2. Menikah Dengan Bocah

1068 Words
Part 2 "Bagaimana malam pertama dengan adikku?" tanyanya mencemooh Safira. "Lepaskan Mas, bukan urusanmu!" Tetiba Abiyya muncul dari balik pintu, melihat mereka tengah berseteru. "Mas Adit, tolong lepasin tangan istriku!" Keduanya menoleh, Safira langsung mengibaskan tangan. Adit menatap tajam apalagi saat melihat adiknya hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan ke lehernya. Rambutnya pun terlihat basah. Abiyya berjalan mendekat, langsung merangkul pundak Safira. "Mas, kenapa kamu menanyakan malam pertama kami? Itu privasi pengantin baru, Mas gak perlu kepo." Abiyya tersenyum melihat ekspresi kekesalan kakaknya. "Bagaimana Sayang, semalam aku tidak mengecewakanmu kan?" ucap Abiyya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya. Tangan Adit mengepal sambil menggertakkan giginya. Kesal. "Abi, aku gak percaya kalau kamu melakukannya dengan baik. Safira itu hanya mencintaiku!" "Dulu mungkin Mbak Safira pacar Mas Adit. Tapi, Mas harus sadar diri, sekarang Mbak Safira adalah istriku. Jadi mulai sekarang lupakanlah masa lalu!" Merasa tersulut emosi, Aditya langsung mencengkeram handuk yang tersampir di leher adiknya dan mendorong tubuh kurus itu hingga terpentok ke dinding. "Mas, tolong hentikan!" teriak Safira panik. Adit hendak melayangkan tinju ke wajah adiknya. "Ada apa ini ribut-ribut?" tukas Pak Wirasena yang mendengar keributan di ruang tengah. Ia melerai kedua anaknya. "Adit apa yang kamu lakukan? Lepaskan adikmu! Subuh-subuh kalian dah mau bertengkar? Tuh dengar udah adzan. Cepat sana ambil air wudhu! Sholat dulu biar hati kalian adem!" Adit langsung melepaskan cengkraman tangannya meskipun masih merasa kesal. Ia pun langsung berlalu ke kamar. "Abi, pakai bajumu. Lalu ajak Safira sholat subuh berjamaah!" titah Pak Wirasena. "Siap, Ayah!" Abiyya langsung menggandeng tangan Safira. Sementara perempuan itu mendelik kesal. "Gak apa-apa kan? Kan kita udah sah!" ujar pemuda itu sambil nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih. *** Beberapa jam sebelumnya Safira yang pingsan segera dibawa masuk oleh Abiyya. Semua mata tertuju padanya termasuk Adit. Ia hendak melangkah masuk tapi Kayla menghalangi langkahnya. "Mas, kamu gak boleh menikah dengan dia. Lihat aku, Mas!" pekiknya dengan mata berkaca-kaca. Adit menatapnya kesal. Sangat kesal. Tak menghiraukan Kayla, Adit melangkah mendekat. Tapi rupanya Kayla justru seperti orang yang kesetanan. Berteriak tak jelas sudah seperti orang gila. Bahkan dia menendang kursi dan meja hajatan yang berisi makanan. "Mas! Maaaaaasss ...!" teriaknya lagi sambil menangis seperti histeris. Adit hendak masuk di ambang pintu, tapi Pak Hakiki--ayah Safira, segera menghalanginya. "Urus saja perempuan itu. Jangan sampai dia merusak acara ini!" tegasnya dengan amarah tertahan. "Pak, saya minta maaf. Saya bisa jelaskan semuanya. Saya ingin menikah dengan Safira." Tangan Pak Hakiki melayang di udara. "Tidak ada satupun orang tua yang sudi menyerahkan putrinya pada lelaki pembohong sepertimu. Tidak ada satupun orang tua yang sudi melihat putrinya disakiti." "Tapi Pak, saya bisa jelaskan semuanya." Bersamaan hal itu, Pak Wirasena keluar. Wajahnya memerah menahan malu dan amarah karena putra sulungnya. Dia menepuk pundak calon besannya itu. Sementara matanya menatap nyalang putra sulungnya. "Maaaaaasss ...! Maaaaaasss ...!" teriak Kayla, kini mereka tengah menjadi pusat perhatian warga. "Adit, kau urus dulu wanita itu. Pergilah! Jangan kacaukan acara ini!" "Tapi, Yah--" "Ayah setuju dengan Pak Hakiki. Ayah sangat kecewa padamu! Pergi ...!" Seketika Adit menjadi lesu. Ia diusir di hari pernikahannya sendiri. Adit menoleh, Kayla masih menangis sambil berteriak-teriak tak jelas. Terpaksa ia menghampirinya dan membawanya pergi dari lokasi hajat. Pak Hakiki dan Pak Wirasena serta sang istri saling duduk berhadapan. Banyak ketegangan tercipta di sana. "Maafkan putra kami, Pak Haki. Kami juga tidak tahu kalau Adit ternyata hanyalah seorang pecundang. Kami malu, sungguh sangat malu. Kami akan mengganti semua kerugian anda, Pak." "Kerugian harta itu tak ada apanya dibandingkan dengan kondisi mental putri saya! Coba anda pikir, dia akan dikucilkan, dihina, direndahkan!" "Kami benar-benar minta maaf Pak Haki. Kami minta maaf. Kami akan memberikan uang ga tidak rugi yang layak--" "Jadi, apa kalian pikir pernikahan ini akan bubar begitu saja? Keluargaku yang dirugikan di sini. Keluargaku harus menanggung malu, keluargaku juga yang nantinya menjadi bulan-bulanan warga!" Pak Hakiki meraup wajahnya dengan kasar, sedangkan yang lain hanya terdiam. "Calon pengantinnya pergi, mau bagaimana lagi Pak. Bapak juga gak mau kan kalau Adit tetap menikahi Safira?" "Saya yang akan menggantikan Mas Adit menjadi suaminya Mbak Safira," celetuk pemuda itu tiba-tiba saja datang menimbrung obrolan mereka. Semua mata tertuju padanya. Speechless, mereka bahkan shock, bocah lulusan SMA itu terlalu percaya diri. "Hah? Bocah, tahu apa kau tentang pernikahan?" "Pak, aku bukan bocah lagi. Umurku hampir sembilan belas tahun, aku juga sudah punya KTP," sahutnya santai. "Abi, jangan bercanda!" pungkas Pak Wirasena. "Aku serius, Pak, Ayah. Aku akan bertanggung jawab pada Mbak Safira. Dari pada kalian malu kayak gini, mending Mbak Safira menikah sama aku. Aku janji akan membuat Mbak Safira bahagia." Pak Hakiki justru tertawa. "Pak, saya serius mengenai hal ini. Saya janji akan berusaha jadi imam yang baik untuk Mbak Safira." "Maafkan keusilan putra bungsu saya, Pak Haki. Saya malu, benar-benar malu dengan tingkah putra-putra saya. Tapi memamg kalau si Abi lebih peka terhadap keadaan." "Ayah, aku serius mengenai hal ini. Aku ingin menikahi Mbak Safira. Aku janji akan berubah jadi lebih baik, aku akan cari kerja buat menafkahi Mbak Safira. "Hei, Nak, apa yang membuatmu ingin menikah dengan putriku?" "Mbak Safira cantik ..." Tak pelak, seisi ruangan jadi tertawa melihat kekonyolan Abiyya. Entah kenapa, Pak Hakiki merasa cocok dengan pemuda ini. "Duh, maafkan kami Pak Haki, atas kekonyolan putra saya. Saya malu, double-double atas kejadian ini." "Tapi saya suka dia. Anakmu yang ini humoris. Safira pasti akan merasa terhibur dengannya. Siapa tahu luka hatinya cepat terobati." "Jadi? Maksudnya kita tetap besanan Pak Haki?" "Iya." "Jadi aku diterima jadi menantu bapak?" pungkas Abiyya. "Iya." "Yess! Yess! Yess!" Abiyya berjingkrak kegirangan, membuat orang-orang itu kembali tertawa. "Pak, Ayah, Ibu, aku janji akan tetap setia menemani Mbak Safira dan melindunginya serta membahagiakannya dengan caraku. Saya minta doa dan restunya Pak, Bu, Ayah." Safira mulai membuka mata melihat beberapa orang berkumpul mengelilinginya. Ia terlonjak, menoleh ke kiri dan kanan. "Akhirnya kamu sadar juga Safira," ucap sang ibunda seraya menyeka air mata yang terjatuh. Tetiba seorang tetangganya masuk dan memberi tahu informasi penting. "Pak, Bu, kata Pak Penghulu kalau tidak ada kepastian beliau izin pulang, masih ada akad nikah di tempat yang lain." "Jangan, suruh tunggu sebentar lagi!" ujar Pak Hakiki. "Baik, Pak." Mereka saling berpandangan dan mengangguk ragu. "Safira, ada yang mau kami bicarakan sama kamu." "Iya, ayah, ada apa? Mana Mas Adit?" "Adit sudah pergi, dia tak pantas jadi suamimu. Tapi hari ini kau akan tetap menikah." "Maksud ayah?" "Kau akan menikah dengan Abiyya." Safira melirik pemuda di samping ayahnya. "Apaa? Menikah dengan bocah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD