Setelah menyelesaikan makan malam mereka, Eve kembali ke kamar Liam, tempat mereka berdua tidur malam ini, gadis itu langsung menuju meja belajar dan membuka laptopnya, ia harus menyelesaikan laporan penelitiannya malam ini, besok jadwalnya dia bertemu dosen pembimbing, dan itu artinya malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi Eve untuk berlama-lama di depan laptop, Liam sejak tadi belum masuk ke kamarnya, sepertinya pria itu terlibat obrolan yang cukup serius dengan Joseph, dan Eve tidak ingin memusingkan itu.
Gadis itu masih berkutat dengan laptopnya, sesekali menyeruput coffee latte yang tadi dibuatnya, bahkan itu sudah cangkir ketiga dan kini waktu telah menunjukkan tengah malam. Mata itu sudah terasa berat, sepertinya kafein yang di konsumsi gadis itu tidak banyak memberikan efek untuk ia tetap terjaga.
“Ahhh. Evelyne, buka matamu, malam ini harus selesai. Tidak ada kata tidur.” Eve menyemangati dirinya sendiri, namun sepertinya kantuk gadis itu sudah tidak bisa ditahan, hingga ia tetidur berbantal kayu meja belajar yang cukup keras.
Liam kembali ke kamarnya dan mendapati Eve yang tertidur dengan posisi duduk dengan tangan yang menumpu sebagai bantal, di sampingnya ia melihat tiga cangkir coffee yang hanya tersisa dedaknya, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, mengingat kebiasaan Eve yang tidak hilang sampai sekarang, gadis itu coffeeholic, bahkan tidak peduli dengan kesehatan lambungnya, mungkin setelah ini ia harus membuang semua persediaan coffee di apartemen, ia masih mengingat dengan jelas bagaimana tak berdayanya Eve saat asam lambung gadis itu kambuh.
Perlahan ia membopong tubuh itu ke ranjang, ia memandang dalam wajah Eve yang begitu damai dalam tidurnya. Gadis yang begitu ia rindukan senyumannya, ia merindukan saat menghabiskan waktu bersama Eve hanya untuk berjalan-jalan di sekitar Novena, bahkan saat ia menjadi kekasih Allisya, waktunya dengan Eve tak pernah berkurang, bahkan mungkin ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama gadis itu, karena Allisya yang begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Dan entah sejak kapan, keharusan untuk melihat gadis itu setiap hari, senyuman Eve seolah candu baginya benar-benar menjadi hal mutlak untuknya, namun saat pernikahan itu terdengar, ia benar-benar merasa tidak terima, ia hanya tidak ingin menyakiti hati Allisya, namun nyatanya kini dialah yang menyakiti hati Eve, masih jelas dalam ingatannya saat Eve mati-matian menginginkan pernikahan mereka harus berlanjut, bahkan Liam sudah melakukan berbagai cara, namun semua sudah takdir, jika Eve harus menjadi istrinya, dan Liam hanya berharap jika memang Eve adalah takdirnya, ia berharap agar Allisya mendapatkan yang terbaik, namun untuk saat ini, ia belum bisa melepaskan Allisya.
***
Pagi kembali menyapa, burung-burung pun ikut bersahutan menambah suasana damai pagi ini, seorang gadis tampak terusik dari tidur panjangnya saat sinar matahari begitu menyengat kelopak yang masih terpejam itu. Eve menggeliatkan tubuhnya, merampas jam di atas nakas, dan melihatnya dengan mata yang masih sedikit terbuka, namun detik berikutnya mata itu membulat sempurna.
“Astaga,” Eve langsung berlari menuju kamar mandi, dia mengeluh kesal, kenapa dirinya bisa kesiangan padahal dia sudah mengatur alarm nya bahkan setiap lima menit sekali tadi malam.
Begitu selesai dengan mandinya, gadis itu langsung berlari menuruni tangga, ia benar-benar malu, bodoh sekali, saat di rumah mertuanya justru kesiangan seperti ini, apa yang akan mereka pikirkan jika anaknya memiliki istri seperti dirinya. Eve benar-benar merutuki kebodohannya pagi ini.
“Eve, kau sudah bangun?” Suara Vhiena menginterupsi gadis itu.
“Ya Mommy. Maaf aku kesiangan, semalam...”
“Iya, Mommy tau, Liam sudah mengatakannya,” Vhiena tersenyum lembut seperti biasanya, sedangkan Eve memandang Liam tak mengerti, memang apa yang diketahui pria itu tentang apa yang ia kerjakan semalam. “Ayo, kau harus sarapan dulu.” Vhiena menuntun Eve menuju meja makan, namun gadis itu menahan tangan keriput yang menggenggam tangannya itu.
“Aku akan sarapan di kampus Mommy, hari ini aku ada bimbingan sangat pagi, maafkan aku.” Eve membungkuk hormat.
“Ahh begitukah? Ya sudah yang terpenting kau tidak boleh melupakan sarapanmu.”
“Tentu Mommy, aku pergi.”
“Biar aku antar,” Baru saja ia melangkahkan kakinya, suara itu membuat Eve lagi lagi memandang Liam tak mengerti. “Aku juga ada operasi pagi ini.” Liam seolah menjawab kebingungan Eve, terbukti gadis itu kini menganggukkan kepalanya dan mengikuti Liam yang telah berjalan di depannya.
Di dalam mobil tak ada percakapan sama sekali, Eve bahkan terlalu canggung untuk menanyakan apapun pada Liam , Liam yang tidak lagi membentaknya, dan kini bersikap sedikit memperhatikan dirinya. Mungkinkah ini karena Allisya yang sedang pergi? Hingga pria itu bersikap seperti sekarang, tidak pernah berteriak, mengumpat atau melakukan hal kasar pada dirinya.
“Berhentilah mengonsumsi coffee berlebihan, bukankah kau sudah pernah mengalami asam lambung beberapa kali karena coffee? Dan jika kau terus mengonsumsinya, akan menyebabkan komplikasi seperti penyempitan kerongkongan, bahkan bisa menyebabkan pendarahan kerongkongan. Apa kau mau hal seperti itu terjadi Evelyne.” Ujar Liam menaikkan nada suaranya. Sedangkan Eve hanya menunduk, ia tidak tau jika Liam mengetahui ia masih suka sekali mengonsumsi coffee, selama ini ia selalu mengonsumsinya secara sembunyi-sembunyi dari Liam .
“Baiklah. Aku akan menguranginya.”
“Bukan menguranginya, tapi tidak boleh sama sekali, aku akan membuang semua coffee di apartemen, kau pikir aku tidak tau di mana kau menyembunyikan semua coffee-coffee-mu itu?” Eve lagi-lagi mengutuk dirinya, tak semudah itu menyembunyikan sesuatu dari Liam . Pria itu begitu jeli, sejak dulu, jika itu menyangkut kesehatan Eve, Liam tidak segan-segan untuk membentaknya, hanya agar gadis itu mengikuti perintahnya.
“Hemm,” Eve hanya menggumam, karena tau dirinya tidak akan pernah bisa menang dari Liam. dan setelah itu tidak ada percakapan yang terjadi lagi di antara mereka.
“Kau tidak mau turun, Eve?” Suara Liam menginterupsi Eve dari lamunannya, gadis itu tersentak dan langsung melepas safety beltnya.
“Jam berapa kau pulang?”
“Ya?”
“Jam berapa kau pulang? Aku akan menjemputmu.” Perkataan Liam lagi-lagi membuat Eve terkejut untuk yang kesekian kalinya pagi ini, pria itu benarkah benar-benar telah berubah atau ini hanya berlaku sementara?
“Ahh, kau tidak perlu....”
“Jam berapa kau pulang, Eve?!” Tanya Liam tak terbantahkan.
“Aku harus melanjutkan penelitianku setelah bimbingan, mungkin aku pulang sekitar jam tujuh malam.”
“Baiklah. Aku akan menjemputmu di sini jam tujuh malam.” Eve hanya menganggukkan kepalanya dan turun dari mobil Liam , setelahnya mobil Liam langsung melaju meninggalkan halaman kampus.
“Eve,” seseorang menempelkan sesuatu yang terasa hangat di wajah gadis itu.
“Dareen,” Eve merengut kesal.
“Americano untuk Evelyne si gadis manis.” Perkataan Dareen membuat Eve tersenyum, ia mengambil cup coffee itu hingga berpindah ke tangannya. Dan detik berikutnya ia langsung menyeruput coffee hitam yang terasa pahit di lidahnya.
“Apa hari ini kau akan menemui Mr. Kim?” Pertanyaan Dareen membuat Eve mengangguk lesu.
“Setelah ini kau harus membantuku di lab Dareen, ya ya kumohon,” Eve memohon dengan tatapan memelas.
“Baiklha, aku akan membantumu.” Dareen mengacak acak rambut Eve gemas.
***
Malam kembali datang, namun kedua manusia itu seolah tidak peduli dengan keadaan yang tadinya terang berubah menjadi gelap, mereka terlalu fokus dengan apa yang dikerjakannya. Eve dan Dareen yang masih berkutat dengan cairan-cairan kimia untuk tesis gadis itu, bahkan kini jarum jam sudah menunjukkan jam setengah tujuh malam, sudah waktunya mereka mengakhiri ini semua.
“Eve, ayo akhiri di sini hari ini, kau terlihat lelah dan pucat, tidak baik terlalu lama di dalam lab, apalagi kita sudah seharian di sini.” Dareen melepaskan sarung tangan lateks dan masker di mulutnya, memandang wajah gadis yang terlihat lelah itu.
“Ya, aku benar-benar merasa lelah, dan penelitian ini harus masih berjalan selama dua bulan untuk aku mendapatkan datanya.” Eve berujar lesu, ia melakukan apa yang tadi Dareen lakukan, melepaskan masker dan sarung tangannya, dan membasuh tangannya di wastafel lab tersebut.
“AYo. Aku akan mengantarmu pulang dan menraktirmu makan malam.” Ujar Dareen antusias.
“Maaf Dareen , Liam bilang akan menjemputku hari ini, bolehkah aku mengambil tawaranmu di lain hari?” Perubahan wajah Dareen membuat Eve merasa bersalah, padahal ia selalu meminta bantuan pria itu, namun hanya untuk hal kecil seperti ini ia tidak bisa mengabulkan permintaan Dareen.
“Baiklah, tidak apa-apa.. Aku akan mengantarmu sampai depan gerbang.” Dareen berusaha mengembalikan mimik wajahnya menjadi baik-baik saja.
Liam sudah menunggu Eve sejak setengah jam yang lalu dari waktu kepulangan Eve deperti yang dikatakan gadis itu tadi pagi, hari ini ia sudah tidak memiliki pasien dan jadwal operasi lain, jadi ia bisa menjemput Eve sebelum waktu yang dikatakan gadis itu, ia sendiri tidak mengerti kenapa harus menjemput Eve kali ini, hanya saja ia merindukan saat-saat bersama gadis itu yang kadang membuatnya tersenyum sendiri, namun rahangnya mengeras begitu ia melihat Eve dan Dareen yang terlihat saling melempar senyum, dan sesekali mereka tertawa bahkan Dareen mengacak-acak rambut gadis itu, Liam mencengkram erat setir kemudi melihat keakraban mereka berdua.
“Sialan,” umpatnya meninju setir mobil, ia berusaha meredakan amarahnya sebelum Eve memasuki mobil. Dan berusaha tidak tau apa apa.
“Dareen, Aku pulang. Terima kasih untuk hari ini.” Eve melambaikan tangannya dan tersenyum sebelum berpisah dengan Dareen, ia melihat mobil Liam yang sudah terparkir di pintu gerbang kampus fakultasnya dan tidak ingin membuat Liam menunggu lebih lama. Setelah berpamitan dengan Dareen ia langsung berlari kecil menuju mobil suaminya itu.
Eve membuka pintu mobil itu dengan pelan, dan melihat Liam yang memasang wajah datar, bahkan setelah ia masuk mobil pria itu langsung menjalankan mobilnya tanpa ada pembicaraan apa pun.
“Terima kasih telah menjemputku,” Eve memulai percakapan, merasakan suasana di antara mereka berdua yang begitu kaku.
“Hhmm,” hanya gumaman yang terdengar dari mulut Liam membuat nyali gadis itu menciut. Ia memilih diam, memandang keluar jendela, perutnya terasa begitu perih sejak tadi sore, namun ia mengabaikannya, dan kini rasa perih itu semakin menjadi. Gadis itu beringsut, menempelkan kepalanya pada kaca mobil dan mencengkram perutnya erat, perutnya benar-benar terasa perih.
“Astaga, apa asam lambungku naik?” Eve membatin, keringat dingin sudah membasahi wajahnya, ia melirik Liam yang masih dengan wajah dinginnya, membuatnya tidak berani mengatakan apa yang dirasakannya kini. Sungguh perutnya benar-benar nyeri. Dan yang bisa ia lakukan hanya menggigit bibir bawahnya berharap ia cepat segera tiba di apartemen. Entah berapa lama ia menahan sakit itu, bahkan kesadarannya hampir hilang, namun saat suara Liam yang menginterupsi jika mereka berdua telah tiba membuat Eve membuka matanya, gadis itu membuka pintu mobil dengan pelan, tenaganya seolah habis dan keringat dingin masih terus membanjiri tubuhnya, Liam sudah keluar dari mobil dan langsung pergi meninggalkan Eve, pria itu masih kesal melihat Eve yang begitu dekat dengan Dareen tadi, niatnya malam ini ia ingin mengajak Eve makan malam, namun niat itu menghilang begitu saja saat melihat kemesraan mereka berdua.
Eve berjalan tertatih dengan memegangi perutnya, ini yang sejak dulu terjadi jika ia tidak menuruti ucapan Liam untuk menjaga kesehatannya, pasti akan berakhir dengan dirinya yang jatuh sakit, dan lihatlah sekarang dia sendirian, pria yang dulu sangat peduli padanya kini bersikap acuh kembali, pria itu seperti bunglon yang mudah berubah secepat kilat. Benar-benar membuat gadis itu bingung juga.
Eve menghentikan jalannya, saat kepalanya juga mendengung nyeri, perutnya semakin perih dan ia sudah benar-benar lemas, hingga ia merasakan kesadarannya perlahan menghilang dan tubuhnya jatuh bersamaan dengan hilangnya kesadaran dirinya.