Zombie 5 - Do Not Be Noisy
Sudah setengah hari mereka berdua berada di rumah. Mark sudah memakan mie istan yang ia buat. Bahkan sampai dua kali nambah. Ia makan dengan tandas. Laper apa kelaperan? Xavier sampai ngomel-ngomel. Karena ternyata kebiasaan buruk Mark yang jorok dan borosnya belum juga menghilang. Padahal sudah sangat di wanti-wanti oleh Xavier agar tetap hemat, rapih dan bersih.
"Elo enggak bosen apa bersikap perfeksionis kayak gitu?" Tanya Mark. Setelah mendengarkan Xavier ceramah panjang lebar alias marah-marah karena kelakuan Mark.
Xavier menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lebih baik perfeksionis dari pada jorok dan enggak tahu aturan kayak loh. Heran gue, elo belum berubah juga. Kan apa-apa bersih dan rapih kan enak. Dari pada kotor dan berantakan."
Mark tersenyum sinis. "Lo benar-benar kayak ayah. Selalu bawel soal ini. Selalu ingin sempurna. Kayaknya yang anak ayah cuma elo aja deh," sindir Mark.
"Gue ya tetep gue! Gue tahu banyak yang bilang gue mirip banget ayah. Tapi sebenernya gue enggak suka. Karena gue pengen jadi diri gue sendiri. Gue sebagai Xavier. Bukan gue sebagai anak profesor Jimmy Thomson. Mungkin bagi elo gue enak, karena gue mirip ayah. Enggak. Asal elo tahu aja, gue pengen jadi diri sendiri," ceplos Xavier mengeluarkan isi hatinya. Sebelumnya ia selalu diam dan memendam apa yang ia rasakan. Namun, hari ini apa yang selama ini ia pendam. Terlontar dari mulutnya di depan Mark.
"Benarkah? Gue kira elo seneng. Karena merasa selalu lebih unggul dari gue. Dan selalu di puji sama profesor Felix dan anggota tim lainnya. Cuma elo yang di kenal sebagai anak dari Jimmy Thomson. Mereka memang tahu gue, tapi saat gue mengaku kalau gue ini anak pertamanya Jimmy Thomson. Mereka tidak ada yang percaya. Karena gue enggak ada mirip-miripnya sama ayah. Kenapa justru elo enggak mau dibanding-bandingkan sama ayah? Bukannya seharusnya elo bangga. Karena banyak mewarisi apa yang di miliki ayah. Dari wajah sampai kejeniusannya saja sampai sembilan puluh sembilan persen sama. Elo bodoh kalau elo merasa tidak suka dibanding-bandingkan dengan ayah," oceh Mark panjang lebar.
"Do not be Noisy! Elo terlalu berisik hari ini. Tetap diam selama berada di rumah gue. Atau elo keuar dan bergabung sama sekawanan zombie di luar!" Ancam Xavier.
Xavier memang tidak suka dibanding-bandingkan dengan Jimmy. Ia ingin jadi dirinya sendiri. Tanpa bayangan dari orang tuanya. Ia ingin menjadi hebat sebagai Xavier Thomson. Bukan sebagai anak dari Jimmy Thomson. Awalnya memang senang di puji-puji tentang kejeniusannya. Namun, saat mereka tahu bahwa Xavier anaknya Jimmy Thomson. Mereka langsung bilang.
"Oh ternyata anaknya ilmuan Jimmy Thomson. Pantas saja jenius. Mereka memang sangat mirip. Bagai pinang dibelah dua. Kepintarannya juga Jimmy wariskan pada anaknya. Memang ya, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya," oceh seseorang yang sempat terdengar oleh Xavier. Semenjak itulah, Xavier selalu di sama-samakan dengan Jimmy.
Manusia yang terlahir kembar identikpun tidak akan sama persis. Apalagi ini, seorang anak dan ayahnya. Tentu akan ada juga perbedaanya. Meskipun seperti itu, Xaveir tetap diam. Menelan semua perkataan tentangnya yang sangat mirip dengan Jimmy Thomson. Dan hari ini, pertama kalinya ia ungkapkan apa yang selama ini, ia simpan dalam hatinya sejak lama.
Prang! Prang!
Ada suara barang pecah dari luar rumah. Xavier yang mendengar hal itu langsung melihat melalui CCTV yang terpasang di luar rumahnya. Betapa terkejutnya saat ia melihat ada segerombolan manusia berkulit hijau memecahkan lampu-lampu depan rumahnya. Mereka mencoba menerobos pagar rumah Xavier. Di depan rumah Xavier kali ini sangat gelap, karena mereka menghancurkan lampu luar.
"Zombie! Ini pasti zombie!" Pekik Mark saat ikut melihat CCTV berama Xavier.
"Elo harus tetap tenang. Kita matikan semua lampu di rumah. Agar zombie tidak bisa melihat kita. Gue belum bisa meninggalkan rumah. Ada yang masih perlu gue kerjakan," ucap Xavier.
Tanpa berpikir panjang Mark dan Xavier langsung mematikan listrik dari stop kontaknya. Mereka harus terbisa dengan gelap sampai zombie benar-benar pergi menjauh dari rumah Xavier. Xavier langsung naik ke lantai dua, Mark ikut mengekor di belakangnya. Xavier memantau kondisi di luar rumah melalui jendela kamar atas. Tentunya dengan sangat hati-hati. Jangan sampai pemantauannya sampai ketahuan oleh Zombie.
"Mereka masih berkeliaran di luar rumah gue. Pager gue udah hancur. Aduh gue harus beli pager lagi," omel Xavier. Ya seperti inilah Xavier di depan Mark. Sangat cerewet dan selalu perfeksionis. Sikapnya jauh berbeda dengan pada saat di laboratorium.
"Lo jangan mikirin pager dulu. Yang penting kita selamat aja dulu. Lo mau kita jadi zombie? Lebih sayang sama pager atau diri Lo sendiri. Lagian sekarang yang terpenting kita bertahan agar tidak terjangkit virus zombie itu!" Protes Mark. Ia tidak habis pikir. Bisa-bisanya di situasi genting seperti ini, Xavier masih memikirkan pagarnya yang rusak.
"Ya, ya, ya. Kok bisa mereka jadi seperti itu. Gue masih enggak habis pikir. Gue benar-benar lihat zombie di depan mata gue. Selama ini gue cuma lihat mereka dalam film," oceh Xavier.
"Itu yang gue bilang. Kalau tampak nyata seperti ini lebih menakutkan ternyata. Berbeda saat gue lihat zombie-zombie di pesta Halloween tahun lalu. Makanya tadi pagi gue sampai gedor-gedor pintu rumah lo sampai kayak gitu. Karena mereka menyeramkan," ucap Mark dengan tangan yang gemetar.
"Lo beneran takut? Ya gue akui mereka menyeramkan. Kalau kita takut terus, kayak elo gini. Gimana kita bisa pergi dari rumah? Kita harus mencari profesor Felix. Kita juga harus merencanakan dan mencari vaksin dari virus zombie ini. Elo harus coba berani meskipun elo takut!" Tegas Xavier.
Benar sih semua yang diucapkan oleh Xavier. Mark harus berani, harus bisa melawan para zombie. Karena meskipun stok makanan dan minuman di rumah Xavier banyak. Itu tidak akan menjamin mereka tetap hidup. Karena memang salah satu jalan. Agar mereka terbebas dan hidup normal sepeti biasa. Adalah dengan cara menemukan vaksin dari virus zombie ini.
"Gue ada dua senjata api di kamar. Elo pegang satu, gue juga pegang. Kalau pas nanti malam tanpa sadar zombie masuk rumah. Elo langsung tembak kepalanya!" Pinta Xavier.
"Astaga, ternyata elo benar-benar punya senjata api. Gimana cara pakainya?" Tanya Mark seperti orang yang bingung. Ternyata rasa takut seseorang bisa juga terlihat tampak bodoh seperti Mark.
Xavier menepuk jidatnya yang tidak bersalah. "Tinggal elo tarik tarik aja pelatuknya! Masa iya elo enggak pernah lihat orang pake pistol," timpal Xavier geregetan. Mark itu ilmuan loh. Bahkan asisten ilmuan dari profesor Felix. Ilmuan ternama di kota Troxbo. Sementara Xavier masih kuliah dan menjadi asistennya profesor Felix. Masa iya menggunakan pistol saja tidak bisa?
"Tapi itu legal enggak senjatanya. Jangan-jangan ilegal. Nanti kita kena hukum," Mark mulai mencari alasan. Xavier tahu betul gerak geriknya. Mark benar-benar tidak mau menggunakan pistol itu.
"Masa bodo dengan hukum! Lo kira di situasi saat ini. Polisi akan memikirkan hukum? Yang ada polisi juga udah jadi Zombie seperti mereka. Tadi Lo protes saat gue lebih mikirin pagar rumah gue. Sekarang elo yang b**o! Masih sempat-sempatnya mikirin hukum di saat situasi kacau dan genting kayak gini!" Tandas Xavier dengan enaknya membalikan ucapan yang di lontarkan oleh Mark.
"Jadi gue tetep harus pakai pistol itu?" Tanya Mark dengan bodohnya.
"Haruslah! Kalau ada zombie di depan mata elo, elo lebih baik jadi zombie atau tembak kepalanya?" Xavier benar-benar sangat geregetan pada Mark. Kacau betul kakaknya satu ini. Kalau sudah ketakutan, ilmuan macam Mark saja berubah bodoh, bahkan lebih bodoh dari seekor keledai.
Xavier sebetulnya menggunakan pistol belajar dari Jimmy. Saat itu Jimmy ketahuan menyimpan senjata api. Di dalam laboratorium, dengan alibi akan melaporkan pada profesor Felix. Xavier bernegosiasi dengan Jimmy. Xavier akan tetap diam, asalkan Jimmy mengajarkan bagaimana cara menggunakan pistol. Menembakkan sebuah pistol membutuhkan keseimbangan, teknik dan latihan. Meskipun kita adalah seorang penembak pistol atau senapan yang berpengalaman, menembakkan sebuah pistol membutuhkan sebuah keahlian yang sama sekali berbeda.
Jimmy mengajarkan Xavier tentang bagaiman cara memakai pistol. Sebetulnya Jimmy takut kalau harus mengajarkan Xavier tentang menggunakan pistol. Takut disalah gunakan. Memang Xavier tidak akan bertindak gegabah. Namun, rasa cemas itu selalu terpikirkan sebagai seorang ayah.
"Kamu harus berjanji satu hal pada ayah," pinta Jimmy saat itu.
"Janji apa ayah?"
"Berjanjilah jangan menggunakan pistol ini sembarangan. Gunakan untuk hal yang beguna. Jangan gunakan ini disembarangan tempat. Karena kita tidak berhak membawa senjata api. Kita di negara yang taat hukum. Meskipun senjata itu legal. Tetap saja kamu tidak ada kewenangan untuk menggunakannya. Bisa berjanji pada ayah?" Pinta Jimmy.
Xavier mendelik sebal. Tidak usah diminta juga Xavier tidak mungkin menggunakan pistol itu disembarang tempat. Hanya saja Xavier ingin bisa menggunakan pistol tersebut. Sekadar memenuhi rasa penasarannya saja. "Iya, iya ayah. Aku berjanji," sahut Xavier.
"Baiklah, pertama kamu harus pastikan semua kondisi pistol kamu dalam keadaan bagus. Cek peluru di dalamnya sudah terisi atau belum. Kamu Pastikan hafal ada berapa jumlah peluru yang ada di dalam pistol kamu. Jangan sampai saat kamu berburu kamu kehabisan peluru karena kamu lupa jumlah perlu yang berada di dalamnya," Jimmy mulai menjelaskan pada Xavier.
"Pada revolver berkaliber empat puluh empat biasanya berisi lima sampai tujuh peluru. Kemudian revolver berkaliber dua puluh dua berisi delapan sampai sepuluh peluru. Jenis pistol yang ayah gunakan sekarang adalah revolver empat puluh empat. Jadi hanya berisi tujuh peluru saja. Ayah sebetulnya tidak sengaja membawanya ke sini. Tadinya sore ini ayah mau membawanya pulang," Jimmy mulai beralibi lagi.
"Sudah jangan banyak alasan. Ayo ajarkan aku lagi," protes Xavier. Jimmy memang seperti itu. Kalau tidak menyukai sesuatu hal atau tertekan. Jimmy pasti akan berbelit-belit mencari alibi.
"Baiklah begini.." Jimmy mulai menjelaskan lagi cara menggunakan pistol lebih rinci lagi. Xavier dengan serius mendengarkannya. Karena Xavier tahu betul, Jimmy tidak mau mengulang penjelasannya, jika nanti Xavier meminta kembali menjelaskan. Jadi Xavier harus mengerti dengan sekali penjelasan dari Jimmy.
Jimmy sebetulnya ayah yang cukup sabar. Jimmy harus menghadapi dua anak yang karakternya jauh berbeda. Xavier si rapih dan Mark si jorok. Jimmy sering melihat Xavier dan Mark bertengkar. Seringnya Mark yang berbuat ulah. Dengan cara mengotori apa yang Xavier tidak suka. Jimmy sudah pusing melihat tingkah laku mereka bedua. Namun, tetap saja seorang ayah harus bisa menjadi penengah diantara mereka berdua. Jimmy tidak boleh memihak salah satunya. Karena jika Jimmy memihak salah satunya. Pasti akan menimbulkan rasa cemburu diantara mereka.
"Hei hei! Kalian ini bertengkar terus. Apa tidak bosan!" Tegur Jimmy.
"Ayah tahu kan, tas yang Mark pinjam itu tas kesukaan aku. Aku belinya di luar negeri dengan tabungan aku sendiri. Tapi dengan enaknya Mark malah mengotorinya dengan tinta. Mana susah hilang lagi," oceh Xavier sambil marah-marah.
"Ya, maaf gue kan enggak sengaja. Mana tahu tinta pulpen gue bocor. Ya elo salahin pulpennya lah," ujar Mark tanpa rasa bersalah.
"Coba kamu berisikan lagi. Kalau tidak nanti ayah akan cari cara bagaimana noda itu bisa hilang dari tas kamu. Dan kamu Mark! Kamu harusnya bisa menjaga barang yang bukan milik kamu. Lebih berhati-hati lah. Kamu tahu sendiri Xavier orangnya sangat teliti. Xavier sangat menyukai kebersihan. Jadi kamu juga harus menjaganya dengan baik," peringatan dari Jimmy.
Disini Mark memang salah. Saat meminjam tas itu juga tidak bilang dulu pada Xavier. Langsung pakai saja seperti merasa tas itu miliknya. Dan saat ketahuan oleh Xavier. Malah ada noda tinta pulpen yang sulit dihilangkan. Bagaimana Xavier tidak marah. Siapapun akan marah ketika barangnya pinjam tanpa sepengetahuan orangnya. Kemudian saat akan dipakai malah rusak.
"Beli aja yang baru. Ribet amat," cetus Mark tanpa rasa bersalah.
"Beli! Beli! Enak aja elo ngomong beli. Ini tas itu limited edition. Cuma ada dua produksinya. Dan tiap tahun pabriknya mengeluarkan beda desain lagi. Elo itu ngegampangin banget. Elo enggak tahu kan gue beli tas itu dari hasil tabungan gue. Kalau harganya murah. Gue juga enggak akan semarah ini!" Tukas Xavier.
"Sudah, sudah! Mark kamu masuk kamar. Xavier ikut ayah ke laboratorium di rumah. Ayah akan cari formulasi untuk menghilangkan noda di tas kamu," saran Jimmy. Dia tidak mau anaknya terus beradu mulut. Pusing juga menghadapi dua anak yang sedang bertengkar. Yang satu terus mencecar kakaknya. Kakaknya malah anteng-anteng saja tanpa merasa bersalah. Salah satu solusi memang harus segera dipisahkan. Kalau tidak semuanya akan semakin melebar. Dan Jimmy tidak mau semua itu berlangsung lama.
Mark masuk ke dalam kamarnya dengan santai. Sementara Jimmy dan Xavier masuk ke dalam laboratorium di rumahnya. Jimmy memang memiliki laboratorium di rumahnya. Memang tidak secanggih laboratorium di pusat kota Troxbo. Namun, Jimmy biasa menggunakan laboratorium di rumahnya itu. Untuk membuat chemical. Agar nanti bisa di uji cobakan di laboratorium pusat. Jimmy memang sepertinya tidak pernah santai. Dia selalu teliti. Bahkan dalam rumah. Kalau ada yang belum puas dia dapatkan dari laboratorium pusat. Jimmy akan uji cobakan di laboratorium rumahnya. Padahal resikonya cukup besar. Kalau terjadi ledakan. Bisa habis rumah mereka.
Jimmy behasil menemukan formulasi untuk menghilangkan noda di tas milik Xavier. Akhinya Xavier bisa bernafas lega. Karena tas kesayangannya sudah kembali lagi, tanpa noda yang menganggu.
"Terimakasih ayah, kalau ayah tidak bisa menghilangkan noda ini. Aku akan minta ganti rugi pada Mark," timpal Xavier.
"Sudahlah, jangan dendam. Kakak kamu memang seperti itu wataknya. Kalau kakak kamu tidak mau mengalah. Kamu saja yang mengalah. Jangan ungkit ini lagi. Ayah mau anak-anak ayah itu akur. Jangan bertengkar lagi ya," pinta Jimmy. Kalau ayahnya sudah memohon seperti ini. Mau tidak mau Xavier harus menurutinya. Anggap saja sebagai rasa terimakasih karena telah mencari cara untuk menghilangkan noda tinta pulpen di tasnya.
"Baik ayah," sahut Xavier singkat.
Kembali ke penjelasan penggunaan pistol. Jimmy mulai membidik suatu target. Dan kemudian Jimmy menembak target itu. Xavier melihat hasil tembakan Jimmy. Hasilnya sangat tepat sasaran. Ternyata Jimmy cukup ahli juga dalam menembak.
"Jadi seperti itu cara memakainya," jelas Jimmy tentang cara menggunakan pistol. Itulah yang Jimmy jelaskan saat dulu mengajarkan Xavier tentang cara menggunakan senjata api, berupa sebuah pistol.
"Baik, ayah. Terimakasih sudah mengajarkan aku," ucap Xavier.