Kehancuran Nyata

1146 Words
Jakarta, 2002 *** “Kak, cepat katakan ada apa?? Sebentar lagi kita harus masuk kelas” Kataku sambil menatapnya garang. Sejak hampir 15 menit lalu kami duduk diam di ruang OSIS. Jovan menyeretku ke tempat ini lagi, tempat yang menjadi awal hubungan kami. “Aku hanya ingin menatapmu” Katanya sambil menopang dagu di kedua tangan. Dia memang kadang menyebalkan. “Kak..” Jovan tertawa. Tangannya terulur untuk melepaskan ikat rambutku. Membuat rambutku menjuntai dan berjatuhan tidak beraturan. “Kan aku sudah pernah bilang, jangan mengikat rambut setinggi itu. Lehermu kelihatan, Meera” Katanya. Dia memasukkan ikat rambutku ke dalam saku celananya. Dasar. Sudah berapa banyak ikat rambutku yang dia sita?? “Ini hanya leher. Aku gerah Jovan” “Kemarilah. Aku akan meniup lehermu agar tidak gerah” Aku memberenggut. Melawan Jovan adalah sebuah kemustahilan. Biasanya aku akan menerima saja setiap tindakannya. Jovan selalu membuat aku menurut dengan caranya. Dia tidak memaksa tapi selalu membuat aku mengerti semua maksud ucapannya. “Kamu mau bicara apa sebenarnya?? Kenapa mengajak aku kesini??” Tanyaku. Jovan tersenyum. Oh, lebih tepatnya menyeringai. “Kamu pasti malu. Kita pertama kali berciuman di sini. Aku selalu mengingat momen itu ketika ada acara OSIS di sini” Katanya sambil tersenyum. Aku membelakkan mataku. Mencoba menegaskan jika ucapannya sama sekali tidak mempengaruhi diriku. Tapi sayangnya tubuhku bereaksi lain. Pipiku malah terasa panas dan menimbulkan rona merah. Ini memalukan! “Ayolah, Meera. Kamu terlalu malu untuk mengakui itu. Kita biasa berciuman di apartemen, tapi kamu tidak pernah malu-malu” Katanya. Sialan! Dia menggoda aku habis-habisan. “Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, aku kembali saja ke kelas” Kataku sambil bangkit berdiri dan menampilkan ekspresi sedang marah. Ini hanya pura-pura, yang sebenarnya adalah aku malu sehingga harus berusaha menutupi senyumku. “Eh, tunggu dulu. Kamu ini pemarah sekali” Katanya sambil menarik aku untuk kembali duduk di dekatnya. Aku jadi menatap matanya yang berkilau dengan cahaya kecoklatan. Mata itu menenangkan. Aku seperti tenggelam dalam cahayanya. Dia membuat aku merasa cukup jika harus hidup hanya dengan cahaya itu. “Kamu harus dengarkan ini baik-baik” Aku mengangguk. “Nanti malam, Ardo akan menjemput kamu dan membawa kamu ke rumahku. Ada pesta di sana, aku ingin kamu hadir. Ada.. ada sesuatu yang harus kamu tahu..” Katanya. Aku mengernyitkan dahi. Kenapa harus bersama Ardo?? Bukankah Jovan bisa menjemputku? “Kenapa­­­..” “Kenapa bukan aku??” Tanyanya sambil menatapku. Aku mengangguk. “Ada sesuatu, Meera. Untuk semenatara aku masih belum bisa menanganinya. Tapi aku janji, kita akan baik-baik saja. Kamu hanya perlu bersabar” Katanya. Aku semakin mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi?? *** Seperti apa yang tadi pagi Jovan katakan padaku. Malam hari sekitar pukul 8, Ardo sedang duduk manis di ruang tamu rumahku bersama dengan Papa. Aku berjalan mendekati mereka. Papa memang cocok dengan keluarganya Ardo, itulah sebabnya Papa dengan mudah memberi izin padaku untuk keluar dengan Ardo. “Ini pesta apa?? Kalian terlihat sangat rapi untuk sekedar menghadiri pesta ulang tahun” Katanya begitu melihat aku sedang mengenakan gaun berwarna biru muda yang terlihat mewah. Ini adalah gaun yang baru saja diluncurkan oleh salah satu perancang luar negeri. Gaun ini terbatas jumlahnya, dan aku benar-benar bersyukur karena tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkannya. Kenalan mama yang berada di luar negeri memiliki akses khusus untuk membelinya. “Hanya pesta ulang tahun teman saya, Om.” Jawab Ardo. Laki-laki itu tampak normal dengan kemeja biru langit dan jas hitam yang melekat di tubuhnya. Iya, dia tampak normal. Tidak seperti Ardo yang aku kenal di sekolah. Sekarang siapapun yang melihatnya pasti percaya jika dia berasal dari keluarga kaya. “Sepertinya kami harus segera berangkat. Mari, Om” Kata Ardo. Ardo sepertinya menyadari jika aku ingin segera menyingkir dari sini. Oh, untung saja dia peka. “Kamu terlihat berbeda, Meera. Untung saja kamu tadi keluar dari rumah keluarga Hernandez, jadi aku tidak perlu lama berpikir” Katanya sambil tersenyum mengejekku. “Jangan banyak bicara. Napasmu bau!” Ucapku dengan kesal. Dia tertawa ketika mendengar aku mengejeknya. “Oh iya, Meera. Aku memang tadi bilang kalau akan mengenakan baju warna biru??” Tanyanya. Aku mengernyitkan dahi. Ketika di sekolah aku tidak bertemu dia seharian ini. “Kita mungkin berjodoh, Meera. Lihat, kita menggunakan baju berwarna biru!” Katanya sambil menunjuk bajuku dengan antusias. Sekalipun didandani layaknya pangeran, upik abu akan tetap menjadi upik abu. Dandanannya saja yang terlihat seperti pangeran. “Kalau aku berjodoh dengan kamu, lebih baik aku melajang seumur hidup, Kak” Kataku. Dia tertawa pelan. Untuk beberapa saat mobil ini dipenuhi dengan keheningan. Hanya terdengar suara klakson yang beberapa kali dibunyikan oleh sopir. “Kamu jangan langsung membuat kesimpulan setelah setelah menghadiri acara nanti. Jovan sedang mengusahakan sesuatu, jadi.. tenang dan ikuti saja alurnya” Ucapnya sambil menyulut rokok. Aku melototkan mataku. Baru ini aku tahu jika dia perokok. Aku sebenarnya tidak terlalu mempedulikan dia yang merokok, tapi masalahnya aku tidak mau bertemu dengan Jovan dan keluarganya ketika kau berbau asap rokok. “Jangan merokok dulu! Nanti kita berdua bau rokok” Kataku. Dia menatapku sebentar sebelum akhirnya menghela napas dan mematikan api rokok itu di sebuah asbak yang tersedia. “Kita sepertinya memang jodoh. Lihat, kamu sudah mulai peduli” Pekiknya girang. *** Aku terus tersenyum ketika mulai memasuki rumah Jovan. Rumah megah yang setipe dengan rumahku ini disulap menjadi tempat menakjubkan yang dipenuhi dengan hiasan dan lampu kerlap-kerlip. Tadi aku sudah sempat bertemu dengan Kak Raya. Dia memelukku sekilas lalu tersenyum. Entahlah, kurasa ada yang aneh dengan senyumnya. Setelah memelukku dia langsung pergi begitu saja. Tidak mengajak aku berbincang atau semacamnya. Aku hanya terdiam ketika melihat dia berjalan ke arah kerumunan yang terlihat akrab satu sama lam. Sepertinya itu keluarga besar Jovan. Mataku menatap setitik cahaya yang tidak asing. Itu mata Jovan. Dia di sana, sedang tersenyum sopan di antara beberapa orang yang terlihat mengajukan pertanyaan padanya. Ada gadis yang berdiri membelakangi kami, aku mengernyitkan dahi ketika melihat tangan Jovan terulur melingkari pinggangnya. Aku menyipitkan mata, berharap aku salah melihat. Tapi ini nyata, di sana memang Jovan. Dan dia memang merangkul gadis itu. Beberapa saat aku menatapnya, seperti sebuah konspirasi alam semesta, akhirnya pandangan Jovan menemukanku. Aku melihat sorotnya meredup untuk sesaat. Seperti ada kata yang ingin dia ucap tapi dia tak sanggup. Aku terus menatapnya sampai tangan gadis yang di sampingnya membuat Jovan kembali hilang dari pandanganku. Mereka berjalan menjauh. Aku terus memperhatikan sekitar. Mencoba mencari Kak Raya. Karena jika Jovan tidak bisa memberi penjelasan karena keanehan ini, maka Kak Raya adalah satu-satunya harapanku. Sampai sebuah suara mengalihkan semua pandanganku. Seluruh tamu yang hadir otomatis menghentikan kegiatan untuk sementara. Tatapan mereka fokus pada panggung di mana ada 6 orang sedang berdiri sambil tersenyum. Yang mencuri pandanganku hanyalah.. dia. Jovan berada di sana bersama gadis tadi. Lalu.. semua kata-kata yang terucap dari panggung itu sama sekali tidak bisa masuk ke dalam telingaku. Ketika semua hadirin yang ada bertepuk tangan untuk turut bahagia karena sebuah peresmian antara dua perusahaan besar, aku hanya terdiam dengan mata memanas. “Kami resmikan hubungan persaudaraan dan kerja sama kami bersama dengan hubungan kedua anak kami. Jovan dan Alisha” Kakiku terasa lemas. Mungkin aku kana menarik perhatian semua orang karena tiba-tiba jatuh dan pingsan di tengah acara jika tangan Ardo tidak menopangku. Aku menatapnya. Dia hanya diam saja. Matanya masih lurus menatap ke panggung, tapi tangannya terus merangkulku. Aku benar-benar tidak sadar dengan apa yang terjadi. Tapi kepalaku terus memutar ucapan Ardo ketika kami measih dalam perjalanan menuju ke tempat ini. “Kamu jangan langsung membuat kesimpulan setelah setelah menghadiri acara nanti. Jovan sedang mengusahakan sesuatu, jadi.. tenang dan ikuti saja alurnya” Aku mencoba untuk tidak membuat kesimpulan. Tapi otakku malah melalukan yang lain. Apa benar Jovan berhianat?? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD