SEPULUH

1224 Words
Seorang pria menyampirkan jas kerjanya di punggung kursi. Kemudian ia melangkahkan kakinya keluar dari tempatnya bekerja. Dia masuk ke dalam mobilnya lalu melesat cepat ke bandara. Dia adalah Rama. Setelah kepergian kekasihnya delapan tahun lalu, Rama memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Amerika. Dia kuliah di salah satu universitas ternama di sana dan mengambil jurusan kedokteran. Dan tahun lalu, ia baru saja menyelesaikan studi nya itu di tambah dengan program spesialis yang juga ia ambil. Sampainya di bandara, Rama berjalan cepat menuju pintu kedatangan dari luar negeri. Waktu menunjukkan pukul 13.45. Ia tau, ia telat datang ke tempat itu. Tapi ia tetap harus berusaha mencari Shila, adik ipar Aldi. Karena memang beberapa waktu lalu ia mendapat pesan dari Aldi untuk menjemput adik ipar sahabatnya itu. Rama mencari kesana-kemari gadis bernama Shila itu. Padahal, sebenarnya ia belum pernah bertemu dengannya. “Ck, mana Aldi nggak ngirimin fotonya lagi. Gimana caranya aku menemukan gadis itu?” “Aww..” rintih seorang gadis yang tak sengaja ditabrak oleh Rama. “Maaf,” Rama. Rama membantu gadis itu berdiri. “Iya nggak papa. Maaf saya buru-buru.” ujar gadis itu. Gadis itu memang terlihat sangat terburu-buru. Ia segera pergi dari hadapan Rama dan memberhentikan sebuah taxi. “Gimana caranya aku nemuin Shila sementara aku belum pernah bertemu dengannya?” pikir Rama. Rama berusaha menghubungi Aldi untuk menanyakan ciri-ciri dan meminta foto Shila. Namun hingga beberapa menit pun tak kunjung ada jawaban dari Aldi. “Lebih baik aku ke Rumah Sakit  Permai. Kasihan Aldi. Setidaknya aku harus membantu menjaga Zahra sementara Aldi sibuk mengurus jenazah Luna.” Lanjutnya. Lima belas menit kemudian, Rama sampai di Rumah Sakit Permai. Dia menuju sebuah ruangan setelah mendapat informasi dari seorang suster. Ia membuka pintu itu perlahan. Dilihatnya seorang gadis yang tengah menangis di samping tempat tidur Zahra. “Kamu siapa?” tanya Rama pelan pada seorang gadis yang menangis di samping brangkar Zahra. Gadis itu menoleh. Rama terkejut melihat siapa gadis itu. “Kamu bukannya tadi yang di bandara? Apakah kamu yang bernama Shila, adiknya Luna?” tanya Rama. “Kamu siapa? Dan untuk apa kamu kesini?” tanya gadis itu masih dengan bibir yang bergetar menahan tangis. Rama berjalan mendekati gadis itu. Kemudian ia mengulurkan tangannya. “Aku Rama. Aku sahabat Aldi sejak SMP.” ujar Rama memperkenalkan diri. Namun gadis itu sama sekali tak tertarik untuk menyahutinya. Ia terlihat sangat tak bersahabat. Ia kembali fokus pada Zahra yang tak kunjung membuka matanya. “Jangan terlalu sedih! Dia nggak papa kok. Tadi aku sudah tanya pada beberapa suster.” Rama. Gadis itu masih terdiam dan tak menyahuti Rama. Tak lama kemudian, Aldi datang. Ia berjalan mendekati tempat tidur Zahra. “Shila, jenazah Luna akan disemayamkan sore ini juga. Lebih baik sekarang kita urus pemakamannya. Biar Rama yang menjaga Zahra disini.” ajak Aldi setelah menepuk pelan bahu Shila. Shila mengangguk. “Kamu tidak keberatan kan, Ram?” Aldi. “Nggak kok Al, santai aja! Kalau perlu biar aku ambil alih perawatan Zahra.” Rama. Aldi menepuk bahu Rama. Ia beruntung memiliki sahabat sebaik Rama. “Aku turut berduka cita ya, Al. Maaf aku tidak bisa banyak membantu. Terutama soal Luna.” Rama. Aldi mengangguk. Ia tau, apa yang terjadi pada Luna adalah murni sebuah kecelakaan. Tak seharusnya ia menyalahkan siapapun. Meski kebenarannya hatinya belum siap menerima kenyataan ini. Kemudian, ia pamit pergi bersama Shila untuk mengurus pemakaman Luna. ***   Hari berganti. Shila baru saja sampai di ruang rawat Zahra. Ia bingung melihat ruangannya sepi. Setaunya, Aldi meminta adanya suster jaga yang menemani Zahra 24 jam. Kemudian ia duduk di samping tempat tidur keponakannya itu. “Maafin Tante ya, Sayang. Tante baru sempat datang sekarang. Kemarin-kemarin Tante terlalu egois, cuma mikirin diri Tante sendiri sampai-sampai nggak bisa jagain kamu sama mama kamu.” ujar Shila. Ia menggenggam erat tangan Zahra. Ia tak menyangka, setelah satu tahun lebih tak bertemu dengan keponakannya, kini ia dipertemukan dengan keadaan sepedih ini. Ia tau betul jika Zahra sangat dekat dengan Luna. Luna memang ibu dan kakak yang luar biasa. Ia adalah perempuan yang sangat lembut. Ia yang selama ini merawat Shila setelah perpisahan kedua orang tuanya. Ia tak pernah sedikitpun kasar atau membentak orang-orang di sekelilingnya. Itulah yang membuat semua orang di sampingnya sangat mencintainya. Pintu ruang rawat Zahra terbuka. Aldi masuk ke ruangan di mana buah hatinya itu sedang tertidur lelap. “Kak Aldi tidak kerja?” tanya Shila. “Bagaimana aku bisa bekerja saat buah hatiku terbujur lemah disini?” Aldi. Shila tau betul, Aldi sangat mencintai putri semata wayangnya itu. Apalagi setelah kepergian Luna. Hanya Zahra satu-satunya yang Aldi miliki. “Tapi nanti kerjaan Kakak numpuk loh. Biar Shila aja yang jagain Zahra. Nanti kalau ada apa-apa, Shila langsung kabarin Kakak.”  Shila. “Tapi kamu...” ucap Aldi terpotong. “Sudahlah, Kak! Jangan pikirkan yang lain dulu! Saat ini kondisi Zahra yang paling penting.” Shila. Aldi mengangguk. Kemudian ia pergi dari area rumah sakit. Shila kembali duduk di kursinya. Tak lama kemudian, tangan kecil yang ia genggam bergerak. Perlahan, gadis kecil itu membuka matanya. “Zahra, kamu sudah sadar sayang?” Shila. “Tante Shila?” kaget Zahra. “Kok Tante ada di sini? Mama sama Papa mana?” tanya gadis kecil itu. Shila terpenjat. Ia tak tau bagaimana cara menjelaskan kejadian kemarin kepada keponakannya itu. Yang pasti, ia tak mungkin berkata jujur tentang Luna. Karena itu akan membuat kondisi Zahra memburuk. Bahkan, meskipun Zahra dalam keadaan sehat, ia tak akan sanggup mengatakannya. “Kok Zahra lemes ya, Tante? Kepala Zahra juga pusing.” Adu gadis kecil itu. “Hmm.. mungkin efek dari kamu jatuh kemarin.” Ucap Shila ragu. Zahra mengangguk paham. Namun ia kembali melempari Shila dengan tatapan menuntut penjelasan. Shila pun mengerti apa yang keponakannya tunggu. “Papa kan kerja, sayang.” ujar Shila pada akhirnya. “Kalau Mama?” tanya Zahra. Shila benar-benar bingung. Ia tak mampu menjawab pertanyaan gadis kecil itu. “Tante, Zahra habis mimpi buruk. Zahra melihat Mama berdarah-darah di mimpi Zahra. Mama kesakitan, Tante. Zahra takut.” Lirih Zahra. Shila menelan salivanya kasar. Ingin sekali ia memberitaukan pada Zahra jika itu semua bukan mimpi, tapi ia rasa ia tidak sanggup. Apalagi keponakannya itu baru saja sadar. Ia khawatir keadaan Zahra akan kembali droup jika ia tau kebenarannya soal Luna. “Hay sayang! Zahra sudah bangun?” tanya seorang pria dari arah belakang Shila. “Om Rama!” girang Zahra dengan suaranya yang masih lemah. Dia adalah Rama. Rama datang dengan masih berpakaian dokter. Tapi meskipun begitu, Zahra tak pernah takut dengan dokter yang satu itu. Karena Rama adalah paman kesayangan Zahra. Shila berdiri dari duduknya. Ia menatap aneh ke arah Rama. Memang, ia tak tau jika Rama adalah seorang dokter. “Lihat nih, Om Rama bawa boneka buat nemenin Zahra.” ujar Rama. Rama memberikan sebuah boneka beruang pada Zahra. Gadis kecil itu tersenyum kemudian menerimanya. “Makasih ya, Om.” Zahra. “Sekarang, Om periksa keadaan Zahra dulu ya!” Rama. Zahra mengangguk. Rama pun mulai memeriksa keadaan gadis kecil itu. “Bagaimana keadaannya?” tanya Shila setelah Rama selesai memeriksa Zahra. “Baik kok. Dia sudah stabil. Mungkin besok sudah boleh pulang.” Rama. “Syukurlah.” Shila. “Soal Luna, biar nanti aku yang jelasin ke dia.” bisik Rama pada Shila. Shila mengangguk setuju. Bagaimana pun juga, Rama adalah seorang dokter. Ia yakin jika Rama tau yang terbaik untuk Zahra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD