Teman Dalam Dunia Bisnis

2230 Words
Jakarta, 2002 *** Aku menghela napas ketika menatap penampilanku di cermin. Pakaian mahal dengan riasan yang sempurna. Aku tampak seperti orang kaya pada umumnya. Baiklah, setelah keluar dari mobil, Meera harus berubah drastis. Bukan lagi Almeera yang akan memutar bola mata ketika mendengar nada kesombongan. Aku akan menimpali dengan menceritakan kesombongan yang jauh lebih tinggi. Ah, sungguh menyebalkan ketika aku benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Kuharap aku menemukan Ardo agar tidak terlalu bosan. Biasanya aku sering menemukan dia ketika berada di acara semacam ini. Aku menatap cermin untuk melihat penampilanku sebelum turun dari mobil. Aku harus benar-benar sempurna seperti yang sering Mama katakan. Semua mata harus tertuju padaku karena aku adalah pusatnya. “Kamu sudah siap, Meera??” Tanya Papa. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Selanjutnya seperti yang biasa terjadi. Acara membosankan ini setidaknya sedikit lebih baik karena ada Ardo yang terus menemaniku. “Kamu harus terkejut sebentar lagi” Kata Ardo. Aku mengernyitkan dahi. Menatap Ardo yang tampak lebih baik dengan setelan jas miliknya. Yaa, setidaknya dia bisa terlihat lebih waras dari penampilannya di sekolah. “Ada apa memangnya??” Tanyaku. “Yaa tunggu saja. Kan, ini kejutan” Katanya. Ardo mengajak aku untuk keluar dari kerumulan lalu berjalan ke arah balkon. Tempat ini menyajikan pemandangan langit yang menakjubkan. Salah satu hal yang kusukai dari acara semacam ini, mereka pasti menggunakan tempat yang indah. Beberapa saat kemudian aku merasa ada seseorang yang menggenggam tanganku. Refleks, aku tentu menatap ke arah tanganku. “Meera..” “Kak Jovan??” Jovan tersenyum ke arahku. Matanya bercahaya seperti biasanya. Dia tampak menakjubkan dengan setelan jas yang warnanya senada dengan gaunku. Tunggu dulu, kami tidak janjian akan mengenakan baju dengan warna yang sama. Lalu, bagaimana bisa?? “Kamu disini??” Tanyaku sambil terus menatap takjub ke arahnya. “Apa tidak boleh??” Tanyanya. Aku menggeleng. Kemudian mengangguk. Jovan tertawa sekilas membuat aku mau tidak mau jadi ikut tertawa. “Kenapa tidak bilang padaku??” Tanyaku. “Bagaimana bisa bilang? Kamu saja langsung pulang ketika sekolah selesai” Katanya. Aku mengangguk lalu tertawa sekilas. Sungguh kejutan karena menemukan Jovan di acara ini. Harusnya sejak tadi saja aku bersamanya. Bukan malah menghabiskan waktu sia-sia dengan terus mendengarkan ocehan Ardo. “Jovan Anderson. Kamu benar Jovan Anderson, bukan??” Aku mendengar suara Papa di dekatku. Papa sedang berdiri di sampingku sambil menatap lurus ke arah tanganku yang digenggam Jovan. Aku segera melepaskan tanganku. Pikiranku bergerak ke pembicaraan bersama Mama sore tadi. Menurut yang aku tangkap, Mama tidak ingin aku berdekatan dengan Jovan. Tapi.. apa Papa juga begitu? “Selamat malam, Om. Benar, saya Jovan..” Jawab Jovan sambil tersenyum sopan. “Jovan ini teman kami, Om. Kami satu sekolah” Kata Ardo sambil menatap cemas ke arah kami berdua. Aku mencoba untuk mencerna semua ini. Kenapa Ardo terlihat takut?? “Kalian satu sekolah?” Tanya Papa. “Iya, kami teman satu sekolah. Lalu kebetulan bertemu disini, jadi kami memutuskan untuk berbicara bertiga karena pembicaraan di sana terlalu berat untuk seorang pelajar seperti kami” Kata Ardo. Aku menatapnya penuh curiga. Kenapa dia bisa berbicara dengan waras sementara dialah yang paling tidak waras diantara kami bertiga. “Baiklah. Tapi sebaiknya kalian tidak terlalu dekat.” Kata Papa. Aku melototkan mataku. Apa-apaan ini? Apa maksudnya Papa berkata seperti itu? Aku  melihat Ardo yang juga sepertinya kaget dengan perkataan Papa. Sedangkan Jovan, dia hanya diam sambil tersenyum. Tidak terlihat jika dia terkejut. Jovan bisa mengendalikan diri dengan sangat baik. “Kalian ini para pewaris. Tidak ada pewaris utama yang saling bersahabat. Yang ada hanyalah pertemanan bisnis” Kata Papa sambil tersenyum santai. “Maksud Papa apa?? Jangan samakan kami bertiga dengan rekan-rekan bisnismu itu. Kita berbeda” Kataku dengan cepat. Papa tampak terkejut dengan ucapanku. Juga Ardo dan Jovan. Tampak sekali lewat mata mereka yang langsung memandangku. “Kamu sepertinya memang perlu banyak belajar mengenai bisnis, Meera. Bukan begitu Jovan Andeson??” Tanya Papa. “Jovan saja, Pak” Jawab Jovan yang terdengar amat formal karena dia menggunakan sapaan lain. Tidak seperti tadi disaat dia terlihat lebih santai dan bersahabat. “Meera, kita harus pulang” Kata Papa sambil menggenggam tanganku. Aku menoleh mendapati Jovan tersenyum hangat seperti biasanya dan Ardo yang meringis. Aku tersenyum singkat pada mereka. Baiklah, ada hal penting yang harus dibicarakan antara ayah dan putrinya. *** “Papa tidak seharusnya berbicara seperti itu pada kedua temanku” Kataku tanpa perlu menatap ke arah Papa. “Tidak ada teman dalam dunia bisnis, Meera” Jawabnya. “Tidak jika Papa adalah orangnya. Jangan samakan kita berdua, Pa” Kataku. Aku menghela napas, mencoba untuk menenangkan diri sendiri. Seperti yang Mama bilang, aku harus bersikap baik karena laki-laki yang duduk di sampingku ini lebih pantas disebut orang asing yang berbahaya dari pada Papaku sendiri. “Kamu dibentuk untuk menjadi pewaris utama, Meera. Jangan macam-macam” Aku tersenyum sinis. Andai semudah itu, andai aku memang pewaris utama. “Ardo dan Jovan adalah temanku” “Papa tidak memiliki masalah dengan keluarga Ardo, kami malah cenderung berteman dengan keluarganya. Tapi jangan mendekati keluarga Anderson, kita tidak pernah memiliki hubungan baik dengan mereka” Aku memicingkan mataku. Maksudnya keluarga kami bermusuhan begitu?? Kenapa jadi serumit ini?? Aku tahu jika kalangan atas seperti ini sering berseteru dengan sesama. Kami cenderung bersaing sehingga berakhir bermusuhan. Persaingan bisnis menjadi pemicu utama. “Ada apa memangnya??” Tanyaku pelan-pelan. “Kamu harus belajar banyak mengenai bisnis sebelum Papa memberitahu mana kawan dan mana lawan kita” Kata Papa. “Keluarga Anderson berada di mana??” “Lawan.” Satu jawaban itu mematahkan hatiku dengan cepat. Hanya satu kata memang, tapi aku tahu jika selanjutnya akan sulit bagi kami. Apalagi setelah aku mengetahui fakta ini. Jika benar Papa mengirim orang untuk mengikutiku, maka besar kemungkinan jika Papa tahu hubunganku dengan Jovan. Kuharap dia belum tahu karena.. karena tentu saja ini bukanlah berita yang baik. Jadi.. untuk memastikan sesuatu aku harus mengatakan hal ini pada Papa. “Aku berpacaran dengan Jovan..” Kataku pelan. “Putuskan hubunganmu. Jangan aneh-aneh” Kata Papa. Aku tertawa pelan. Perintah aneh macam apa yang harus kulakukan lagi sekarang?? “Papa pikir bisa membuat aku melakukannya??” Tanyaku. Papa melirikku sekilas lalu tersenyum sinis. “Iya. Menurutmu??” Aku yang ganti tersenyum. “Papa pikir siapa Papa yang bisa memerintah seenak itu??” “Kamu tidak akan suka pada apa yang Papa lakukan jika kamu sulit diatur” Kata Papa. Aku menganggukkan kepalaku. Jadi begini ya, percakapan normal antara ayah dan anak?? Bicara dengan sinis sambil saling mengancam. Oh, betapa menjijikkan hal ini. “Aku tidak akan pernah suka pada apa yang Papa lakukan. Baik ketika aku menuruti perintah, maupun tidak” Jawabku. *** Kakiku bergerak pelan ketika menaiki tangga. Pikiranku masih tertuju pada pembicaraan dengan Papa. Ada masalah apa antara perusahaan Papa dengan keluarga Jovan?? Banyak hal yang membuat aku kebingungan akhir-akhir ini. Termasuk keputusan Papa untuk membuntuti kegiatanku. Aku baru akan merebahkan tubuhku ketika teringat akan suatu hal. Eyang.. dia pasti mengetahui sesuatu. Jadi aku putuskan untuk melawan rasa lelahku. Ada sesuatu yang perlu aku pastikan. “Apa Eyang sudah tidur??” Tanyaku sambil melihat ke sekeliling kamar Eyang yang diterangi oleh lampu remang-remang. “Meera??” Aku lanjutkan langkahku karena masih mendengar suara Eyang. “Eyang sudah akan tidur??” Tanyaku sambil berjalan mendekati ranjang Eyang. “Tidak. Kamu butuh sesuatu??” Tanyanya. Aku mengangguk lalu mulai duduk di pinggir ranjangnya. “Kemarilah” Kata Eyang meminta aku untuk mendekat ke arahnya. Aku menurut, kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Ah, air mataku tiba-tiba ingin menetes karena hal ini. Sudah lama aku berinteraksi seperti ini dengan Eyang. Biasanya aku menghindar atau yang lebih buruk, berbicara dengan kasar pada Eyang. “Apa aku mengganggu??” Tanyaku. “Tidak. Ada apa kamu malam-malam begini belum tidur??” Tanyanya sambil mengusap kapalaku. “Aku.. aku ingin berbicara dengan Eyang” Kataku pelan. “Ini sudah malam, apa tidak bisa besok saja??” Tanya Eyang. “Eyang sudah akan tidur??” Tanyaku entah untuk yang keberapa kali. “Bukan Eyang, kamu yang seharusnya tidur di jam begini. Orang tua seperti Eyang ini sudah berkurang jam tidurnya, tidak seperti anak seumuran kamu yang membutuhkan waktu 8 jam untuk tidur yang cukup” Kata Eyang. Aku mengangguk. Sejujurnya aku pernah membaca masalah ini. Orang tua cenderung sulit tidur ketika malam hari. Entah benar atau tidak “Kamu kenapa??” Tanya Eyang lagi. “Emm, apa Eyang tahu kalau Papa mengirim orang untuk mengikutiku??” Tanyaku langsung. Aku merasakan usapan Eyang berhenti sejenak, tapi sedetik kemudian aku kembali merasakan gerakan tangannya. Tunggu dulu, apa pertanyaanku terlalu mengejutkan? Bukankah sudah kubilang jika sekarang sudah larut malam? Aku tidak memiliki waktu untuk sekedar basa-basi. “Maksudmu bagaimana??” Tanya Eyang dengan suara tenang. “Yaa, begitu. Apa Eyang tahu??” Tanyaku. Aku mendengar Eyang menghela napas. “Eyang akan mengganti pengawalmu kalau begitu. Apa dia membuat kamu tidak nyaman??” Tanyanya. Aku meringis ketika mendengar perkataan Eyang. “Jadi Eyang tahu??” Tanyaku. Eyang tidak menjawab. Kuartikan itu sebagai iya. Eyang jelas mengetahui. “Kenapa harus ada pengawal?? Aku sudah besar sekarang. Apa Papa mencurigai aku??” Tanyaku. “Bukan seperti itu. Papamu hanya ingin menjaga kamu” Kata Eyang. “Tapi aku tidak suka. Itu membuat aku tidak nyaman. Tidak bisakah Eyang bicara dengan Papa??” Lama Eyang diam. Ini membuat aku curiga jika sebenarnya yang meminta agar aku diikuti adalah Eyang sendiri. Benar-benar menyebalkan kalau memang itu faktanya. Tidak bisakah kami hidup normal?? “Eyang..” Kataku sambil menatap Eyang. “Eyang akan meminta mereka mengawasimu dengan benar. Kamu tenang saja, setelah ini kamu tidak akan sadar kalau diikuti” Kata Eyang. “Aku tidak mau!” “Ini untuk keamanan kamu. Eyang hanya tidak mau ada kejadian buruk lagi!” balas Eyang. Aku terdiam untuk mencerna perkataan Eyang. Lagi?? Apa maksudnya. Pikiranku bergerak dengan liar. Lalu.. satu kemungkinan timbul di pikiranku membuat aku terisap sesaat. Apa benar yang kupikirkan? “Kejadian buruk semacam apa yang Eyang maksud??” Tanyaku. Eyang tersenyum sekilas. Terlihat sekali jika dia berusaha menyembunyikan sesuatu. “Kita hanya berjaga-jaga saja” Kata Eyang dengan tenang. “Jangan berbohong, Eyang. Aku sedang berusaha memperbaiki segalanya. Salah satunya dengan berbicara baik seperti ini” Kataku. “Kecelakaan Mamamu. Itu bukan murni kecelakaan, ada yang melakukan sabotase dengan mobilnya” Kata Eyang. Aku menutup mulutku dengan kaget. Ini tentu bukan sebuah berita baik yang ingin kudengar. Menerima fakta jika Mama mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan kakinya harus diamputasi, itu adalah kebenaran yang tidak bisa kuterima. Lalu.. ini yang lebih mengejutkanku. Jika benar apa yang dikatakan Eyang, aku sendiri yang akan memastikan pelakunya menerima hukuman yang setimpal. Tapi tunggu dulu, untuk apa juga mereka melakukan sabotase pada mobil Mama?? Pasti mereka memiliki tujuan lain selain mencelakai Mamaku. “Eyang tidak bergurau, kan??” Tanyaku. “Untuk apa orang setua Eyang bergurau di saat seperti ini??” Tanyanya. “Ini baru kemungkinan atau sudah kebenaran, Eyang??” “Ini sudah pasti. Detektif yang disewa oleh Papamu sudah memberikan keterangan seperti itu, dan mereka mengatakan jika informasi itu dijamin kebenarannya lebih dari 90%” Kata Eyang. Baru 90%, bukankah itu artinya masih ada 10% tersisa? “Siapa yang melakukan itu??” Tanyaku. Eyang terdiam.   Aku menatap Eyang, mencoba mencari sesuatu dari tatapan matanya, tapi aku tidak menemukan apapun. “Siapa Eyang??” Tanyaku. “Keluarga temanmu itu, atau mungkin Eyang harus menyebutnya Pacarmu. Keluarga Anderson. Itu adalah kecurigaan detektif kita” Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Fakta yang kuterima saat ini membuat aku sulit bernapas untuk beberapa saat. Tidak. Tidak mungkin Jovan. Ini pasti salah. Penyelidikan mereka pasti salah. Aku segera bangkit dari posisiku lalu berjalan menjauhi Eyang yang masih berusaha meyakinkan diriku untuk menjauhi Jovan. Tunggu dulu, mana mungkin keluarga Jovan yang melakukan hal sekeji ini?? Tapi masalahnya Eyang mengatakan jika Keluarganya yang melakukan, faktanya Jovan tinggal terpisah dari keluarganya jadi besar kemungkinan jika Jovan tidak mengetahui semua ini. Jantungku masih berdebar dengan cepat. Kebenaran kali ini membuat aku tidak bisa berkata-kata sekalipun aku sudah menemukan sebuah sanggahan dari sesuatu yang mengganggu pikiranku. Tidak, Jovan pasti tidak mengetahui masalah ini sama seperti aku yang juga tidak tahu. “Jangan bergaul dengan dia. Eyang peringatkan kamu, Meera. Eyang hanya tidak ingin kamu menjadi korban karena dekat dengan anak keluarga itu” Kata Eyang sebelum aku keluar dari kamarnya. Aku mencoba untuk memfokuskan pandangan. Tapi sayang sekali mataku terus kabur karena tertutupi air mata. Tidak. Pasti tidak.. Pikiranku bergerak semakin cepat. Banyak ketakutan yang semakin memenuhi pikiranku. Tidak. Aku tahu Jovan bukan orang yang seperti itu. Dia tidak mungkin berhianat di belakangku. Tidak mungkin Jovan memiliki niat buruk terhadapku.. tidak, tidak mungkin. *** Jakarta, 2020   Anak muda yang suka membuat kesimpulan berdasarkan apa yang dia lihat dari satu sudut pandang. Yaa, memang begitulah tabiat anak muda. Kadang berapi-api dan penuh semangat, kadang bertindak gegabah tanpa tahu akibatnya.. tapi, justru hal-hal sepele semacam itulah yang banyak memberi pelajaran hidup hingga setua ini. Tunggu dulu, aku tidak setua itu bukan?? Kuharap tidak, banyak hal yang ingin kulakukan. Aku berharap masih memiliki waktu untuk itu. Setelah kehilangan yang menghancurkan sebagian hatiku, kadang mati terdengar lebih baik. Tapi untuk saat ini, setelah aku menyadari jika aku memiliki banyak misi ketika dilahirkan di dunia ini, aku merasa jika membutuhkan sedikit waktu lagi. Sedikit lagi, sebelum aku benar-benar menjadi abadi bersama dengan dia. Oh, aku sungguh tidak sabar menunggu waktu itu. Aku ingin kita menjadi abadi, Meera.. Akan kujawab saat ini, Ya, kita akan segera menjadi abadi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD