva yang membasahi sekitar bibir dan dagunya.
Savira juga membereskan pakaianya yang sedikit berantakan karena hampir saja Langlang membuatnya duduk di pangkuan pria itu saat mereka bertukar ciuman.
Savira juga mengoleskan liptin yang ia gunakan untuk menutupi bibirnya yang terasa kebas dan terlihat agak membengkak merah akibat ciumannya dengan Langlang.
Keduanya lantas turun dari mobil. Savira memang meminta Langlang menurunkannya di tempat lain agar pria itu tidak tahu keberadaan rumah Zaki yang ditinggalinya saat ini.
Langlang hendak membenarkan letak baju Savira yang sedikit tidak rapih ketika Savira justru mundur menghindar.
“Saya cuma mau betulkan–“
“Tidak perlu.”
Savira menatap Langlang dengan kepala tegak sambil mengulur tangan, mengajak pria itu berjabat tangan.
Langlang sedikit aneh namun uluran itu tetap ia sambut dengan lembut dan hangat.
“Selamat istirahat, Vira. Sampai ketemu lagi.”
“Saya harap justru setelah ini kita nggak perlu bertemu lagi.”
Langlang terkejut. “Maksud kamu?”
“Selamat malam, Tuan Langlang Atmadireja,” balas Savira lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil pengawalnya.
Langlang tidak bisa mengejar karena entah kenapa ban mobil belakangnya tiba-tiba kempes.
Langlang tidak tahu saja kalau pengawal Savira yang melakukannya ketika mereka saling mencumbu di dalam mobil tadi.
“Ahh, sial! Tapi maksud dia apa, sih?” Langlang mencoba menghubungi Savira namun tidak bisa.
Sementara itu, Savira yang berada di mobilnya langsung merebahkan punggung ke kursi.
Matanya memejam sementara hatinya merutuk kesal, menyesali apa yang sudah ia lakukan secara impulsif.
Awalnya ia marah karena Langlang dirasa memanfaatkan Shindu untuk menariknya ke dalam hubungan yang pria itu inginkan.
Savira merasa apa yang dilakukan Langlang membuatnya marah. Langlang sudah membuat Shindu menyukainya bahkan mulai bergantung dengan keberadaannya.
Hal tersebut dirasa sangat menyebalkan dan mengganggu ketentraman hubungannya dengan Shindu.
Karena itu Savira ingin membalas Langlang dengan membuat pria itu penasaran dan sulit melupakannya.
“Tapi bagaimana kalau dia nggak menganggap yang kami lakukan tadi itu berarti?”
Pengawal Savira menoleh dari kaca spion tengah ketika wanita itu mengacak-acak rambutnya frustasi lantas mengumpat,
“Bodoh, Vira! Bodoh kamu!”