Chapter 3A

2096 Words
Liam dan Allisya menghabiskan sarapan mereka dalam diam, setelah menunggu Allisya membersihkan diri, Liam membuatkan sandwich untuk mereka berdua, mengingat Allisya akan berangkat dengan penerbangan pagi hari ini, bukankah ia terlihat sebagai pria idaman, yang begitu pengertian terhadap wanitanya, membuatkan sandwich? Ck bahkan hal seperti itu dilakukan Liam Hwang untuk Allisya. Liam memandang pintu di sebelah kamarnya yang masih tertutup, ada sedikit rasa khawatir mengingat Eve tidak pernah bangun sesiang ini, namun ia mengabaikan rasa itu, mungkin Eve masih terlelap karena ketakutannya semalam. Batin pria itu acuh. “Sayang,” Liam tersenyum melihat Allisya yang keluar dari kamar dengan pakaian kantornya, membuat wanita itu berkali-kali lipat terlihat anggun. Berbeda dengan Liam yang terus tersenyum menyambut wanita itu, Allisya justru menunjukkan wajah kesalnya, karena hal tadi, ia merasa secara tidak langsung Liam menolaknya, menolak berhubungan intim dengannya, dan ia berjanji akan membuat Liam melakukannya setelah ia kembali dari Jepang, ia harus mengikat Liam bagaimana pun caranya. “Sayang, kau masih marah padaku?” Liam merangkul pinggang ramping itu dan mencium pipi Allisya kilat, Allisya langsung melepaskan tangan Liam dan menuju kursinya, menarik kursi itu begitu keras hingga menimbulkan suara berderit. “Aku kesal padamu Liam Hwang.” “Baiklah, baiklah aku minta maaf oke. Apa yang harus aku lakukan agar mendapat maaf darimu?” Ujar Liam masih dengan senyum manisnya. “Bercinta denganku.” Ujar Allisya tegas, astaga wanita ini benar-benar tidak memiliki harga diri. “Allisya, sudah berapa kali kubilang, aku tidak akan melakukannya, ini untuk kebaikanmu.“ Ujar Liam menghela nafas, Allisya membanting pisau yang ia gunakan, dan langsung beranjak. “Aku pergi.” “Aku akan mengantarmu sayang.” Ujar Liam menggenggam lembut tangan wanitanya, Allisya tidak menolak, namun gadis itu masih menunjukkan kekesalannya. Eve beranjak dari kamarnya setelah mendengar suara pintu yang berderit, Liam selalu mengantarkan Allisya, sedangkan pria itu selalu mengacuhkannya yang notabene adalah istrinya. Gadis itu menghembuskan nafasnya lelah, bahkan ini masih pagi, dan lagi-lagi isakan itu mengiringi hari-harinya. Ia bersiap dengan kegiatan rutin hariannya. Bagaimana pun ia memiliki tanggung jawab untuk mengurus Liam , walau pria itu terkadang menolaknya. ‘Ck apa dengan menangis bisa mengubah semuanya Evelyne?’ gadis itu menertawakan dirinya, menyadari kelakuan bodoh yang ia lakukan berkali-kali. Eve menuju dapur, dan melihat dua potong sandwich yang belum tersentuh sama sekali, mungkinkah Liam yang membuatnya untuk gadis itu? dan Eve hanya bisa tersenyum miris. Ini hari minggu, dan dia tidak tau harus melakukan apa, mengerjakan laporan penelitiannya pun ia benar-benar dalam konsentrasi yang buruk, ia membuka kulkas dan mengambil bahan-bahan, setidaknya ia harus membuat sarapan, untuk dirinya, dan mungkin Liam jika pria itu mau memakannya, Eve mengangkat bahunya acuh, setidaknya ia sudah melaksanakan kewajibannya. Satu jam sudah ia berkutat dengan peralatan dapur, dan semua makanan kini telah tertata rapi di meja makan. Gadis itu membuat Mashed Potato dan scrambled egg serta caramel macchiato favoritnya. “Baiklah Evelyne, nikmati makananmu dan lupakan hal-hal menyakitkan yang terjadi.” “Istri macam apa yang makan tanpa menunggu suaminya,” suara itu membuat Eve menghentikan kegiatannya, ia menoleh ke belakang dan melihat Liam yang menatapnya tajam di pintu dapur. Pria itu perlahan mendekat dan mengambil tempat duduk di depan Eve. “Kupikir kau sudah sarapan, dan akan pergi bersamanya,” Eve melirik sandwich yang dibuat sebelumnya, membuat Liam berdehem, ia sebenarnya ingin menanyakan keadaan gadis itu, namun pertanyaan itu seolah tertahan di kerongkongan. “Dia pergi ke Jepang selama seminggu untuk urusan bisnis,” Liam memberitahunya, Eve hanya menganggukkan kepalanya dan bersikap acuh, entahlah, ia merasa tidak ingin terlalu berharap dengan semua ini, ia hanya ingin mempertahankan semampu yang ia bisa, dan tidak mengecewakan Vhiena, mertuanya. “Apa.... kau baik baik saja?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Liam Hwang. “Kau menanyakan keadaanku yang mana? Hatiku yang terus kau sakiti? Kehidupanku yang berubah? Atau fisikku?” Tanya Eve tersenyum sinis, Liam hanya bungkam, tak mengira Eve akan mengatakan seperti itu. “Sepertinya kau baik-baik saja” Ujar Liam dingin, menyimpulkan sendiri, membuat Eve tersenyum miris. “Ya aku baik-baik saja, berasumsilah seperti itu.” Ujar Eve lirih, ia mendorong kursi itu ke belakang, dan menyudahi sarapannya yang bahkan belum habis setengahnya. Ia mengambil cangkir dan membawa caramel macchiato-nya. “Bukankah sudah kukatakan, berhenti mengonsumsi coffee berlebihan Evelyne!! Apa lagi di pagi hari.” Suara Liam lagi-lagi menginterupsi kegiatannya. “Berhentilah mempedulikanku Liam Hwang, jika nyatanya kau kembali menyakitiku, kau membuatku berharap lebih dengan kepedulianmu, namun di waktu yang sama kau juga kembali menyakitiku.” Eve memandang Liam dengan tatapan terluka, ia meletakkan cangkir itu kasar, dan pergi meninggalkan dapur. Liam yang melihatnya hanya menghembuskan nafas kasar, ia merasa ada yang salah dengan dirinya pagi ini, ahh bahkan sejak semalam, sejak Eve terlelap dalam rengkuhannya, ia merindukan gadis itu, yang selalu ada untuknya, tujuan utama saat ia dilanda masalah, tujuan utama untuk memberikan kabar bahagia yang ia dapatkan setiap hari, ia merindukan senyum tulus gadis itu yang tertuju hanya untuknya. Dan Liam hanya ingin memperbaiki hubungannya, setidaknya kadar ia menerima pernikahan ini sudah lebih baik dari sebelumnya, ia akan menerima Eve sebagai istrinya namun tidak dengan hatinya, ia masih mencintai Allisya, dan itu tidak bisa tergantikan menurutnya. “Eve,” Panggil Liam melihat Eve yang kembali keluar kamar dengan pakaian yang lebih santai dari biasanya, rambut gadis itu di cepol menjadi gulungan sehingga memperlihatkan leher jenjangnya, dan beberapa anak rambut yang menjuntai membuat kadar kecantikan wanita itu bertambah. “Apa? Ada yang kau perlukan?” Tanya Eve, bahkan saat gadis itu kesal pada Liam , ia tetap saja mempedulikan pria itu. Bukankah dia begitu baik. “Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Liam , ia sendiri bingung harus memulai percakapan yang terasa canggung ini dari mana. “Tentu saja membersihkan apartemen, apa lagi?” Eve menanggapi seadanya, gadis itu menuju dapur dan membereskan makanan dan juga piring kotor, Liam yang berada di ruang tamu yang berhubungan dengan dapur, terus memperhatikan gerak-gerik Eve. “Mungkin aku bisa membantumu,” Liam sudah berdiri di belakang gadis itu, membuat Eve terkejut. “Tidak ada. Kau tidak ke rumah sakit?” Tanya Eve datar. “Ck. Kau ini, bukankah ini weekend.” Liam mengacak- ngacak rambut Eve. “Yakk!!!” Telepon rumah yang berdering membuat mereka berdiam, dan saling memandang, siapa yang menelepon sepagi ini, tidak biasanya. Itulah yang ada di pikiran keduanya. “Biar aku yang mengangkat.” Liam menuju ruang tamu, namun Eve tetap mengikuti pria itu dan berdiri di sampingnya. “Hallo,” Liam langsung menjauhkan gagang teleponnya saat suara di seberang sana berteriak begitu nyaring. Eve yang melihatnya bertanya tanpa suara. “Mommy, kau tidak perlu berteriak seperti itu, pendengaranku masih normal.” Ujar Liam kesal, dan detik berikutnya terdengar kekehan dari seberang sana. “Ck. Anak tidak tau diri, setelah menikah kau melupakan rumah ohk? Mommy tidak mau tau, malam ini kau dan istrimu harus menginap di sini. Titik. Mommy tutup.” Liam hanya melongo memandang gagang telepon yang telah terputus sambungannya. “Hahh. Astaga wanita tua itu.” Liam menganga tak percaya, Mommynya masih saja selalu memaksanya. “Ada apa?” Eve menatap Liam penasaran, apalagi dengan ekspresi Liam yang seperti itu. “Mommy meminta kita untuk menginap di rumah malam ini, dan astaga wanita tua itu masih saja memaksa anaknya, kau tau bagaimana sifat dia Eve. Benar benar super mom.” Ujar Liam menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat Eve terkekeh. “Ya sudah, setelah aku membersihkan apartemen kita ke sana, lagi pula sejak kita menikah kita belum pernah berkunjung ke rumah.” Liam menganggukkan kepalanya, ia terlalu sibuk hingga melupakan rumah. “Baiklah, aku akan membantumu membersihkan apartemen hari ini.” Liam menggulung lengan bajunya ke atas, dan mengambil vacuum cleaner yang tadinya berada di tangan Eve. Eve yang melihat itu melongo seketika, benarkah ini Liam ? Sikap pria itu berbanding terbalik dengan kemarin dan tadi, bahkan ia masih ingat bagaimana Liam menamparnya, dan dalam hati ia tersenyum begitu tulus, ia berharap Liam akan seperti ini selamanya. Dan satu hari itu mereka membersihkan apartemen bersama, mulai dari mengelap kaca, mencuci bed cover dan membersihkan seluruh ruangan, bahkan semua itu tidak terasa melelahkan karena mereka mengerjakannya dengan penuh tawa, hingga sore menjelang apartemen yang semulanya berantakan itu kembali bersih dan tertata rapi. “Akhirnya,” ujar Eve meluruskan kakinya di sofa ruang tamu. Liam yang melihat itu tersenyum, ia menuju kulkas dan mengambil air mineral, senyum evil itu muncul seiring mendekatnya ia menuju gadis itu. “Awwww,” Eve tersentak kaget saat sesuatu yang dingin menyentuh wajahnya, dan ia melotot kesal saat tahu Liam yang melakukannya. “Yakk, menyebalkan.” Eve melempar Liam dengan bantal sofa di tangannya, sedangkan pria itu sudah tertawa melihat ekspresi kesal Eve. Gadis itu bangkit dari tidurnya, dan menghampiri Liam, menatap Liam dengan senyum evilnya dan langsung menendang tulang kering Liam . “Yakk! Arrghh.” Liam mengumpat memegangi tulang keringnya, saat gadis itu berlari ke kamar dan menutup kencang pintu hingga menimbulkan suara berdebam. “Rasakan itu. Cepatlah mandi, dan kita langsung ke rumah Mommy.” Teriak Eve dari dalam kamar membuat Liam menghentakkan kakinya kesal, dan ikut membanting pintu kamarnya. *** Liam dan Eve tiba di kediaman keluarga Hwang saat matahari terbenam, Vhiena langsung memeluk Eve begitu melihat menantunya datang bersama anaknya. Ia begitu merindukan gadis itu, gadis yang telah memberikan kehidupan pada dirinya. “Sayang, Mommy begitu merindukanmu.” Vhiena memeluk Eve begitu erat, membuat Liam tertegun, belum pernah ia melihat ibunya begitu merindukan seseorang sampai seperti ini, bahkan wanita itu meneteskan air mata. “Aku juga merindukan Mommy,” Ujar Eve mengusap punggung wanita itu. “Apa Mommy sudah sehat?” Tanya Eve melepaskan pelukan itu, Vhiena mengangguk dan menangkup wajah Eve dengan kedua tangan tuanya itu. “Mommy, kau mengabaikan anakmu ini, astaga.” Liam menggerutu kesal, membuat Vhiena terkekeh dan menghampiri Liam, memeluk anak bungsunya itu, yang memiliki tubuh lebih tinggi darinya. “Mommy juga merindukanmu sayang,” Liam mendekap erat tubuh Mommynya, wanita tua yang beberapa waktu lalu harus terbaring di ranjang pesakitan karena sakit liver yang di deritanya. Masih jelas di ingatan Liam bagaimana ibunya begitu pucat di ranjang putih itu, menunggu donor hati, sedangkan dirinya dan ayahnya tidak bisa mendonorkannya karena golongan darah mereka yang berbeda, dan satu satunya yang bisa mendonorkan adalah Louisa, kakaknya, namun saat itu Louisa tengah mengandung anak pertamanya, membuat wanita itu juga tidak bisa melakukan apapun untuk menolong ibunya, hingga pertolongan itu datang, bahkan hingga sekarang ia tidak tahu siapa yang telah berbaik hati memberikan hatinya pada ibunya itu. Ia saat itu benar-benar frustasi, ia hanya membutuhkan satu lobus dari seseorang yang memiliki golongan darah sama dengan ibunya, dan satu lobus hati yang akan seseorang donorkan itu tidak akan membuat orang itu meninggal, karena pada dasarnya hati memiliki dua lobus yang salah satu lobusnya bisa didonorkan, hal tersebut dimungkinkan karena sel-sel hati akan tumbuh kembali atau beregenerasi sampai hati tersebut berukuran seperti semula, sehingga tidak akan membahayakan bagi pendonor maupun penerima, namun mencari hal itu pun sangat sulit dirasakan oleh Liam , hingga saat tengah malam, seorang suster menghubunginya jika mereka telah menemukan donor itu, Liam langsung bergegas menuju rumah sakit, dan saat ia tiba di rumah sakit, dokter kepala organ dalam rumah sakit itu telah mengambil tindakan untuk operasi ibunya, dan Liam hanya bisa menunggu di luar ruang operasi, bahkan hingga sekarang ia tidak tahu siapa yang mendonorkan hati itu kepada ibunya. “Liam ,” panggil Vhiena melihat anaknya yang melamun. “Ohk? Ada apa Mommy?” Ujar Liam tergagap. “Temuilah Daddy di ruang kerjanya, Mommy dan Eve akan membuatkan makan malam dulu,” Liam menganggukkan kepalanya dan langsung menuju ruangan Joseph, ayahnya. “Sayang, ayo.” Vhiena menggenggam tangan Eve untuk menuju dapur. “Apa Liam memperlakukanmu dengan baik?” Tanya Vhiena membuat Eve terdiam, namun perlahan gadis itu menganggukkan kepalanya. “Mommy, tentu saja Liam memperlakukanku dengan baik.” “Maafkan Mommy, karena hal ini, Mommy mengambil kebebasanmu, karena kau mendonorkan hatimu untuk Mommy, dan syarat pendonor itu harus merupakan keluarga pendonor.” Vhiena menggenggam tangan Eve dan tersenyum tulus, ia benar-benar menyesal karena mengambil kebebasan gadis itu. “Mommy, apa yang kau bicarakan? Aku menikah dengan Liam karena aku mencintainya, sudahlah, apa yang Mommy pikirkan, yang terpenting adalah kesehatan Mommy.” Eve balik menggenggam tangan Vhiena dan tersenyum begitu tulus, ia sangat menyayangi wanita itu, yang kini berdiri di depannya, sama seperti ia menyayangi ibu kandungnya. Dan jujur ia tidak pernah mengharapkan imbalan dengan apa yang telah ia berikan pada Vhiena, bahkan menikah dengan Liam , karena hal tersebut tak pernah terlintas sedikit pun, namun persyaratan saat pendonor memang wajib dari pihak keluarga, dan Vhiena, menginginkan Eve sebagai menantunya untuk menjadi bagian dari keluarga Hwang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD