Bara menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan Starla kembali muncul di kepalanya.
Bara kembali duduk dan bergidik ngeri.
"Hii!!" Bara mengusap usap lengannya. Meskipun sudah mandi, tetapi Bara merasa seolah bekas tangan Starla masih menempel pada kulitnya.
"Kamu kenapa, Bar?! harusnya biarin aja mak lampir itu begadang semalaman?! sejak kapan Kau memiliki hati nurani pada wanita gila itu!!"
Bara merutuki dirinya sendiri yang tak bisa diajak kompromi. Apalagi mengingat tatapan mata Starla yang membuatnya risih.
(Flashback On)
Dua jam yang lalu.
"Bar, makasih udah benerin aplikasinya. Mmm-- aku traktir ngopi di depan kantor!" tawar Starla ketika keduanya berada di dalam lift.
"Tidak perlu, Bu Mona! saya baru saja ngopi--"
"Alah, nggak perlu sungkan Bar! Asal Kamu tahu, selama ini nggak ada bawahan yang aku ajak ngopi bareng. Kamu yang pertama! Seharusnya Kamu bangga mendapat tawaran langka ini."
Bara diam-diam berpaling, rasanya ingin muntah mendengar ucapan Starla. Bukan hanya gila, rupanya tingkat narsistik wanita itu sudah di atas normal.
Drrrrrtt... Drrrrrtt
Drrrrrtt... Drrrrrtt
Drrrrrtt... Drrrrrtt
Bara meraih ponsel dari saku celananya.
Sial!!
Panggilan dari ibunya. Bara tak bisa berkutik, mengabaikan panggilan tentu bukan pilihan tepat. Namun, untuk menjawab panggilan saat bersama Starla pun tak mungkin Bara lakukan.
Di tengah kekalutannya, Starla menoleh ke arah Bara.
"Kok nggak diangkat?" tanya Starla.
"Anu, Bu.. Itu-- emmm-- telepon dari-- dari---" Bara bingung harus menjawab apa.
Starla terbahak bersamaan dengan pintu lift yang terbuka
"Udah sana angkat. Telepon dari pacar Kamu, kan??" tebak Starla diiringi kerlingan mata yang membuat Bara bergidik ngeri.
Pacar??
Seperti mendapatkan celah untuk menghindar, Bara tentu tak menyia nyiakan kesempatan ini.
"Iy--_IYA, Bu Mona. Pacar saya posesif. Saya harus segera mengangkat panggilan ini."
Starla menghentikan langkahnya, keduanya sudah berada di lobby hotel.
"Oh, buruan angkat kemana gitu, jangan sampai dia lihat Kamu lagi sama aku. Aku nggak mau jadi penyebab keretakan hubungan Kalian berdua!" ucap Starla percaya diri.
"GILA!!"
Umpat Bara dalam hati.
(Flashback Off)
*
Starla menepuk-nepuk wajahnya yang sudah kembali segar. Starla selalu melakukan rutinitas malam tersebut sebab setiap hari wajahnya harus dipoles make up tebal untuk menyembunyikan wajah aslinya.
Berbagai macam merk make up wanita berjajar rapi di atas meja riasnya.
"Fuhh!! Untung ada si lalat pikat, coba kalau nggak?! udah pasti bermalam di kantor!" gerutu Starla sambil merapikan toner dan botol pembersih wajah lainnya.
Starla merebahkan tubuhnya di atas kasur, sejenak mengecek ponsel untuk sekedar melihat story dan membuka beberapa pesan yang mungkin belum sempat dibalas.
Mata Starla tertuju pada sebuah kontak yang membuat hatinya bergetar.
Starla mengklik nama kontak yang memperlihatkan story tangan pasangan yang saling menggenggam.
"Move On La, Move On!!" Starla tersenyum getir. Otaknya berpikir jauh ke belakang. Starla menghabiskan lebih dari tiga tahun ini hanya untuk bekerja tanpa peduli dengan hati dan perasaannya.
Berbekal tekad kuat, Starla tak akan menyerah sebelum tujuannya tercapai, sekalipun harus merelakan kehidupan percintaannya.
***
Bara keluar dari ruang meeting. Perutnya sudah keroncongan sejak masih di ruang meeting tadi.
Pagi-pagi buta Starla memintanya datang lebih awal untuk menyiapkan materi yang akan disampaikan Rahardian di depan para investor.
Akibatnya Bara tak sempat untuk menyantap bahkan meski hanya sepotong roti. Akhirnya setelah meeting selesai, Bara berniat untuk makan siang di kantin kantor.
Bara sudah memasuki kantin, tetapi matanya tak sengaja melihat Rudy, Rosi, serta Deni yang sedang asyik mengobrol.
Sial! mengapa harus ada orang-orang tak waras itu!" gumam Bara sangat kesal karena lagi-lagi keadaan tak berpihak padanya.
Baru saja berbalik dan memutuskan untuk pergi, Bara sudah dihadang oleh Listy. Manager di bagian keuangan itu berjalan ke arahnya.
"Bar, mau kemana? bukannya Kamu mau makan?"
"Iya Bu, tadinya. Tapi mendadak saya merasa kenyang---"
Krukuk krukuk...
Bara spontan menekan perutnya yang kembali bernyanyi, kali ini bahkan lebih nyaring hingga Listy pun mendengarnya.
"Ayo!! Kamu harus bener-bener jaga kesehatan ketika bekerja dengan mak lampir. Makan 3 kali lipat lebih banyak dari biasanya, tidur cukup, dan konsumsi vitamin!"
Listy menarik lengan Bara dan membawanya ke meja Rudy dan kawan-kawannya. Listy tak peduli meski Bara beberapa kali mencoba untuk menolak.
"Bu Listy? Bara?" tanya Rossi yang pertama kali menyadari kedatangan keduanya.
Listy menghembuskan nafas berat lalu melipat kedua tangannya di depan dad@.
"Kalian nggak kasihan sama Bara? Belum juga seminggu bekerja dengan mak lampir, tapi lihatlah! lingkaran di bawah matanya tampak begitu jelas," ucap Listy sambil memandangi mata Bara yang memang terlihat lesu.
Rudy, Deni, dan Rosi mangguk-mangguk setuju dengan perkataan Listy. Bara memang terlihat lebih lesu dari biasanya.
"Sini, Bar! gabung aja, nggak perlu sungkan. Kita tak pernah mempermasalahkan jabatan, lho!" ucap Rudy dengan ekspresi datar.
Bara mengernyit.
Bukankah seharusnya dirinya yang mengatakan hal itu pada Rudy? mengapa jadi berkebalikan begini ?
"Sini duduk! Kamu harus membuka diri dan berteman dengan orang lain! jangan seperti katak dalam tempurung!" kini gantian Deni yang menasehatinya.
"Tuh, denger, Bar!! Kamu tuh punya temen-temen baik yang peduli sama Kamu!"
Baik?? Peduli??
Bara tertawa getir dalam hati.
Setelah berfikir beberapa saat, akhirnya Bara duduk demi mengisi perut. Tak peduli meski bersama orang-orang yang sebenarnya wajib dihindariya.
Cukup lama mereka mengobrol, kecuali Bara yang hanya fokus menyantap makanan.
"Bar! kontrakan Kamu dimana?" tanya Rudy tiba-tiba.
Deg!
Perasaan Bara mendadak tak enak. Sedari tadi dirinya sengaja tak banyak bicara agar tak terjebak dengan orang-orang itu.
Cukup sudah dia tertipu dengan muslihat Deni dan Rosi beberapa waktu yang lalu.
"Iya, Bar! hanya kontrakan mu saja yang belum kita ketahui," imbuh Deni.
"Eh! kontrakan ku--lumayan jauh. Yah! lima belas sampai dua puluh menitan."
"Dua puluh menit??!" tanya Listy tak percaya.
"Iy-iya bu Listy."
"Ck! ck! ck! Rud, bukannya beberapa waktu yang lalu Kamu bilang ada kamar kosong di
unit Kamu, coba aja tawarin ke Bara!"
"Iya. Kosong satu. Pas di samping kamar Deni. Ambil aja Bar!" jawab Rudy dengan santai.
"Oh, terimakasih tawarannya, tapi saya-- saya tidak punya cukup uang untuk pindah ke unit apartemen. Saya harus menghemat untuk hidup sehari-hari," Bara berusaha berbohong untuk menghindari tawaran Rudy.
Sekantor dengan mereka saja sudah membuatnya pusing apalagi masih harus tetanggaan.
"Apartemen?!" tanya Rosi.
"Iy-iya. Memangnya unit apa?" tanya Bara polos.
Rosi dan yang lain terbahak. Bahkan Listy sampai terpingkal-pingkal.
"Selama ini Kamu hidup dimana sih Bar?! emang istilah unit cuma di gunakan untuk apartemen aja?! Si Rudy nawarin unit rusun, murah kok! deket lagi!" jelas Listy.
"Rusun?"
"Iya! Rusun : Rumah Susun."
(Next➡)