Chapter 2A

1781 Words
Tak ada yang berarti seiring berjalannya waktu dengan kehidupan pernikahan gadis itu, hidupnya hanya dipenuhi kesakitan, ia kehilangan sosok sahabat yang selalu ada di sampingnya, memberikan perhatian penuh padanya, tak ada lagi tangan kekar yang memeluknya saat ia menangis, dan tak ada lagi senyum tulus yang ia dapatkan dari pria itu. Pria itu benar-benar telah berubah, hanya ada ucapan dingin dan tatapan tajam, rasanya semakin sulit bagi Eve untuk membuat Liam mencintainya, bahkan pria itu dengan terang-terangan menolak kehadirannya. Apa kesalahannya sebesar itu? Tidak bisakah pria itu bersikap sedikit lebih lembut dan manusiawi kepadanya, ia hanya merasa menjadi pajangan di apartemen itu, Liam tak pernah menyapanya dan Allisya selalu menyerangnya dengan ucapan pedas bahkan kadang wanita itu menampar Eve. “Aku benar benar merindukanmu ,” gumam Eve lirih, gadis itu sedang membuat sarapan, walau entah Liam akan memakannya atau tidak, yang jelas ia selalu berangkat sebelum kedua manusia itu terbangun, ia hanya berusaha mengurangi kesakitannya dengan tidak melihat kemesraan mereka berdua setiap hari. Namun satu fakta yang ia ketahui setiap ia pulang dari kampus, makanan yang ia buat setiap pagi selalu habis tak bersisa.  Pintu putih itu terbuka, Liam keluar dengan kemeja dan tas kerjanya, ia menuju ke arah dapur dan meneguk segelas air minum. Melirik sekilas ke arah Eve yang memandangnya sendu, Liam terdiam di tempatnya, mulutnya masih menempel pada ujung gelas, memperhatikan gadis yang sudah satu bulan ini menjadi istrinya, dan sejak satu bulan itu pula ia hanya bisa melihat bagaimana wajah sendu Eve dan juga lingkaran hitam yang tidak pernah absen di wajah gadis itu, dalam hati Liam terselip rasa rindu yang begitu dalam untuk Eve, pria itu juga merindukan bagaimana saat ia menghabiskan waktu hanya untuk makan siang dengan Eve di tengah-tengah kesibukannya di rumah sakit, ia merindukan tawa gadis itu, rasanya Liam ingin membawa Eve ke dalam rengkuhannya, sama seperti yang selalu ia lakukan dulu saat hubungan mereka masih baik-baik saja, namun semua ego itu menutupi keinginan tulus hatinya. Dan ia hanya mampu mendengus menyadari masa lalu yang kini menghantuinya. Ia menutup pintu kulkas dan berniat meninggalkan dapur, ia benar-benar tidak bernapsu untuk sarapan, Allisya sudah berangkat pagi sekali karena ada project besar di kantornya. “Liam, kau tidak sarapan dulu?” Tanya Eve menghentikan langkah Liam. Gadis itu mendekati Liam dan menuntun tangan itu untuk duduk. “Bukankah kau dulu yang selalu mengingatkanku tentang betapa pentingnya sarapan.” Ujar Eve mengambil piring dan beberapa lauk yang baru saja ia masak, Liam hanya terdiam melihat bagaimana Eve yang begitu memperhatikannya, bahkan gadis itu membuatkan beberapa makanan favoritnya, bukan hanya hari ini, namun setiap harinya seperti sudah memiliki menu harian, gadis itu akan membuatkan menu yang berbeda setiap hari sama dengan yang Liam berikan saat keduanya masih baik-baik saja, karena Eve yang sulit untuk menjaga pola makan dan lebih sering mengonsumsi kopi di pagi hari, membuat Liam menuliskan menu sarapan sehat setiap harinya hanya agar gadis itu makan teratur, dan entah bagaimana semenjak mereka menikah, Eve juga membuat menu sarapan sama seperti yang Liam tuliskan untuknya. “Makanlah, bagaimana kau akan menyembuhkan pasien-pasienmu jika kau sendiri tidak memperhatikan kesehatanmu.” Eve tersenyum tipis, dan Liam hanya bisa menatapnya tanpa mengucap sepatah kata pun, namun pria itu tetap menyuapkan sesendok demi sendok nasi ke mulutnya. Eve duduk di hadapan Liam dan mulai menyeruput caramel macchiato favoritnya, sejak dulu gadis itu menjadi coffeeholic. Sejak dulu Liam selalu mengontrol konsumsi coffee gadis itu, karena Eve memiliki masalah dengan lambungnya. “Sejak kapan kau kembali mengonsumsi coffee di pagi hari?” Liam merebut secangkir coffee itu yang baru saja hendak Eve minum, gadis itu menatap Liam sebentar, dan mengambil kembali cangkir itu. “Dan sejak kapan kau kembali peduli padaku?” Ujar Eve acuh, perkataan Eve tadi membuat Liam terdiam, pria itu hanya menatap tajam Eve, membuat gadis itu menghembuskan nafas lelah, ia memilih beranjak dari sana, dari pada harus bertengkar pagi-pagi dengan Liam . Bunyi kursi yang bergesekan dengan lantai membuat Liam ikut mendorong kursinya ke belakang, ia menarik tangan Eve dan tanpa diduga membawa gadis itu ke pelukannya. Bahkan Liam dapat merasakan tubuh Eve yang menegang dalam pelukannya, namun Liam tidak peduli dengan itu, sejak tadi ia berdebat dengan batinnya, ia benar-benar merasa bersalah dengan luka yang ia berikan kepada Eve, ia bisa melihat bagaimana kehidupan Eve setelah menikah dengannya, tak ada lagi tawa dari gadis itu, sifatnya berubah menjadi pendiam dan tertutup. Gadis itu hanya akan menghabiskan waktunya di kampus bahkan sekalipun di kampus ia juga tidak memiliki kegiatan, Liam mengetahui itu dari temannya yang menjadi dosen di sana, dia mengatakan jika Eve sering melamun di taman kampus dan menyendiri, bahkan gadis itu kadang mengeluarkan air mata dalam diamnya, biar bagaimana pun juga Liam adalah sahabatnya sejak kecil, dan Liam tau kebiasaan-kebiasaan Eve yang bahkan tidak diketahui orang lain, hal yang paling ia takutkan adalah melihat Eve yang berubah menjadi diam dan menangis tanpa suara karena luka yang begitu menyakitkan dan ia tidak tau bagaimana cara menghilangkannya, Liam pernah mengalaminya, saat kakak dari gadis itu meninggal karena kecelakaan, Eve hanya diam dan tiba-tiba menangis tanpa suara, dan gadis itu benar-benar seperti mayat hidup, hingga akhirnya ia jatuh sakit. “Maaf.” Liam melepaskan pelukan itu, menyambar tas kerjanya dan meninggalkan Eve yang masih mematung dengan keterkejutannya. “Apa yang telah kulakukan,” Liam menggumam di balik pintu apartemen yang beberapa saat lalu ditutup dengan kencang olehnya. Ia memegang dadanya yang berdetak begitu kencang, seolah ada palu godam yang memukulnya berkali-kali, padahal dulu ia selalu memeluk gadis itu jika bertemu, namun baru kali ini ia merasakan perasaan itu, hatinya juga berdenyut melihat wajah sendu Eve, padahal dulu ia paling anti melihat Eve menangis, dan ia akan langsung menghajar siapa saja yang membuat sahabatnya itu menangis. Tapi nyatanya sekarang ialah yang menjadi penyebab gadis itu menangis. Sedangkan di dalam Eve masih memegangi jantungnya yang berdetak kencang seolah ia memiliki riwayat penyakit jantung, dan perlahan senyum secerah pelangi itu terbit menghiasi wajah cantiknya. Ia begitu bahagia pagi ini, Liam nya, bolehkan ia berharap jika hubungannya dengan Liam akan membaik setelah ini. *** Malam kembali menyapa, kedua sejoli itu terlihat sedang bersiap-siap untuk makan malam di luar, Liam dan Allisya memang berencana makan malam di luar kali ini, sehingga membuat kedua manusia itu sudah berada di rumah sejak sore. Pintu apartemen itu terbuka, Eve baru saja pulang dari kampus dengan wajah lelahnya, berkutat seharian di lab membuatnya benar-benar lelah, karena harus berdekatan dengan berbagai bahan kimia untuk bahan percobaannya, belum lagi laporan yang harus ia kerjakan malam ini, namun begitu ia memasuki apartemen ia melihat seorang gadis yang begitu cantik, gadis pemilik hati suaminya dan yang telah menghancurkan hatinya berdiri di sana dengan gaun maroon yang begitu anggun menatap Eve dengan tatapan meremehkan. “Ooh Eve, kau baru saja pulang? Aku akan jalan-jalan sebentar dengan Liam dan kami akan makan malam di luar, kau tidak perlu membuatkan kami makan malam.” Ujar Allisya dengan suara yang dibuat-buat, gadis itu mengapit lengan Liam erat, menegaskan bahwa Liam hanya miliknya seorang. Eve hanya menatap tajam keduanya. Membuat Allisya yang melihat itu tersenyum remeh memandang Eve, hari ini ia menang dari gadis itu untuk kesekian kalinya, sedangkan Liam hanya menatap Eve datar. “Membuatkan makan malam? Apa kau pikir aku sudi membuatkan makan malam untukmu? Aku membuatkannya untuk Liam, kuharap kau tau diri di sini Allisya, kau hanya parasit yang merusak rumah tangga kami, dan sudah sewajarnya parasit bersikap tau diri.” Perkataan Eve membuat Allisya menggeram. “b******k!” Allisya sudah melayangkan tangannya ke udara, namun seseorang menahannya, dan Allisya menatap Liam tak percaya. Apakah secara tidak langsung pria itu sedang melindungi Eve. “Kita akan terlambat, Ayo.” Ujar Liam menarik lengan Allisya, menghentikan gadis itu yang akan menampar Eve. “Jangan menunggu kami, mungkin kami tidak akan pulang.” Ujar Liam lirih namun begitu tegas, dan perkataan itu membuat Eve lagi-lagi mencelos, menusuk dalam hingga palung hatinya. “Y... ya.” Gadis itu berujar parau dalam kesakitannya. “Kuharap kau tidak melakukan hal yang seharusnya tidak kau lakukan Liam, jika kau benar-benar melakukan hal itu, aku..aku tidak tau apa aku masih bisa memaafkanmu dan tetap bertahan di sisimu.” Gadis itu terduduk di lantai, perkataan Liam yang mengatakan jika mereka tidak akan pulang malam ini, membuat Eve memikirkan hal yang begitu ia benci, mungkinkah mereka akan menginap di hotel, menghabiskan malam bersama dengan bercinta? Sungguh gadis itu tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jika hal itu benar-benar terjadi. *** Tetesan air langit kembali datang di malam yang pekat ini, sudah dua minggu ini hujan selalu datang di malam hari, seolah mengerti bagaimana perasaan Eve yang selalu diliputi dengan duka tentang kehidupan pernikahannya. Gadis itu terduduk di jendela kamar, memperhatikan tetesan-tetesan air hujan yang turun melalui jendela kamarnya, tangannya memeluk kedua lututnya, wajah gadis itu terlihat penuh luka, ia tidak ingin tidur sebelum memastikan jika suaminya akan pulang malam ini, ia yakin Liam tidak mungkin melakukan hal menjijikan itu dengan Allisya, dan sejak tadi gadis itu berusaha meyakinkan dirinya. Allisya dan Liam tiba di restoran yang telah Liam reservasi sebelumnya, seorang pelayan datang membawakan buku menu, Allisya begitu terpana dengan ruang VIP yang dipesan oleh Liam yang begitu romantis dan penuh makna. Berbeda dengan Allisya yang begitu menikmatinya, Liam pria itu justru tidak fokus dengan apa yang ada di hadapannya saat ini, otaknya justru menuntut pria itu untuk selalu memikirkan Eve, mengingat bagaimana wajah terluka gadis itu yang membuatnya merasakan sesak juga. Entah kenapa akhir-akhir ini wajah terluka Eve menghantui pikirannya, membuatnya tidak bisa fokus dengan apapun yang sedang ia kerjakan. “Liam,” panggil Allisya untuk yang ketiga kalinya, saat wanita itu menanyakan apa yang akan dipesan Liam. “Ahh ada apa sayang?” Liam gelagapan, ia sendiri bahkan tidak sadar telah melamun, wajah Eve begitu mendominasi pikirannya, ia sendiri juga tidak tahu ada apa dengan dirinya hingga sampai memikirkan gadis itu. “Kau melamun?” Allisya memicingkan matanya. “Memikirkan gadis itu ohk?” Perkataan Allisya membuat Liam gelagapan, bagaimana bisa Allisya begitu pandai menebak. “Apa yang kau katakan? Samakan saja pesananku denganmu.” Ujar Liam mengalihkan pembicaraan, membuat Allisya mendengus kesal. Dan makan malam yang tadinya Allisya pikir akan berjalan romantis, justru yang ia dapatkan hanya kekesalan karena Liam beberapa kali mengabaikannya, pria itu sibuk melamunkan hal yang tentu saja membuat Allisya semakin ingin menguliti Eve hidup-hidup. Ia tau pria di depannya ini memikirkan Eve. Bahkan sejak dulu mereka menjalin kekasih, Eve tetap menjadi prioritas nomor satu pria itu, saat mereka sedang makan siang pun dan jika saat itu Eve menelepon meminta Liam untuk datang, pria itu akan langsung pergi dan hanya memberikan alasan, Eve membutuhkanku. Dan sejak saat itu Allisya benar-benar membenci Eve, kedok sahabat itu hanya agar Liam tidak membencinya dan hubungannya dengan Liam tetap berjalan harmonis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD