4

1182 Words
Kita sama-sama berjuang, aku berjuang untuk kamu dan kamu berjuang untuk dia. -Rara. *** Seribu kali kucoba menghindari Seribu kali kucoba tak kembali Namun langkahku menjadi kian pasti Menatap bayangmu dalam cinta yang semu Seribu kali 'ku menatap gambarmu Seribu kali 'ku menyebut namamu Hasrat padamu kian mendesak kalbu Namun selalu aku merasakan Tak mampu Ke mana 'ku harus melangkah? Jejakmu samar-samar kuikuti Ke mana 'ku harus melangkah? Cintamu terlalu sulit untukku Terangilah kasih lentera cintamu itu Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Ke mana 'ku harus melangkah? Jejakmu samar-samar kuikuti Ke mana 'ku harus melangkah? Cintamu terlalu sulit untukku Terangilah kasih lentera cintamu itu Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Terangilah kasih lentera cintamu itu Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Seribu kali kucoba menghindari Seribu kali kucoba tak kembali Namun langkahku menjadi kian pasti Menatap bayangmu dalam cinta yang semu Seribu kali 'ku menatap gambarmu Seribu kali 'ku menyebut namamu Hasrat padamu kian mendesak kalbu Namun selalu aku merasakan Tak mampu Ke mana 'ku harus melangkah? Jejakmu samar-samar kuikuti Ke mana 'ku harus melangkah? Cintamu terlalu sulit untukku Terangilah kasih lentera cintamu itu Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Ke mana 'ku harus melangkah? Jejakmu samar-samar kuikuti Ke mana 'ku harus melangkah? Cintamu terlalu sulit untukku Terangilah kasih lentera cintamu itu Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Terangilah kasih lentera cintamu itu Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan Agar 'ku tak jatuh dalam kegelapan   Lagu yang dibawakan utopia yang lentera cinta itu menjadi lagu kesukaan Rara, yang sering dia putar karena menggambarkan isi hatinya.     Rara mengembuskan napasnya berkali-kali mengingat bagaimana penolakan yang selalu Iqbal lontarkan untuknya. Sebenarnya ia lelah berjuang sendirian, mencintai tapi tak bisa memiliki. Hatinya tidak ingin berhenti karena menurutnya 'sekeras apa pun hati seseorang menolak kita pasti suatu saat akan luluh' dan mantra itu yang selalu Rara pegang untuk menyemangati dirinya sendiri. "Lagi pikir apa hm?" tanya Valen karena melihat Rara tidak menyentuh makanannya dan pandangannya kosong ke depan. Valen menepuk pundak Rara membuat gadis itu tersentak dan menaikkan sebelah alisnya. "Lagi pikir apa?" ulang Valen. Rara mengendikkan bahunya namun sedetik, kemudian ia bertanya, "boleh curhat gak, Kak?" Valen mengangguk. "Tentu, apa pun." Sebelum berbicara Rara menghela napas beratnya beberapa kali. "Waktu kelas 7 aku tertarik sama kakak kelasku, aku pikir ketertarikan atau rasa suka itu hanya bersifat semu, bisa dibilang cinta monyet. Tapi aku salah, seiring berjalannya waktu perasaan itu kian kuat." Rara menerawang ke masa lalu di mana ia selalu memberi bekal untuk Iqbal melalui Naufal dan Rara tahu bekal itu akan berakhir di perut Naufal. "Aku menyia-nyiakan masa remajaku hanya untuk mengejar dia, gak pernah tahu yang namanya pacaran kayak teman-teman aku yang lain, aku cuma menunggu dia. Aku seperti penguntit, masuk di SMA yang sama dengan dia bahkan sampai kuliah, aku rela jauh dari Mama cuma buat ikut dia kuliah ke Jogja, aku cari tahu semua tentang dia." Rara tersenyum miris. "Tapi hanya penolakan yang aku dapat. Kenapa aku begitu mencintainya padahal hanya kesakitan yang aku rasakan." Bahu Rara bergetar, sebulir air mata jatuh ke pipinya. Mencintai tapi tak dapat memiliki itu memang hal yang sangat menyakitkan dan merelakan orang yang kita cintai bersama orang lain itu adalah hal terberat apalagi kita sudah memperjuangkan sebegitu lamanya. "Kenapa dia gak bisa menerima kamu?" tanya Valen akhirnya. "Dia bilang sedang memperjuangkan orang lain. Konyol bukan? Aku memperjuangkan dia dan dia memperjuangkan orang lain." "Jatuh cinta memang terkadang menyakitkan, aku pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan pacaran tapi ternyata semua bullshit, semua rasa yang dia tunjukkan saat itu hanya karena tuntutan peran yang sedang dimainkan," ujar Valen, lalu menepuk pelan bahu Rara. "Tapi kita gak bisa terus terjebak oleh masa lalu karena ada masa depan yang harus kita tata, berhenti berharap pada sesuatu yang bukan takdir kita. Percayalah, semua orang punya porsi takdirnya masing-masing. Rara hanya bergeming. "Perjalanan kamu masih panjang, hidup gak melulu soal cinta. So, move on," ujar Valen sebelum membawa piring bekas makanannya ke dapur. "Itu makanannya dihabiskan!" setelah itu Valen menghilang dari balik tembok yang menjadi pembatas antara ruang makan dan dapur. Ngomong-ngomong tentang Valen dan Rara kenapa bisa tinggal satu rumah. Jadi, Rara ini adalah adik sepupu dari istri Abangnya Valen yang tinggal di New York saat itu. Sekarang Abangnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta, jadi Valen juga ikut dan Rara lah yang merekomendasi Valen agar mengajar di kampusnya dan ternyata diterima dengan baik. Awalnya Rara memang nge-kost tapi semenjak ada Valen, mereka jadi kontrak satu rumah yang dihuni berdua. Tak lama kemudian muncul satu pesan WatsApp di ponsel Valen yang ada di atas meja. "Kak, ada yang w******p," ujar Rara setengah berteriak kemudian Valen menyelesaikan cuci piringnya dan meraih benda canggih tersebut. 082236xxx : sibuk gak? Saya telepon ya Belum juga Valen membalas, langsung masuk satu panggilan, mau tak mau Valen mengangkat panggilan tersebut. "Ya?" "Assalamu'alaikum, calon makmum." "Wa'alaikumsalam, ada apa?" "Seharusnya Ibu jawab,Wa'alaikumsalam, calon imam." "Gas terus sampai mampus," terdengar suara seseorang di seberang sana. Yang tak lain dan tak bukan adalah Naufal, sahabatnya Iqbal. "Bisa to the point?" Rara penasaran siapa orang yang menghubungi Valen. "Saya mau ajak Ibu jalan, mau gak? Biar saya jemput." "Saya sibuk." "Kalau saya ajak Ibu balikan, mau gak?" "Gak." "Ibu masih sayang gak sama saya?" "Gak." "Ibu bakal nolak gak kalau saya bawa ke KUA besok." "Gak." Valen yang baru saja tersadar akan jawabannya langsung meralat, "iya saya nolak maksudnya." "Opsi pertama dong, Bu. Tunggu Abang Iqbal melamarmu ya, Ibu Valen." "Iqbal Navrilio Alfahreza, saya benci kamu!" "Saya juga cinta Ibu Valencia Dilla Berlian." Tut! Setelah itu Valen mematikan sambungannya secara sepihak dan Rara langsung bertanya karena ia penasaran tentang hubungan Valen dengan si penelepon. "Kak Valen ada hubungan apa dengan Iqbal?" karena tadi Valen menyebutkan nama panjang Iqbal jadi Rara semakin penasaran tentang mereka. "Nanti aja ya tanyanya, aku mau ke kamar dulu." Kenapa kak Valen benci Iqbal? *** Valen menatap selembar foto yang telah usang. Ia menatap dirinya yang di rangkul oleh cowok tampan yang berhasil membuatnya jatuh cinta dan merasakan indahnya pacaran meski hanya sesaat. "Andai kamu gak permainkan aku mungkin sampai sekarang kita masih bersama." Rasa kecewa Valen mampu menutupi rasa cintanya untuk Iqbal, dipermainkan itu rasanya amat sakit bahkan untuk sekadar menatap wajahnya, mengingat namanya atau mendengar suaranya begitu menyesakkan. "I hate you, Iqbal!" Valen merobek selembar foto tersebut. Tanpa Valen sadari, sedari tadi Rara memperhatikan Valen dari balik pintu. Rasanya untuk menghirup oksigen pun amat susah, meski Rara tidak tahu bagaimana masa lalu mereka tapi setidaknya Rara tahu Valenlah orang yang sedang diperjuangkan oleh Iqbal. Rara membuka pintu lebar dan berjalan menghampiri Valen. "Orang yang aku perjuangkan sedang memperjuangkan k Kak Valen." Valen langsung mendongak menatap Rara. "Jadi?" "Iya, dia Iqbal. Iqbal Navrilio Alfahreza cowok yang aku ceritakan tadi." Valen tercengang mendengar penjelasan Rara. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa Rara harus mencintai pria masa lalu Valen? "Kaka beruntung!" ujar Rara setelah itu keluar dari kamar Valen. Valen memejamkan matanya sejenak mengusir rasa sesak kemudian ia mengirim pesan kepada Iqbal. Valen : Lupakan saya dan buka hatimu untuk Rara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD