Pagi kembali menyapa, seorang gadis dengan piyama tosca favoritnya terlihat tengah menyesuaikan keadaan, ia melirik ke samping kanan dan tidak menemukan Liam di sana, dan kini kehidupan rumah tangganya akan dimulai, sungguh, semuanya terlalu cepat berubah, ia begitu merindukan sosok Liam yang dulu begitu perhatian dan selalu meluangkan waktu untuknya saat makan siang, walau Allisya dan Liam merupakan sepasang kekasih, namun perhatian untuk kedua sahabatnya itu tidak pernah berbeda.
“Cepatlah mandi, dan kemasi barang-barangmu, kita akan pindah ke apartemen dan menjemput Allisya terlebih dahulu.” Ujar Liam yang baru saja keluar kamar mandi.
“Kau benar-benar akan melakukannya? Dan menyakitiku, bahkan dulu kau tidak pernah membiarkan setetes air mataku jatuh, namun sepertinya sekarang kau lah sumber aku meneteskan air mata itu.” Eve tersenyum miris, ia berlalu dari kamar mandi meninggalkan Liam yang masih mematung akibat ucapannya.
Kata-kata Eve tadi terus terngiang di telinga Liam, dan ia membenarkan apa yang diucapkan Eve, padahal dulu ia adalah orang yang tak pernah membiarkan kedua sahabatnya meneteskan air mata, namun kini ia harus menyakiti salah satunya untuk kebahagian yang lainnya, namun Liam tidak memiliki pilihan lain, jika Eve bisa egois dengan tetap melangsungkan pernikahan ini, maka ia akan bermain lebih egois dan membuat gadis itu menyesali keputusannya.
“Sejak hari pernikahan itu diumumkan aku sangsi menganggapmu sebagai sahabat, aku hanya menganggapmu gadis yang merusak rencana hidupku bersama Allisya.” Ujar Liam tersenyum sinis, iblis dalam dirinya berbicara dan bodohnya hatinya mengikuti pikiran jahat itu.
***
Mobil metalic itu berhenti di sebuah gedung apartemen kota Novena, sepasang manusia yang baru saja terikat dalam pernikahan itu hanya saling diam semenjak mobil itu melaju meninggalkan hotel, tak ada pembicaraan yang berarti, karena Eve juga tidak ingin memulainya. Entahlah, ia merasa percuma berbicara dengan Liam yang akan semakin menyakiti hatinya.
“Sayang berapa lama lagi aku harus menunggu?” Tanya Liam menelpon Allisya, Eve mengalihkan pandangannya keluar jendela, pria itu benar-benar menjemput Allisya untuk tinggal bersama mereka, dan ia yakin Liam memang berencana menghancurkannya lewat jalan ini, sama seperti dirinya yang menghancurkan masa depan Allisya dengan Liam .
“Liam, maaf aku terlambat.” Ujar Allisya yang langsung masuk di jok belakang, ia melirik ke arah depan dan mendengus melihat Eve yang bahkan terlihat tidak menyapanya.
“Bagaimana perasaanmu setelah menusuk sahabatmu dari belakang?” Ujar Allisya penuh nada sindiran, membuat Eve mau tidak mau menatap Allisya dan tersenyum sinis, jika ia juga sudah tidak menganggapnya sahabat, maka dirinya pun akan melakukan hal yang sama.
“Menyenangkan, rasanya seperti dunia ada di genggamanku, pria yang kucintai bertahun-tahun akhirnya menjadi milikku.” Ujar Eve dengan wajah sinis membuat Allisya mengepalkan tangannya begitu juga Liam , wajah pria itu terlihat memerah menahan amarah.
“Cih. Aku tidak menyangka kau gadis tidak tau diri Evelyne,” ujar Allisya mendesis, “Aku jamin setelah ini, kau bahkan lebih menderita dari yang sebelumnya.”
“Ternyata sulit untuk membedakan mana musuh dan sahabat.” Desis Eve dan kembali memfokuskan pandangannya pada jendela mobil.
“Evelyne. Jaga ucapanmu!!!” Ujar Liam tegas.
Ketiga manusia itu telah sampai di unit apartemen yang akan menjadi tempat tinggal mereka, Eve tertawa miris, sebenarnya kehidupan rumah tangga apa yang sedang ia jalani, apa ia sedang berperan menjadi istri pertama yang mungkin akan tersisihkan oleh kehadiran istri kedua.
“Liam, kita akan tidur sekamar kan?” Allisya bergelayut manja di lengan Liam , membuat Eve mengalihkan pandangannya.
“Ya.” Ujar Liam datar, pria itu sesekali mencuri pandang ke arah gadis yang kini telah menjadi istrinya sejak dua puluh empat jam yang lalu. Tangan mungil Allisya yang menyeretnya menuju kamar mereka membuat Liam mau tidak mau menurutinya, dan untuk yang entah ke berapa kalinya hari ini, Liam terus saja melukai hati gadis rapuh itu.
“Bahkan rasanya lebih menyakitkan dari yang aku bayangkan.” Eve menekan dadanya yang terasa berdenyut ngilu. Ia memilih memasuki kamar yang mungkin nanti akan menjadi saksi bisu kesakitannya menghadapi Liam , dan saat ia benar-benar sudah menyerah ia tidak akan pernah kembali lagi pada pria itu.
***
“Apa kau berniat menghancurkan dapur apartemen ini? Duduklah, biar aku yang membuat sarapan.” Ujar Eve melihat dapur yang terlihat begitu berantakan karena ulah Allisya. Gadis itu mengambil apron dan mengambil alih kekacauan yang dibuat Allisya, sepertinya di hari pertama ia membuat sarapan untuk suaminya ia harus bekerja ekstra dengan membersihkan peralatan bahkan sebelum digunakan, beruntung hari ini ia hanya memiliki kelas pagi.
Allisya memandang Eve dengan tatapan remeh, jika dulu ia selalu menjadikan gadis ini sebagai rumah untuknya pulang dan berbagi keluh kesah, kini semuanya berbanding terbalik, ia begitu membenci Eve yang merebut Liam darinya.
“Bagaimana mungkin kedua orang tua kalian mengatur perjodohan ini? Apa ini karena sebuah hutang? Dan kau menjadi jaminannya? Benar benar menyedihkan.” Eve menghentikan aktivitasnya mengupas bawang dan menatap tajam Allisya, selama ini ia telah salah menilai gadis itu.
“Entah jaminan atau apapun itu, aku tetap istrinya sekarang.” Ujar Eve tegas.
“Yahh kau istri di atas kertas, dan aku gadis yang dicintainya, kau tidak lebih dari seorang jalang yang menjadi jaminan sebuah hutang,” ujar Allisya tertawa puas, “Aku yakin pernikahan ini tidak akan bertahan lama, dan aku yang akan membuat semua ini berakhir dengan cepat, dengan luka yang akan kau terima nanti, aku harap kau mempersiapkan dirimu untuk kuat Evelyne.” Allisya memandang remeh ke arah Eve, membuat gadis itu mendesis kesal.
“Gadis brengsek.” Eve menggeram tertahan.
“Evelyne, jaga ucapanmu, beraninya kau mengatakan Allisya b******k, sedangkan kau bahkan lebih brengsek.” Ujar Liam tajam, entah sejak kapan pria itu sudah memasuki dapur dan menyela perdebatan di antara kedua wanita itu.
“Liam,” Allisya memeluk Liam dengan wajah sendu seolah dirinya baru saja mendapat tindakan intimidasi. “Ini sungguh menyakitkan untukku, bagaimana mungkin aku disebut sebagai gadis b******k, bahkan orang tuaku tidak pernah berkata sekasar itu.” Allisya menghapus air matanya, berusaha terlihat menyedihkan di depan Liam , dan benar saja kemarahan di wajah pria itu bertambah berkali lipat, ia mendekati Eve dan mencengkram dagu gadis itu.
“Jangan pernah mengatakan kata-kata kasar pada Allisya, aku membencinya, dan jika itu sampai terjadi lagi, aku tidak segan untuk menampar mulut kotormu itu.” Liam menghempaskan Eve kasar, dan menarik lembut tangan Allisya.
“Ayo sayang, kita pergi, aku ada operasi pagi ini dan sebaiknya kita makan di kantin rumah sakit, berlama-lama berada satu atap dengannya membuatku muak bahkan hanya untuk melihat wajahnya.” Liam mendecih, bahkan pria itu tidak terlihat menyesal dengan kata-katanya, tidak peduli dengan wanita yang telah ia sakiti fisik maupun hatinya, hatinya meraung meminta keadilan, bahkan siapa yang lebih b******k di sini, dengan tanpa perasaannya Allisya menyebutnya jalang, dan mengatakan jika ia hanya sebagai jaminan dalam perjodohan ini, benarkah ia harus mengalami hal menyakitkan seperti ini? Liam bahkan tega melukai fisiknya bukan hanya batinnya. Dan lagi-lagi Eve hanya tertawa miris dengan takdir yang kini tengah mempermainkannya.
Gadis itu melepas apron yang melekat di tubuhnya, ia memilih kembali ke kamar dan membersihkan diri, ia akan ke kampus walau kuliahnya masih dua jam lagi, berlama-lama di apartemen ini hanya membuatnya selalu mengingat apa saja yang telah terjadi antara dirinya, Allisya dan Liam , hubungan yang dulu begitu hangat dan saling menyayangi kini justru berubah menjadi benci dan saling menyakiti.
Pandangan mata itu mengabur, tertutupi oleh air mata yang menggenang di pelupuk mata gadis itu, melihat kepergian suaminya dan wanita itu. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya, apakah ia akan menyerah pada akhirnya atau akan tetap bertahan dalam kesakitan yang entah sampai kapan akan ia rasakan.
Eve menghapus air matanya pelan, dan memilih membersihkan dirinya, mungkin dengan pergi ke kampus ia tidak merasa sendirian di apartemen besar itu, setidaknya ia bisa berkutat dengan penelitian yang belum terselesaikan atau bertemu dengan teman-temannya.
***
“Eve,” Eve menoleh saat melihat seseorang memanggil namanya, ia tersenyum begitu mengetahui siapa orang tersebut. Baru saja ia tiba di kampus dan pria itu langsung berlari menghampirinya.
“Dareen,” panggil Eve ramah, Dareen salah satu seniornya di kampus, pria itu sedang melakukan riset untuk meraih gelar S3, dan ia merupakan satu-satunya pria yang dekat dengan Eve selain Liam .
“Apa mahasiswa akhir sepertimu masih ada kelas?” Gurau Dareen terkekeh, Eve hanya mengerucutkan bibirnya kesal.
“Ya. Aku masih ada satu kelas di semester ini, dan jangan menertawakanku.” Ujar Eve dengan raut kesal, namun pria itu tetap terkekeh.
“Lalu apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Dareen yang kini terlihat lebih serius.
“Aku ingin memantau bakteri yang aku biakan untuk bahan tesis, ahh kau tahukan Dareen, bakteri itu terkadang suka mati tiba-tiba, hanya karena pengaruh kecil dari lingkungan, dan mau tidak mau aku harus membuat lingkungan yang sesuai dengan habitat aslinya. Dan ini sudah yang ke empat kalinya aku mencoba, namun belum ada yang berhasil.” Ujar Eve dengan wajah frustasi, membuat Dareen terkekeh dan mengacak rambut gadis itu.
“Baiklah aku akan menemanimu, dan mungkin sedikit membantu.” Perkataan Dareen membuat Eve mengangguk semangat, Dareen merupakan senior yang memiliki otak cerdas, dan beruntungnya pria itu mengambil bidang yang sama dengan Eve.
“Astaga, apakah suamimu tetap mengijinkan istrinya pergi setelah hari pernikahan kalian, ck ck ck, suami yang pengertian.” Perkataan Dareen membuat Eve menghentikan langkahnya, ia tersenyum miris sebelum membalikkan tubuhnya yang tadi berjalan di depan Dareen.
“Benar. Liam begitu baik, ia ingin aku segera menyelesaikan tesis ku agar kami bisa segera honeymoon.” Mimpi saja kau Evelyne, ujar Eve tertawa dalam hati setelah mengucapkan kalimat bodoh yang tentu saja hanya ada dalam mimpinya.
“Tunggu, tunggu. Lihatlah kau terlihat berbeda dari biasanya, kau memiliki kantung mata. Apa Liam menyerangmu hingga pagi menjelang?” Eve langsung meninju keras bahu Dareen, saat pria itu mengatakan hal m***m di pagi hari.
“Dareen, berhenti berpikiran m***m, tidak bisakah membicarakan yang lain?” Ujar Eve meninggalkan Dareen dengan raut kesal, namun rasa sedih itu juga terselip di hatinya, andai perkataan Dareen tadi adalah sebuah kenyataan, mungkin ia akan lari dengan wajah memerah, namun apa yang bisa ia harapkan, bahkan pria itu kini membencinya.
Dareen menatap nanar siluet tubuh gadis itu yang semakin jauh, gadis yang ia cintai bahkan hingga detik ini, namun saat mengetahui dan mendengar semua yang dikatakan gadis itu tentang cintanya pada Liam , ia memilih mundur dan menekan egonya untuk memiliki gadis itu, yang ia lakukan hanya ingin memastikan gadis itu bahagia dan masih berada dalam jangkauan matanya.
***
Malam yang gelap diiringi suara gemercik air langit yang turun begitu lebat membasahi bumi kembali terdengar, namun seorang gadis terlihat tidak bergeming dari tempatnya sekarang, ia masih setia menunggu seseorang itu cepat kembali, suara petir begitu terdengar keras, dan Eve benar-benar mengkhawatirkan Liam yang bahkan sudah hampir larut belum juga pulang.
“Mungkin Liam ada operasi malam ini.” Ujar Eve bermonolog, masih dengan wajah cemasnya, matanya begitu intens menatap pintu apartemen, bahkan ia yang baru saja pulang jam delapan malam tadi dan berkutat seharian di lab dengan penelitiannya tidak merasa lelah sama sekali, gadis itu langsung membuat makan malam untuk Liam dan menunggu pria itu pulang, bukankah ia telah menjadi istri yang baik?
Pintu apartemen yang terbuka, membuat Eve segera menegakkan tubuhnya yang bersandar di sofa, dan seketika hatinya mencelos melihat pria yang sejak tadi ia tunggu, yang sejak tadi ia khawatirkan ternyata pulang bersama Allisya dengan wajah bahagianya.
“Liam,” Panggil Eve membuat kedua manusia itu menghentikan langkahnya, Liam memandang Eve tanpa ekspresi.
“Apa kau sedang berperan sebagai istri yang baik dengan menunggu suamimu pulang? Apa aku perlu membangunkanmu dari mimpi bodohmu itu Evelyne?” Desis Allisya tertawa, Eve hanya mampu mengepalkan tangannya di sisi-sisi tubuhnya, ia benar-benar mengutuk Allisya yang kini semakin menjadi.
“Jangan pernah melakukan hal bodoh lagi, kau sedang tidak menjalani drama Eve,“ Liam berkata penuh penekanan. “Aku tidak pernah menerima hal ini, jadi aku dan Allisya akan terus bersikap seperti ini, karena semenjak kau memutuskan untuk melanjutkan pernikahan ini, sejak itu pula tak ada kata sahabat di antara kita,” Eve hanya mampu terdiam mendengarkan semua ucapan Liam yang menyayat-nyayat hatinya. “Apa kau puas? Bukankah ini yang kau harapkan? Menikah denganku dengan keegoisanmu?” Suara Liam meninggi. “Ayo Allisya, aku benar-benar lelah menghadapinya.” Liam merangkul bahu Allisya dan berlalu meninggalkan gadis yang lagi-lagi dilukainya tanpa perasaan itu.
***
Pagi ini Eve sudah siap dengan aktivitasnya, ia membuat sandwich untuk Liam dan menunggu Liam di meja makan. Namun saat ia melihat Liam keluar bersama Allisya pria itu lagi-lagi tidak melirik dapur sama sekali, membuat Eve menghembuskan napas lelah, sudah dua minggu pernikahan ini berjalan namun sikap Liam tidak berubah. Eve beranjak dari duduknya dan menahan tangan Liam , ia ingin meminta izin pada pria itu untuk pergi selama beberapa hari, alasan mengapa ia harus menikah dengan Liam .
“Aku akan melakukan penelitian selama seminggu di luar kota. Aku meminta izinmu.” Eve menatap Liam tersenyum.
“Ya pergilah. Lebih lama lebih baik sehingga aku tidak harus melihatmu.” Jawaban Liam membuat Eve tersenyum miris, gadis itu mengangguk lemah dan melepaskan tangan Liam, mundur perlahan dengan wajah tertunduk, ia tidak ingin melihat wajah Liam .
“Maaf aku membohongimu.” Ujar Eve menatap pintu yang telah tertutup itu dengan pandangan sendu.