Tangan Janice bergerak dengan pelan untuk menghalau sinar matahari. Sore ini ia kembali menghabiskan waktu bersama dengan Callista untuk melukis di halaman belakang rumah mereka. Beberapa pelayan sudah menyiapkan kanvas dan semua peralatan melukis sederhana yang dibutuhkan oleh seorang anak berusia 10 dan 15 tahun.
Callista, kakaknya itu sudah lebih dulu belajar melukis sejak dua tahun lalu. Janice selalu mengagumi hasil lukisan kakaknya, perempuan itu berhasil menjuarai beberapa perlombaan melukis yang diadakan di sekolahnya. Suatu saat nanti, saat ia mulai masuk SMU, maka Janice juga akan mengikuti perlombaan seperti kakaknya. Oleh sebab itu, sekarang ia giat berlatih demi bisa menghasilkan lukisan luar biasa seperti yang dibuat oleh Callista.
“Kurasa kau harus menambahkan warna merah di sana.” Janice menunjuk ke arah sebuah bunga yang digambar oleh kakaknya.
Jika dibandingkan dengan milik Janice, lukisan Callista jelas terlihat jauh lebih baik. Tapi ada sesuatu yang membuat pandangan Janice merasa terganggu, kakaknya itu selalu memberikan warna yang kurang mencolok pada setiap tumbuhan dan bunga-bunga yang ia gambar.
“Apakah ini lukisanmu?!” Callista meletakkan palet dan kuas flat berukuran kecil yang baru saja ia gunakan untuk menajamkan sudut objek gambarannya.
Janice berjengkit sesaat, lalu ia memundurkan kakinya.
“Lihat saja hasil lukisanmu yang menyedihkan itu. Seharusnya kau menambahkan banyak warna di sana!” Callista menatap hasil lukisan Janice dengan tatapan menyedihkan.
Janice menghembuskan napasnya dengan pelan. Well, Janice masih belajar, jadi wajar jika lukisannya tidak sebaik milik Callista. Lagipula, terlalu mustahil jika Janice bisa menyaingi hasil lukisan Callista yang begitu luar biasa. Sekalipun Janice sudah belajar selama bertahun-tahun sekalipun, ia yakin kemampuan Callista tidak akan pernah tertandingi.
“Hei, girls! Kalian sedang apa?”
Dua orang pemuda datang dari arah belakang, sehingga membuat Janice menolehkan kepalanya dengan antusias. Ia merasa senang karena akhirnya Jacob dan Julian mengunjungi rumah mereka.
Biar Janice jelaskan, orang tua Janice dan Callista mengenal orang tua Jacob dan Julian sehingga akhirnya mereka sering bertemu dibeberapa acara bisnis ayahnya dan menjadi semakin dekat karena sering berkunjung satu sama lain. Yang menarik adalah Jacob merupakan teman sekolah Callista sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar, sementara Julian, ia satu tahun lebih tua dari Jacob dan Callista. Diantara mereka, Janice adalah yang paling muda. Perbedaan usia mereka kerap kali membuat Janice tidak bisa mengikuti pembicaraan ataupun permainan yang mereka lakukan.
“Jacob, bagaimana hasil lukisanku? Aku merasa gugup karena sudah lama tidak mengikuti perlombaan. Kira-kira, bisakah aku memenangkan perlombaan kali ini?” Callista bergelayut di lengan Jacob.
Callista lebih dekat dengan Jacob dibandingkan Julian, mungkin karena mereka seumuran dan bersekolah di tempat yang sama. Mungkin juga karena Jacob lebih talkative dibandingkan Julian yang selalu sibuk dengan bukunya. Julian sangat pendiam, ia jarang berbicara dan hanya akan mengekor kemanapun Jacob pergi. Jangankan Janice, Callista saja terlihat segan dengannya padahal mereka hanya berbeda usia satu tahun.
“Bagus. Kau selalu menghasilkan lukisan yang bagus.” Komentar Jacob sambil menggerakkan tangannya untuk menyentuh sudut lukisan Callista yang mulai mengering.
“Hanya bagus? Oh, kupikir kau akan memuji lukisanku.” Callista melepaskan rangkulannya dan berjalan menjauh dari Jacob dengan wajah murung.
Beberapa teman sekolah Janice mengatakan jika Jacob dan Callista berpacaran.
Secara umum, Janice, Callista, Jacob, dan Julian bersekolah di tempat yang sama. Sekolah mereka memiliki layanan elementary school, high school, dan senior high school di satu lokasi yang sama. Oleh sebab itu Janice dan teman-temannya sering melihat Callista dan Jacob di beberapa lokasi sekolah.
“Kau selalu membuat lukisan yang sangat bagus, Callista. Jangan merasa tidak percaya diri, kapanpun kau mengikuti perlombaan, aku yakin kau akan menang.” Jacob kembali berbicara, kali ini dengan kalimat panjang karena ia tidak ingin membuat Callista semakin kesal.
“Baiklah, bagaimana jika melihat koleksi lukisanku yang lain? Kau bisa memberikan komentar agar aku merasa lebih percaya diri.” Callista kembali ceria, kini ia mulai menarik tangan Jacob untuk masuk ke dalam rumah dan melihat koleksi lukisan Callista di gallery kecil yang yang sengaja dibangun untuk menyimpan lukisan mereka. Ya, mereka, Janice dan Callista. Tapi untuk saat ini, ruangan tersebut hanya didominasi oleh lukisan Callista.
“Sure.” Jacob menjawab dengan senang hati. “Julian, ayo ikut melihat hasil lukisan Callista.”
Julian mengangkat buku yang ada di tangannya lalu menjawab dengan tenang. “Aku akan menunggu di sini.”
“Oh ayolah, kenapa kau terlalu sibuk dengan buku itu? Ujian kelas 12 masih lama.” Callista berbalik dan menarik tangan Julian.
Satu informasi menarik yang Janice lewatkan di dalam penjelasannya tentang Julian adalah fakta bahwa pemuda itu akan lulus lebih cepat dari teman-teman sebayanya karena Julian berhasil menembus program akselerasi.
“Aku ingin belajar.” Julian menjawab sambil menaikkan alisnya.
Janice merasa penasaran, oleh sebab itu ia mendekati Julian dengan takut-takut dan mengintip isi bacaan pemuda tersebut.
“Baiklah, biarkan dia belajar, Callista. Jangan mengganggu kakakku atau kau ingin membuatku sengsara sepanjang hari karena ia merasa kesal.” Jacob menghentikan Callista yang masih merengek dan mencoba membujuk Julian.
“Hidupmu sangat membosankan. Kuharap kau sadar jika menjadi pintar tidak akan mengubah apapun. Kita ditakdirkan untuk mewarisi perusahaan apa pun yang terjadi.” Callista mengendikkan bahunya dan berjalan meninggalkan Julian.
Janice mendengar banyak hal tentang pewaris perusahaan keluarga. Menurut teman-temannya, seorang pewaris adalah anak laki-laki tertua di keluarga tersebut, dia akan mengurus perusahaan keluarga setelah ayahnya pensiun. Namun karena orang tua Janice tidak memiliki anak laki-laki, sepertinya Callista yang akan menjadi pewaris. Ya, bagaimanapun juga Callista lebih tua darinya, kakaknya itu juga lebih hebat dan tentu saja lebih pandai.
“Well, itu adalah aturan keluargamu. Tidak sama dengan keluargaku.” Kata Julian.
Callista menyipitkan matanya.
Sudah menjadi hal biasa jika Callista merasa kesal saat seseorang tidak mengikuti apa yang ia inginkan.
“Ayolah, Callista.”
Menyadari jika keadaan akan semakin memburuk, Jacob memilih untuk menarik tangan Callista dan memaksanya masuk ke dalam rumah.
Namun saat berada di ambang pintu, Jacob kembali menolehkan kepalanya. “Janice? Kau tidak ikut dengan kami?”
Akhirnya ada seseorang yang menyadari keberadaannya. Janice kira sejak tadi ia bagai makhluk astral yang tak kasat mata.
Sejujurnya, Janice sangat ingin ikut dengan Jacob dan Callista karena biasanya ia tidak bisa masuk ke gallery dengan sembarangan. Callista yang memegang kunci ruangan itu karena ia tidak suka melihat orang lain masuk dan melihat lukisannya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk. Dan ya… Janice sudah lama tidak mengunjungi ruangan tersebut.
Namun ketika melihat tatapan Callista yang penuh rasa kesal, akhirnya Janice mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menggelengkan kepalanya.
“Tidak, aku ingin di sini saja.”
Setelah itu janice terdiam dan menatap lukisannya lamat-lamat. Sekalipun tidak ada yang memperhatikan hasil karyanya, janice tetap berbangga diri karena akhirnya ia berhasil menyelesaikan lukisan miliknya.
Tidak masalah jika tidak ada yang memberikan apresiasi, Janice sudah terbiasa tersingkir oleh kilau dan kemampuan kakaknya.
“Lukisanmu bagus.” Komentar Julian dengan cuek.
Janice menolehkan kepalanya dengan dramatis.
“Benarkah?” Tanyanya, ia tidak bisa menutupi raut antusias yang tergambar dengan jelas.
“Ya.”
Janice tersenyum lebar. Ini adalah kali pertama ada orang lain—selain kedua orang tuanya— yang memberikan nilai baik pada hasil lukisannya.
“Terima kasih.” Sisa senyuman masih tampak dengan jelas ketika ia berbicara pada Julian.
Tidak ada reaksi apapun dari pemuda itu. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya lalu kembali fokus pada buku di pangkuannya.
Sejak saat itu, pandangan Janice terhadap Julian mulai berubah secara perlahan. Ia bukan lagi anak kecil yang ingin bermain dengan teman kakaknya, tapi ada perasaan lain yang timbul setiap kali ia dekat dengan Julian. Senang. Itulah yang Janice rasakan.
Ternyata Julian tidak seburuk yang ia kira.
***
Janice terbangun dari tidurnya ketika mendengarkan suara alarm yang berdering dengan cukup nyaring. Kepalanya langsung berdenyut nyeri ketika menyadari jika ia baru saja tertidur di atas meja, bukan di ranjangnya.
Seketika ia mengingat jika semalam Janice sibuk mengurusi proses pemesanan bunga di tokonya yang sulit mendapatkan suplay dari beberapa perkebunan bunga. Entah ini hanya perasaan Janice saja atau memang semua perkebunan sengaja menolak pesanannya.
Namun Janice tidak ingin semakin berlarut di dalam kecurigaannya. Semalam, setelah bersusah payah menemukan suplier baru, akhirnya Janice menemukan satu perkebunan yang mau menjadi pemasoknya. Harga bunga di sana memang jauh lebih mahal, tapi Janice tidak memiliki pilihan lain. Tentu saja dia tidak ingin melihat toko bunganya kehabisan persediaan bunga.
Setelah mandi dan merias wajahnya dengan make up tipis, Janice bersiap untuk berangkat ke toko bunga. Sekalipun sangat terlambat, Janice memutuskan untuk tetap datang. Apa kata orang jika Janice tidak datang ke toko sementara semua karyawannya bekerja keras dari pagi hingga malam?
Suara bel pintu apartemen terdengar tepat saat Janice akan membuka pintu tersebut.
Karena sudah berada di depan pintu, Janice memutuskan untuk langsung membukanya tanpa melihat dari layar interkom yang terletak di tembok dekat ruang tengah, berjarak sekitar 4 langkah dari tempatnya berdiri.
Janice mengernyitkan dahi ketika melihat seorang wanita berdiri membelakanginya. Sekalipun dari belakang, Janice tahu siapa yang datang mengunjungi apartemennya. Bagaimana mungkin Janice bisa lupa pada satu sosok yang sangat ia rindukan? Sangat… ia… rindukan.
“Mama?”
Janice hampir saja menjatuhkan ponsel dan juga kunci mobil yang ada di kedua tangannya.
Tubuhnya sampai bergetar karena merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
Ibunya… datang menemuinya?
Apakah Janice sedang bermimpi? Janice menggelengkan kepalanya dengan bodoh. Tentu saja dia tidak sedang bermimpi karena Janice ingat jika beberapa menit yang lalu ia baru saja bangun karena suara alarm ponselnya.
Tanpa mengatakan apapun, ibunya masuk ke dalam apartemen Janice lalu duduk di ruang tengah dengan gesture kaku seakan wanita itu merasa tidak nyaman.
Janice tersenyum, mencoba untuk terlihat akrab dengan ibunya.
“Aku akan membuatkan teh untuk Mama. Kuharap Mama tidak—”
“Tidak perlu.” Ibunya memotong dengan cepat.
Janice mengerjapkan matanya lalu ia memutuskan untuk keluar dari dapur karena tampaknya ibunya benar-benar tidak ingin meminum teh buatanya.
Tidak masalah, mungkin sekarang kebiasaan ibunya sudah berubah. Wanita itu tidak lagi meminum teh di pagi hari.
“Batalkan pernikahamu dengan Julian.”
Tanpa mau repot-repot menatap Janice, ibunya menyodorkan sebuah foto yang menunjukkan jika Callista sedang berada di sebuah tempat wisata bersama dengan Julian, tunangannya. Tampaknya mereka sudah sampai di Jepang dan sedang menikmati liburan bersama. Benar-benar foto yang indah seandainya saja bukan Julian yang ada di foto tersebut, sebab pria itu berstatus sebagai tunangannya, bukan pasangan Callista.
“Mama tahu jika Callista dan Julian… sedang bersama?” Janice membalik lembaran foto tersebut, ia tidak ingin semakin menyakiti hatinya sendiri karena memaksa untuk tetap menatap foto dimana kakak kandungnya dan tunangannya berpose layaknya pasangan yang sedang melakukan liburan romantis.
“Apa perlu kau mendengar penjelasan dari orang lain? Dengan melihat foto ini, kau seharusnya sudah bisa membuat kesimpulan sendiri.” Ibunya menatap dengan sinis.
Janice memejamkan matanya. Berusaha keras untuk mengingat hal-hal indah di dalam hidupnya untuk menahan laju air matanya. Kata orang, kenangan indah bisa membuat kita mengalihkan perhatian dari hati yang sedang terluka. Namun sayangnya, hampir semua kenangan indah yang Janice ingat, terdapat Julian di dalamnya. Pria itu selalu menjadi bagian dari kehidupannya, yang melengkapi kebahagiaannya hingga lima tahun yang lalu, sebuah kejadian mengerikan terjadi dan membuat Janice kehilangan kebahagiaannya hingga saat ini.
“Aku… aku tidak tahu kenapa Mama repot-repot mendatangiku di pagi hari padahal aku tahu Mama sangat sibuk.”
“Tidak usah terlalu bertele-tele. Kita tidak perlu basa-basi, langsung pada intinya saja. Batalkan pernikahanmu.”
Janice menatap ibunya dengan pandangan terluka. Rasanya sungguh sulit dipercaya jika setelah membuat ultimatum bahwa ia tidak akan datang ke pernikahan putrinya, wanita itu masih tega mengatakan kalimat menyakitkan lainnya.
Apakah Janice harus membatalkan pernikahannya dengan Julian karena Callista menjalin hubungan dengan pria itu?
“Apa yang kau harapkan, Janice? Julian mencintai Callista, dia menikah denganmu hanya untuk membalaskan dendam kepadamu.”
Dan ternyata ibunya mengetahui alasan di balik pernikahannya dengan Julian. Wanita itu mengetahui segalanya, tapi ia tampak tidak peduli pada Janice. Dia hanya berusaha memperjuangan kebahagiaan Callista yang sekarang sedang belibur bersama dengan Julian. Hanya Callista, tidak ada nama Janice di dalam hati ibunya.
Kenyataan itu membuat Janice merasa terluka padahal seharusnya ia sudah terbiasa dengan kasih sayang dan perhatian ibunya yang lebih besar kepada Callista.
“Apakah ini semua karena Callista?” Tanya Janice.
Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan letupan emosi yang tiba-tiba saja menguasai hatinya.
Sudah bertahun-tahun Janice terbiasa untuk menahan dirinya. Dan kali ini ia juga akan melakukan hal yang sama.
“Julian mencintai Callista, kamu tidak bisa berada di antara mereka. Sampai kapanpun, kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Sempat ada tatapan sendu di mata ibunya, tapi wanita itu segera mengubah ekspresinya dan membuang muka, terlihat enggan menatap Janice.
Mendengar kalimat yang dikatakan oleh ibunya membuat Janice sadar betapa ia sangat menyayangi Callista dan juga peduli pada segala hal tentang kakaknya itu. Tapi kenapa ibunya tidak peduli dengan Janice?
Bahkan ibunya juga tahu jika selama ini Janice mencintai Julian. Tapi dia tetap meminta Janice untuk membatalkan pernikahannya.
“Ma, apakah Mama akan marah jika aku mengatakan bahwa aku memilih untuk tetap melanjutkan pernikahan ini?”
“Karena aku sangat mencintainya..” Dalam hatinya Janice melanjutkan kalimat itu diam-diam.
“Kau akan hidup di dalam kesengsaraan dan bersikap masa bodoh dengan hubungan suamimu dan kakakmu?”
Janice menganggukkan kepalanya dengan miris. Jika memang itu yang harus ia lakukan, maka sepertinya Janice harus mulai membiasakan diri dengan luka. Sebab sejak lima tahun terakhir, Janice sudah bersahabat dengan kekecewaan. Jadi mungkin tidak akan sulit untuk kembali menahan luka yang sama, hanya saja kali ini intensitasnya akan lebih bertambah.
“Ya.”
“Kau memang bodoh, Janice. Sejak dulu kau selalu bodoh. Tidak seperti Callista yang jauh lebih pandai darimu dalam segala hal.”
Ibunya bangkit berdiri lalu melangkahkan kakinya keluar dari apartemen Janice. Wanita itu tidak menolehkan kepalanya, juga tidak berpamitan ataupun memberikan senyum perpisahan. Ia hanya terus berjalan dengan mantap untuk meninggalkan Janice yang masih mematung sendirian.
Sejak dulu dia memang selalu kalah dari Callista. Kakaknya yang cantik, pandai, dan juga memiliki banyak bakat, tentu saja tidak layak jika dibandingkan dengan Janice yang selalu biasa-biasa saja dalam segala hal. Janice bukan saingan yang sesuai untuk Callista. Namun takdir membuat mereka terlahir sebagai saudara sehingga Janice harus menerima fakta bahwa seumur hidupnya, ia akan selalu dibayangi dengan perbandingan dan penilaian orang lain terhadap dirinya dan juga Callista.
Meskipun demikian, untuk yang kesekian kalinya Janice masih tidak menyangka jika ibunya akan mengatakan sebuah kalimat menyakitkan kepadanya. Dan seperti inilah kehidupan Janice yang sebenarnya. Orang hanya akan berbicara untuk memberikan luka dan membuatnya semakin menderita.
Mungkin jika Janice adalah orang normal, maka ia akan menghindari semua orang yang berpotensi melukai hatinya, tapi sayangnya Janice bukan orang normal. Dibandingkan menghindar, Janice lebih memilih untuk menerima semuanya.
Sebab Janice tahu, semua kalimat menyakitkan tersebut pantas ia terima karena kesalahan di masa lalunya.
Hukuman atas kesalahan tersebut masih belum usai sekalipun ia sudah menjalani hidup dalam kesengsaraan selama lima tahun terakhir.
Dan sepertinya… Janice masih harus menjalani hari-hari panjang untuk menjalani hukumannya.