Episode 9

1309 Words
Episode 9 #Kakak Ipar Pergilah Aku masih termenung di lantai paling atas gedung Samudra Advertising office. Panas matahari yang mulai menyengat kulit, sama sekali tak membuatku beranjak ke lantai bawah. Berkali-kali ku hela napas panjang untuk mengusir perasaan kecewa. Ya, aku kecewa karena kak Gema mulai membentangkan tirai pembatas. Dari pada malu, perasaan sakit jauh lebih terasa. Akan seperti apa baiknya aku bersikap di depan kak Gema? Haruskah melarikan diri lagi seperti 2 tahun terakhir ini? Dengan gontai, aku kembali ke ruang kerja. Sepi, Jimmy dan kak Gema pasti sudah berangkat meninjau lokasi syuting produk makanan ringan yang sebentar lagi akan keluar. Begitu lebih baik. Suasana yang sepi, membuatku bisa berpikir jernih. Siapa sangka, bukannya berpikir, aku malah jatuh tertidur. Aku terbangun saat seseorang mengguncang bahuku pelan. "Jihan, sudah saatnya pulang." ujar Jimmy. Entah kapan laki-laki itu kembali. Ternyata aku tidur terlalu nyenyak. 3 jam berlalu begitu saja tanpa ada yang di kerjakan. Sepertinya mulai besok aku harus mencari pekerjaan lain. Akan lebih baik jika aku juga ikut menjauh. "Kalau sudah selesai, aku menunggumu di parkiran." ujar kak Gema sambil berlalu. "Baik pak. Oh iya pak, apa tidak sebaiknya Jihan kita ajak juga?" tanya Jimmy. Kak Gema menghentikan langkah dan menoleh sekilas ke arahku. Aku menundukkan muka, tak berani melihat matanya. "Kalau dia mau dia boleh ikut." jawab kak Gema. Jimmy buru-buru membereskan barang bawaannya dan menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya. "Hari ini aku punya janji. Maaf ya Jim, aku tidak bisa ikut kalian." ucapku pelan saat kami sudah di dalam lift. "Janji? Sama laki-laki ganteng itu?" tanya Jimmy dengan wajah berbinar. Aku mengangguk singkat, terpaksa berbohong demi menyelamatkan muka. Mungkin kak Gema bisa bersikap biasa, tapi tidak denganku. Aku terlanjur malu dan sakit hati atas ucapannya. Aku tau kak Gema seperti itu karena sudah punya istri. Aku lah yang salah yang sudah berani menggodanya. Tapi, apa kak Gema tidak bisa bersikap biasa saja? "Kau beruntung sekali Jihan. Sepertinya dia laki-laki yang lumayan baik." puji Jimmy. "Begitulah, doakan saja semoga hubungan kami lancar." pintaku tulus. Jimmy mengacungkan jempol pertanda setuju dengan keputusan yang ku ambil. Tak lama kami berpisah di lantai dasar. Jimmy menuju parkiran, sedang aku bersiap untuk pulang. Ku harap kak Nora sudah kembali. Jika tidak, kak Gema pasti datang untuk menjemputnya di rumah. *** Apa yang ku harapkan ternyata tidak terjadi. Kak Nora masih betah di rumah sambil ngobrol bersama mama. Tak ingin mereka banyak tanya, aku langsung masuk dan mengunci diri di kamar. Jika kak Gema dan Jimmy mampir dulu ke tempat lain, artinya kak Gema pasti pulang dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebelum kak Gema pulang, buru-buru ku hubungi Fandy. Laki-laki itu langsung menjawab di deringan pertama. Sepertinya dia sedang memegang ponsel saat ini. "Jemput aku setengah jam lagi." Fandy langsung menjawab oke dan memutus sambungan telepon. Aku bergegas mandi dan memilih baju yang cukup trendi. Tapi tentu saja masih jauh dari kata seksi. Mama bisa membunuhku jika aku berani memakai rok mini dan atasan sejari. "Kau mau kemana? Ini sudah sore Jihan." tanya mama. "Main sama Fandy ma. Kami mau ke acara reunian." ucapku berbohong. Entah sudah berapa kali aku berbohong hari ini. Aku juga tidak mengerti apa yang sedang ku lakukan. Yang pasti, aku ingin melupakan kejadian semalam. "Tapi pulangnya jangan kemalaman." "Paling malam jam 11." jawabku sambil tersenyum kecil. Mama mendelik meski akhirnya mengizinkan. Kak Nora tak menimpali apa-apa. Wanita itu tengah sibuk memilih-milih pakaian di aplikasi ponselnya. Bergegas ku cium tangan mama saat Fandy mengabari kalau dia sudah berada di luar pagar. Baru kali ini aku merasa sangat lega meninggalkan rumah. Tak baik bagiku dan kak Gema bertemu saat kejadian tidak mengenakan itu masih hangat di kepala. "Untung kau menghubungiku, Jihan. Berkatmu aku terbebas dari rasa bosan." ujar Fandy setelah mobilnya meninggalkan pekarangan rumahku. "Aku juga senang karena kau bisa segera datang. Kali ini bukan hanya kau yang beruntung, aku pun demikian." Fandy menatap sekilas sebelum kembali fokus mengemudi. "Memangnya apa yang terjadi? Kau kena marah?" tanya Fandy. "Iya, aku kena marah kak Gema. Laki-laki itu juga sedang membuat tirai pembatas antara aku dan dirinya." Fandy berdecak sebal. Dia memang paling tidak suka jika aku sudah membahas soal kak Gema. "Kau ketahuan? Atau kau sengaja memberi tau soal perasaanmu pada kak Gema?" Aku menggeleng. "Alam bawah sadarku yang bicara. Tak sengaja, saat tertidur di beranda, aku mengigau dan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya." "Kebiasaan tidurmu memang buruk, Jihan. Lalu bagaimana reaksi kak Gema?" Aku membuang muka ke luar jendela. Jika ditanya bagaimana perasaan kak Gema, tentu saja laki-laki itu tidak menyukainya. Apa aku juga harus mengatakan bagian paling memalukan itu pada Fandy? "Menurutmu apa lagi? Sepertinya dia tidak menyukai hal itu. Semalam aku melakukan hal yang tidak dia suka. Hari ini secara terang-terangan dia memperingatkan agar aku tidak berlaku konyol seperti itu lagi." Fandy mendorong kepalaku pelan. "Makanya cepatlah keluarkan kak Gema dari kepalamu ini. Kau bisa merusak semuanya jika terus-menerus membiarkan laki-laki itu meraja." "Kau benar. Kali ini aku akan berusaha lebih keras. Doakan saja semoga berhasil. Ngomong-ngomong, kita mau kemana? Jujur aku tidak punya tujuan." tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Ke apartemen ku saja. Aku belum mandi, kau bisa menonton selama yang kau mau. Kau juga bisa main PS. Aku malas jalan-jalan. Akhir-akhir ini wanita yang ku kencani, sering bertindak di luar batas. Aku tidak ingin kau jadi sasaran kemarahan mereka." jelas Fandy. "Begitu lebih baik. Tapi kita beli makan dulu." Fandy mengangguk setuju. Tak berapa lama laki-laki itu memarkirkan mobilnya di sebuah restoran mewah. Setelah membeli nasi dan cemilan ringan, kami bergegas pulang. Apartemen Fandy terletak di kawasan apartemen mewah. Dia memang tajir meski bukan keturunan konglomerat. Ku dengar, ayah Fandy bekerja keras mendapatkan kesuksesannya itu. 4 hotel bertaraf internasional, serta 5 pusat perbelanjaan raksasa di jantung kota Jakarta, menjadikan Fandy laki-laki b******k yang digandrungi banyak wanita. Sayangnya Fandy bukan tipe laki-laki setia. Sejauh ini, hubungan kami hanya sebatas teman. Tidak ada obrolan serius menyangkut masalah hati. Kami juga nyaman dengan status itu. "Mobil baru lagi?" tanyaku setelah kami tiba di apartemennya. "Begitulah." jawabnya cuek. Aku cukup terkejut melihat isi apartemen Fandy. Untuk ukuran laki-laki, apartemennya cukup rapi. Belum lagi barang-barang mewah yang dia punya, membuatku betah berada di rumahnya. "Kau sudah lama tidak main kesini. Lihat-lihat saja dulu selama aku mandi. Nanti ku temani ngobrol." ujar Fandy sambil menghilang di balik pintu. Alih-alih melihat isi rumah Fandy, aku malah merebahkan diri di sofa dan mulai memikirkan langkah yang tepat untuk keluar dari kantor kak Gema. Aku yakin Fandy pasti bisa membantu. Aku hanya harus memikirkan alasan pada papa dan mama kenapa aku harus keluar dari sana. Kebanyakan melamun, aku bahkan tidak sadar saat Fandy duduk di lantai sambil bersandar pada sofa yang ku tiduri. Dengan santai laki-laki itu menyalahkan televisi. "Kau sudah mandi? Cepat sekali." tanyaku sambil merubah posisi. "Aku tidak suka berendam. Kau mau nonton apa? Aku punya banyak stok film dari mantan-mantan pacar yang sering main ke sini." tawar Fandy. "Cih berarti rumahmu sudah penuh dengan najis." Fandy terkekeh. "Tidak begitu juga sih. Aku malah lebih sering main di hotel." Aku mendelik sambil memukul kepala Fandy. Laki-laki itu benar-benar tidak punya akhlak. Dia bahkan tidak malu mengatakan hal seperti itu di hadapanku. "Apaan sih. Jangan bersikap seperti perawan, Jihan. Kau tau sendiri kan, jaman sekarang mana ada wanita perawan di usiamu." ejek Fandy. "Aku masih perawan Fandy." ucapku tegas. Fandy menatap sekilas dengan wajah tidak percaya. Lagi-lagi ku pukul belakang kepala laki-laki itu. "Wah kau luar biasa Jihan. Jadi kalau kau sedang ingin..." "Kau mau mati?" Fandy tertawa saat mendengar suaraku yang cukup keras. Kami memang sering bercanda. Tapi jujur, ini kali pertama kami bercanda soal hal-hal v****r seperti itu. Saat Fandy asyik memilih film, aku menyiapkan makanan di atas meja. Tak lama aku ikut bergabung bersama Fandy dan duduk di sampingnya. "Kenapa belum makan? Aku masih kenyang, kau duluan saja." ujar Fandy. "Aku juga belum lapar. Kalau sudah disiapkan, nanti kalau lapar tinggal makan saja." Fandy mengangguk setuju sambil merebahkan diri di atas pangkuan ku. Sudah lama kami tidak terlihat intim seperti ini. Biasanya, Fandy bersikap manja jika sedang ada masalah soal keluarga. Sepertinya kali ini juga seperti itu. "Kalau kau risih bilang saja Jihan." ucapnya pelan sambil menutup mata dengan tangan. Ah ada apa dengan laki-laki playboy ini? To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD