Zombie 4 - Staty at Home
Tetap di rumah adalah tempat yang paling aman untuk sekarang. Karena setelah mendapatkan telepon dari profesor Felix. Mereka cukup berpikir keras karena tentang kabar virus zombie yang tersebar ini. Mereka masih setengah percaya, karena selama ini mereka hanya melihat zombie di dalam sebuah film dan games saja.
"Bagaimana ini?" Tanya Xavier kebingungan. Mark masih dalam posisinya yang mematung, ia masih bengong.
"Hei sadar! Kejadian ini enggak cukup dibengongin aja. Elo beneran lihat orang-orang jadi beda?" Tegur Xavier. Akhirnya Mark tersadar dari lamunannya.
"Gue juga masih enggak percaya, orang kayak kesetanan. Gue rasa emang bener kata profesor Felix tentang virus zombie itu. Lebih baik kita di rumah saja dulu. Sampai keadaan di luar benar-benar aman. Setelah itu kita cari profesor Felix," saran Mark. Dia juga tidak mau mengambil resiko ke luar rumah. Karena kalau Mark bertindak gegabah. Bisa saja mereka terjangkit virus zombie itu.
"Setuju. Untuk sementara memang baiknya di rumah saja dulu. Sambil gue cari tahu. Apa benar yang sedang di luar terjadi adalah virus zombie. Kita juga enggak boleh terlalu lama diam di rumah. Semua manusia di kota ini akan habis menjadi zombie. Bahkan mungkin seluruh dunia. Oke, untuk sementara kita tenang dulu. Semoga saja, profesor Felix tetap aman dan tetap menjadi manusia. Agar kita bisa bersama-sama mencari vaksin untuk virus ini," timpal Xavier panjang lebar.
"Benar-benar seperti kiamat! Sial! Kenapa juga laboratorium pakai meledak segala!" Rutuk Mark. Dia menduga kalau virus itu pasti berasal dari laboratorium. Karena memang tidak lama dari ledakan itu manusia menjadi aneh.
"Pusing deh gue! Satu virus aja belum selesai. Ini muncul virus baru. Virus Zombie lagi. Gue kayak merasa berada di dalam games," ucap Xavier ngasal. Xavier cukup kebingungan. Karena selain harus mencari Vaskin untuk virus Zombie. Sudah di pastikan akan sulit juga. Karena pastinya harus melawan para zombie.
Sejauh ini yang mereka tahu tentang zombie. Zombie saling memakan, tanpa berpikir siapa orangnya. Mereka seperti vampir yang kehausan darah. Makanan utama mereka adalah manusia. Xavier juga belum tahu. Sejauh mana virus itu akan menyebar. Dan belum tahu juga bagaimana jika terjangkit virus tersebut. Apa langsung begitu di gigit menjadi zombie. Atau ada rentan waktu yang membuat mereka menjadi zombie.
"Lo punya cukup makan kan untuk beberapa hari kedepan? Jangan sampai kita kelaparan," tanya Mark membuyarkan konsentrasi Xavier.
"Emangnya elo di rumah enggak pernah nyediain makanan. Elo tahu gue kan? Gue selalu stok makanan," sindir Xavier. Dia memang tipe orang yang tidak mau bolak balik super market. Cukup hanya sebulan sekali. Jadi setiap sebulan sekali Xavier selalu stok untuk makan selama sebulan kedepan. Karena pikirnya, ia tidak punya waktu untuk bolak balik supermarket. Xavier terlalu sibuk mencari vaksin virus di bandingkan harus sering ke supermarket.
Meskipun mereka adik kakak. Namun, sifatnya berbeda jauh. Mark yang terkesan sangat cuek dan hidup seadanya. Sedangkan Xavier yang selalu teratur. Segala dalam hidupnya selalu ia rencanakan dan penuh peraturan. Dari mulai tata letak benda di rumah. Pengeluaran pemasukan ia selalu menghitungnya. Kalau ada yang mengubah letak benda di rumahnya. Ia langsung tahu. Karena Xavier memang tahu betul tata letaknya. Makanya ia memutuskan berpisah rumah dengan Mark, setelah ayahnya meninggal. Ia tidak suka pada Mark yang jorok dan selalu meletakan apa saja di sembarangan tempat. Lalu sekarang, apakah Xavier akan betah beberpa hari di rumah bersama Mark lagi?
"Iya deh yang hidupnya serba di atur. Gue mau makan dong. Tadi gue belum makan sebelum kesini. Tadinya mau mampir mini market dulu buat sarapan. Lihat orang pada aneh gue langsung lari ke sini." Mark memang boros, ia tidak pernah sarapan di rumah. Selalu makan di luar. Kebanyakan makan junk food, karena malas mengolahnya sendiri.
"Kebiasaan deh lo! Pokoknya ingat! Selama Lo di sini. Elo harus ikutin aturan gue. Letakan barang ke tempatnya semula. Karena gue tahu persis di mana gue letakin barang-barang. Kalau Lo mau makan atau apapun. Bilang dulu sama gue. Lo tahu kan gue enggak mau makanan gue habis dengan begitu aja." Xavier memberikan peringatan. Baru juga beberapa jam Mark memutuskan untuk tinggal di rumah Xavier. Sudah banyak sekali peraturan dari Xavier. Kalau ada tempat selain Xavier. Tentunya ia akan lebih memilih tempat yang lain. Xavier sama sekali tidak seperti adiknya. Mereka berdua tampak seperti orang asing satu sama lain.
"Iya, bawel. Hari ini gue mau makan mie instan. Elo punya kan?" Tanya Mark.
"Ada di lemari atas sebelah kanan kompor. Kalau mau pake telur ada di kulkas. Ingat ambil telurnya hati-hati jangan sampai pecah. Dan ambilnya satu aja!" Ucap Xavier memberi peringatan. Buset dah sama kakaknya saja Xavier seperti itu. Kalau di dalam laboratorium, mana bsia Xavier seperti ini. Xavier terkesan lebih pendiam dan tidak banyak bicara. Hanya dengan Mark saja, Xavier bisa secerwet ini.
"Iya bawel!" Tandas Mark sambil pergi ke dapur.
Selain serba di atur. Xavier juga sangat mementingkan kebersihan di rumahnya. Ia selalu membersihkan rumahnya setiap hari sebelum berangkat ke laboratorium atau sebelum kuliah. Karena Xavier tidak suka ada debu sedikitpun di rumahnya. Ada saja sedikit debu, ia langsung bersihkan.
Dan juga ia lebih suka makanan olahan sendiri dari pada junk food. Selain memang lebih sehat. Xavier juga jadi tahu apa olahan makanan yang akan ia makan. Entah kenapa, semua sifat dan kepintar Xavier sama persis dengan Jimmy. Hanya Mark yang berbeda. Apa sifatnya seperti ibunya?
Xavier tidak tahu banyak tentang ibunya. Karena memang ibunya meninggal saat usianya masih tiga tahun. Ibunya meninggal karena sakit. Meskipun sudah bertahan lama dengan penyakit anehnya. Ibunya tetap meninggal, padahal Jimmy dan profesor Felix sudah mencari cara untuk mengobati penyakit aneh ibunya Felix. Namun, tetap saja belum menemukan obatnya.
Saat itulah Jimmy terus bertekad bersama profesor Felix untuk terus mengembangkan formulasi yang mereka buat. Agar penyakit kasus yang sama seperti istrinya Jimmy bisa terobati. Hal itu juga yang memacu Mark untuk bisa seperti ayahnya. Dan Xavier juga berpikiran yang sama. Ia juga ingin seperti Jimmy. Ilmuan yang hebat, yang telah di akui oleh kota Troxbo.
Kalau saja Jimmy masih hidup. Sudah pasti ia akan berjuang bersama-sama mencari vaksin untuk virus zombie ini. Namun, sampai sekarangpun. Xavier masih mempertanyakan tentang kematian ayahnya. Bagi dirinya merasa aneh. Karena Jimmy bisa meninggal dengan luka yang cukup parah. Dan Mark selamat dari kecelakaan itu tanpa luka apapun. Hanya pingsan saja karena shock. Aneh bukan? Bahkan Xavier sampai menyangka kalau Mark yang membunuh Jimmy.
"Lo mau gue bikin mie instan juga? Mumpung gue lagi baik," tawar Mark santai, mencoba akrab lagi pada Xavier. Memang semenjak ayah mereka meninggal. Mereka tidak begitu dekat sama sekali. Penyebabnya ya itu, karena kematian Jimmy terlalu aneh dan mencurigakan. Sampai saat ini pun, Mark masih belum mau cerita tentang kronologi secara rinci kenapa kecelakaan itu bisa terjadi.
"Enggak usah sok akrab deh lo! Elo tahu kan gue enggak terbiasa makan mie instan. Gue udah makan roti isi tadi," sahut Xavier agak ketus.
Sebetulnya Xavier sebal sih kalau harus tinggal serumah lagi dengan Mark yang jorok. Sudah terbayang. Besok pasti rumah sudah seperti kapal pecah. Itu yang membuat Xavier malas kalau Mark bertamu ke rumahnya. Meskipun sudah di wanti-wanti untuk tidak mengubah letak benda-benda di rumahnya. Namun, tetap saja Mark selalu mengubahnya. Malah kadang memberantakannya di mana-mana. Siapa yang tidak kesal coba?
Mark mulai kegiatannya untuk membuat mie istananya. Seperti yang di katakan oleh Xavier. Mie instannya terletak di lemari. Mark lihat banyak sekali mie instan di sana. Banyak rasa dalam berbagai macam merek. Ini stok makanan atau memang koleksi mie instan. Hampir semua merek mie instan ada. Dari mulai mie goreng sampai mie rebusnya. Tersusun rapih di lemari dapur Xavier. Katanya enggak suka makan mie instan, tapi stoknya saja banyak seperti ini.
Setelah mendapatkan mie instan yang Mark mau. Ia mengambil telur di kulkas. Ia buka kulkas milik Xavier. Kulkasnya sangat penuh dengan makanan. Dari mulai daging ayam dan sapi. Sayuran-sayuran, buah-buahan, s**u sampai minuman bersoda. Ditata serapih mungkin. Beda jauh isinya dengan kulkas milik Mark yang isinya hanya air mineral dan telur saja. Benar-benar jauh seratus delapan puluh derajat. Seperti bukan adik kakak, karena sifat dan sikapnya jauh berbeda.
Kalau di laboratorium, Xavier memang termasuk orang yang pendiam dan fokus pada pekerjaannya. Saat di laboratorium, Xavier hanya fokus dalam meracik chemical dengan beberpa extrak yang akan di campurkan. Makanya selalu berhasil dan selalu mendapat pujian dari profesor Felix. Justru Mark yang sedikit cerewet kalau di laboratorium. Ia terkesan ramah pada orang-orang di laboratorium. Makanya orang laboratorium lebih mengenal Mark dar pada Xavier. Malah banyak yang tidak tahu. Kalau Mark dan Xavier adalah adik kakak. Mereka hanya tahu, kalau Mark dan Xavier adalah asistennya profesor Felix. Hanya sebagian orang saja yang tahu, kalau mereka berdua itu bersama.
Termasuk Erik tahu kalau Xavier dan Mark, adik kakak. Karena memang Erik selalu mencari-cari kesalahan Mark dan Xavier. Erik juga tahu tentang kecelakaan janggal yang di alami oleh Jimmy. Bahkan saat di laboratorium kemarin. Erik mengancam Mark untuk membongkar di balik kejadian kecelakaan ini. Sampai-sampai Mark kurang konsentrasi dan ceroboh. Profesor Felix sampai meminta Xavier untuk menyelesaikan formulasi yang di kerjakan oleh Mark. Memang kalau di ungkit tentang insiden kecelakaannya bersama Jimmy. Mark selalu mendadak tidak fokus dan ceroboh. Mungkin memang benar. Mark menyembunyikan sesuatu di balik kecelakaan itu. Entah apa itu, yang tahu hanya Mark saja.
Mark mulai memasak mie instan di dapur Xavier. Ia melihat ke sekitarnya. Benar-benar sangat tersusun rapi. Semuanya tertata dengan sempurna. Mark tersenyum geli, kalau mengingat saat dulu masih tinggal bersama Xavier. Ia selalu marah-marah karena Mark selalu memakan makanannya yang berada di kulkas. Atau suka meminjam baju dan barang Xavier tanpa di kembalikan.
Bukan hanya orang lain saja yang heran dengan perbedaan sifat dan sikap mereka berdua. Mark juga merasa, ia benar-benar tidak mirip ayahnya sama sekali. Sifatnya sangat cuek dan apa adanya. Bahkan termasuk yang jorok dan selalu ingin yang instan. Sementara Jimmy dan Xavier. Selalu rapih, tertata, sopan dan selalu penuh rencana. Kadang Mark berpikir, apa dia anak dari keluarga Thomson? Karena sikapnya tidak ada yang sama seperti dirinya. Dari segi wajah pun. Xavier lebih mirip Jimmy dari pada dirinya. Ia seperti anak yang terbuang. Namun, ia tidak pernah benci atau mempersalahkan perbedaan itu. Mark menerima apa adanya, memang sudah garis jalan hidupnya seperti itu. Ia menerima takdirnya. Terlahir dari keluarga yang ilmuan saja sudah sangat beruntung bagi Mark. Setidaknya ia masih pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.
Chintya Thomson adalah istri dari Jimmy Thomson dan ayah dari Mark dan Xavier. Selama sepuluh tahun Mark di manja oleh Chintya. Seakan Mark adalah anak satu-satunya di keluarga Thomson. Meskipun banyak orang yang mengejek dan menghina Mark karena tidak mirip Jimmy maupun Chintya, tapi mereka berdua sangat menyayangi Mark. Tanpa perdulikan pembicaraan orang lain.
Saat usia Mark delapan tahun. Chintya terjangkit penyakit langka yang membuat Jimmy cukup ketar ketir untuk mencari obatnya. Segala formulasi ia buat bersama profesor Felix. Sampai dua tahun kemudian Chintya mengandung Xavier. Awalnya Jimmy meminta untuk tidak melanjutkan kehamilannya. Karena akan bahaya bagi Chintya dan anak yang ada didalam kandungannya. Namun, Chintya bersi kukuh ingin tetap mempertahankan bayinya. Hingga Xavier lahir ke dunia dengan selamat. Saat Xavier lahir, wajahnya sudah sangat mirip dengan Jimmy saat bayi.
Setelah melahirkan Xavier, Chintya melanjurankan pengobatan yang di formulasikan oleh tim Jimmy dan profesor Felix. Chintya hanya bertahan dua tahun. Tepat di usia tahun usia Xavier. Chintya meninggal. Karena memang penyakit langkanya sangat sulit untuk di sembuhkan. Itu menjadi luka untuk Jimmy. Sesuai amanah Chintya sebelum meninggal. Jimmy harus menjaga, merawat dan menyayangi kedua anaknya. Jangan pernah membeda-bedakan mereka. Karena mereka memang anak-anak yang Chintya harapkan. Ya meskipun Xavier dan Mark terpaut usia yang cukup jauh. Dua belas tahun jaraknya. Sepeti bukan adik dan kakak. Lebih mirip paman dan keponakannya.
Xavier kecil tumbuh bersama Mark dengan seorang baby siter. Mark banyak membantu merawat Xavier. Ia sangat menyayangi adik semata wayangnya. Sampai mereka sama-sama tumbuh sebagai asisten ilmuan dan saling bersaing secara sehat.
Dari mulai sekolah formal. Nilai-nilai Mark dan Xavier selalu nyaris sempurna bahkan sempurna. Selalu menjadi juara umum. Para guru bahkan selalu memuji nilai sempurna mereka. Hingga Mark lebih dulu masuk universitas ternama di kota Troxbo. Universitas Flaxion yang telah melahirkan banyak ilmuan di berbagai macam belahan dunia. Dimana Jimmy dan profesor Felix juga kuliah di sana. Chintya juga kuliah di universitas Flaxion. Dulu juga Chintya seorang asisten ilmuan. Namun, hanya sampai sebatas mengexraksi bahan herbal untuk di campurkan dengan chemical. Tidak sampai tahu tentang formulasi chemical yang memang hanya menjadi rahasia profesor yang sudah handal.
Chintya berhenti bekerja saat hamil Mark. Ia memutuskan untuk fokus mengurus anaknya. Cukup hanya Jimmy yang menjadi seorang profesor. Biarlah gelar profesor yang Chintya punya hanya sekadar cerita. Karena ia ingin menjadi ibu yang sesungguhnya. Ibu yang melihat tumbuh kembang anaknya dari lahir hingga dewasa. Itulah sejatinya seorang ibu. Chintya tidak mau melewatkan sedikit pun momen dengan anaknya. Mark hanya merasakan sepuluh tahun kasih sayang dari Chintya. Yang lebih kasihan justru Xavier. Yang hanya merasakan kasih sayang Chintya hanya dua tahun. Usia dua tahun belum cukup mengerti tentang kasih sayang seorang ibu. Yang Xavier tahu hanya kasih sayang seorang kakak dan ayahnya saja.