Baby

1136 Words
Abimanyu menerobos masuk kedalam kamar saat dia mendengar suara seperti orang yang sedang muntah. Dan di dapatinya Reva tengah berjongkok di depan toilet dan memuntahakan isi perutnya. "Kamu sakit?" tanyanya yang berdiri di ambang pintu. Reva tak menjawab karena dia masih sibuk dengan rasa mual dan muntah-muntahnya. "Reva?" panggil Abim saat gadis itu berhenti. "Kamu... Namun Reva tiba-tiba saja tak sadarkan diri dan dia hampir terjatuh kelantai jika saja Abim tak sigap menangkap tubuhnya. *** Seorang dokter yang merupakan kenalannya tiba setelah dia menelfon dan langsung melakukan pemeriksaan. Memeriksa detak jantung, denyut nadi dan tekanan darah. Dia bahkan memeriksa perut gadis itu untuk memastikan, dan tertegun setelahnya. "Apa dia baik-baik saja?" Abim menginterupsi. "Siapa dia?" dokter itu mendongak dan balik bertanya. "Dia hanya... Seorang teman." "Teman?" "Tidak penting, lagipula bukan urusanmu, Haidar!" ucap Abim yang merasa tak sabar. "Oke, memang bukan urusanku, tapi apa keadaannya merupakan urusanmu?" "Cepatlah... Apa kau sudah selesai memeriksanya, atau ada lagi yang harus kau periksa?" "Tenanglah,... Kau aneh Bi?" "Kau terlalu banyak bicara tahu?" Abim menggerutu. "Dia sepertinya sedang mengandung?" ucap dokter Haidar setelah beberapa saat. "Apa?" "Teman-mu ini sepertinya sedang mengandung Bi." ulang dokter Haidar. Abimanyu tertegun, lalu dia mengalihkan pandangan kepada Reva. "Maksudmu, ... Dia hamil?" "Ya Bi. Mengandung artinya hamil, artinya ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimmya." dokter Haidar memperjelas ucapannya. "Apa? A-apa kau yakin?" Abim mendekat. "Yakin. Diagnosaku tidak pernah salah. Tapi jika kau tak yakin, bawa saja dia ke dokter kandungan. Dan aku yakin dua ribu persen saat ini dia sedang mengandung." dokter itu meyakinkan. Dan kini Abimanyu membeku. "How? Ba-bagaimana bisa?" pria itu tergagap. "Bisa saja, jika kalian sering melakukannya. Kau tahu, ... berhubungan badan... Dan kalian... "Aku mengerti soal itu, tapi... " dia teringat kondisinya yang dinyatakan mandul oleh dokter dan tidak mungkin dapat memiliki keturunan. Namun tak seorangpun tahu selain dirinya, Vivi dan dokter spesialis itu sendiri. "Sebaiknya kau bawa dia ke dokter kandungan untuk lebih meyakinkan, karena kondisi temanmu ini juga sepertinya kurang baik. Dia mallnutrisi dan sangat tampak kelelahan." dokter itu membereskan peralatannya, dan bersiap untuk pergi. "Kau punya keberanian untuk bemain-main di belakang Vivi sekarang? Dan tak merencanakannya sama sekali heh?" ucap Haidar saat dia hampir meninggalkan tempat itu. "Diamlah, bukan urusanmu." "Memang bukan urusanku, tapi sebaiknya kau hati-hati Bi." "Yeah, ... Sekarang pergilah sana, dan jangan banyak bicara. Atau aku akan melakukan sesuatu kepadamu." "Tenang saja kawan, kau tahu aku bagaimana." "Tentu saja aku tahu." "Yeah... " Haidar sedikit tertawa. "Diamlah, sana pergi." Abim mengusirnya saat kawannya itu masih tertawa. * * Pria itu kembali saat Reva terjaga, dia tampak mengerjapkan matanya, seraya memijit kepalanya yang terasa pening. Kemudian menoleh saat ekor matanya menangkap pergerakan di ambang pintu. Abim menatapnya dalam diam kemudian bersedekap. Dengan pikirannya yang dipenuhi banyak pertanyaan. "Anda masih disini?" gadis itu bangkit. "Maaf, saya sudah merepotkan. Tadi itu rasanya pusing sekali dan saya... "Berapa bulan?" Abimanyu langsung bertanya. "Maaf pak?" "Berapa bulan usia kandunganmu?" ucap pria itu dan dia mendekat. "Apa?" "Kamu mengandung, dan berapa bulan usia kandunganmu?" Abim meninggikan suaranya. "Saya... Anda tahu?" Reva malah balik bertanya. "Dan kau sudah tahu?" Reva terdiam menatapnya. "Milik siapa? Apa milik pria itu?" "Pak?" "Karena tidak mungkin milikku, diagnosa dokter menyatakan bahwa aku tidak bisa memiliki keturunan dan kau tahu itu." "Ti-tidak, ini... "Dan kau muncul secara kebetulan." dia berpikir. "Ini akal-akalanmu?" Abimanyu bangkit, namun dia kembali mendekat dan menarik lengan gadis itu dengan kencang. "Kau sengaja muncul dengan membuat skenario itu agar aku membawamu pulang, dan hal ini terjadi, begitu?" pria itu beretiak. "Ti-tidak. Bukan begitu... Saya bahkan baru saja mengetahuinya kemarin, beberapa saat sebelum anda menemukan dan membawa saya kesini." Reva mencoba melepaskan cengkeraman tangan pria itu dari lengannya. "Kau bohong!" Reva menggelengkan kepala. "Katakan kalau itu bukan milikku!" ucap Abim dengan wajah memerah menahan amarah. Gadis itu bungkam. "Reva! Katakan kalau itu bukam milikku!!" dia kembali berteriak. "Ba-bayi ini... Memang milik anda, dan umurnya baru saja empat minggu." gadis itu ketakutan, dan dia hampir menangis. "Omong kosong!!" Abim menghempaskan tangannya. "Tidak." "Dengan jelas malam itu aku mengatakan kepadamu jika aku mandul, dan kau tahu artinya itu?" dia kembali mendekat untuk mengintimidasi. "T-tapi buktinya... "Kau bohong! Kau sengaja melakukannya untuk mengambil keuntungan. Aku tahu bagiamana perempuan sepertimu. Kalian akan mengambil keuntungan dari situasi apapun." geramnya, dan dia mencengkeram wajah Revalia dengan kencang. "Tidak pak, anda salah." "Kau yang salah! Kau melakukan hal hina untuk mendapatkan uang, dan kau melakulan hal yang lebih hina lagi untuk mendapatkan hal lainnya." Reva menggelengkan kepala, dan kini dia menangis. Betapa ucapan itu melukai hatinya, dan dia tak dapat menyangkalnya. Kalimat yang dilontarkan pria itu memang benar, dirinya melakukan hal hina untuk mendapatkan uang dan mengira dapat menyelesaikan masalahnya, namun ternyata malah menimbulkan masalah baru yag kini mulai menyulitkannya. "Tidak usah menggunakan air matamu untuk meluluhkan aku, karena tidak akan mempan. Perempuan sepertimu memang bekerja denga cara seperti itu bukan? Tapi sayangnya aku tidak akan terpengaruh." Abim menariknya turun dari tempat tidur. "Sebaiknya kau pergi dari sini dan jagan pernah kembali. Jangan pernah menampakan wajahmu di depanku lagi atau aku akan melakukan hal buruk kepadamu." dia menyeretnya hingga ke pintu. "Tidak, saya mohon dengarkan saya." Reva berusaha bertahan. "Sudah cukup aku mendengarkan bualanmu semalaman, dan membuatku bagai orang i***t. Membiarkanmu masuk kedalam teritorialku, dan hampir saja... " Abim menatap wajahnya yang sudah basah. Air mata terus mengalir dari netranya, dan dia terlihat berantakan. "Pergilah, atau aku akan membunuhmu." ancamnya, dan dia segera mengeluarkan Reva dari unit apartemen miliknya. * * Gadis itu tergugu di depan pintu. Beberapa kali dia mengetuk untuk memohon kepada Abim agar dia mau mendengarkannya, tapi pria itu tak membiarkannya berbicara. Dan kini dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Reva merasa tak punya pilihan, dan diapun tak punya rencana. Baru dirinya bisa bernapas lega dengan pikiran yang tenang untuk menentukan hidupnya, namun malah berakhir bencana. Pria itu bahkan tak memberinya kesempatan, seperti yang dikatakannya semalam. Dan apa yang dijanjikannya pupus sudah. Ketidak percayaannya pada keadaannya kini membuatnya gelap mata. "Oh, ... Nak, apa yang harus ibu lakukan?" dia memegangi perutnya dengan posesif. "Kita tak punya tujuan, tak punya tempat mengadu. Dan kita tak punya apapun untuk bertahan hidup diluar sana. Kita sendirian." katanya, dan dia mulai melangkah. Dengan hanya mengenakan piyama tidur, dan tanpa alas kaki dia berjalan menuju lift di sisi lain lantai paling atas itu hingga membawanya ke pelataran parkir bawah tanah apartemen tersebut. Namun seseorang mencengkeram pergelangan tangannya setelah beberapa saat dia keluar, dan menariknya dengan kencang hingga mereka tiba di depan sebuah mobil mengkilat yang dia kenal. Abimanyu, yang segera membuka pintu mobilnya, dan memaksa gadis itu untuk masuk kedalamnya. "Diam, dan tenanglah. Kita akan meyakinkan jika bayi itu bukanlah milikku. Dan jika hal itu ternyata benar, maka kau harus benar-benar pergi menjauh jika ingin selamat." ucapnya, dan dia segera memacu mobilnya keluar dari area tersebut. * * Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD