SEMBILAN

1358 Words
Delapan tahun telah berlalu. Sudah banyak perubahan pada kehidupan orang-orang yang di tinggalkan Airin. Misalnya, Dea. Kini ia telah menikah dengan pria berkebangsaan Jepang bernama Haru. Dan kini, mereka telah di karuniai seorang putra bernama Chiko. Keluarga kecil itu memutuskan untuk tinggal di Bandung sejak dua tahun lalu. Sementara Rangga, memutuskan untuk pindah ke Australia sejak tujuh tahun lalu dan tinggal bersama kakeknya. Kabarnya, ia sudah menikah dan memiliki seorang putri. Sejak kepergiannya ke Australia, ia sulit dihubungi oleh sahabat-sahabatnya di Indonesia. Menurut kabar yang didapat, kini ia menjadi karyawan di sebuah perusahaan besar di Australia. Kemudian, kedua pria yang sempat mencintai Airin, Rama dan Aldi pun telah mengalami banyak perubahan. Misalnya saja Aldi. Kini ia telah bangkit. Ia menjadi Direktur di perusahaan ayahnya yang cukup terkenal di Indonesia. Ia juga telah menikah dan memiliki seorang putri berusia lima tahun bernama Zahra. Istrinya bernama Luna. Ia adalah teman Aldi saat di bangku SMA. Pagi ini, mereka tengah bersiap untuk sarapan bersama. Memang, sesibuk apapun Aldi, ia selalu meluangkan waktunya untuk sarapan dan makan malam bersama keluarga kecilnya. Seorang gadis kecil berlarian menuruni tangga. Tak jauh di belakangnya, seorang wanita cantik tersenyum ke arah pria yang tengah duduk di ruang makan. “Papa!” teriak gadis kecil itu sembari berlari ke arah ayahnya. “Zahra sudah siap? Ayo makan dulu! Nanti Papa antar ke sekolah.” ujar Aldi. Itulah keluarga kecil Aldi yang sangat harmonis. Luna, ibu dari gadis kecil itu segera duduk di samping putrinya. Ia mengambilkan makanan untuk suami dan anaknya. “Oh iya Luna, nanti siang, biar aku saja yang jemput Shila ya?” Aldi. Shila adalah adik Luna. Ia akan kembali dari Singapura dan sampai di Jakarta siang nanti pukul satu. “Tidak usah, lagian kan kamu pasti sibuk. Biar aku saja. Lagi pula, aku nggak sabar ingin segera bertemu dengannya.” Luna. “Aku nggak sibuk kok. Nanti kamu jemput Zahra saja! Soalnya jam sebelas siang nanti aku ada meeting dan kemungkinan jam dua belas belum selesai.” Aldi. “Oh, okey deh.” Luna. Aldi kembali beralih pada putri kecilnya kemudian berkata, “Zahra nggak papa kan nanti pulangnya sama Mama? Papa ada meeting soalnya.” Gadis kecil itu mengangguk sembari asyik mengunyah sarapannya. Zahra memanglah anak yang baik dan penurut meskipun Aldi selalu memanjakannya. Hal tersebut tentu saja karena peran Luna sebagai ibu yang pintar dalam mendidik putri sematawayang mereka. Waktu menunjukkan pukul 11.00. Luna telah sampai di halaman sekolah Zahra. Ia menunggu putri tunggalnya itu di depan pintu gerbang. Tak lama kemudian, ia melihat putrinya berlari ke arahnya dan langsung memeluk kakinya. “Ada apa sayang?” tanya Luna halus. “Zahra mau itu, Ma.” ujar gadis kecil itu sembari menunjuk ke arah gerobak makanan di seberang jalan. Luna tersenyum kemudian membelai rambut putrinya itu. “Ya sudah, Mama belikan dulu ya!” Luna. “Zahra ikut aja deh, Ma.” rengek Zahra. “Tidak usah. Lebih baik Zahra tunggu di mobil! Bahaya, jalanannya sedang ramai. Ayo Mama antar ke mobil dulu!” Luna. Luna menggandeng putrinya masuk mobil, kemudian dirinya menyebrang jalan untuk membelikan makanan yang Zahra inginkan. Saat Luna akan membayar, ia mendengar suara Zahra yang memanggilnya. “Mama!” teriak gadis kecil itu. Sepertinya, Zahra sudah tak sabar memakan makanan yang tengah ibunya belikan. Ia berlari ke arah ibunya tanpa melihat keadaan jalan yang begitu ramai. “Zahra di situ aja, Nak! Bahaya sayang!” panik Luna. Sesaat kemudian Zahra berhenti. Namun ia sudah terlanjur menginjakan kaki di jalan raya. Dan di saat itu juga, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Luna yang melihatnya pun semakin panik. Apalagi pengendara mobil itu seakan tak melihat keberadaan Zahra. “Zahra! Awas sayang!” teriak Luna histeris. “Mama!” teriak Zahra ketakutan. Kecelakaan itu tak dapat di hindarkan. Zahra membuka matanya. Kepalanya pusing, matanya sangat berat untuk di buka. “Mama,” lirihnya. “Mama bangun, Ma!” lirih Zahra ketika melihat Ibunya bersimbah darah. Ternyata Luna berhasil menyelamatkan Zahra. Ia sempat berlari ke arah Zahra dan memeluk malaikat kecilnya itu. Sementara dirinya sendiri kini tak sadarkan diri. Karena mobil itu menabraknya. Tak lama kemudian, Luna membuka matanya. “Zahra, Mama sayang sama Zahra. Zahra jadi anak yang baik ya! Mama sayang Zahra.” Lirihnya. Setelah mengatakan hal itu, Luna kembali memejamkan matanya. Begitu pula dengan Zahra. Beberapa orang mulai mengerubuti ibu dan anak itu dan segera membawa mereka ke rumah sakit. Sementara pengendara mobil yang menabrak Luna segera melarikan diri setelah menyadari apa yang telah ia lakukan. Aldi baru saja keluar dari ruang rapat. Ia melirik arlojinya. Jarum pendek pada arlojinya menunjukkan pukul 12.00. Kemudian ia meraih handphonenya. Ia meng-aktifkan kembali handphonenya yang tadi sempat ia matikan selama rapat sembari berjalan menuju ruangannya. Dilihatnya beberapa panggilan masuk dari nomor tak di kenal. “Siapa sih? Nanti saja deh setelah jemput Shila baru aku telepon balik.” Ujarnya. Saat di depan ruangannya, sekertaris Aldi menghampirinya. Wajahnya terlihat sangat gugup dan khawatir, membuat Aldi bingung. “Ada apa?” tanya Aldi. “Pak, tadi ada telepon, katanya Ibu Luna dan Zahra mengalami kecelakaan dan sekarang keduanya berada di Rumah Sakit Permai.” ujar sekertaris Aldi. “Apa? Kecelakaan? Jangan bercanda kamu!” kaget Aldi. “Saya tidak bercanda, Pak. Katanya kondisi-’’ “Batalkan semua jadwal hari ini! Saya harus melihat keadaan anak dan istri saya!” lanjut Aldi kemudian berlari keluar  dari kantornya. Hatinya sungguh tak tenang. Ia sangat khawatir dengan keadaan istri dan putrinya. Ia takut jika luka mereka parah. Ia sangat mencintai keluarga kecilnya itu. Ia tak akan sanggup melihat orang-orang yang ia cintai terluka. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Aldi sampai di rumah sakit. Ia bertanya pada seorang perawat tentang keberadaan istrinya. Setelah itu, ia berlari menuju ruang ICU dimana istrinya berada. Dari jendela kaca yang berada di ICU, Aldi melihat beberapa tenaga medis tengah menangani istrinya. Beberapa dari mereka membersihkan darah yang melumuri tubuh Luna. Ada pula yang memasangkan berbagai alat bantu di tubuh Luna. Tak lama kemudian, sang dokter mengambil alat kejut jantung dan menempelkannya di d**a Luna. Dari alat deteksi, terlihat oleh Aldi garis lurus dan suara nyaring yang nyaris tak ia dengar. Dia sangat khawatir. Ia takut jika sampai Luna tak tertolong. Tak lama kemudian, dokter menggeleng dan menghentikan aktivitasnya. “Nggak! Kalian tidak boleh berhenti! Luna nggak boleh pergi!” ujar Aldi parau. Kemudian ia memasuki ruangan ICU. Ia tak memperdulikan larangan yang ada. Ia mendekati tubuh kaku istrinya. Dan saat para tim medis akan melepas alat bantu yang terpasang, Aldi berkata, “Istri saya belum meninggal. Jangan lepaskan alat itu! Dok, selamatkan istri saya, Dok! Saya mohon! Saya akan bayar berapapun yang dokter minta!” teriak Aldi yang sangat kacau. Beberapa perawat berusaha memeganginya, agar memberi sedikit jarak pada tubuh kaku Luna. Air matanya telah mengalir deras. Setelah kehilangan Airin delapan tahun lalu, kini ia juga harus kehilangan Luna. Itu terlalu berat untuknya. “Bukan masalah uang, Pak. Tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Maaf, istri Bapak tidak tertolong.” balas dokter itu. “Nggak! Coba lagi, Dok! Saya yakin istri saya belum meninggal. Jangan menyerah sekarang! Anda harus bisa membawanya kembali. Saya tidak ingin kehilangannya.” Aldi masih terus menggoncangkan tubuh istrinya itu. Hingga beberapa perawat menariknya dan memintanya menunggu di luar. Aldi duduk di sebuah bangku panjang di taman rumah sakit. Ia masih tak dapat menahan air matanya. Ia begitu shock dengan kepergian Luna yang begitu mendadak. Rasanya baru kemarin ia menikahi wanita itu. Tapi sekarang, ia harus merelakannya pergi. Aldi teringat akan sesuatu. Ia berjalan cepat menuju bagian penerimaan pasien. Setelah mendapat informasi yang ia butuhkan, ia berlari ke ruang rawat anak. “Zahra,” lirihnya saat memasuki sebuah ruangan. Dilihatnya putri kecilnya yang masih belum sadarkan diri. Perlahan, ia melangkahkan kaki menuju tempat tidur putrinya itu. Ia menghapus air matanya yang hampir mengering di pipinya, kemudian duduk di sebuah kursi. “Zahra, bangun, Nak! Papa di sini. Kamu nggak papa kan sayang? Ayo buka mata kamu, Sayang!” lirih Aldi sembari menciumi punggung tangan Zahra. Namun sayang, gadis kecilnya itu tak kunjung membuka mata. Kemudian ia meraih handphone nya dan mengirim pesan kepada seseorang. Setelah itu, ia kembali terfokus pada Zahra yang masih terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD