Episode 10

1285 Words
Episode 10 #Kakak Ipar Kesalahan Fatal "Apa papamu benar-benar menikah lagi?" tanyaku hati-hati. "Begitulah. Laki-laki tua bangka itu benar-benar tidak sadar meskipun sudah berkali-kali dimanfaatkan oleh wanita." "Jangan bicara seperti itu tentang papamu, Fandy. Bagaimanapun beliau itu orangtuamu." Fandy tersenyum sinis. "Orang tua macam apa yang terus-menerus mempermalukan anaknya. Apa kau tau Jihan? Baru-baru ini papa pacaran dengan mantan pacarku. Cih, mendengarnya saja membuat perutku mual." Aku meringis mendengar cerita Fandy. Ku rasa Fandy jadi seperti ini karena kelakuan papanya. "Sejak papa menikah lagi, mama semakin sering mabuk-mabukan. Aku tidak mengerti kenapa mama tidak ingin bercerai. Apa sebegitu cintanya mama pada harta? Padahal, kalaupun bercerai, mama masih bisa mendapatkan haknya dari harta gono-gini." Ku elus rambut Fandy yang sedikit berantakan dan menyingkirkan lengan yang sejak tadi menutupi matanya. Sejenak ku tatap Fandy yang terlihat berkaca-kaca. Aku tau, ketimbang sedih, Fandy justru marah atas tindakan tidak masuk akal dari orangtuanya. "Tidak ada yang tau seperti apa perasaan mamamu Fandy. Bisa jadi dia bertahan karena benar-benar mencintai suaminya." "Apa yang bisa dicintai dari laki-laki b******n itu Jihan? Dia tidak pantas mendapatkan cinta." geram Fandy. "Cih, seolah-olah kau bukan laki-laki b******n. Jika kau ingin bicara buruk tentang papamu, maka kau harus perbaiki diri terlebih dulu. Kau dan papamu sama saja. Bedanya, kau b***t bahkan sebelum menikah." ucapku bercanda. Fandy tersenyum kecil mendengar candaan yang ku lontarkan. "Walau sudah b***t dari sekarang, Mudah-mudahan setelah menikah, aku akan mencintai keluargaku sepenuh hati." Aku mencubit hidung Fandy dan memintanya untuk berdiri. Lama-lama berada di posisi seperti ini, kakiku bisa mati rasa. "Ngomong-ngomong, apa kau sudah bertemu Haris?" tanya Fandy. Aku mengerutkan kening. Darimana Fandy tau soal Haris? "Kau mengenalnya?" tanyaku penasaran. "Tentu saja. Kami sering main basket bersama. Haris itu laki-laki baik dan digandrungi banyak wanita. Tapi seleranya sedikit unik." jelas Fandy. "Unik? Maksudmu?" Sebelum menjawab, Fandy menyalahkan televisi. Laki-laki itu memilih film perang yang entah aku tak tau apa judulnya. Aku juga tidak tertarik untuk menonton. Aku lebih penasaran soal hubungan Fandy dan Haris. "Dia tidak suka wanita glamor dan make-up tebal. Dia juga tidak suka wanita manja dan terlalu cari perhatian. Lebih parahnya lagi, Haris tidak suka wanita yang banyak omong. Ku pikir kalian akan sangat cocok. Apa yang dicari Haris ada padamu." Aku mendesah malas. "Ku pikir unik maksudmu adalah hal yang aneh. Jika cuma seperti itu, setiap lelaki pasti tidak akan menyukainya. Bukankah laki-laki tipe yang selalu ingin dominan dalam segala hal? Itu tandanya, Haris tipe yang tidak suka diatur-atur." "Kau kan tipe yang sabar dan pendengar yang baik, kalian cocok." seloroh Fandy. "Seolah-olah kau yang paling tau segalanya." Aku mencibir sambil memanyunkan bibir. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ngobrol bersama Fandy benar-benar menyenangkan dan membuat perasaan lebih nyaman. Setelah tak menemukan topik bahasan, aku meminta Fandy untuk membawaku pulang. *** Hampir pukul 11 malam saat aku tiba di rumah. Sialnya, mobil kak Gema baru saja terparkir rapi di halaman. Ah kenapa dia harus pulang sekarang? Kenapa harus berbarengan? Aku buru-buru masuk ke rumah tanpa menoleh ke arah kak Gema. Setengah berlari, aku menaiki tangga ke lantai dua. Karena terburu-buru, tak sengaja aku malah tersandung kaki sendiri. Aku meringis tertahan, malu jika sampai membangunkan keluarga gara-gara tingkah ceroboh barusan. Kak Gema menghampiri saat aku tak kunjung berdiri. Bukannya tidak mau, tapi kakiku benar-benar ngilu. "Apa kau baik-baik saja? Kau bisa berdiri?" tanya kak Gema khawatir. Aku mengangguk untuk membuatnya cepat pergi. Kak Gema memperhatikan dengan seksama. Untuk menyakinkan laki-laki itu, sekuat tenaga aku memaksa untuk berdiri. Kak Gema hanya melihat tanpa berniat membantu. Aku membuang muka saat setelah berusaha, aku tetap tak bisa melakukannya. Dengan pelan, kak Gema memegang bahuku dan mulai membimbing menuju kamar. Aku meringis saat kakiku dipaksa untuk berpijak. "Sepertinya kau harus mengoleskan obat memar di kakimu. Kau tau dimana obatnya? Kakak bisa bantu carikan. Apa kau perlu kompres dengan bongkahan es?" Aku menggeleng. "Aku tidak butuh apa-apa kak. Jika butuh sesuatu, aku bisa panggil mbak Sumi." Kak Gema berjongkok untuk memeriksa kakiku. Saat laki-laki itu hendak menyentuhnya, aku segera menolak. "Kakak keluar saja. Apa jadinya jika ada yang memergoki kita di dalam kamar seperti ini? Bisa saja orang salah paham dan mengira kita melakukan hal yang bukan-bukan." Aku sengaja berpaling saat kak Gema menatapku dengan seksama. "Baiklah." jawabnya singkat. Aku hampir saja menangis saat kak Gema pergi dan menutup pintu dengan pelan. Kenapa harus dia laki-laki yang ku suka? Menyakitkan sekali. Cukup lama aku terdiam dengan pikiran kosong. Tak berapa lama, mbak Sumi datang membawa kompres es dan obat penahan rasa sakit. Sepertinya kak Gema yang memberi perintah. Setelah mbak Sumi pergi, kak Gema kembali masuk dengan pakaian yang sudah di ganti. Dia terlihat segar karena sudah mandi. Kak Nora pasti sudah tidur. Wanita itu memang selalu tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Aku yakin, kak Gema kemari pasti tanpa sepengetahuannya. "Apa sudah lebih baik?" tanya kak Gema sambil duduk di sampingku. "Lumayan." jawabku pelan. Kak Gema meraih kompres yang sejak tadi ku pegang. Laki-laki itu memintaku rebahan dan meletakan kaki di atas pangkuannya. Aku melongo, tak menyangka jika kak Gema akan bersikap seperti itu. "Tidak perlu kak, aku bisa sendiri." Lagi-lagi aku menolak. Meski ingin, aku tidak boleh melakukannya. Kak Gema berdiri sambil membenarkan posisiku hingga terlentang. Tak berapa lama, laki-laki itu kembali duduk dan menempatkan kakiku di atas pahanya. Kali ini aku tidak bisa menghindar. Momen ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Kapan lagi bisa sedekat ini dengan kak Gema. Walaupun besok dia memintaku untuk melupakannya, setidaknya tidak ada yang perlu ku sesali. "Apa kak Nora sudah tidur?" tanyaku hati-hati. "Iya, tidurnya sangat nyenyak. Bahkan dia tidak sadar saat aku pulang. Kenapa? Kau butuh sesuatu?" Aku menggeleng. "Aku hanya takut kak Nora akan terbangun dan salah paham dengan situasi ini." "Apa yang mesti disalahpahami? Kau itu adik kami, Jihan." Lagi-lagi aku merasa tertohok. Kak Gema memang paling pandai dalam hal merusak perasaan dan suasana hati seseorang. "Adik ya." ucapku lirih. Kak Gema berhenti dan menatapku dalam. Aku tertunduk, tak mau menatap matanya yang tajam. Kepalang sudah seperti ini, apa lagi yang bisa ku tutupi? Kak Gema pasti sadar kalau aku menyukainya lebih dari perasaan suka seorang adik pada kakak ipar. "Kau tidak mau jadi adiknya kakak? Atau kau lebih suka jadi orang lain?" tanya kak Gema. Aku menggeleng. "Adik saja." Kak Gema kembali menempelkan balutan es dalam diam. Pun aku tak lagi bicara. Aku hanya berharap, semoga kak Gema dan kak Nora tidak sering menginap. Jika tidak, aku yang akan menginap di luar jika mereka datang. "Kak Gema, apa aku boleh meminta sesuatu?" "Apa?" tanya kak Gema. Aku menghela napas panjang sebelum membuka suara. "Apa kakak bisa memberi kabar jika kak Gema dan kak Nora mau menginap disini?" tanyaku pelan. Kak Gema menghentikan kegiatannya dan menatapku penuh tanya. "Kenapa? Apa kau mau pergi jika kami menginap disini? Apa kehadiran kami mengganggu kenyamananmu?" cecar kak Gema. "Bukan seperti itu kak. Kalian sama sekali tidak mengganggu, wajar jika kalian datang dan menginap. Akulah yang tidak tau diri." "Jihan..." "Maaf, bersama kakak benar-benar menyesakkan. Aku sungguh tersiksa kak. Jadi ku mohon, beri tau aku jika kalian mau menginap." Suaraku tersendat menahan tangis. Kak Gema meletakkan kakiku dan duduk dengan posisi lebih dekat. Diraihnya tanganku dan berucap pelan. "Baiklah, kakak akan memberimu kabar." Aku mematung. "Kak Gema, apa aku boleh memeluk kakak?" Laki-laki itu terdiam. Dari sorot matanya, aku tau dia tengah gamang. Mungkin permintaanku terlalu sulit. "Mulai besok, aku berencana resign dari kantor kakak." Aku melanjutkan kalimat yang sejak tadi ku tahan. Kak Gema tampak marah. "Apa yang kau pikirkan Jihan? Kau boleh membenci kakak, tapi jangan sangkut pautkan hal ini dengan pekerjaan. Kakak setuju jika kau mau pergi saat kami menginap, tapi untuk berhenti dari kantor, kakak menolaknya. Tolonglah, sekali-sekali jangan hanya pikirkan dirimu saja. Pikirkan juga mama dan papa. Mereka akan berpikir apa jika tiba-tiba kau keluar dari sana? Apalagi mereka pasti bertanya-tanya kenapa kau selalu pergi jika kami menginap disini." omel kak Gema. Tak tahan, akhirnya ku rengkuh tubuh kak Gema dalam pelukan. Hangat dan nyaman. Entah sejak kapan perasaan ini berkembang begitu pesat. Aku benci mengakuinya, tapi kak Gema adalah sosok yang tidak mungkin terganti. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD