Tidak pernah Janice kira jika hari dimana ia akan mengucapkan janji suci pernikahan justru menjadi awal dari semua kisah kehancuran hidupnya yang selama ini memang sudah ia hacurkan sendiri.
Disaat orang lain akan tersenyum di hari pernikahan mereka, bahkan juga ada yang menangis bahagia, semua itu tidak berlaku bagi Janice yang tidak bisa menangis, bahkan tersenyum sekalipun. Jika Janice tersenyum, rasanya ia seakan menyambut hari-hari dimana dia akan dihukum seumur hidupnya. Lalu sebaliknya, sepertinya sangat terlambat bila baru saat ini Janice menangis, seharusnya ia sudah menangis sejak dua minggu lalu, saat Julian memintanya—memaksanya— untuk menikah.
Lagipula Janice juga tidak mungkin menangis di hadapan ribuan tamu yang menghadiri pesta pernikahannya.
“Julian, aku bosan..”
Gerutuan Callista yang berdiri di samping Julian menarik perhatian Janice.
“Kau bisa istirahat jika memang bosan.” Julian langsung memberikan respon.
Tidak seperti saat berbicara dengan Janice, dimana mata pria itu selalu menunjukkan keengganan, bahkan lebih sering melirik dengan sinis, perlakuan Julian kepada Callista sangat lembut dan manis. Seakan pria itu ingin menunjukkan kepada semua orang jika dia lebih peduli kepada Callista dibandingkan pengantin wanitanya sendiri.
Namun sejak awal Janice sudah mengetahui konsekuensi atas keputusannya untuk menerima pinangan Julian, oleh sebab itu dia juga harus mulai membiasakan diri dengan semua rasa sakit yang harus ia terima karena menjadi istri dari pria itu. Bahkan Janice harus menutup mata dan telinganya ketika melihat Julian jauh lebih akrab dengan kakaknya dibandingkan dirinya.
“Sampai kapan kau akan tetap berdiri di sini? Kurasa kau hanya membuang-buang uang dengan mengadakan pernikahan semeriah ini.” Callista memutar bola matanya, tidak lupa memberikan senyuman mengejek ke arah Janice yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan sengaja.
“Aku hanya menikah sekali, jadi kurasa ini tidak berlebihan.” Julian mengendikkan bahunya.
Jawaban tersebut membuat Janice merasa tercekat. Entah ia senang atau malah merasa miris karena jawaban Julian seakan menekankan jika hanya Janice satu-satunya wanita yang akan menjadi istrinya.
Namun Janice lupa jika posisi istri bukanlah yang paling penting, sebab sampai kapanpun Janice hanya akan menjadi istri yang tidak dianggap. Lupakan semua khayalan tentang pernikahan indah yang harmonis dengan satu atau dua anak yang lucu. Tidak, Janice dan Julian tidak akan menjalani pernikahan yang demikian. Bahkan mungkin Julian jauh lebih memilih untuk mempunyai anak dari wanita lain. Mungkin dengan Callista, atau mungkin juga dengan yang lainnya.
“Jadi kau tidak memiliki rencana untuk menikah denganku?” Callista bertanya dengan suara pelan, menyerupai bisikan. Tapi tentu saja kakaknya itu mengatur suaranya agar Janice masih bisa mendengar dengan jelas.
Di samping Callista, ayah dan ibunya duduk dengan tenang karena sejak tadi mereka tidak mendengar pembicaraan Callista dan Julian.
Ya, ibunya datang. Sebuah keajaiban yang akhirnya berhasil membuat Janice melengkungkan bibirnya, karena merasa bahagia. Sumpah wanita itu tentang membuat Janice celaka jika ia dipaksa datang, ternyata tidak benar-benar terjadi. Yang pertama ibunya datang ke acara pernikahannya, dan yang kedua… tidak ada kecelakaan yang terjadi. Janice tidak celaka dan pestanya tetap berjalan dengan lancar.
Sepertinya itu hanya sumpah yang dikatakan karena ibunya merasa terkejut… mungkin juga sedikit marah karena Julian secara tiba-tiba melamar Janice padahal selama ini ia menjalin hubungan dengan Callista. Ah, sepertinya sudah sejak lama ibunya mengetahui hubungan asmara antara Callista dan Julian. Wajar jika ia terkejut saat Julian memilih untuk melamar putrinya yang lain, seorang putri yang sudah dilupakan dari posisinya. Bahkan mungkin sudah dianggap tiada sejak lama.
“Apakah kau ingin menikah?”
Tanpa Janice duga, Julian menanggapi pertanyaan Callista mengenai pandangannya tentang pernikahan.
Oh, Janice merasa jika ia menjadi pemeran figuran di hari pernikahannya sendiri.
“Bukankah seharusnya kita tidak membahas rencana kita di hari pernikahanmu?” Callista tertawa, tampak ingin mengejek Janice yang sejak tadi hanya berdiri dengan kaku di samping Julian.
“Persetan dengan semua ini.”
Janice menghembuskan napasnya dengan pelan. Persetan, ya? Sejak awal Janice tahu jika pernikahan ini adalah permainan yang sengaja diciptakan oleh Julian untuk membalaskan dendamnya, tapi mendengarkan Julian menegaskan ulang arti pernikahan mereka membuat hati Janice berdenyut nyeri.
Ternyata ia belum sepenuhnya menerima jika… jika hidupnya akan dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa sakit tanpa batas.
“Kau mendengar itu, Janice? Kuharap sekarang kau tahu dimana posisimu.” Callista menatap Janice dengan tajam, seakan ia kesal dan jijik dengan adiknya sendiri.
Janice telah berikrar pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melawan. Dia akan tetap diam, mendengarkan semua kalimat menyakitkan dan menerima setiap pembalasan yang sengaja dilancarkan kepadanya.
Jadi ketika mendengarkan ucapan Callista, Janice hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya dengan tenang.
“Kau terlihat sangat menyedihkan.” Komentar Callista sambil memutar bola matanya.
Bukankah selama ini Janice memang sangat menyedihkan? Ia melakukan kesalahan bodoh yang akhirnya membawa hidupnya menuju kesengsaraan dan hukuman tanpa akhir yang jelas.
“Sudahlah, Callista.” Julian menarik Callista.
“Aku hanya ingin menunjukkan posisinya.” Callista memprotes.
Sekalipun hari dan tahun telah berganti, sifat Callista tidak akan pernah berubah. Sebab sejak dulu, tidak ada yang bisa menghentikan apa yang ingin Callista lakukan.
Namun melihat Callista melangkahkan kakinya dengan kesal menuju ke bawah pelaminan membuat Janice tertegun sesaat.
Jadi… hanya Julian yang bisa membuat Callista luluh?
***
“Selamat atas pernikahan kalian. Aku sungguh berpikir jika Julian tidak akan pernah menikah karena selama ini aku tidak pernah melihatnya dekat dengan wanita manapun. Tapi dia berhasil menaklukkan hatimu. Dia pasti sangat beruntung karena memilikimu.” Seorang pria paruh baya datang bersama dengan istrinya dan berusaha mengobrol dengan Janice dan Julian yang baru saja turun dari pelaminan untuk menyambut beberapa orang tamu yang kebanyakan berasal dari kerabat dan teman dekat. Mereka sengaja diundang untuk datang di malam hari agar bisa mendapatkan privat time untuk mengobrol bersama.
Dan malam ini pakaian Janice telah berganti dengan gaun sederhana berlengan spaghetti berwarna putih dengan aksen renda dan payet berwarna baby blue yang tampak memudar dan menyatu dengan warna kulitnya. Tidak lupa, kepalanya juga masih berhiaskan headpiece kecil yang menempel di rambut bagian kiri. Karena pesta malam ini mengusung teman intimate wedding yang hanya dihadiri oleh kerabat terdekat saja, seorang penata rambut sengaja membuat rambut Janice terurai setelah melakukan beberapa styling dengan membuat ujung rambutnya bergelombang layaknya ombak laut. Terlihat sangat indah sehingga Janice sempat mengambil gambar rambutnya menggunakan ponsel dengan bantuan penata rambutnya sendiri.
“Terima kasih karena sudah datang ke pernikahan kami. Suatu kehormatan karena anda turut menjadi bagian dari hari bahagia ini.” Julian menjawab dengan tenang, terlihat ramah karena pria itu sempat tersenyum di akhir kalimatnya. Bukan tipe senyuman lebar seperti yang biasanya dilakukan oleh seorang pengantin, itu hanya senyuman formal yang sengaja ditunjukkan untuk kesopanan.
“Tentu saja aku akan datang, Julian. Kau putra dari teman bisnisku. Aku yakin ayahmu bangga pada pencapaianmu.”
Janice mendengarkan percakapan mereka dengan tenang. Ternyata yang datang di pesta malam ini bukan hanya kerabat, tapi juga teman bisnis Julian yang sudah akrab dengannya.
“Pengantinmu sangat cantik, wajar saja jika dia berhasil mendapatkanmu.” Istri dari pria itu mengomentari penampilan Janice sambil menatapnya naik turun seakan sedang menilainya.
Janice merasa tidak nyaman, tapi akhirnya ia menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih.
“Dia memang cantik.”
Pipi Janice memanas seketik. Dia menelan saliva berulang kali untuk menetralisir perasaan gugup yang langsung memenuhi hatinya ketika mendengarkan pujian Julian.
Pria itu hanya sedang berbasa-basi dengan rekan bisnisnya, seharusnya Janice sadar dan menghentikan sikap konyolnya.
“Tapi kakaknya jauh lebih cantik. Orang normal jelas lebih memilih Callista yang memiliki bobot lebih baik, tapi kurasa aku bukan orang normal. Aku memilih untuk menikahinya.” Lanjut Julian dengan tenang.
Janice menolehkan kepala dengan dramatis. Julian… sungguh mengatakan kalimat tersebut?
Kedua tangan Janice terkepal dengan erat. Ia ingin memprotes Julian karena pria itu sedang mengejeknya secara terang-terangan di hadapan orang lain, tapi tentu saja Janice tidak mampu melawan Julian. Janice tidak bisa menyangkal fakta bahwa apa yang dikatakan oleh Julian adalah benar. Benar… Callista jauh lebih baik dari Janice. Tapi bukankah Julian sendiri yang memilih untuk menikahinya?
“Ah, benar. Callista memang sangat cantik. Dia juga seorang model yang sukses, karirnya terus menanjak akhir-akhir ini tapi kudengar dia juga mulai belajar mengurus perusahaan ayahnya.”
“Ya, dia memang wanita yang tidak kenal lelah. Dia sering belajar padaku, dan tentu saja aku tidak keberatan untuk mengajarinya. Tidak ada yang merasa keberatan jika dimintai bantuan oleh wanita cantik.” Julian tersenyum di akhir kalimatnya. Menegaskan jika pria itu selalu bahagia dan antusias jika membicarakan mengenai Callista.
Dan ya, lagi-lagi Janice kembali diabaikan.
Sepertinya Callista memang selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik dalam segala acara. Bahkan saat acara pernikahan Janice dan Julian sekalipun, Callista tetap menjadi topik utama yang dibicarakan oleh semua orang, seakan wanita itu adalah dewi kecantikan dengan segudang prestasi dan juga bakat mengangumkan. Dan sialnya, semua yang mereka bicarakan tentang Callista memang benar. Kakaknya itu adalah bintang utama dalam setiap momen kehidupan Janice.
“Benar, Callista memang sangat cantik. Beberapa orang justru mengatakan jika kau dekat dengan Callista. Oleh sebab itu semuanya terkejut ketika melihat nama Janice di undangan pernikahan. Sepertinya tidak ada yang tahu jika Callista memiliki adik.” Pria tersebut tertawa geli.
Sebenarnya dia tidak sedang menertawakan Janice, tapi entah kenapa Janice merasa diejek oleh tawa tersebut. Seakan ada yang mengatakan jika dia tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal oleh siapapun.
“Hei, tidak ada yang mengenalmu! Kau terlalu menyedihkan!” Begitulah yang Janice dengar dari tawa tersebut.
Sinar Callista yang terlalu berkilau hingga membuat Janice tidak terlihat.
“Janice memang tidak secantik kakaknya karena selama ini ia sibuk mengurus toko bunga miliknya.” Julian menjawab dengan tenang.
Janice menaikkan sebelah alisnya, cukup terkejut ketika mendengar ucapan Julian. Jadi pria itu tahu pekerjaannya?
“Oh, jadi dia bekerja sebagai penjual bunga?”
Janice meringis, ia ingin membenarkan persepsi pria itu yang sedikit salah. “Aku memiliki toko bunga yang—”
“Ya, begitulah. Cita-citanya memang sedikit konyol.” Potong Julian sambil tertawa pelan.
Janice tertegun. Konyol?
“Kau memilih istri yang sedikit nyentrik, Julian. Kami berpikir jika kau akan menikah dengan seorang wanita karir yang memiliki pekerjaan seperti dirimu.”
Janice menunggu jawaban Julian dengan sabar. Pria itu menatapnya sekilas, menyematkan senyuman mengejek di ujung bibirnya seakan memperingatkan Janice untuk bersiap mendengarkan jawaban tak terduga lainnya.
Setelah semua jawaban yang diberikan oleh pria itu, apa yang bisa Janice harapkan? Julian pasti memberikan jawaban yang serupa. Kalimat ejekan yang seakan menunjukkan nilai Janice di mata pria itu. Dan sayangnya, Janice tidak memiliki nilai apapun. Janice sangat tidak berharga..
“Secara teori, iya. Aku ingin menikah dengan wanita semacam itu. Tapi disinilah kalian sekarang, di pesta pernikahanku.”
Benar, jawaban itu terdengar seperti sebuah penyesalan. Seakan Julian terpaksa menikah dengan Janice karena ia tidak memiliki pilihan lain.
Oh sungguh, bukankah Julian yang memintanya untuk menerima pinangan pria itu? Bukankah Julian yang memaksanya?
Terlepas dari tujuan balas dendam, pada kenyataannya Janice tidak pernah memohon untuk dinikahi. Bahkan ia mengubur perasaannya dalam-dalam dan melupakan semua mimpi indah yang telah ia miliki sejak kecil. Tentang betapa besar rasa kagumnya kepada Julian. Perasaan seorang anak remaja yang perlahan mulai berubah menjadi rasa cinta seiring dengan berjalannya waktu. Lalu secara tiba-tiba diminta untuk memadamkan perasaan itu karena sebuah penolakan besar dan rasa kecewa yang harus ia tanggung sendirian.
Mengingat apa yang terjadi selama ini hanya membuat Janice semakin bersedih.
Di hari bahagianya, di hari pernikahannya sendiri, entah sudah berapa kali Janice menahan air matanya.
***
“Julian..”
Setelah hampir 12 jam berlalu sejak mereka mengucapkan janji pernikahan, ini adalah kali pertama Janice memanggil nama pria itu.
Dan Janice sudah mengumpulkan keberanian sejak 15 menit yang lalu hanya untuk menyebut nama suaminya sendiri.
“Ya?” Julian menyahut dengan sinis.
Benar-benar respon yang berbeda mengingat beberapa saat yang lalu ia bisa berbicara dengan ramah kepada semua kerabat dan kenalannya.
“Apakah acara ini masih lama?” Tanya Janice.
Matanya mulai berat, begitu juga punggungnya yang nyeri karena harus berdiri dengan sepatu hak tinggi sejak pukul sepuluh pagi hingga sepuluh malam. Belum lagi tangannya yang mulai kram karena harus bersalaman dengan ribuan tamu undangan.
“Ada apa?” Julian menolehkan kepalanya dengan tiba-tiba.
Janice langsung menegakkan punggungnya, tidak ingin terlihat terlalu menyedihkan ketika Julian menatapnya.
“Aku merasa ingin buang air kecil.” Cicit Janice dengan pelan.
“Kau memang sangat menyedihkan. Ini pesta pernikahanmu, bisakah kau tidak membuat masalah malam ini?”
Janice kembali tertegun. Masalahnya pesta ini tidak terasa seperti persta pernikahannya.
Bahkan mungkin tidak akan ada orang yang sadar jika Janice menghilang karena mereka terlalu sibuk berbicara dengan Callista.
Semua tamunya tampak mengagumi Callista dan selalu mengikuti kemanapun wanita itu pergi seperti bebek yang mencari induknya.
“Tapi aku benar-benar tidak bisa menahan lagi.” Janice meringis.
Julian memperhatikannya sejenak lalu pria itu mendengus dengan pelan.
“Ya sudah, pergilah. Aku akan mengurus semua orang yang menanyakanmu.”
Janice menganggukkan kepalanya. “Lagipula kurasa tidak akan ada yang mencariku.” Katanya dengan pelan.
Julian melirik Janice lewat ekor matanya.
“Benar, memang tidak ada yang mencarimu. Jadi, lebih baik kau tidak perlu kembali lagi ke sini. Pesta akan segera berakhir. Kau bisa istirahat di kamarmu.” Julian menyerahkan kartu kunci kamar hotel kepada Janice.
Janice menatap benda itu dengan kebingungan. Tapi akhirnya menerima dengan sedikit ragu karena Julian tampak kesal ketika melihatnya terlalu banyak berpikir.
“Tidak perlu menungguku. Aku akan menginap di kamar Callista.”
Janice pikir tidak akan ada ucapan yang lebih menyakitkan dari semua kalimat yang telah ia dengar. Tapi ternyata Julian masih memiliki satu kalimat terakhir..
Dan kata orang, yang terakhir adalah yang paling menyakitkan.
Benar, rasanya Janice ingin meneteskan air matanya saat ini juga. Bahkan ia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Julian, padahal sejak tadi pria itu terlihat enggan menatapnya.
Oh Tuhan, kenapa hatinya masih terasa sakit padahal Janice sudah terbiasa dengan semua luka dan rasa sakit? Kenapa sulit sekali mengabaikan fakta bahwa Julian lebih memilih Callista? Seharusnya ia sudah terbiasa karena sejak kecil Callista memang selalu mendapatkan perhatian yang lebih banyak. Semua orang jelas lebih memilih Callista dan selama ini Janice merasa biasa saja dengan fakta tersebut. Namun ketika mendengar bahwa suaminya lebih memilih menginap bersama dengan Callista di malam pernikahan mereka, kenapa Janice masih merasa sesak? Kenapa rasanya sakit sekali?
“Pergilah, kau ingin buang air kecil, bukan?” Julian kembali menolehkan kepalanya.
Janice buru-buru mengalihkan tatapannya, tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang tampak hampir menangis di hadapan Julian.
“Kau menangis?”
Terlambat, Julian sudah melihat wajahnya yang menyedihkan.
“Kau menangis karena aku memilih menginap bersama Callista?” Julian tertawa pelan di akhir kalimatnya. “Apa yang kau harapkan? Aku tidak sudi tidur denganmu.”
Cukup sudah, semua ini terlalu menyakitkan untuk didengar.
Janice mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu ia bangkit berdiri dan meninggalkan Julian begitu saja.
Dalam langkahnya, berulang kali Janice mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak menangis. Betapa melalukannya jika ada yang melihat ia menangis dan berjalan sendirian di lorong hotel. Apalagi ini adalah hotel milik Julian, sehingga semua staff dan karyawan pasti tahu jika hari ini sedang ada pesta pernikahan meriah sang pemilik hotel. Jika ada wanita yang memakai gaun pengantin berjalan sambil menangis, maka akan tersebar gosip miring yang membuat nama Julian jadi tercemar.
Istri Julian, sang pemilik hotel mewah terlihat menangis sendirian sambil berjalan keluar dari ballroom menuju ke kamarnya.
Tidak, Janice tidak ingin nama Julian dijadikan perbincangan tentang hal yang buruk di hari pernikahan mereka.
Namun, menahan tangisan adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi saat ia kembali mengingat kalimat menyakitkan yang Julian katakan.
“Aku tidak sudi tidur denganmu”
Oh Tuhan, apakah Janice sanggup bertahan jika di hari pertama saja dia sudah sekacau ini?