VOTE!
Tertidur tanpa gangguan, itulah yang ia inginkan. Beristirahat tanpa suara berisik, itu juga yang ia mau. Namun, rasanya sangat sulit untuk terjadi di dalam hidupnya.
Di umur yang ke 24 tahun ini, seharusnya ia bahagia, merasakan hasil jerih payahnya selama 4 tahun berkuliah, hanya saja angan telah terkalahkan oleh nafsu.
Empat tahun yang lalu Sasha membuat kedua orang tuanya kecewa, kembali ke desa dengan kabar bahwa ia tengah mengandung. Pernikahan mendadak dilaksanakan, kuliahnya terputus sebab pihak laki-laki tidak memiliki uang untuk membiayai, sedangkan sang ayah lepas tangan karena terlalu kecewa.
Ya, siapa pun akan merasa kecewa. Melepaskan sang anak untuk melanjutkan pendidikan ke kota, dengan harapan besar akan menjadi kebanggaan, dan malah belum genap empat tahun dalam masa pendidikan, anak tersebut kembali dengan calon bayi.
Saat itu Sasha sangat bersyukur Fahmi mau bertanggung jawab, ikut dengannya ke desa untuk meminang dan menikahi. Semua berlalu tanpa hambatan, empat tahun pernikahan rasa jenuh itu ada.
Bukan Sasha pelakunya, melainkan sang suami. Ia memejamkan mata, membiarkan pria itu terus mengoceh tentang betapa sulitnya menghidupi ia dan anak mereka.
"Empat tahun menikah, nggak ada enaknya, susah terus!" Fahmi membanting sesuatu ke lantai.
Sasha mendengarkan itu, jarak ruang tamu dan kamar yang sekarang ditempatinya, cukup dekat. Hanya terhalang dinding yang berdiri kokoh, tetapi tak bisa menghadang ucapan menyakitkan itu.
"Kerjaanmu hanya di rumah, bisa santai, aku?"
Fahmi protes terhadap takdir, beberapa kali Sasha mengatakan untuk jadi perempuan saja, agar tak perlu mencari nafkah, tentu itu hanya untuk menyadarkan sang suami. Namun, yang ada malah mendapatkan pukulan.
Kali ini Sasha tak membantah, membiarkan pria itu terus mengoceh, sedangkan satu tangan memeluk Alvaro yang sedang tertidur nyenyak, seakan sudah biasa dengan suara berisik dari sang ayah.
Fahmi memang tak punya pekerjaan, kerja serabutan, lulusan SMA yang tentu sulit untuk mencari pekerjaan tetap. Sasha tak banyak protes, asalkan anak bisa makan, ia sudah merasa cukup.
Bermula sang ayah mertua pergi tiga tahun lalu, dari situlah Sasha merasa dunia ini begitu kejam. Fahmi harus memberi nafkahi, istri, anak, dan ibu, yang tentu saja itu berpengaruh pada ekonomi mereka.
"Fahmi!" Sebuah teguran terdengar dari kamar sebelah. "Itu yang kamu lagi omelin udah tidur, nggak bakal dia denger!"
Sasha menarik napas pelan, kemudian menghembuskan secara perlahan. Suara sang ibu mertua, digantikan oleh langkah kaki yang menuju ke kamarnya. Sasha bersiap, kali ini bukan hanya mendapatkan omelan, sudah pasti pukulan juga.
"Kamu denger, tidak!" Fahmi menendang kakinya untuk membangunkan.
Sasha tak menyahuti, meskipun tendangan itu berulang kali didapatkan olehnya, ia masih memilih diam. Tangan kiri tetap berada di atas tubuh sang anak, pertahan jika sang suami mencelakai Alvaro.
"Bangun! Hidupmu enak mulu!" teriak Fahmi, begitu keras di telinga Sasha.
Sentakan terasa di tubuh Alvaro, dalam remangnya pencahayaan, Sasha membuka mata dan mendapati anaknya itu terbangun. Tak ada tangisan, tubuh kecil tersebut bergerak perlahan mendekat ke arahnya. Ah, selama ini Sasha bertahan demi sang anak, tetapi jika menunggu pria itu berubah, anaknya akan mendapatkan trauma yang lebih besar.
---
"Bu, aku mau bantu-bantu di warung Bu Fatimah, lumayan gajinya, dari jam enam pagi sampai lima sore digaji 50.000." Sasha mengatakan itu kepada ibu mertuanya.
"Mulai kapan masuknya?" tanya beliau.
"Besok, Bu. Sasha titip Alvaro, ya, Bu." Permintaan itu malah tak diacuhkan oleh wanita tersebut, Sasha mengelus d**a untuk meredam kekesalan.
Selama ini Sasha ingin sekali bekerja, tetapi tak tahu akan meninggalkan Alvaro pada siapa. Ibu mertuanya langsung tak acuh jika dimintai tolong. Itulah yang membuatnya segan untuk meninggalkan Alvaro kepada beliau.
"Bu, kali ini Sasha mohon banget. Titip Alvaro, ya, Bu," ucapnya, sangat memelas.
Seharusnya wanita itu mau, biar bagaimanapun Alvaro adalah cucunya. Namun, lagi-lagi Sasha mendapatkan jawaban diam, yang berarti tak ingin repot.
"Bu-"
"Iya! Iya!" Rahmi membanting sendok ke atas meja makan. "Kamu bikin selera makanku hilang!" Dengan sangat marah, meninggalkan dapur dan menuju ruang tamu.
Sasha berjalan ke meja tersebut, mengumpulkan piring, gelas, dan sendok, yang tadi dipakai Rahmi untuk makan. Dilihatnya Alvaro yang berada di sudut dapur, menatap dengan dengan wajah sedih.
Bocah tiga tahun itu mengerti situasi, bahkan karena di rumah ini selalu terdengar kemarahan, Alvaro lebih sering diam dan tak pernah terdengar menangis atau sekadar tertawa renyah. Anak itu menjadi takut untuk melakukan apapun karena terlalu banyak larangan.
Jangan sentuh ini, jangan sentuh itu, jangan lari-lari, jangan berisik, dan masih banyak jangan yang sering dikeluarkan oleh ibu mertua dan suaminya.
"Sini, Al nggak mau makan?" Sasha menaruh sepiring nasi ke atas meja, bersiap untuk menyuapi sang anak.
Semua orang pasti pernah berada di titik jenuh, apalagi di umur yang masih terbilang muda. Sasha memaklumi itu, perubahan sang suami adalah hal wajar menurutnya. Apalagi mereka hanya berbeda satu tahun, tentu Sasha mengerti bahwa masih ada keinginan untuk bebas.
Ia tak tahu pergaulan yang seperti apa dijalani oleh sang suami sekarang, yang jelas, setiap pulang ke rumah pasti dalam keadaan mabuk. Semalam pun begitu, ujung-ujungnya Sasha yang mendapatkan pelampiasan, atas kekejaman dunia pada hidup Fahmi. Begitu kata pria itu.
"Ma, Al nggak nakal, kok," ucap bocah tiga tahun itu, ketika telah duduk di sebelah Sasha.
"Mama tahu," Menyuapkan sesendok nasi kepada Alvaro, "besok Mama pergi kerja, Al jangan nakal sama nenek, ya."
Menyahuti dengan anggukan, karena mulut kecil itu sedang mengunyah. Beberapa kali Sasha merasa kasihan jika melihat anaknya tumbuh dalam lingkungan seperti ini, dan saat ini, hal itulah yang membuat ia ingin meninggalkan sang suami dan ibu mertua, demi masa depan anaknya.
"Al, nanti kalau Mama dapet gaji, Mama beliin mainan buat Al. Tapi harus janji, jangan nakal sama nenek, ya."
"Oke." Suara itu terdengar nyaring ketika membahas mainan, senyum melengkung di bibir, dan gigi kecil terlihat tersusun rapi, memberi kesan bahwa tengah bahagia.
Sasha berharap, senyum itu akan selalu ada untuk memberikannya kekuatan. Selamanya, tak ada keinginan untuk meninggalkan anak tersebut.
Setiap hari ia berdoa, semoga hidup ini berputar dan menjadikan anaknya berada di atas, selamanya. Agar tak ada lagi penderitaan yang dirasakan anak itu dan Sasha bisa bernapas lega, meski telah meninggalkan dunia ini.
"Al makan yang banyak, biar cepet gede," ucapnya, sembari terus memperhatikan Alvaro.
"Biar bisa jagain Mama," balas anak itu, menimbulkan rasa haru di d**a Sasha.
--