Perempuan berwajah oval itu membuka kaca mobil, agar kedua matanya dapat melihat perempuan yang sudah binal dengan suaminya. Kelopak matanya melebar sampai bulu matanya dapat merekah dengan sempurna, tangannya refleks menutup mulutnya yang ternganga.
“I-itu, kan Emi? Gak mungkin, aku pasti salah orang.”
Tangannya berusaha untuk mengucek kedua bola matanya, tetapi hal itu sungguh di luar dugaannya yang memang benar gadis binal itu adalah Emi sahabatnya sendiri yang pernah bertemu di mantan tempat kerjanya dahulu.
“Astaghfirullah, itu beneran Emi?” Tangannya menepuk kursi pengemudi taksi online-nya. “Pak, ayo ikuti mobil mereka, Pak.”
“Baik, Neng.”
Hati yang tadinya begitu sakit dituduh mandul oleh mertuanya, kini ia harus merasakan hati bagai diremas-remas ditusuk seribu jarum dalam waktu yang bersamaan. Air mata Anissa sudah tidak bisa menggenang di dalam kelopak tipisnya, hingga akhirnya membasahi pipinya kembali di sore hari.
Mobil mewah hasil keringatnya semasa dirinya masih gadis, kini justru dinaiki oleh orang istimewa yang tak lain sahabatnya sendiri yang menikmati hasil jeri payahnya. Pengorbanan demi cintanya dengan Aris malah dibalas hal yang begitu menyakitkan hati dan beban pikiran Anissa.
Mas, kau tega sekali denganku dan kamu Emi kalian sudah mendua dibelakangku. Apa ini balasan kesabaranku selama ini, Mas? Kamu lupa Mas, dengan janji pernikahan kita apa pun yang terjadi tidak akan menyia-nyiakan kesetiaan yang sudah kita jaga selama ini.
Mobil Aris melaju menuju ke rumah Emi yang cukup jauh dari area perkampungan. Anissa pun harus tetap waspada jika sudah memasuki gang perkampungan rumah Emi sebab jika ia mengintimidasi akan mudah ketahuan mengingat jarak rumahnya yang begitu renggang.
“Aku harus mengikuti mereka,” gumam Anissa lalu membuka pintu mobil itu dengan hati-hati.
“Pak, tunggu di sini ya. Saya janji akan bayar dua kali lipat, kalau Bapak mau menunggu saya,” ujar Anissa sebelum menelusup ke rumah Emi.
“Siap, Neng.”
Perempuan itu pun memberikan selembar uang seratus ribu terlebih dahulu sebagai uang muka.
Kedua kaki itu melangkah demi langkah nyaris beralunan seperti deru napasnya yang semakin kencang. Anissa menarik napas dengan pelan, kedua matanya yang menutup seketika, dengan keberanian yang kuat ia melanjutkan langkahnya kembali.
Dia pun menuju ke samping kamar Emi yang harus rela menelusup lorong kecil yang berharap pikiran negatifnya jangan sampai terjadi.
“Mas Aris, kamu kapan mau nikahin aku?” tanya Emi dengan kedua tangannya sudah bergerilya untuk melepas dasi yang mengalung di kerah baju lelaki itu.
Kedua bola Anissa hampir melompat saat mendengar suara Emi yang mendayu-dayu manja, bahkan lebih parau saat dirinya merayu suaminya sendiri. Perempuan berwajah oval itu pun berusaha untuk mencari celah agar dapat melihat apa yang sedang mereka lakukan.
“Aku juga bingung, Em. Kamu tahu kan, aku gak mungkin menceraikan Anissa, dia itu cinta pertamaku,” sahut Aris yang membuat Emi tertunduk lesu saat menyebut nama sahabatnya.
Cinta pertama? Tapi, kenapa cinta itu rasanya hilang begitu saja, Mas! batin Anissa.
“Kamu kenapa sih, mau mempertahankan Anissa? Kamu dan ibumu kan pingin memiliki keturunan. Anissa itu tidak bisa memberikan kamu anak, aku tidak masalah jika aku harus menjadi yang kedua. Asal, kamu mau menikah denganku, Mas.” Emi menyentuh jambang tipis milik Aris yang berkibar dengan gagah.
Tatapan Emi begitu takjub memandang lelaki yang sudah menjadi suami sahabatnya. Emi memang sudah menyukai Aris semenjak Anissa mengajak makan malam bersama. Awalnya, Emi ingin membuang perasaan itu, akan tetapi jika Aris memiliki masalah rumah tangga terlebih soal anak hanya Emi sebagai tempat curahan hati sampai gadis itu lebih susah membuang perasaan sukanya.
Ya ampun, berani banget kamu Emi. Tega-teganya kamu memfitnahku yang tidak bisa memberikan keturunan kepada suamiku. Bahkan, selain kamu memfitnahku dengan teganya mau merusakan kebahagiaan rumah tanggaku! batin Anissa dengan kesal mendengar perkataan sahabatnya itu.
Tangan Aris meraih kedua tangan gadis binal di depannya. “Sayang, aku juga mau memiliki anak denganmu. Tapi, bagaimana dengan Anissa? Apa kamu mau berbagi kasih dengan dia, sementara dia itu kan sahabat kamu?”
Emi menududukkan pantatnya di atas pangkuan Aris, membuat Anissa begitu geram dengan kebinalan Emi yang sudah merayu suaminya. Hatinya begitu sakit melihat adegan mesra dengan Aris yang memanggil kata ‘Sayang’ yang selama ini sudah jarang Anissa dengar dari mulut suaminya.
Tangan Emi bergerilya, jemarinya mengabsen daerah wajah milik Aris terlebih hidung mancung lelaki itu.
“Wanita mana sih Mas, yang mau berbagi suami? Sungguh di dunia ini tidak ada yang mau, aku ingin memilikimu seutuhnya walau aku harus menerima kenyataan kamu itu bekasnya Anissa. Tapi, aku ingin segera kamu nikahi.”
“Tap—”
Telunjuk Emi mendarat dengan lurus di bibir tebal milik Aris. “Aku tidak ingin mendengar kata tapi dari mulutmu. Apa kamu mau tes seberapa pintarnya aku memanjakan kamu daripada Anissa?”
Anisa semakin geram, seketika kakinya begitu melemas saat kalimat sensual yang terucap dari bibir Emi yang begitu munafik dengan dirinya. Kedua tangan Anissa berusaha membuka jendela, tetapi usahanya gagal saat suaminya sudah telanjang d**a di depan matanya sendiri.
“Mas, hentikan!” seru Anissa saat Emi hendak melanjutkan aksi binalnya yang berusaha merayu suaminya.
Kedua manusia yang sedang menggebu-gebu asmara itu pun menghentikan kegiatannya seketika saat mendengar suara kerusuhan dari luar kamarnya. Aris yang begitu mengenali suara itu pun segera beranjak dari tidurnya lalu mencari keberadaan suara itu.
“A—anissa?” Aris ternganga saat istrinya berdiri tegak sempurna dengan keadaan wajah yang begitu marah, sinis, kesal dengan apa yang dilalukan oleh suaminya.
“Hah, Anissa? Kenapa dia sampai di sini?” Emi pun mengenakan baju atasan guna untuk menutupi area privasinya kembali untuk melihat keadaan di luar kamarnya.
Air matanya yang tidak bisa terbendung harus Anissa keluarkan di depan manusia j*****m yang pernah ia dapatkan selama hidup di dunia. Bahkan, kerudung instan yang dipakai sudah basah kuyup oleh air mata yang sedari tadi keluar sebelum menyidak mereka.
“Iya! Kenapa, kalian kaget aku ada di sini? Dan, kegiatan haram kalian tertangkap oleh mata kepalaku sendiri!”
“Anissa, a—aku tidak mungkin melakukan hal itu padamu. Aku belum sampai melakukan apa-apa dengan Emi, kamu percaya denganku, kan?” Aris berusaha membela dirinya sendiri saat Anissa menangis dan membentak dirinya.
Sungguh, selama Aris menikah dengan Anissa ia tidak pernah dibantah atau dibentak sekeras itu oleh hati istri yang begitu lembut dengannya.
“Percaya kamu bilang, Mas? Bagaimana aku harus percaya sementara kamu, menerima semua sentuhan dari gadis binal ini!” emosi Anissa sudah tidak bisa terbendung lagi.
Ia begitu murka setelah gunung berdiam diri dan sekali meleleh laharnya keluar langsung mencuat begitu banyak.
Anissa yang tidak pernah marah sedikit pun dengan
Aris saat memaksa untuk periksa kesehatan selalu mengelak, ia pun masih sabar dan harus sendirian berjuang untuk mendapatkan kehadiran seorang anak. Namun, di belakang itu justru Aris mencari kepuasan lain untuk memiliki keturunan dengan jalur haram yang di luar dugaan Anissa.
“Tutup mulutmu, Anissa! Emi itu tidak binal, aku yang dari awal merasa nyaman dengan dia setelah aku menunggu kehadiran anak dari kamu! Tapi apa, entah sampai berapa waktu lagi aku menunggunya?”
“Salah sendiri, Mas. Dari awal, kamu tidak pernah mau ikut denganku untuk program hamil dan cek kesehatan kamu. Dengan cara seperti ini, kamu hanya bisa menyalahkan aku dari perselingkuhan dengan sahabat yang sudah menusukku dari belakang ini?” Anissa menatap Emi dengan tajam, air matanya kini membanjiri pipinya kembali.
Gadis itu membuka paper bag yang berisi cap noda merah di samping kerah kemeja Aris. Ia pun merentangkan kemeja itu, hingga noda merah yang sama seperti lipstik yang dipakai Emi sekarang.
“Kalau aku tidak melihat noda merah di kerah bajumu dari wanita binal itu! Mungkin, saat ini dia sudah berhasil melakukannya denganmu, Mas.” Anissa memberikan paper bag itu ke tangan suaminya dengan lembut.
Terlihat wajahnya begitu kecewa dengan suaminya yang begitu ia cintai, kini dengan mudahnya berselingkuh di belakangnya dengan orang yang begitu dekat dengannya.
“Anissa, apa kamu tidak ngaca bagaimana denganmu yang tidak hamil? Kamu harusnya bersyukur dari sahabatmu siap memberikan momongan untuk kalian,” elak Emi.
Gadis itu mengerutkan kening. “Bersyukur katamu? Saya, tidak akan pernah bersyukur memiliki anak dari hasil haram kalian! Jika saya memilih, lebih baik saya tidak memiliki anak daripada harus meminta-minta dengan kalian!” Anissa pergi lalu meninggalkan suaminya yang masih berada di kamar sahabatnya itu.
“Anissa, mau ke mana?” Tangan Aris tidak sampai mencegah istrinya pergi.
“Mas, kamu mau ke mana?” Tangan Emi mencegah Aris.
“Aku harus kejar Anissa, Em.”
“Aku ikut, Mas.” Mereka berdua pun mengikuti Anissa.
Langkah kakinya begitu sulit seakan membawa gaban yang begitu berat. Tangannya tak lepas mengusap derai air mata yang sedari tadi mengalir deras di wajahnya. kelopak merekah nan indah itu, kini sudah meredup saling memeluk satu sama lain dengan sang empu yang tidak baik-baik saja.
Hatinya begitu terenyuh dengan kenyataan pahit selama tiga tahun menjalin rumah tangga dengan Aris. Awal pertemuannya tak seindah perpisahan tadi yang begitu menyakitkan antara mata dan hatinya. Gadis itu pergi meninggalkan kediaman sahabat sekaligus selingkuhannya.
“Anissa, kamu dari mana?” tanya Endang saat gadis itu sudah memasuki rumahnya.
Gadis itu tidak menjawab lalu lari terbirit-b***t menuju ke kamarnya untuk meredakan emosi yang sedang meletup-letup.
“Bu, Anissa mana?” tanya Aris setelah mengejar istrinya yang pulang ke rumahnya.
“Ada, itu tadi lari kenceng banget jalannya ke kamar.” Endang masih merajut dengan santai tanpa melihat ekspresi anaknya.
Kedua orang itu pun segera menyusul ke kamar, tetapi justru Anissa menangis sedalam-dalamnya di kamar sampai terdengar dari luar kamarnya.
“Anissa, buka pintunya! Kita perlu bicara!” Aris menggebrak pintu itu sampai bergetar saking kerasnya.
Gadis itu masih terisak di kasur untuk sekadar menenangkan hatinya, menyiapkan mental yang saat ini ada ketiga singa yang harus ia hadapi sendirian di dalam rumah yang mungkin baginya adalah neraka.
Jemari Anissa dengan gemetar membuka pintu itu, dengan satu tarikan tubuhnya tertarik oleh Aris yang begitu menaruh amarah dengannya.
“Mas, kamu gak usah kasar denganku!”
“Aku tidak mendidik kamu untuk membentak suami, Anissa!”
“Kalau kamu tidak selingkuh dengan wanita binal itu, aku tidak akan terbawa emosi seperti ini.”
“Selingkuh?” Endang merasa janggal dengan perkataan menantunya.
“Iya Bu, Mas Aris sudah selingkuh dengan sahabatku sendiri.”
Bukannya Endang ikut marah dengan kelakukan b***t anaknya, justru responnya tersenyum semringah. “Oh, bagus. Ibu juga mau kalau Aris selingkuh dan menikah dengan Emi, jadi Ibu bakalan cepet punya cucu! Kalau begitu, ayo Aris talak tiga sekalian istri gak berguna ini!”
Kedua bola mata Anisa melotot saat Endang dengan entengnya meminta anaknya agar menalak dirinya.
“Baik, Bu. Mulai hari ini, aku talak kamu Anisa!”
“Mas!” Anissa terduduk lemas di atas lantai saat mendengar kata perpisahan itu.