Save

1316 Words
Reva kembali tertegun di kamar mandi saat menyadari dirinya tak memiliki pakaian ganti. Kepegiannya dari rumah yang tanpa rencana membuatnya tak ingat apapun untuk dibawa. Sementara pakaiannya yang melekat seharian sudah teronggok dilantai kamar mandi dengan keadaan basah seluruhnya dan tak dapat dia pakai. Setidaknya untuk malam ini. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Namun matanya melihat sebuah bathrobe yang menggantung di dinding kamar mandi. Yang segera ditariknya untuk kemudian dia kenakan. Aroma maskulin segera menguar di indra penciumannya, dan dia hafal siapa pemiliknya. Sudah tentu pastilah pria itu. Pria itu ... Siapa ya namanya tadi, aku lupa? gumamnya dalam hati. Dasar bodoh! aku bahkan tidak bertanya siapa nama pria yang malam ini menyelamatkan hidupku. batinnya, dan dia menepuk kepalanya dengan keras. Gadis itu keluar dari kamar mandi, dan dia kembali tertegun ketika mendapati pria itu yang berdiri di tengah kamar. "Tuan?? anda kembali?" dia agak terkejut. Abimanyu menatapnya yang dalam kedaan setengah basah, dengan hanya menggunakan bathrobe miliknya. Wajahnya bahkan masih menyisakan titik-titik air yang mengalir dari rambut basahnya. Dan aroma segar terus menguar di udara. "Aku ... Hanya ingat jika kamu tidak memiliki pakaian ganti, jadi aku kembali ..." dia mengangkat totebag dalam genggamannya, yang berisi beberapa potong pakaian yang dibelinya dari toko yang dia lewati pada perjalanan pulang, yang malah membuatnya kembali teringat kepada gadis itu. "Aku tidak tahu ukuranmu, jadi aku membelinya asal saja, yang penting ada pakaian untukmu." lanjutnya, dengan bibir yang membentuk lengkungan senyum. "Gantilah pakaianmu." dia menyodorkannya ke hadapan Reva, yang kemudian diterima gadis itu tanpa banyak bicara, dan segera menghambur kedalam kamar mandi untuk melakukan apa yang pria itu katakan kepadanya. *** Reva keluar setelah beberapa saat, dengan mengenakan piyama tidur yang sangat pas di tubuhnya. Sepertinya pria itu memiliki selera berpakaian yang bagus. Dilihat dari bahan pakaian yang dibelinya, dan tentu saja harganya yang tidak ada dalam bayangannya. Dia kembali terdiam saat tak menemukan Abimanyu disana, namun Reva segera keluar ketika terdengar suara alat makan yang saling beradu. "Kemarilah." pria itu menyentakan kepala, memberi isyarat kepada Reva untuk mendekat kepadanya. Sementara dia menunggu di meja makan dengan berbagai macam makanan yang sudah tertata rapi. "Aku ingat kalau kita belum makan sejak tadi. Aku malah sibuk menceramahimu karena berurusan dengan pria itu" Abimanyu terkekeh pelan. "Ayolah, kita makan." ajaknya. "Te-terimakasih tuan, tapi saya tidak lapar." tolak Reva. Tapi keadaan menjadi canggung ketika terdengar suara nyaring yang berasal dari perut gadis itu. Dan hal tersebut membuat Abimanyu tertawa terbahak-bahak. "Tapi perutmu tidak bisa berbohong, nona." katanya, dan dia meraih pergelangan tangan Reva untuk kemudian menariknya sehingga gadis itu duduk di dekatnya. "Nah, sekarang makanlah, agar tidurmu nyenyak nantinya." dia mulai melahap makanannya. Reva tertegun menatap meja yang dipenuhi beragam makanan, dan ya ... rasa lapar itu memang ada. Air liurnya bahkan hampir saja menetes ketika dia menatap makanan-makanan tersebut. Yang akhirnya membuatnya menyerah juga. Mereka makan dalam diam, dan sesekali Abimanyu mencuri pandang ke arahnya. Seorang gadis yang tampaknya biasa saja, namun harus terlibat masalah dengan rentenir kelas kakap seperti Razan. "Terima kasih tuan." Abimanyu menghentikan kegiatan makannya, dia menyandarkan punggungnya lalu bersedekap. "Jangan memanggilku tuan, karena aku bukanlah tuanmu." pria itu berbicara. "Saya ... Tidak tahu harus memanggil anda apa." jawab gadis itu yag menundukan kepalanya. Abimanyu terkekeh, dia baru ingat, dirinya bahkan tidak menyebutkan nama saat pertama kali mereka bertemu. Kemudian pria itu mengulurkan tangan untuk meraih dagu Reva dan membuat wajahnya kembali terangkat. "Panggil aku Abim." katanya, dan dia mencondongkan tubuhnya. "Mana mungkin seperti itu?" "Namaku Abim, panggillah aku seperti itu." "Saya tidak mungkin berbuat tidak sopan dengan manggil orang yang menyelamatkan hidup saya dengan panggilan seperti itu." Pria itu tergelak seraya melepaskan wajah Reva dari tangannya. "Dari mana asalmu, dan bagaimana tempat tinggalmu? Sehingga cara bicaramu seperti itu?" ini menjadi terasa lucu karena gadis itu terlihat begitu lugu. Tapi entah bagaimana dia bisa terjerumus pada hal buruk semacam ini. "Maaf?" "Lupakan, aku hanya asal bicara." dia menggelengkan kepala. "Jadi ... bagaimana kamu akan memanggilku?" dia memiringkan kepala. "Saya ... Tidak tahu ..." gadis itu dengan raut bingung, namun hal tersebut malah membuat Abim tertawa. "Berapa umurmu tadi? Aku lupa." dia kembali pada makanannya. "25 tahun." jawab Reva, yang sesekali meneguk air minumnya untuk menghilangkan rasa gugup. Berada satu ruangan dengan pria itu memang membuatnya gugup setengah mati. Bagaimana tidak, dia bertemu lagi dengan pria yang merenggut kesuciannya setelah beberapa minggu dan dia meyakini bahwa mereka tidak akan pernah bertemu setelahnya. Namun rupanya takdir berkata lain, mereka malah dipertemukan dalam keadaan yag benar-benar berbeda. "Kamu kuliah? Atau bekerja?" "Saya bekerja di kafe." "Oh ya? Ceritakan tentang hidupmu." dia bersiap mendengarkan gadis itu berbicara dengan penuh antusias. Menyimak segala yang Reva ucapkan, menatap ekspresinya, dan bereaksi setiap kali gadis itu berbicara. Entah itu tertawa, ataupun raut sendu saat Reva menceritakan hari-harinya selama ini. Sejak dia ditinggal ibunya, dan harus berjuang mempertahankan hidupnya berdua dengan ayahnya, Adam. Abim merasa seperti dia baru saja menemukan kisah paling menarik di dunia. Yang tidak pernah dia dengar atau alami sedikitpun dalam hidupnya. "Apa anda tidak akan pulang?" Reva hampir saja mengakhiri ceritanya. "Ini sudah malam, dan mungkin saja ada yang sedang menunggu anda dirumah." katanya. Pria itu menghela napas dalam-dalam. "Well, ...sepertinya aku akan tidur disini malam ini." jawab Abim seraya meregangkan otot-otot di tubuhnya. "Tidur disini?" "Yeah, ... sepertinya sudah terlalu larut jika aku pulang sekarang." ujar pria itu, dan dia segera menghabiskan minumannya. "Ng ... "Maksudku, aku akan tidur di sofa, dan kamu disana, di kamar." Abim memperjelas perkataannya. "Apa ... Istri anda tidak menunggu dirumah?" gadis itu bertanya lagi, yang membuat pria di depannya terdiam untuk beberapa saat. "Kamu ...tahu aku sudah menikah?" Abim balik bertanya. "Siapa yang tidak?" Reva terkekeh. "Siapapun pasti tahu kalau anda sudah menikah hanya dengan melihat cincin kawin di jari mais anda Pak." katanya yang melirik cincin yang tersemat dijari manis pria itu. Abim menyentuh cincinnya secara refleks, dan tiba-tiba saja dia teringat kepada Vivi. "Mungkin ... saat ini istri anda sedang menunggu dirumah pak." Abim tampak menggelengkan kepala. "Tidak ada yang menungguku dirumah, istriku sedang dalam perjalanan kerjanya di Paris dan dia baru akan kembali minggu depan." ucap pria itu dan dia kembali bersandar pada kepala kursi. "Jadi ... Sudah dipastikan aku tidak akan pulang malam ini." lanjutnya, dan dia kembali tersenyum. "Apa ... Tidak akan jadi masalah nantinya? Anda tahu, seorang pria beristri bermalam dengan seorang gadis yang ditolongnya di pinggir jalan. Kita bahkan belum saling me .. "Aku sudah pernah menidurimu, jika harus memperjelas situasi kita sekarang ini." Abim ,memotong perkataannya, dan itu berhasil membungkam Reva seketika. Dan dia teringat kejadian pada malam itu. Ketika pria di depannya merenggut kesuciannya dalam sebuah transaksi. Reva tiba-tiba saja menyentuh perutnya saat dia kembali teringat sesuatu. Bahwa kini ada janin yang sedang tumbuh dalam rahimnya akibat peristiwa malam itu. "Perlu kamu tahu juga, jika unit ini sepenuhnya milikku, dan bahkan seluruh gedung ini adalah milikku. Jadi ...aku bisa masuk kesini kapanpun aku mau, dan bisa pergi sesuka hatiku." dia kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Reva. "Jadi sekarang, tidurlah. Sepertinya kamu sangat kelelahan? Aku hanya akan tidur disana." dia menunjuk sofa di depan televisi. "Ba-baik." dan Reva pun menurut. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kamar. "Reva?" panggil Abim saat gadis itu hampir saja mencapai pintu. "Ya?" Reva memutar tubuhnya. "Tinggallah, selama yang kamu mau." ucap pria itu dan diapun bangkit. Reva tak menjawab namun raut terkejut terlihat dengan jelas di wajahnya. "Aku khawatir Razan akan menemukanmu lagi, dan mungkin dia akan melakukan hal buruk kepadamu. Kamu tahu, pria seperti dia tidak akan mungkin berhenti sampai disini saja. Seperti katamu tadi." "Jadi ... Tinggalah sampai keadaan aman dan kamu sudah tenang, sementara aku kan memikirkan cara yang tepat untuk masalah ini." "Anda bahkan tidak mengenal saya, tapi ... terimaksih sekali lagi. Itu sangat berarti." Mereka saling pandang untuk beberapa saat. "Tidurlah, kamu aman disini." katanya lagi, dan dia menghambur ke ruang tengah dimana sofa nyaman sudah menantinya. * * Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD