“Titan, Sayang. Kenapa jam segini kamu sudah rapi? Memangnya mau kemana?”
“Selamat pagi, Papa Love. Hari ini ‘kan Titan sudah mulai magang. Harus berangkat pagi biar nggak telat.”
“Tapi ini masih jam setengah 6, Sayang. Terlalu pagi untuk berangkat ke kantor.”
“Papa kayak nggak tahu saja jalanan Jakarta. Pasti bakalan macet, apalagi jalan menuju ke kantor Zufar di sana ‘kan langganan macet parah.”
“Nanti Papa antar. Tunggu sebentar!” Ihsan yang baru selesai berolahraga bergegas menuju ke kamarnya untuk mandi dan bersiap.
“Ih, kok Titan enggak tolak sih!” gerutunya. “Pokoknya selama magang nggak boleh ada yang tahu kalau aku anaknya Ihsan Dirgantara. Nanti para wanita single yang ada di kantor pada naksir sama Papa, serem banget!”
Titan mengambil foto Mamanya yang berada di meja ruang keluarga. Dia meminta doa pada Mamanya agar hari pertama dia menjadi karyawan magang bisa lancar dan tidak ada hambatan.
Eyang Uti yang melihat cucunya berbicara dengan foto mendiang anak perempuannya tersenyum penuh haru. Dia tidak menyangka jika Titan sedekat itu dengan almarhum Mamanya meskipun mereka tidak pernah bertemu.
Dalam hati kecilnya salut dengan menantunya. Meskipun sibuk sebagai pengacara terkenal, dia bisa membesarkan cucunya dengan limpahan kasih sayang. Titan tumbuh menjadi gadis yang ceria dan penyayang. Ihsan juga menanamkan cinta yang besar untuk mendiang Shanum di dalam hati Titan.
“Sayang.”
Titan melihat ke arah Eyang Uti. “Eh, Eyang. Bawa apa itu?”
“Bekal buat Titan.”
“Wah ... memangnya masak apa pagi ini?” Titan meletakkan foto Mamanya, setelah itu dia berjalan menghampiri Eyang Uti. “Terima kasih, Eyang Cantik.”
“Sama-sama, Sayang. Bibik bilang kalau Titan sering bawa bekal kalau kuliah. Jadi, Eyang masak makanan kesukaan kamu buat makan siang nanti.”
Kedua mata Titan berbinar terang. Cumi asam manis buatan Eyangnya adalah makanan terenak menurutnya. “Em, gak sabar mau makan siang.”
“Titan nggak mau sarapan dulu?”
Titan menggelengkan kepala. “Sudah bawa roti isi sama s**u, Eyang. Titan mau berangkat pagi biar nggak telat. Hari ini ‘kan pertama kalinya berangkat ke kantor, jadi Titan belum menguasai keadaan.”
Eyang Putri memeluk cucunya, dia mendoakan agar Titan selalu diberikan kesehatan dan dilancarkan segala urusannya. Eyang Uti juga mendoakan Titan agar mendapatkan teman baru yang baik dan berhati tulus.
Ihsan mengantar Titan dengan memakai pakaian santai. Hari ini dia sengaja mengambil cuti setengah hari demi mengantar putrinya ke tempat magang.
Meskipun Ihsan tidak ikut campur dalam seleksi penerimaan karyawan magang. Bukan berarti dia akan melepaskan Titan begitu saja tanpa pengawasan darinya. Kemarin dia menghubungi Direktur Utama Zufar Group mengajaknya sarapan sekaligus menitipkan Titan padanya.
“Sampai sini saja, Papa,” teriak Titan.
“Kenapa nggak masuk sekalian?”
“Gak boleh sampai lobby!”
“Kenapa, Sayang?”
“Papa Love, Titan tuh kemarin waktu interview bilang sama HRD Zufar kalau Titan bukan anak Ihsan Dirgantara.”
“Memangnya kamu anak siapa, Titan Shanum Dirgantara!”
Titan meringis ke arah Papanya. “Tentu saja anaknya Papa Love! Tapi, untuk 3 bulan ini biarkan Titan merahasiakan identitas asli.”
“Buat apa?”
Titan berdecak, Papanya tidak akan mengerti jika semua karyawan tahu dia anak Ihsan si pengacara terkenal sekaligus hot daddy. Bisa-bisa dia akan menjadi kurir pengantar hadiah.
“Papa masih ingat apa enggak waktu Papa datang menghadiri acara di Fakultas Titan? Semua Dosen dan Kakak tingkat tahu kalau Titan anaknya Papa. Papa nggak lupa ‘kan dampaknya bagi Titan itu apa?”
Ihsan tertawa saat melihat wajah kesal putrinya. “Iya, Papa ingat dong. Gak akan Papa lupakan sampai kapanpun!”
“Ih, nyebelin! Kenapa Papa malah ketawa? Suka ya? Kalau anaknya berubah haluan jadi pengusaha ekspedisi khusus para fans Ihsan Dirgantara.”
Ihsan membawa putrinya kedalam pelukan. Sikap posesif Titan saat ada wanita yang mencoba merayunya sangat mengerikan. Putrinya bisa menjadi singa betina yang sedang PMS ketika posisi mendiang sang Mama terancam.
“Sukses buat hari pertama magang, Sayang.”
“Amin. Titan sayang sama Papa Love.
“Papa juga sayang sama Titan.”
Setelah Titan berpamitan dengan Ihsan, gadis manis itu langsung masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Meskipun ada sedikit rasa gugup namun dia bisa mengatasinya dengan baik.
Titan menyapa satpam yang berjaga kemudian resepsionis yang pertama kali menerima surat lamarannya. Mereka masih hafal dengan Titan, menyapa balik gadis itu dengan ramah.
Karyawan magang berjumlah 12 orang diarahkan untuk masuk ke dalam ruang pertemuan. Mereka akan disambut oleh Wakil Direktur, karena Direktur Utama sedang memiliki kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sambutan singkat berjalan dengan lancar. Titan merasa semua orang yang bekerja di Zufar sangat ramah tidak ada yang bersikap arogan sekalipun itu petinggi perusahaan.
“Titania Shanum, Khaira Aftur.”
“Iya, Kak.”
“Kalian ikut saya, kita akan ke bagian Divisi keuangan.”
Keduanya mengangguk. Berjalan mengikuti senior yang bernama Marsha, dia akan menjelaskan job desk mereka selama magang.
“Titan akan duduk di sebelah sini, Khaira di sebelahnya.” Ucap Marsha dengan menunjuk meja kosong yang ada di depan meja kerjanya.
“Iya, Kak,” jawab keduanya.
Titan belum sempat berkenalan dengan teman barunya karena saat di ruang pertemuan tadi tempat duduk mereka cukup jauh jaraknya.
Titan duduk dengan meletakkan semua barang yang dia bawa. Setelah itu, dia menyalakan komputer yang akan menjadi temannya setiap hari saat magang. Perasaan gugupnya sudah hilang ketika dia memiliki teman baru yang ramah dan juga senior tak kalah ramah pula.
Titan dan Khaira mendapatkan tugas pertamanya untuk membuat laporan laba rugi bulan ini. Mereka berdua bekerja dalam pengawasan Marsha. Tidak ada yang mengeluh kesulitan untuk mengerjakan tugas pertama, keduanya memiliki IQ diatas rata-rata.
“Kalian bisa istirahat sebentar. Saya akan menyerahkan laporan ini pada Manager Keuangan.”
Titan dan Khaira mengangguk. Mereka beruntung memiliki senior seperti Marsha.
“Hai, aku Titan salam kenal.”
“Hai, Juga. Aku Khaira salam kenal juga.”
Keduanya berjabat tangan lalu berpelukan sebentar. Setelah itu, mereka kembali membuka laporan yang harus dikerjakan. Baru saja diberikan oleh Marsha.
Tak terasa sudah waktunya jam istirahat. Titan dan Khaira sama-sama membawa bekal dari rumah. Mereka memutuskan untuk makan siang bersama di kantin.
Awalnya, Khaira menolak karena dia sudah membawa minum. Tapi, Titan memaksa dia mengatakan jika akan mentraktir Khaira sebagai tanda perkenalan.
“Ramai sekali.”
“Jam istirahat, Ra. Pasti semua karyawan akan pergi ke kantin untuk makan siang.”
“Aku tidak menyangka akan seramai ini, Tan.”
“Duduk di sebelah sana, Yuk,” ajak Titan.
“Kayaknya hanya kita berdua yang membawa bekal.”
Titan melihat ke sekeliling meja. Benar apa yang dikatakan oleh Khaira. Hanya mereka berdua yang membawa bekal ke kantor.
“Biarin aja, mungkin mereka nggak sempat masak. Beda sama kita, tinggal membawa bekal yang sudah disiapkan.”
Sebelum mereka duduk tadi Titan sudah memesan minuman. Karena keadaan kantin sedang ramai, jadi pesanan mereka nanti akan diantar oleh penjaga kantin.
“Kamu nggak mau cobain cumi aku, Ra? Ini enak sekali, Eyang Uti yang masakin.”
“Boleh, nggak pedas ‘kan?”
“Enggak ini asam manis.”
Titan menggeser kotak bekal yang berisi lauk pada Khaira agar sahabat barunya dapat mencicipi masakan Eyangnya.
“Kok masih panas? Beda sama punya aku, padahal sudah sejak pagi di masukin ke dalam wadah.”
“Ini tuh kotak bekal yang bisa menghangatkan makanan, Ra. Memangnya kamu nggak tahu?”
Khaira menggeleng dengan cepat. “Aku berasal dari keluarga biasa, Tan. Nggak paham sama barang mahal seperti ini,” tunjuknya pada wadah bekal makan siang Titan.
“Alah, sama saja. Aku juga berasal dari keluarga biasa. Ini tuh wadah bekal hadiah waktu acara Agustusan di kampung aku.”
“Ikut lomba apa?”
“Makan kerupuk sama balap karung. Makanya aku di rumah ada dua wadah yang seperti ini, kamu mau apa enggak? Biar bekal makan siang kamu tetap hangat.”
“Nggak usah, Tan. Malah jadi ngerepotin kamu nanti.”
“Ilih ... santai saja, Ra. Besok kamu gak usah bawa bekal. Biar aku bawakan kotak bekal sekalian isinya.”
Titan adalah gadis yang suka memaksa. Apalagi menyangkut sahabatnya dia tidak akan menyerah begitu saja. Seperti saat ini, Khaira pasrah mengiyakan tawaran dari Titan.
***
“Iya, Papa Love. Titan nggak akan naik ojol ini sudah pesan taksi online.”
“Mana Papa mau lihat,” ihsan tetap kekeuh ingin melihat taksi online yang dipesan putrinya.
“Nih ... lihat sendiri ‘kan,” Titan mengarahkan kamera pada mobil yang baru saja berhenti di depannya.
“Ya, sudah cepat naik. Jangan matikan telepon!”
“Kenapa? Boros kuota dong, Pa.”
“Sayang, Papa tidak akan tenang kalau kamu belum sampai rumah dengan selamat.”
Titan menghela nafas pasrah. Ihsan memang tidak akan main-main dalam menjaga putri tunggalnya. Tawaran diantar oleh supir pribadi akan Titan pertimbangkan dari pada dia naik taksi online tapi Papanya terus saja mengingatkan pengemudinya untuk berhati-hati.
“Terima kasih, Pak. Bayarnya langsung di potong saldo ‘kan?”
“Iya, Mbak.”
“Maaf ya, Pak. Papaku memang agak berisik orangnya.”
Untung saja panggilan video dengan Ihsan sudah terputus. Jika tidak, Titan akan mendapatkan ceramah dari papanya.
“Eyang, Titan pulang ...” teriak gadis itu ketika masuk ke dalam rumah. “Eyang! Eyang di mana?”
Bibik yang mendengar suara Titan langsung bergegas menghampiri. “Non Titan, kenapa teriak-teriak?”
“Hehe ... maaf, Bik. Eyang mana?”
“Oh, Eyang Uti ada di taman belakang. Beliau sedang menyiram bunga.”
“Pantas saja Titan panggil gak dengar.”
Titan memberikan kotak bekal yang sudah kosong pada Bibik. Dia juga meminta besok di bawakan 2 kotak bekal makan siang.
Gadis manis itu langsung menuju ke taman belakang untuk menyapa Eyang Putri. Setelah itu, akan membersihkan diri kemudian beristirahat. Hari pertamanya magang sangat lancar. Dia tidak mengalami kesulitan karena memiliki senior yang baik.
“Pa ...”
“Iya, Sayang.”
Titan masuk ke dalam ruang kerja Ihsan. “Lagi sibuk apa enggak?”
“Sudah selesai pekerjaannya, Papa hanya sedang membaca artikel online. Kenapa?”
“Titan mau bicara sesuatu yang penting sama Papa.”
Ihsan melepaskan kacamatanya, meletakkan ipad ke atas meja. Dia sudah siap mendengarkan keluh kesah dari putrinya.
“Sini,” panggilnya dengan menepuk sofa di sebelahnya. “Mau bicara apa?”
“Titan mau diantar jemput supir. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Gak boleh antar dan jemput di depan lobby kantor.”
Ihsan tersenyum, menarik hidung mancung putrinya. “Siap tuan putri.”
Titan memeluk Papanya dengan sayang. Ihsan bagi Titan adalah paket lengkap. Bisa menjadi Papa, Mama dan juga sahabat. “Terima kasih, Papa Love.”
“Sama-sama, Sayang. Bagaimana hari pertama kamu magang?”
“Lancar jaya. Titan dapat teman baru yang sangat baik, namanya Khaira.”
“Mahasiswi di kampus kamu juga?”
“Nggak, Pa. Dia kuliah di universitas negeri,” jawabnya. “Papa tau nggak?”
“Apa?”
“Masak yang membawa bekal ke kantor hanya Titan sama Khaira,” terangnya dengan terkekeh. “Karyawan lainnya lebih memilih membeli makan siang di kantin.”
“Kamu malu?”
“Kenapa harus malu? Justru Titan bangga karena membawa masakan enak dari Eyang.”
“Teman baru kamu di kasih lauknya ‘kan?”
“Tentu saja, Pa. Khaira juga Titan kasih nasi yang masih hangat. Kotak bekalnya nggak bisa menghangatkan makanan jadinya makan siangnya sudah dingin.”
“Di rumah ‘kan ada banyak kotak bekal punya kamu. Kasihkan satu buat Khaira.”
Titan mengangguk. “Asiappp, Papa!” serunya.
Ponsel Ihsan berdering. Titan melihat ke arah layar ternyata Ammar yang menelepon. Dia sengaja tidak mau melepaskan pelukannya agar bisa sedikit menguping pembicaraan.
“Iya, selamat malam juga. Tumben Nak Ammar telepon malam-malam, ada apa?”
“Pak Ihsan sudah tahu berita soal kejadian di mall beberapa hari yang lalu?”
“Berita apa?” Ihsan pura tidak mengetahui padahal dia sudah diberitahu oleh Asistennya.
“Isu soal saya yang kepergok selingkuh di mall.”
“Apa berita itu benar? Kenapa Nak Ammar ceroboh sekali?”
“Tentu saja tidak benar, Pak. Maafkan saya karena terpaksa mengikuti permintaan dari Agatha, dia terus saja merengek di kantor membuat saya tidak konsentrasi dalam bekerja. Saya juga tidak menyangka jika Cecilia akan datang membuat keributan.”
“Besok Nak Ammar datang saja ke kantor saya. Kita bicarakan langkah selanjutnya. Jangan sampai berita perceraian terendus oleh para awak media.”
“Iya, Pak Ihsan. Terima kasih atas bantuannya. Besok pagi saya akan mampir ke kantor Pak Ihsan.”
“Hmmm ...”
Setelah menutup panggilan telepon Ihsan menaruh kembali ponselnya pada meja. Sebenarnya dia paling malas menangani masalah kasus perceraian. Kalau bukan sahabatnya yang meminta tolong dia akan menolak saat Ammar datang ke kantornya.
“Papa kok gitu jawabnya?”
“Memangnya harus jawab apa?”
“Ya, harusnya jawab yang sopan.”
“Memangnya Papa nggak sopan tadi? Menurut Papa tadi sudah sopan.”
“Ishhh ...” Titan mencebikkan bibir. “Bilang saja malas menghadapi drama rumah tangga. Iya, ‘kan?”
“Kalau bukan karena Om Kevin dan Tante Aqila, Papa akan menolak untuk mengurus perceraian Ammar dan Cecilia.”
Titan tertawa keras, Papanya memang seperti itu jika mendapatkan klien karena nggak enak dengan sahabatnya. Penuh keluh dan kesah.
“Bantu orang nggak boleh ngedumel begitu, Pa. Nanti pahalanya berkurang. Kalau uangnya sih terus mengalir. Iya apa iya?”