Skalla-16

2137 Words
Menjelang petang, motor hitam itu berhenti di sebuah taman yang lokasinya tidak jauh dari SMA Bintang Mulia. Taman itu kopong karena kebanyakan orang memilih untuk pergi ke taman yang lain untuk menghabiskan waktu bersantai mereka, karena di taman ini tidak ada yang menarik sama sekali. Hanya hamparan tanah lapang dengan beberapa pohon yang masih terawat. Dengar-dengar, pemerintah akan merombak taman ini menjadi sebuah pusat perbelanjaan, tapi lagi-lagi itu masih wacana. Mesin motor dimatikan, Gevit menatap sekitar yang lenggang. Hanya ada kendaraan yang hilir mudik di jalanan, area taman nya benar-benar kosong melompong. Lampu-lampu taman mulai menyala kala Gevit melangkah masuk ke dalam taman itu. Udara Bandung terasa sangat dingin, apalagi di puncak musim penghujan seperti ini. Januari sepertinya akan menyimpan banyak genangan sekaligus kenangan, tentang setapak langkah kaki Gevit Skallata dalam menyusun kepingan kejadian itu agar bisa menjadi kenangan yang manis untuk di ingat kala bulan beranjak ke Februari, Maret, April, Mei dan seterusnya. Terdengar senandung lirih dari bangku yang ada di pojok taman, tujuan Gevit adalah bangku itu. Disana ada seorang gadis berambut pendek yang tengah duduk seraya memakai headset.  Tanpa permisi, Gevit duduk disana. “Tugas lo udah selesai, thanks” cowok itu meletakan sebuah buku catatan di atas paha cewek itu. Itu adalah salinan dari buku catatan nya selama satu semester ini yang akan dia berikan sebagai imbalan karena cewek itu sudah mau membantunya. Saat Gevit hendak pergi, langkah kakinya tertahan karena suara si gadis yang tadi dia ajak bicara. “Pertemanan macam apa yang lo jalanin saat ini,” gadis itu melepaskan headsetnya, dia juga menyusul berdiri di belakang Gevit. Memasukan kedua tangannya di saku training, gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. “Cari teman itu susah, Ge. Lo sih beruntung punya dua sahabat, dan yah, satu lagi jadi tiga. Tapi kalo lihat cara lo yang kayak gini, gue rasa pertemanan lo nggak akan lama sama mereka” Gevit masih diam, dia mencerna kata-kata gadis berambut pendek itu. Tidak untuk ditelan mentah-mentah tentu saja. “Gue ngerasa bersalah banget sama Daniel, mungkin setelah ini gue bakalan minta maaf ke dia. Gue duluan, thanks buat buku catatan lo” gadis itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Gevit yang masih mematung di tempatnya berdiri saat ini. Dia tau langkah nya kali ini salah besar, tapi mau bagaimana lagi sudah kepalang tanggung. Gevit juga harus siap dengan konsekuensinya. Letta kemungkinan besar juga mengetahui bahwa dirinya lah yang menjebak Alfa dengan mengkambinghitamkan Daniel. Cowok tampan itu terduduk kembali, helaan nafas panjang terdengar begitu berat. Gevit menutupi wajahnya dengan kedua tangan dengan siku yang bertumpu pada kedua pahanya. Kadang helaan nafas itu menjadi perwakilan terbaik dari rasa sakit, sesak, khawatir dan ketakutan yang ada di hati dan pikiran nya yang tak sanggup ia ungkapkan lewat susunan kata. Ponsel Gevit bergetar, telepon dari Andini. “Abang lagi dimana?” tanya Andini dengan suara cemas. “Lagi di luar, Ma. Kenapa?” “Langsung ke rumah sakit ya, Letta tadi pingsan.” Gevit spontan berdiri, dan tanpa di teriaki dua kali, cowok itu langsung berlari menuju tempat motornya berada. Letta sakit, dan dia malah pergi begitu saja. Gevit tidak akan marah jika nanti Andini menghukumnya. Motor hitam itu segera melesat menuju rumah sakit. Dia tidak tau, kalau sedari tadi ada Daniel yang menguping pembicaraan mereka sesuai permintaan Ara, temannya. Ya, gadis itu adalah Ara, teman sekelas dan sebangku Daniel yang kala itu menyadap ponsel cowok itu untuk mengirimkan rumor mengenai Alfa. “Kok dia setega itu ya sama temennya sendiri” Ara mengulum permen milkita rasa melon s**u dengan nikmat, cewek itu hanya mengangkat bahu tak peduli. Baginya, semua manusia adalah penipu handal, termasuk dirinya. Dan pertemanan hanyalah omong kosong, tinggal menunggu kapan waktu akan mengungkap segalanya.  Daniel menatap cewek cebol berhoodie oversize itu dengan gelengan kepala. Lantas, mendaratkan sebuah jitakan disana. Tidak terlalu keras, tapi berhasil membuat Ara kesal. “Sejak kapan lo berani menyadap hape gue, hah?!” Ara meringis, dia mengambil langkah mundur. “Piiss, Niel. Damai ya..” Ara mengangkat kedua jarinya seraya nyengir menggemaskan.  “Damai, damai enak aja! Sini lo!” Saat Daniel hendak mengejar Ara, entah muncul dari mana sosok tinggi dan berbadan atletis itu. Ara bersembunyi di  belakang tubuh Nando seraya menjulurkan lidahnya. “Anjir lah pawangnya dateng, cupu lo, Ra” balas Daniel mencibir. Dia tidak ingin mencari masalah dengan Nando, sampai kapanpun.  “Wlee, emang gue peduli?” “Ck!”  “Daniel.” Daniel menatap Nando yang memanggilnya dengan suara dingin. “Ini terakhir kalinya gue kasih izin ke Ara buat berurusan sama lo.” “Yah, posesif amat bray” Daniel terkekeh, cowok itu mengibaskan tangan. “Tenang aja lagi, akhir bulan gue udah kembali ke Jakarta kok. Lagipula, si Ara bukan selera gue, jadi lo tenang aja” Nando tidak menjawab sepatah kata apapun, cowok itu merangkul bahu Ara dan membawanya pergi begitu saja. Daniel menyugar rambut, dia ingin segera kembali ke Jakarta sebelum mendapatkan masalah yang lebih besar lagi. Apaan, namanya di kambing hitamkan oleh orang lain. Kalau boleh jujur, Daniel juga sedikit kesal dengan Ara, tapi mau bagaimana lagi cewek itu punya tameng si Nando membuat Daniel tidak bisa berkutik.  Selain itu dia juga kesal dengan Gevit. *Baca cerita Daniel Dirgantara di My Favorite Playboy -Prince of Sivillia- Sebenarnya tidak ada yang parah dari sakitnya Letta kali ini, gadis itu pingsan karena syok dan kelelahan menangis. Tapi karena Letta punya mama seperti Andini dan abang seperti Gevit, maka luka kecil pun akan ditanggapi dengan serius.  Sampai di ruang rawat inap adiknya, Gevit melongo, disana Letta tengah bermain lompat tali, sementara Andini berusaha menghentikan gerak lincah anaknya. “Mama lihat kan, aku udah sembuh, Ma. Ayo pulang, jangan lebay deh” “Letta, jangan bikin mama tambah khawatir dong, udah cukup, iya besok kita pulang, tapi sekarang kamu istirahat dulu, ya?” Andini masih mencoba untuk membujuk anak gadisnya dengan sesabar mungkin. “Yaudah janji besok pulang ya?” “Iya sayang…” Andini takut sekali jika anak-anaknya terluka, dia menjaga mereka dengan sepenuh hati sendirian. Baginya, Letta dan Gevit adalah harta yang terkira, karunia dan titipan tuhan yang paling berharga, untuk itu dia akan menjaga keduanya dengan sepenuh hati bahkan jika nyawa menjadi taruhannya. Saat Letta hendak beranjak menuju ranjangnya, dia baru menyadari kalau ada manusia lain disana selain dirinya dan Andini.  “Ta” Letta melengos, malas bersitatap dengan Gevit. Dia masih marah, marah banget malah. “Ta? Dipanggil abang nya kok diem aja?” tanya Andini bingung. “Males.” Karena kondisi Letta, Andini tidak memaksa anak gadisnya untuk menjelaskan, sebagai gantinya dia menarik Gevit keluar kamar untuk meminta penjelasan. Setelah pintu tertutup, Andini menatap Gevit dengan intens, tatapannya mengintimidasi lawan bicaranya membuat Gevit diam tak berkutik. Di dunia ini, hanya satu orang yang tidak bisa Gevit lawan, dia adalah Andini.  Bahkan menggertak, atau berbicara dengan nada keras saja Gevit tidak berani. Paling-paling kalau marah dia hanya akan mengacuhkan ucapan yang keluar dari mulut sang mama.  “Jelasin ke Mama, Gevit.” “Tentang Letta? Gevit nggak tau, Ma--” “Kalian berdua berantem” Gevit menunduk, dia tak berani menatap manik mata Andini secara langsung. “Ini salah Gevit, Ma.. dan ini semua bermula saat game di rumah Leo,.......”  Malam itu, Gevit benar-benar menceritakan segalanya pada Andini. Dia membagi sesak seperti yang kerap kali dia lakukan ketika ada masalah. Andini mendengarkan penjelasan anak sulungnya dengan seksama, bahkan tidak ada satu kata pun yang lolos dari indera pendengarannya.  Mengakui sebuah kesalahan adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Butuh keberanian dan kedewasaan untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada manusia yang selalu benar, kesalahan itu sudah lekat dengan perilaku manusia. Begitu juga dengan Gevit. Hanya karena rasa tak enaknya pada Vero, dia membantu cowok itu dengan cara kotor seperti ini dengan mengorbankan banyak orang. Ara, Daniel, dan lebihnya Alfa. Gevit benar-benar tau kesalahannya, perihal minta maaf, dia belum seberani itu untuk mengacaukan pertemanannya. Andini menelan salivanya, dia merasa bersalah atas apa yang menimpa anak sulungnya. Andini tidak menyalahkan Gevit, dia menyalahkan dirinya sendiri karena kurang baik dalam mendidik anaknya. Gevit adalah laki-laki, dia tidak bisa bersikap seperti ini. Gevit bodoh kalau menyangkut soal hati dan cinta, itu murni turunan dari nya yang juga bodoh setiap kali dihadapkan pada cinta dan hati.  “Maafin Mama, bang”  Andini duduk di bangku yang ada disana, Gevit melongo, padahal dia siap ditampar atau dipukul karena sudah melakukan kesalahan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Andini meminta maaf padanya. “Kenapa mama yang minta maaf?” Gevit berlutut di depan Andini yang duduk, cowok itu memegang kedua tangan wanita yang sudah susah payah membesarkannya, mendidiknya, dan merawatnya juga berkorban demi dia selama 18 tahun ini, sendirian. Gevit selalu menjadikan Andini role modelnya, tentang kerja keras, tentang kedewasaan, dan tentang hidup. Sayangnya, Andini tidak pernah mencontohkan bagaimana cara mencintai seseorang dengan cara yang paling baik. “Sepenuhnya ini salah mama, bang. Selama ini, mama lalai dalam mendidik kamu. Tentang bagaimana caranya menghargai teman, dan seseorang yang kita sayang. Kamu cowok, bang, didikan seperti itu penting” “Nggak, ini salah aku, Ma. Mama nggak perlu minta maaf, aku yang minta maaf karena udah ngecewain mama dan Letta” Netra sendu milik Andini menatap wajah Gevit yang dipenuhi rasa bersalah. Dia tau Gevit salah, tapi disaat seperti ini, siapa yang akan berdiri di samping Gevit kalau bukan dirinya? Jiwa seorang Ibu nya tidak bisa terelakan. “Minta maaf itu langkah awal buat kamu memperbaiki kesalahan, Nak.” Andini mengusap rambut tebal Gevit dengan sayang. “Kamu butuh keberanian dan kesiapan untuk kemungkinan terburuknya. Jujur ya, minta maaf sama Alfa dan Daniel.” Gevit mengangguk lemah, dia tidak suka dengan Andini yang selalu memaklumi kesalahannya seperti ini. Dia akan lebih senang jika Andini menghukumnya, kalau Andini seperti ini, Gevit jadi merasa kesalahannya begitu besar dan Andini teramat sangat kecewa padanya. “Ada istilah yang mengatakan, kalau kamu tau kesalahan itu artinya kamu akan lebih baik setelahnya” Andini mengecup puncak kepala Gevit, dia menyayangi anak-anaknya, sangat. “Sekarang minta maaf dulu ke Aletta ya? Mama tunggu disini, mama kasih ruang buat kalian bicara berdua” Menuruti keinginan Andini, Gevit melangkah dengan gontai memasuki kamar. Tau abangnya masuk, Letta langsung tidur miring memunggunginya, dia masih belum ingin mendengar penjelasan apapun dari mulut Gevit yang jahat. Baginya, Gevit jahat, titik. Cowok bertubuh tinggi dan berwajah tampan itu duduk di kursi, “Ta” Sial! Mendengar suara abangnya yang seperti itu malah membuat Letta ingin tertawa ngakak. “Letta…” ya tuhan! Ini harus direkam sebagai bahan ejekan, seorang Gevit Skalla merengek manja padanya! “Apa?” Oke, karena abangnya lucu, Letta mau menanggapi meski masih dengan suara dingin dan cuek. Gadis itu berbalik badan, dia duduk, tak enak rasanya hanya menatap Gevit seraya berbaring seperti ini. Letta masih mode ngambek, dia pura-pura sibuk dengan ponselnya yang sepi tanpa satu chat pun yang masuk. “Bisa diletakkan dulu nggak hapenya? Abang mau ngomong serius” “Yaudah ngomong aja apa susahnya sih?” Kesal, Letta membanting ponselnya diatas ranjang. Gevit menghela nafas, dia lelah. “Ta, maafin abang. Abang tau abang salah, dan besok abang akan mengakui kesalahan abang didepan Leo, Vero, Alfa dan Daniel.” “Abang tau nggak sih, cara abang yang sembrono kayak gini justru ngerugiin abang sendiri?” “Iya abang tau, Ta, abang salah--” “Abang nggak di hukum sama mama?” Gevit menggeleng lemah. “Tau kan kenapa mama nggak hukum abang?” “Karena mama kecewa sama abang” “Percuma bang selama ini lo sopan sama mama, perhatian sama mama, selalu jaga nama baik mama. Tapi hanya karena masalah sepele kayak gini, lo udah ngecewain mama. Padahal mama nggak pernah kecewain kita, mama selalu jadi versi terbaik buat kita.” Letta tak habis pikir dengan jalan pikiran Gevit kali ini. “Bangun, bang. Ini bukan lo yang gue kenal selama ini. Cinta bikin lo bodoh dan nggak berpikir panjang” Meskipun Letta lebih muda dari Gevit, tak lantas membuat Gevit mengabaikan ucapan adiknya tersebut. Semua saran, masukan, kritikan akan selalu Gevit pikirkan baik-baik untuk koreksi dirinya agar kedepannya dia tidak melakukan kesalahan yang sama. “Karena mama udah maafin lo, gue juga bakal maafin lo. Biar bagaimanapun, biar seburuk apapun lo, lo tetep abang gue satu-satunya” Gevit menatap wajah Letta yang polos tanpa make up, senyum kecil terbit di wajahnya yang cantik jelita. Gevit memeluk Letta dengan sayang, sekarang sedikit bebannya jadi terangkat. Besok, Gevit akan meminta maaf pada teman-temannya. Tidak ada yang salah dari mengakui kesalahan dan meminta maaf. Justru akan terlihat lebih terhormat dibanding orang yang tidak pernah mengakui kesalahannya dan enggan untuk meminta maaf.  “Permintaan maaf itu tidak diukur dari umur, meskipun aku lebih tua dari kamu, aku akan minta maaf kalo aku salah. Begitu juga dengan kamu, apalagi kamu yang lebih muda, jadi kalo buat salah wajib minta maaf ya?” Gevit tersenyum miris dalam hati, sepotong kenangan muncul secara tiba-tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD