Apa jaminannya kalau kamu gak akan sakiti saya seperti beberapa tahun silam? -Valen
***
"Happy birthday, happy birthday, happy brithday to Alen." Setelah para hadirin menyanyikan lagu tersebut, Alen meniup lilin angka 6.
Pesta ini tidak meriah, hanya ada Gavril, Alana, Zea, Kenzio, Iqbal dan Valen.
"Alen potong kuenya dong," pinta Zea.
"Gak bisa, potong aja sendiri."
"Kalau buat Abang, Alen mau potongin gak?" tanya Iqbal.
Alen mengangguk dan segera memotong kue tart berukuran sedang tersebut dan memberikannya kepada Iqbal.
"Giliran buat Abang kesayangan aja mau potongin, dasar!" cibir Zea.
Setelah itu Alen memberikan sepotong kue lagi kepada Valen. "Ini buat Kakak cantik."
Valen menerima kue tersebut. "Makasih Alen, Sayang."
"Buat Mama sama Papa gak mau potongin, Sayang?" tanya Alana.
Alen menggeleng seraya mengeluarkan cengirannya. "Alen lelah, Mama."
Kenzio mencubit hidung Alen membuatnya meringis. "Gitu ya giliran Abang Iqbal sama Kak Valen aja mau potongin."
Alen memeletkan lidahnya. "Mana kado buat Alen?"
"Minta aja sama Abang Iqbal," ujar Kenzio seraya melipat kedua tangan di depan d**a.
Alen bertanya kepada Iqbal. "Abang, kado buat Alen mana?"
Iqbal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kado dari Abang dan Kak Valen minta aja ke Papa."
"Kado dari Kak Zea juga minta ke Papa."
"Dari Mama juga minta ke Papa."
"Dari Om Zio juga ya minta ke Papa."
Gavril membulatkan matanya. "Heh, kenapa minta ke Papa semua?"
"Horeeeeee." Alen bersorak gembira. "Besok kita beli sepeda yang paling mahal ya, Pa."
"Mau gak, ya?"
"Pokoknya harus!"
Melihat kehangatan keluarga ini membuat aku rindu kehangatan keluargaku pada masa itu. Ayah, Bunda. Valen kangen.
***
Acara ulang tahun pun selesai dan mereka sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya Valen yang masih duduk di tepi kolam renang seraya mengayunkan kakinya ke dalam kolam, matanya menatap bintang yang bersinar terang nun jauh di sana.
Tanpa Valen sadari ada seseorang yang menghampirinya. "Waktu kecil saya suka menatap bintang dan berkata; dari jutaan bintang di langit itu pasti ada satu buat aku."
Valen berdiri lalu berbalik menatap Iqbal.
"Ibu tahu bintang saya ada di mana?"
Valen menggeleng.
"Ada di depan saya sekarang."
Valen tersenyum tipis. "Dasar!"
"Saya masih menunggu jawaban dari Ibu." Memang Valen belum memberikan jawaban atas pertanyaan yang Iqbal ajukan semalam.
"Ke dalam aja." Valen berjalan masuk ke ruang tengah dan duduk di sofa yang diikuti oleh Iqbal.
Valen memejamkan matanya sejenak, mengusir rasa sesak setiap kali mengingat masa lalunya bersama Iqbal, ia menatap Iqbal intens. "Apa jaminannya kalau kamu gak akan menyakiti saya untuk kedua kalinya?"
"Ibu—"
"Jangan potong dulu, saya belum selesai bicara, kita memiliki masa lalu yang gak baik, Iqbal. Kamu pernah membuat saya melambung tinggi, lalu terhempas begitu saja, bahkan rasa sakit yang saya rasakan masih membekas di hati."
Iqbal hanya mendengarkan.
Valen menghela napas pelan. "Jujur saya senang berada di dekat kamu, saya sering baper kalau digombali sama kamu dan saya masih deg-degan saat jemari saya digenggam sama kamu, tapi saya takut kamu akan menyakiti saya untuk kedua kalinya."
Iqbal meraih jemari Valen lalu menggenggamnya dengan lembut. "Saya akui, Bu. Saya pernah menciptakan luka di hati Ibu dan saya paham setiap luka yang tertanam selalu menyisakan bekas." Iqbal menjeda ucapannya. "Tapi, Bu. Setiap orang punya kesempatan kedua, kan? Saya akan berusaha menjadi Iqbal yang baik yang selalu cinta sama Ibu, saya akan menjadi suami yang baik dan ayah yang baik untuk anak-anak kita kelak."
"Seandainya saya memberikan kesempatan itu sama kamu, lalu bagaimana dengan hati Rara?"
Iqbal terdiam, sedetik kemudian Iqbal mengembuskan napas kasar. "Lupakan tentang dia, yang terpenting adalah tentang kita, tentang aku dan Ibu yang masih mencintai."
"Egois itu namanya, Bal. Saya gak bisa menyakiti perasaan dia. Keluarganya begitu baik sama saya, dia sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri."
"So, jawabannya?"
"Sorry, status kita hanya sebatas mahasiswa dan dosen." Valen melepaskan genggaman tangan Iqbal lalu meninggalkan Iqbal yang masih mencerna jawaban Valen.
Iqbal berdiri lalu berucap, "Kenapa Ibu mengorbankan perasaan Ibu hanya untuk menjaga perasaan Rara?"
Valen menghentikan langkahnya.
"Mungkin saya terkesan bodoh karena terus mengejar Ibu, semua orang punya titik jenuh, semua ada masanya. Hari ini saya masih mengejar Ibu, siapa tahu besok saya memilih berhenti karena Ibu gak menghargai perjuangan saya." Iqbal menghela napas pelan. "Mungkin saya gak setangguh Rara dalam memperjuangkan seseorang, jadi kalau saya lelah saya memilih berhenti."
Valen berbalik dan menatap Iqbal. "Coba buka hati kamu untuk Rara, dia baik dan dia cocok untuk kamu."
"Saya gak mau menjalin hubungan dengan orang yang saya gak cinta, itu bukan hanya menyakiti saya tapi juga menyakiti Rara." Setelah itu Iqbal melenggang pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Tubuh Valen merosot ke lantai, ia menangis dalam diam. Menumpahkan segala kesedihan yang ia rasakan, ia hanya perempuan lemah yang tidak setangguh kelihatannya. "Maafkan saya, Iqbal."
Tanpa disadari dari balik tembok ada dua orang yang memperhatikan perdebatan Iqbal dan Valen. "Mas, Zea samper Valen dulu ya."
"Iya, dia butuh sandaran. Kalau gitu Mas ke kamar dulu temani Azka dan Razka."
"Iya, Mas."
***
Zea menepuk bahu Valen. "Aku pengin ngomong sama kamu."
Valen menghapus air matanya, lalu duduk di sofa bersama Zea.
"Maaf, tadi aku nguping perdebatan kalian, dari yang aku tangkap. Kamu menolak Iqbal karena menjaga perasaan perempuan lain, begitu?"
Valen mengangguk.
"Kamu ingat dulu. Kita adalah sahabat, kamu ingin memiliki Kenzio padahal kami saling mencintai. Apa kamu pikir aku ada niat sedikitpun melepaskan Kenzio untuk kamu?"
Valen bergeming.
Zea tersenyum. "Gak sama sekali, gak ada niat sedikitpun aku melepaskan Kenzio, karena apa? Karena kami saling mencintai, bahkan dulu kami harus menentang mamanya Kenzio, berbagai cara kami lakukan agar hubungan kami tetap utuh."
Valen tetap mendengarkan.
"Lalu kamu sekarang berlagak sok malaikat ingin melepaskan Iqbal hanya karena seorang perempuan, aku gak tahu seperti apa kedekatan kalian." Zea menepuk punya Valen. "Tapi aku cuma mau bilang pertahankan orang yang kamu cinta dan mau memperjuangkan kamu sebelum akhirnya kamu menyesal.
"Ze—"
"Adik aku memang bukan orang sempurna, dia tukang receh, otaknya jahil, tapi dalam hal mencintai dia tulus. Setelah dia kehilangan kamu, dia gak pernah pacaran karena dia yakin suatu saat nanti Tuhan akan mempertemukan kalian dan sekarang keyakinan Iqbal itu terbukti."
Valen mencerna setiap ucapan yang Zea lontarkan.
Zea bangkit dari sofa. "Jangan sia-siakan orang yang tulus." Setelah itu Zea meninggalkan Valen yang masih diam seribu bahasa.