Hampir Saja

1677 Words
“Papa ...” panggil Titan dari arah tangga. Dia mengucek kedua matanya masih terasa lengket. “Iya, Sayang.” “Lapar.” Ihsan yang sedang menonton sepak bola meminta putrinya untuk mendekat padanya. “Kebangun gara-gara lapar?” Titan mengangguk. “Makanannya masih ‘kan, Pa?” “Masih banyak. Papa juga belum makan.” “Nungguin Titan?” “Hmm ...” “Harusnya Papa makan malam dulu nggak usah tungguin Titan.” “Belum terlalu lapar, sebelum pulang ke rumah tadi Papa bertemu dengan klien di cafe. Papa pesan pisang goreng sebagai pengganjal perut.” “Masak di cafe pesannya pisang goreng?!” “Kenapa memangnya? Pisang itu buah terenak versi Papa.” Titan terkekeh mendengar Papanya membela pisang goreng. Memang secinta itu Ihsan dengan buah pisang. Segala bentuk makanan yang terbuat dari pisang dia pasti akan langsung menghabiskan tanpa ditawari lebih dulu. Keduanya berjalan menuju ke meja makan. Titan menghangatkan makanan yang sudah dimasak oleh Papanya. Sementara Ihsan bertugas menyiapkan peralatan makan. “Oh, iya Sayang. Tadi ada yang kirim pesan ke ponselmu. Dia bertanya apa kamu bisa masak rendang?” “Siapa nama kontaknya, Pa?” “AYANG DOSBING.” Titan membuka mulutnya lalu menutup dengan satu tangan. Riwayatnya sebentar lagi akan tamat jika dia ketahuan jatuh cinta dengan calon duda klien dari Papanya. “Oh, si Yayang, Pa. Teman baru saat skripsi, dia satu DOSBING makanya Titan beri nama kontak ‘AYANG DOSBING’. “Kamu itu aneh-aneh saja. Jika ada yang melihat nama kontak itu pasti akan mengira itu pacarmu.” “Haha, nggak mungkin lah, Pa. Yayang ‘kan perempuan,” jawab Titan dengan tersenyum namun hatinya sedikit cemas. “Dia itu memang suka sama masakan Titan, Pa. Makanya suka tanya soal makanan.” Ihsan mengangguk, Titan merasa jika Papanya tidak terlalu peduli dengan pesan yang dibacanya tadi. “Mulai hari ini Titan pindah ke bagian Sekretaris Direktur Utama, Papa.” “Cepat sekali, Papa kira pindah mulai minggu depan.” “Bu Rina perutnya sudah besar sekali, Pa. Beliau sudah tidak bisa bergerak dengan bebas. Makanya Titan buru-buru di pindah jadi Sekretaris kedua.” “Gimana pekerjaannya? Susah?” “Lebih gampang daripada yang di Divisi Keuangan.” “Suka yang mana?” “Semuanya suka. Apalagi kalau jadi sekretaris katanya nanti Titan bakal ikut meeting, Pa. Jadinya, bisa bertemu banyak orang-orang pintar.” “Papa juga sering bertemu dengan orang-orang pintar. Tapi kenapa Titan nggak suka ikut Papa kerja?” Titan mengerucutkan bibirnya. “Beda dong, Pa. Kalau Titan kerja di Zufar bertemu orang pintar bahas bisnis. Sedangkan Papa bahasnya kasus, kasus dan kasus. Pasti membosankan.” Ihsan tersenyum pada putrinya. Titan memang tidak memiliki ketertarikan sama sekali dalam dunia hukum. “Putri Papa Cuma kamu, Sayang. Nanti kalau Papa sudah pensiun siapa yang meneruskan kantor Papa?” Titan mengunyah makanan dengan berpikir. Papanya jarang sekali membahas soal penerus perusahaan yang di bangunnya dengan kerja keras sendiri. “Papa harusnya punya anak lagi. Kalau bisa cowok, Pa.” “Sayang, jangan mulai lagi! Papa tidak akan menikah lagi.” “Memangnya kalau punya anak harus menikah? bisa ‘kan angkat anak dari panti asuhan.” “Papa tidak ada waktu buat merawatnya, Sayang. Kita semua ini ‘kan sibuk kalau adopsi siapa yang akan merawatnya?” “Pakai baby sitter saja, Pa.” “Papa tidak suka! Tanggung jawab kita jika mengangkat anak bukan hanya memberi dia kehidupan yang layak. Mereka juga butuh kasih sayang dalam tumbuh kembangnya. Agar bisa menjadi anak yang seperti Titan.” “Memangnya Titan anak yang seperti apa, Papa?” “Anak baik. Saking baiknya saja suka sekali membantu Papanya mencari uang dengan cara berdagang makanan.” Titan tergelak dengan jawaban dari Papanya. Keduanya melanjutkan makan malam yang sedikit terlambat dengan membahas aktivitas yang mereka lakukan hari ini. Setelah makan malam selesai Titan kembali ke kamarnya. Dia akan melihat pesan yang dikirimkan oleh Om Dudanya. Ternyata Ammar mengirimkan pesan lagi padanya. Untung saja Papanya tidak membaca pesan yang kedua karena Ammar mengatakan ingin makan rendang besok di waktu jam makan siang. Ketimbang membalas pesan Titan lebih memilih menelepon Ammar langsung. “Halo, kenapa pesan saya tidak di balas?” tanya Ammar tanpa basa-basi. “Selamat, malam Om Duda.” “Malam.” “Titan tadi ketiduran waktu pulang dari kantor. Baru bangun terus makan malam sama Papa Love.” “Kamu bisa masak rendang apa tidak?” “Bisa. Tapi kalau besok pagi nggak bisa.” “Kenapa?” “Waktunya nggak cukup. Lagian di lemari es rumah Titan stok daging sedang habis.” “Beli daging di mana?” “Pasar lah, Om. Masak di klinik kecantikan.” “Titan!” “Hehe, bercanda. Di supermarket dekat rumah Titan ada kok. Cuman harganya lebih mahal dari pada yang di pasar.” “Ya, sudah. Besok kamu beli daging untuk membuat rendang.” “Kalau makan siang menu daging harganya beda. Lebih mahal. Tahu sendiri ‘kan harga daging akhir-akhir ini meningkat tajam.” “Jadi berapa harga makan siangnya?” “Belum tahu, ‘kan Titan belum belanja. Tapi kalau Om Duda mau kasih DP dulu nggak papa kok.” “Iya, besok saya kasih DP untuk beli daging.” Tanpa mengucapkan salam Ammar langsung menutup panggilan teleponnya. Namun, Titan tidak marah karena hatinya sedang bahagia. Berbisnis dengan seorang Direktur Utama Zufar sangat menyenangkan sekali. Ammar tidak pernah meminta diskon untuk makan siangnya. *** Hari kedua menjadi seorang sekretaris membuat Titan sejak pagi disibukkan dengan berbagai dokumen yang harus diteliti sebelum masuk ke ruangan Ammar. Dia dan juga Rina sedang berlomba dengan waktu. Setelah jam makan siang nanti, Titan akan ikut Ammar pegi meeting di luar kantor. Jadinya, dokumen yang perlu di tanda tangani sebelum jam makan siang harus segera selesai. “Akhirnya selesai juga,” ucap Rina. Dia meregangkan otot lalu mengelus perut buncitnya. “Ada kamu kerjaan jadi cepat selesai, Tan.” “Memang kalau dikerjakan berdua lebih cepat selesai, Bu. Ya, meskipun sebentar lagi akan datang lagi, hehe.” “Benar juga apa yang kamu bilang. Oh, iya. Hari ini bawa dessert apa?” “Lasagna, Bu. Mau nggak?” “Mana bisa aku menolak masakanmu.” Titan tersenyum. Dia menyiapkan apa saja yang perlu dibawa olehnya ketika ikut meeting bersama dengan Ammar. Waktu berjalan begitu cepatnya. Kini sudah waktunya jam makan siang. Titan sudah siap untuk ikut pergi dengan Ammar. Bosnya sudah mengatakan jika mereka akan makan siang dalam mobil karena tempat meeting jaraknya cukup jauh kantor Zufar. “Kamu makan apa?” “Ayam pop.” “Kenapa makan siangnya menunya beda?” “Soalnya Titan hanya masak sedikit ayam pop. Papa nggak suka.” “Punya saya ini namanya ayam apa?” tunjuknya pada kotak bekal makan siangnya. “Rendang ayam. Katanya Pak Ammar pengen makan rendang.” “Aku minta daging sapi. Bukan daging ayam!” “Itu permulaan saja yang penting bumbu rendang.” “Sepertinya enak ayam punyamu.” Titan melihat ke arah ayam yang sudah digigit. Dia hanya membawa satu potong saja mana mungkin dibagi dengan Ammar. “Sudah Titan gigit.” “Sebelah mana?” “Semua sisi sudah kena gigit.” Ammar mengambil bekal kotak makan siang Titan. Dia mengamati lauk milik Titan yang menggodanya sejak tadi. “Sebelah sini tidak ada bekas gigi kamu,” ucapnya. Ammar mengambil daging ayam pop menggunakan garpu. “Terima kasih.” Dia mengembalikan kotak makan siang Titan. Titan menatap miris ayam pop miliknya yang kini dagingnya berkurang banyak. Padahal nasi yang dia bawa masih banyak belum tersentuh sama sekali. “Enak, aku suka.” Ammar melanjutkan makan siangnya setelah mencoba lauk milik Titan. Keduanya kini makan dengan diam di dalam mobil menuju ke tempat meeting. Ammar mengatakan akan menjelaskan pada Titan materi yang akan dibahas saat pertemuan nanti. Dia meminta Titan mencatat semua point-point penting ketika meeting berlangsung. Sesampainya di tempat tujuan Ammar berjalan lebih dulu menuju ke cafe yang memiliki desain jawa klasik. Titan mengikuti dari belakang dengan membawa semua keperluan Ammar. “Selamat siang, Pak Ammar.” “Selamat siang juga, Pak Frans.” “Sudah lama kita tidak bertemu.” “Bapak terlalu sibuk keliling dunia.” “Haha, kamu ini selalu saja tidak bisa di ajak basa-basi.” Frans melihat ke arah gadis manis yang kini berada di sebelah Ammar. Kedua matanya memindai penampilan Titan terlihat cantik sekaligus elegan. “Siapa dia, Pak Ammar?” “Sekretaris saya, Pak.” “Devan kemana?” “Melanjutkan kuliah.” “Pintar sekali kamu mencari sekretaris baru.” Saat Frans ingin mengajak Titan berkenalan, Ammar langsung mencegahnya. Dia meminta agar kolega bisnisnya tidak membuang-buang waktunya hanya untuk basa-basi. Sepanjang meeting berlangsung Titan tidak nyaman karena Frans terus saja mencuri pandang ke arahnya. Dia berusaha mengabaikan saja karena harus tetap fokus agar dia tidak melewatkan point penting yang harus dicatat. Ammar tahu jika gadis di sebelahnya merasa tidak nyaman. Dia mempercepat pembahasan mengenai masalah proyek bermasalah agar cepat selesai. Dalam dunia bisnis Ibu kota Frans terkenal mata keranjang. Dia suka menggoda para wanita cantik yang dia temui. “Kenapa buru-buru, Pak Ammar. Saya sudah memesankan kopi,” ucap Frans ketika Ammar pamit pulang. “Maafkan saya, Pak Frans. Setelah ini saya ada meeting di tempat lain.” Ammar mengajak Frans bersalaman sebelum dia pergi. Kemudian Titan juga bersalaman untuk menghormati kolega bosnya. Namun saat Frans menarik tangan Titan, Ammar dengan cepat memeluk pinggang sekretarisnya. Setelah itu Titan menarik tangan yang dipegang oleh Frans sedikit kuat. Dia takut dengan tatapan mata Pria tua mata keranjang itu. Membuat bulu kudunya berdiri semua. “Hampir saja aku tadi di peluk Pak Tua itu. Pak Ammar gerak cepat sekali.” “Aku sudah sering melihat dia melakukan trik seperti itu.” “Hih ...” Titan tiba-tiba saja memeluk dirinya sendiri. “Kenapa?” “Nggak kebayang di peluk sama Bapak Tua seperti itu. Ihhhhhhhh ...” “Tapi dia kaya raya.” “Papa Love juga kaya raya. Pak Ammar juga kaya raya. Jadi Titan akan ikut kaya raya.” “Apa hubungannya dengan saya?” “Bapak ‘kan calon suami Titan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD