2 : Sabar

1051 Words
Sasha menerima imbalan dari hasil kerjanya, sebuah keringat yang menghasilkan uang. Hari masih petang, ia segera kembali ke rumah, tak sabar menemui Alvaro yang mungkin sekarang sedang bermain dan ibu mertuanya tengah mengawasi. Sebelum kaki mencapai gang-di mana ia bisa melihat rumah mertuanya berdiri-seorang wanita memanggil namanya. "Sasha." Suara itu begitu lembut dan hangat, Sasha tak pernah merasa ngeri jika harus bertatapan dengan wanita itu. "Iya, Mbak?" sahutnya. Ia berdiri di depan rumah yang termasuk di atas sederhana, seorang wanita membukakan gerbang untuknya. Sasha mengerutkan kening ketika melihat Alvaro keluar dari rumah tersebut. "Ini Al, tadi pagi dititipin sama neneknya di sini," ucap Indri, wanita berhijab melewati perut, setiap kali selalu tersenyum saat berbicara dengan orang lain. "Astaga, Mbak." Sasha langsung merasa tak enak, ia menatap Indri dengan penuh permohonan maaf. "Maaf, Mbak, maaf banget, udah ngerepotin." "Nggak apa-apa," ujar Indri, sembari menatap Alvaro dengan penuh senyum ketika menuju sang ibu. "Malah Mbak seneng, Inka jadi punya temen di rumah." Meskipun begitu, Sasha tetap merasa bersalah. "Ibu nitipin udah lama?" tanyanya. "Sejak pagi, sekitar jam tujuh, pas ayah Inka baru berangkat ke kantor." Sasha menelan ludah, masih ditatapnya Indri dengan sangat merasa bersalah. Tak ada yang disalahkannya, Sasha menyalahkan diri sendiri, seharusnya ia tak meninggalkan Alvaro kepada sang nenek dan seharusnya ia tak menerima tawaran Fatimah. "Besok kalau mau pergi kerja, titip aja Al di sini." Sasha langsung menggeleng. "Jangan Mbak, saya nggak enak." Ya, siapa yang merasa enak jika anak dititipkan ke orang lain yang bukan saudara. "Nggak apa, biar Inka punya temen." Indri masih belum menghilangkan senyum lembut itu. "Mereka juga kelihatan akrab, Al anak baik, nggak nakal dan nurut banget." Terlihat jelas wanita itu tulus saat memuji sang anak. Sasha tetap tak ingin anaknya dititipkan di rumah Indri, nanti akan ia tanyakan kepada Rahmi, mengapa tega menitipkan Alvaro pada orang lain. "Insya Allah, Mbak. Makasih banyak, kami pulang dulu." Sasha membungkuk dan menggendong Alvaro yang terus memeluk kakinya. Ah, anak itu bisa kangen, ternyata. "Iya, d**a ... Alvaro." Indri melambaikan tangan. Alvaro membalas dengan hal serupa pula. Dengan satu anggukan dan seulas senyum, Sasha melangkah meninggalkan rumah tersebut. Masih tak merasa enak pada Indri karena harus menjaga Alvaro seharian ini. "Tadi Al main apa sama Inka?" tanyanya, mengajak sang anak berbicara. "Boneka." Sasha tersenyum mendengarkan suara sang anak, hal yang selalu ia pikirkan selama bekerja tadi, juga sebuah semangat ketika sempat merasa lelah saat sedang mencuci piring. Ya, rumah makan itu mencari seorang pencuci piring. Sasha mengenal Fatimah, rumah beliau tepat berada di depan rumah yang sekarang ditinggalinya. Warung makan tersebut berada di tepi jalan raya, bersebelahan dengan bank, dan beberapa bangunan perkantoran. Itu mengapa buka dari pagi, karena beberapa karyawan kantor akan memilih sarapan di tempat tersebut. Sasha menerima pekerjaan ini karena lumayan, bekerja hanya sampai jam lima sore, kemudian tugasnya digantikan oleh karyawan lain sampai pukul 23.00 malam. "Assalamualaikum," salamnya ketika menginjakkan kaki di rumah sederhana. Dari luar rumah ini masih terlihat bagus, tetapi jika masuk ke dalam, Sasha hanya bisa menghela napas. Banyak perabotan yang rusak akibat kemarahan Fahmi. Tak ada yang bisa menghentikan, bahkan sang ibu lebih memilih mengurung diri di kamar. Beberapa kali menyahuti untuk memperpanas keadaan. Sasha tak mengapa diperlakukan seperti itu, jika memang ia bersalah, tetapi wanita tersebut sekaum dengannya, membela itu yang lebih benar, daripada membuat anak sendiri semakin berbuat kejam. Tak ada yang menyahuti. Sasha memutar knop pintu, tak dikunci. Ia masuk dengan sangat pelan, aroma minuman keras langsung menusuk hidung. Semua orang sudah tahu bahwa suaminya ini kerja serabutan dan sering mabuk. Beberapa kali ada yang merasa simpati kepada Sasha, bahkan tak segan mengatakan semangat padanya. Sasha melewati Fahmi yang tertidur di sofa, ia menuju kamar dan menurunkan Alvaro dari gendongan. "Mama masak dulu, ya. Al di sini main sendiri. Jangan nakal." "Iya." Balita itu berlari kecil ke arah mobil mainan yang berada di sudut kamar. "Udah pulang kamu?" tanya seseorang yang berdiri di pintu kamar. "Iya, Bu." Sasha segera keluar kamar dan melewati wanita itu. Mungkin terlihat kurang ajar, tetapi hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menghindari pertengkaran. Siapa pun pasti akan jenuh jika diperlakukan seperti ini terus-menerus, mau memberontak, tak ada yang mendukung, lebih baik Sasha menghindari dan mendiamkan. "Lihat, tuh, istrimu, nggak ada sopan-sopannya. Gitu tuh, kalau anak dibesarkan di kampung, nggak ada etika." Lagi dan lagi, Sasha sudah terlalu hapal dengan setiap ucapan yang keluar dari mulut mertuanya. Seperti biasa, ia tak membalas dan memilih untuk melanjutkan aktivitas di dapur. "Seharusnya kamu cari istri yang bisa diandalkan, punya pekerjaan, biar hidup bukan cuma ngasih makan dia." Rahmi masih saja mengeluarkan kata-kata pedas. Kalau ditanya, sebenarnya Sasha bisa hidup enak jika pulang ke kampung tinggal bersama orang tuanya. Namun, hal tersebut tak ia lakukan karena tak ingin membuat mereka khawatir. Sasha pernah membuat ayahnya menangis, kecewa, dan segala hal yang membuat ia menjadi anak durhaka saat itu, bahkan sampai sekarang. Tidak lagi, ia tak ingin merepotkan orang tuanya. Ini risiko yang harus ditanggung, menikah di saat belum mapan, melakukan dosa tanpa berpikir sebab-akibat, tidak mempercayai waktu yang suatu saat berubah. Sasha selalu begitu, terlalu cepat terbuai. Meski begitu, ia tak pernah menyesal telah menjadi ibu, sebuah kodrat seorang perempuan yang begitu mulia diberikan sang pencipta. "Kamu denger itu, Sasha!" teriak Fahmi. "Aku capek disalahin terus, berhenti bikin masalah!" Sasha tak menyahut. Ia menghentikan aktivitas memasaknya, dan menuju kamar di mana Alvaro sedang bermain. Balita itu duduk di sudut kamar, memainkan mobilnya dengan sangat hati-hati, seperti takut jika menghasilkan bunyi. "Al," panggil Sasha, "ikut Mama ke dapur, ayo." Alvaro mengangkat pandangan dari mobil ke wajah sang ibu, dengan sangat cepat bangkit dan berlari ke arah Sasha. Ya, Sasha tahu, lingkungan ini tak cocok untuk pertumbuhan anaknya. "Temenin Mama masak." Sasha melangkah ke dapur, Alvaro berada dalam gendongannya melingkarkan tangan di leher. "Cih, kalau kena marah, selalu anak yang jadi tameng. Sekali-kali kamu dengerin apa yang aku bilang, jangan sok nggak denger," cerca Rahmi, yang kini duduk di sofa ruang tamu. "Sasha denger, Bu." Kali ini, ia menyahuti hanya agar tak mendengarkan teriakan. Karena ia khawatir pada Alvaro. "Kenapa? Kamu marah aku tinggalin Alvaro di rumah Indri?" tanya Rahmi, dengan nada sewot. "Halaah ... Indri aja nggak protes, ngapain kamu marah?" Sasha memejamkan mata, merasa malu mempunyai mertua seperti itu. Menggunakan kebaikan orang lain hanya untuk kepentingan pribadi, adalah hal yang sangat memalukan. --- VOTE Dong
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD