TUL 30 - Pengakuan Langlang

2932 Words
Langlang mengerjap begitu seseorang menepuk bahunya cukup keras, membawanya kembali dari lamunan. “Ngelamun mulu!” cibir Pahlewa. Lalang hanya memutar bola malas. Ia sedang duduk di taman kampus sambil menunggu Pahlewa selesai dengan kelasnya. “Makan di mana?” tanyanya alih-alih kesal karena dikagetkan. Biasanya pria itu mendumal saat Pahlewa mengganggunya seperti barusan. “Restoran Chiness, sebelah mie udon yang enak itu.” “Okay!” Mereka berjalan beriringan menyusuri trotoar hingga tiba di sebuah kedai yang sudah ramai diisi pengunjung. Keduanya lantas memesan makanan dan menuggu sambil mengobrol. Pahlewa langsung membuka ponsel dan menunjukkan sebuah pesan yang membuat Langlang mendengus malas. “Terserah dia mau ngapain, bukan urusan gue lagi.” “Nomernya masih lo block?” “Menurut lo?” “Kak Intana tadi juga telepon. Kayakanya dia bilang sama Kak Intana mau ke sini nyusul lo.” Langlang berdecak malam lalu menumpukkan kedua tangannya di atas meja. Keningnya ia antuk-antukkan di atas tumpukkan lengannya dengan cukup keras sambil mendesiskan sesuatu yang membuat pengunjung kedai lain menoleh pada mereka. “Duduk yang bener, Begok!” “Ahhh… sial! Mana Savira tiba-tiba blokir nomer gue.” “Hah? Savira blokir nomer lo? Lo ngulah apalagi, berengsek?” Langlang berdecak. Kali ini ia tidak mungkin mengatakan apa yang ia dan Savira lakukan di dalam mobil waktu itu. Toh apa yang mereka lakukan malam itu juga atas persetujuan Savira. Bahkan Savira yang memulainya lebih dulu. “Gue juga nggak tahu salah gue apa. Tiba-tiba dia bilang nggak mau ketemu gue lagi habis kencan waktu itu.” Pahlewa menatap Langlang dengan kedua mata yang menyipit tajam. “Gue nggak bohong,” imbuh Langlang. Pahlewa tentu hapal tabiat dan kelakuan sahabatnya itu. Namun kali ini Pahlewa juga seperti tidak bisa menebak situasinya. Mulai dari Savira yang mau diajak kencan namun tiba-tiba dikatakan menjaga jarak setelah keduanya melakukan kencan hari itu. “Lo yakin nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh?” Pahlewa masih berusaha meyakinkan Langlang tepat saat pelayan datang membawakan makanan yang mereka pesan. “Terima kasih,” ucap Pahlewa lalu kembali menatap Langlang. “Ngapain, sih, Wa? Seaneh-anehnya paling ciuman. Itu pun kalau gue siap digampar Savira lagi,” dustanya. “Lagi kencan aja dia mau gue gandeng atau pegang tangan, kok.” “Cuma itu?” Langlang mengangguk yakin. “Aneh juga. Tapi ngomong-ngomong Shindu kemarin nanyain lo waktu telepon gue.” Langlang yang baru akan menyuapkan makanan ke mulutnya langsung menoleh. “Serius dia nanyain gue?” “Hm. Pengen belajar bikin origami sama gambar katanya.” “Kok dia tahu gue bisa gambar?” “Gue cerita soal lukisan yang di kamar itu lo yang buat. Dia lihat dan tanya terus pas tau lo yang gambar dia bilang mau belajar sama lo biar bisa bikin lukisan bagus kayak gitu.” Langlang terdiam sementara Pahlewa makan dengan lahapanya. “Terus lo jawab apa?” “Gue bilang ya suruh izin bundanya dulu boleh nggak ketemu lo.” “Jawaban dia?” Pahlewa mengedikkan bahu. “Lo tahu sekolah Shindu di mana?” Satu alis Pahlewa terangkat ke atas. “Mau apa lo nanya sekolah dia di mana?” “Ke sekolahnya, lah. Nemuin dia di sekolah.” “Gue juga nggak tahu.” “Tanya mantan suaminya nggak bisa?” Sebetulnya Pahlewa tahu di mana Shindu bersekolah. Hanya saja ia tidak tahu apakah tidak masalah kalau ia memberitahukannya pada Langlang sementara hubungan Savira dan Langlang juga sedang tidak harmonis. “Nanti coba gue tanya. Sekarang makan dulu. Habis itu lo seperti yang gue kasih catatannya. Gue harus balik ke kampus lagi,” ujarnya. Langlang mengangguk lalu mereka menikmati makan siang itu hingga tuntas lalu keduanya berpisah setelah dari kedai. Langlang berbelanja kebutuhan rumah mereka sesuai tugasnya minggu ini sementara Pahlewa kembali ke kampus. Namun di perjalanan menuju supermarket, Langlang melihat sebuah food truck eskrim yang melintas. Ia ingat saat di rumah sakit kemarin, Kagawashi mengatakan kalau pria itu akan mengirim eskrim ke sekolah Shindu jika bocah itu sudah sembuh. Langlang terpikirkan sesuatu kemudian menelepon seseorang sambil menunggu busnya datang. “Di mana?” “Aku sedang di kampus. Ada apa?” “Aku perlu bantuanmu.” “Bantuan apa?” “Carikan aku informasi ke mana Kagawashi mengirim food truck eskrim yang dipesannya ke sekolah anak-anak.” “Kapan?” “Entahlah. Aku juga tidak tahu.” “Kau gila? Bagaimana mungkin aku mengintai kegiatan Kagawashi terus menerus hanya untuk sebuah food trcuk eksrim? Kau ingin membunuhku, hah?” “Ayolah. Aku tidak meminta kalian saling membunuh.” “Tapi apa yang kau minta nanti bisa membuatku dan kakakku bersitegang. Aku tidak mau!” erang seorang pria di seberang telepon sana. “Kau masih punya hutang satu permintaan padaku, Akihiro.” “Tapi tidak untuk yang ini. Lagi pula untuk apa kau mencari tahunya?” “Nanti kuceritakan. Yang terpenting sekarang aku perlu tahu ke mana Kagawashi mengirim truk eskrim itu.” “Kenapa kau tidak tanya ke pabrik eskrim saja untuk memastikan?” “Kau gila! Bagaimana aku mencari tahunya?” Terdengar dengusan sinis yang diikuti tawa sumbang. “Kau mengataiku gila sedang yang kau juga tidak menyadari apa yang kau lakukan juga hal gila. Dasar bodoh!” “Aku punya ide,” celetuk Langlang begitu saja. “Jangan bertambah gila idemu.” Langlang berdecak. “Kalau begitu kau yang cari tahu dari pabriknya saja.” “Kau masih belum sadar juga?” “Ayolah. Aku hanya punya kau sebagai teman yang bisa diandalkan. Kau pasti bisa mengerahkan anak buah kakakmu untuk mencari tahu. Aku tidak mungkin meminta bantuan Pahlewa. Dia tidak akan sanggup melakukannya.” “Menyusahkan!” umpat pria di seberang telepon sana sementara Langlang terkekeh menang. “Berarti aku tunggu kabar baik darimu.” “Terserah!” Klik… Lalu sambungan telepon itu terputus. Langlang tersenyum puas tepat ketika bus yang akan ia tumpangi datang. Satu minggu kemudian…. “Bagaimana?” “Aku sudah mencari informasi dari pabrik eskrim terdekat. Ada tiga sekolah di hari kamis yang sama lusa besok dan memesan food truck eskrim untuk didatangkan ke sekolah mereka. “Sudah kukirim nama-nama sekolah itu di pesan yang kukirimkan. Kau pastikan sendiri mana sekolah yang ingin kau datangi.” Langlang tersenyum puas. “Okay. Terima kasih, Akihiro.” “Lunas. Dan jangan lagi menggangguku dengan permintaan bodohmu yang seperti ini. Gara-gara ini aku jadi harus ikut dalam misi pekerjaan kakakku.” Langlang tertawa kencang. “Setidaknya kau harus punya pengalaman langsung bagaimana bertarung dengan penjahat-penjahat itu nantinya.” “Kau gila!” Langlang hanya tertawa. Tentu apa yang dikatakan temannya itu hanya sekedal dumalan sesaat. Akihiro adalah anak dan adik dari seorang mafia di Jepang yang tidak pernah mau berurusan dengan bisnis keluargnya. Keluarga Akihiro sendiri adalah lawan dari keluarga Kagawashi. Hal itu baru diketahui Akihiro ketika Langlang diculik bersama Savira tempo hari. Karenanya ketika Langlang meminta bantuannya untuk mengawasi Kagawashi, Akihiro jelas menolak mentah-mentah. Meski begitu ia tetap membantu Langlang mencari tahu soal food truck eskrim tersebut. Lalu… Lusanya, Langlang yang sudah mengubah jadwal bimbingannya dengan sang professor bergegas mengunjungi tiga sekolah yang dikirimkan Akihiro. Dan setelah mencari tahu di dua sekolah, Langlang bergegas mendatangi sekolah terakhir yang dikatakan Akihiro sebelumnya. Seperti dua sekolah sebelumnya, Langlang mencari jejak pengawal yang pastinya ada di sekitar sekolah jika memang Shindu bersekolah di sana. Dan begitu ia melihat salah seorang pengawal Savira, Langlang tersenyum lega karena akhirnya ia bisa menemukan sekolah Shindu. Namun, pria itu tidak langsung menemui Shindu di hari tersebut karena harus bertemu dengan dosen pembimbingnya. Baru di minggu berikutnya, saat jadwal kuliahnya kosong, Langlang mengajak Pahlewa datang ke sekolah tersebut dan menunggui Shindu hingga pulang. Tentu dengan pengawasan pengawal Shindu dan si kembar. “Dari mana kamu tahu sekolah Shindu?” “Akihiro.” Pahlewa menaikkan satu alisnya ke atas “Shindu!” seru Langlang kemudian. “Om Baik! Om Lucu!” Langlang merentangkan tangan dan menyambut Shindu yang langsung naik ke dalam gendongannya. “Sudah selesai sekolahnya?” Shindu mengangguk. “Om Baik sama Om Lucu kok ada di sini?” “Kita mau ajak kamu bermain dulu,” sahut Langlang. “Onti Salma sama Onti Selwa gimana?” “Salma sama Selwa siapa?” tanya Langlang pada Pahlewa. “Sepupunya Shindu,” terangnya tidak berbohong. Hanya saja Pahlewa tidak menjelaskan kalau kedua anak kembar itu adalah anak Zaki. Pria yang selalu Langlang kira mantan suami Savira. “Kok manggilnya onti? ‘kan sepupuan.” “Kedua orangtuanya sepupu mertua Savira.” “Oh.” Langlang manggut-manggut saja. Pahlewa sudah meminta ijin pada Caroline lebih dulu. Sehingga kedatangan mereka kali ini juga tidak dihadang para pengawal anak-anak. “Memangnya kita mau main ke mana, Om?” Shindu penasaran. “Shindu mau belajar gambar dan origami ‘kan?” jawab Langlang. “Mau, Om!” “Okay! hari ini kita bikin origami yang banyak.” “Yeyyy!” seru Shindu lalu mendapat cubitan gemas di pipinya. Pahlewa hanya tersenyum melihat interaksi keduanya hingga si kembar yang dibicarakan sebelumnya keluar dari kelas mereka. “Shindu, sini!” seru Salma melambaikan tangan. Shindu yang semula masih di atas pangkuan Langlang langsung turun dan berhambur menghampiri kedua bibi kembarnya. “Kamu kenapa deket-deket sama Om-Om itu? Kalau orang jahat gimana?” cicit Selwa. “Mereka bukan orang jahat kok, Onti. Itu temennya Bunda.” Salma dan Selwa membungkukkan badanya seraya menyapa keduanya. “Salma sama Selwa masih inget nggak sama, Om?” Pahlewa menghampiri dan menyapa keduanya. Kedua bocah kembar itu menatap Pahlewa dengan pandangan menyelidik. “Oh, iya!” seru keduanya kompak. “Om yang dulu suka nganter Tante Savira ‘kan, ya?” Pahlewa mengangguk ketika Salma mengutarakan ingatannya. “Iya. Pinter banget masih inget sama, Om.” Pahlewa mengusap pelan puncak kepala gadis kembar itu bersamaan. “Hari ini Om mau ngajak kalian main sama Shindu.” “Sama Om itu juga?” tunjuk si kembar pada Langlang. “Iya. Kenalkan, ini teman Om. Namanya Om Langlang. Kalian mau ‘kan menemani Shindu main dengan Om Pahlewa dan Om Langlang?” “Tapi kita belum bilang sama–“ “Om sudah minta izin kok sama orangtua kalian.” Pahlewa menyela lebih dulu. Mencegah kedua gadis kembar itu mengungkapakan siapa orangtua kandung mereka. “Beneran, Om?” Selwa mengkonfirmasi. Pasalanya mereka sudah diwanti-wanti tidak boleh ikut dengan orang yang bukan keluarga mereka. “Salma telepon dulu, ya, Om,” izin gadis kecil itu. Pahlewa mengangguk. Meski memiliki ponsel. Namun ponsel yang dimiliki Selwa dan Salma hanya bisa digunakan untuk menelpon dan melacak di mana keberadaan mereka saja. Nomer yang ada di dalam catatan buku teleponnya pun hanya nomer kedua orangtua mereka, guru dan wali murid ditambah nomer telepon pengawal mereka sekarang. “Gimana?” desak Pahlewa karena hari semakin siang. “Nggak nyambung, Om.” “Ibu dan ayah kalian pasti sedang sibuk. Atau begini, tanya saja sama pengawal kalian supaya lebih jelas dan meyakinkan. Om janji kalian tidak akan dimarahi kalau pulang terlambat nanti, kok.” Salma dan Selwa saling tatap. Pengawal mereka juga tidak berkomentar sejak Langlang dan Pahlewa menghampiri mereka. Maka itu artinya Salma dan Selwa juga bisa ikut apalagi mereka juga tidak mungkin meninggalkan Shindu pergi dengan Langlang dan Pahlewa begitu saja. “Kita jalan sekarang?” ajak Pahlewa lantas diangguki keduanya. Savira yang pulang kerja dan tidak menemukan keberadaan anak-anak di rumah langsung menghubungi pengawal. “Apa? Siapa yang kasih izin?” Savira emosi begitu mendengar kalau anak-anak sedang berada di kafe dengan Langlang dan Pahlewa. “Tuan Zaki dan Nyonya Caroline yang memberikan izin, Nyonya.” “Ajak mereka pulang. Bilang saya sudah menuggu di rumah,” ketusnya memungkasi. “Baik, Nyonya.” Lalu pengawal itu masuk dan menghampiri mereka. Mendekat pada Pahlewa dan mengatakan kalau, “Nyonya Savira menelepon dan meminta mereka pulang,” terangnya diangguki Pahlewa. Namun Shindu malah merajuk dan minta waktu tambahan lagi agar bisa memuaskan aktivitas bermainnya bersama Langlang, Pahlewa juga si kembar. Apalagi mereka bermain di sebuah kafe yang mirip dengan day care atau tempat penitipan anak dimana ada banyak permainan dan anak lain yang juga sedang berada di sana. Sesuatu yang Shindu dan kedua onti kembarnya sukai selama jika mereka minta diajak jalan-jalan dan bermain pada kedua orangtuanya “Nanti kita main bareng lagi, ya? Tapi sekarang pulang dulu. Bunda sudah menunggu Shindu,” bujuk Pahlewa. “Iya. Om janji nanti Om belajar buat origami yang lain. Baru setelah itu kita buat sama-sama lagi. Okay?” timpal Langlang. “Gambarnya?” Langlang menyerahkan kertas HVS yang sejak tadi ia oret-oret dengan pensil. Di atas kertas HVS itu terdapat sketsa anak-anak yang sedang bermain di kafe tersebut dalam tiga desain yang berbeda. “Sebagai hadiah Om kasih ini buat Shindu. Nanti bisa dipajang pakai pigura. Shindu suka?” Langlang juga memberikanya pada Salma dan Selwa yang langsung dihadiahi kedua gadis kembar itu dengan ekspresi suka cita dan bahagia. “Om nanti gambarin lagi, ya. Tapi pakai pensil warna. Biar lebih cerah,” cicit Selwa dan Salma bergantian. “Okay! Nanti kita main-main lagi kalau Om tidak sibuk, ya? Sekarang kalian pulang dulu, ya?” sahut Langlang sekali lagi dengan nada membujuk. Ketiganya segera mengangguk patuh lantas masuk ke dalam mobil bersama pengawal sementara Langlang dan Pahlewa juga pulang ke apartemen mereka. Sayangnya, begitu Savira melihat gambar dan origami yang ditunjukkan Shindu padanya, entah kenapa wanita itu mendadak kesal lalu mendatangi apartemen Langlang dalam keadaan marah. “Vira?” Langlang terkejut ketika mendapati Savira yang datang ke apartemennya. “Masuk, Vira.” Senyum pria itu membucah senang. “Apa mau kamu sebenarnya?” ketusnya alih-alih menjawab ajakan Langlang untuk masuk. “Mau Saya? Maksudnya?” Langlang tidak mengerti kenapa Savira datang dengan wajah ketus dan sinis padanya. “Tidak bisakah kamu tidak melibatkan Shindu dalam ambismu?” “Ambisi? Ambisi apa? Vira, saya sungguh nggak mengerti. Kita bicara di dalam, ya?” bujuk Langlang mempersilakan Savira masuk dengan membukakan pintu apartemennya lebar-lebar. Namun Savira bergeming. Sorot matanya masih tajam dan terlihat marah. Dan Langlang sungguh tidak tahu apa salahnya. “Tolong jangan manfaatkan kepolosan Shindu hanya untuk keinginan kamu.” “Vira, saya sungguh nggak mengerti. Kamu bicara apa.” Savira benar-benar kesal. Namun ia juga tidak ingin marah-marah di tempat apalagi kalau sampai tetangga unit apartemen Langlang lainnya mendengar dan terganggu. “Tolong, jangan temui saya atau Shindu lagi. Jangan ganggu hidup kami.” Selain tak mengerti dengan permintaan Savira, Langlang juga tak suka dengan keinginan yang diucapkan wanita itu. “Kenapa?” Langlang menahan pergelangan tangan Savira, mencengkramnya dengan cukup kuat. “Kenapa, Vira?” ulangnya membuat deru napas Savira terlihat semakin menggebu. Tanpa banyak kata, Savira dengan impulsiya lagi membuka pintu apartemen Langlang dan membawa pria itu masuk ke dalam sana. Savira menarik lalu mendorong tubuh Langlang hingga teruduk di sofa sementara ia sendiri mulai melepaskan kancing baju yang dikenakannya. “Ini yang kamu mau ‘kan?” desisnya sambil menatap Langlang tajam. Yang ditatap jelas makin dibuat bingung dan tidak mau sampai Savira melepaskan pakaian di hadapannya seperti itu. “Kamu apa-apaan, Vira?” Langlang menahan tangan Savira yang sudah akan melepas kancing bajunya yang tinggal beberapa saja. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Tubuhku?” tajamnya. Bola mata Langlang membeliak. “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Memangnya apa yang sudah saya lakukan sampai kamu berpikir seperti itu, hah?” emosi Langlang lolos. Savira tidak percaya pada cinta pandangan pertama. Karenanya ia yakin ketertarikan Langlang hanya didasari kesukaan pria itu pada pisiknya. Savira yakin, apa yang dilakukan Langlang pada Shindu adalah salah satu cara pria itu untuk membuatnya terjerat. Karenanya Savira kini menantang Langlang yang justru terlihat marah dengan apa yang dilakukannya. “Kamu sengaja ‘kan membuat Shindu menykai kamu.” “Untuk apa?” “Supaya kamu lebih mudah mendapatkan saya?” Langlang melongo tak percaya. “Vira… saya –“ Savira mendengus sinis. “Benar kan? Semua laki-laki sama. Hanya butuh pemuas saja.” Langlang kehilangan kata-kata. “Kamu jahat! Kamu jahat! Kenapa harus melibatkan Shindu. Dia cuma anak-anak.” Savira mulai menangis sambil memukuli d**a Langlang. “Nggak seperti itu Vira!” Langlang menahan kedua lengan Savira yang memukulinya. “Saya nggak seperti yang kamu pikirkan, Savira. Saya menyukai Shindu karena memang dia anak yang baik. Bukan untuk menjerat kamu,” terangnya. “Bohong! Kamu suka ‘kan menjerat saya melalui Shindu karena kamu tahu Shindu adalah kelemahan saya.” “Apa buktinya?” “Buktinya kamu menikmati ciuman kita malam itu.” Langlang mendengus sinis. “Kamu yang mulai kalau lupa. Dan saya… salah kah saya menerima ciuman dari wanita yang saya sukai?” Savira menatap Langlang tak percaya. “Vira, saya suka sama kamu. Jujur, awalnya saya tertarik karena kamu yang cantik saat kita pertama kali bertemu di rumah sakit. “Ya… saya akui saya sedang patah hati saat itu. Dan saya mencari pelarian untuk perasaan yang mematahkan hati saya. Tapi Vira… saat ini saya sungguh-sungguh. “Setelah kita sering bertemu bahkan melewati sebuah penculikan dan saya semakin banyak mengetahui hal-hal lain tentang kamu dan Shindu, saya benar-benar ingin bisa masuk ke dalam hidup kamu.” “Kamu…” Savira menatap Langlang dengan kata-kata yang tercekat. “Saya suka kamu, Vira. Tidak bisa kah kamu memberi saya kesempatan untuk membuat kamu menyukai saya juga?” Tatapan yang saling menyelam begitu dalam membuat Savira serasa tenggelam di kedalaman hatinya. Savira tidak menemukan hal yang membuatnya yakin akan kebohongan yang sedang dimainkan Langlang. Sebaliknya, Savira justru mendapati perasaannya rumit seiring detak jantungnya yang berdentam-dentam riang saat Langlang menatapnya dengan sungguh-sungguh sambil mengungkapkan perasaannya. Sebelah telapak tangan Langlang lantas terulur dan menyentuh pipi Savira. Sementara sebelahnya lagi menarik pinggang Savira agar tubuh mereka melekat satu sama lain. Langlang tersenyum manis sambil berkata, “Saya rindu kamu, Vira.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD