Bab 5. Naira

1363 Words
Apa yang sedang terjadi saat ini? Aku, Naira Alisa, sedang menunggu seorang pria, yang baru saja aku kenal kurang dari 24 jam, di luar ruang operasi. Pria yang seharusnya aku cegah dari melakukan pelanggaran ini malah aku sendiri yang mengizinkannya untuk melakukan pelanggaran itu. Aku menghela napas panjang dan menggeleng atas tindakan bodoh yang aku lakukan dengan senang hati itu. Tiba-tiba aku merasakan ponselku bergetar dan nada dering yang terdengar itu adalah sebuah panggilan masuk dari orang terdekat. Lantas aku merogoh tasku untuk mengambil benda pipih itu keluar dari sana. Aku melihat ada tulisan ‘Papa is calling' pada layar yang menyala. Aku menerima panggilan itu dengan cepat dan perasaan yang berdebar-debar muncul. “Halo, Pa?” “Nai, gimana tempat kerjanya?” Hanya dengan mendengar suaranya saja sudah berhasil membuat perasaanku membaik ratusan kali lipat. “Baik, Pa, cuma Naira agak---Ah! Nggak jadi, Pa. Ga papa, kok.” Aku memilih tidak bercerita masalahku kepada Papa. “Kamu sedang dalam masalah, Sayang?” Lembut suara papa membuat hatiku menyejuk tatkala mendengarnya. “Nggak, kok, Pa! Ini Papa nelpon aku malam-malam ada apa, Pa?” tanyaku penasaran. Seharusnya pria itu sudah tidur dan bukannya meneleponku begini. “Nai, teman Papa tadi nelpon Papa, katanya mau ngelamar kamu untuk gabung di firma hukumnya. Kalau kamu mau, Papa bakal kirim kamu alamat beliau,” cerita Papa dengan suaranya yang penuh kesabaran dan kasih sayang. Aku terdiam, tetapi aku justru tidak dapat menolak apa yang dikatakan oleh Papa. “Ya udah, Papa kirim aja, ya. Nanti kalo ada waktu, Naira samperin teman Papa ke kantornya,” balasku tidak mau mengecewakan Papa. “Ya sudah, papa udahan dulu teleponnya, ya. Setelah ini, Papa langsung teks kamu alamatnya. Ingat, harus selalu jaga kesehatan dan jaga pola makan kamu, Sayang. Jangan sampai sakit dan membuat Papa khawatir.” Seperti biasa, Papa pasti akan mengingatkanku untuk menjaga pola makan agar tetap sehat dan bersemangat. Tidak ada pria yang lebih mengkahwatirkanku hingga seperti ini selain Papa, setidaknya untuk saat ini. “Iya, Pa. Papa juga jangan lupa jaga kesehatannya, lho! Aku nggak mau Papa juga sakit. Sampai jumpa, Pa!” Aku mematikan telepon dan mengembalikan ponselku ke dalam tas. Sekali lagi aku menghela napas berat karena sedikit capek. Ini semua karena aku terus menunggu di luar ruangan operasi lebih dari satu jam lamanya, menunggu Dokter Adam Collin beserta rekan-rekannya yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa seseorang di dalam sana. Bayanganku tentang betapa kerennya Adam Collin buyar seketika tatkala aku mendengar bunyi hentakan sepatu yang semakin mendekat, ternyata itu atasanku, Pak Rustam. Pria paruh baya itu menatap nyalang ke arahku. Aku segera bangkit dengan perasaan gugup. “Naira, kenapa kamu membiarkan Dokter Adam masuk ke ruangan operasi?” Pria paruh baya itu tanpa bertele-tele lantas mencercaku dengan pertanyaan yang sukses membuatku tercekat. ‘Duh darimana Pak Rustam tahu apa yang sedang berlaku saat ini’ batinku “Naira! Apa kamu tidak tahu, jika para direktur mengetahui apa yang terjadi saat ini. Dokter Adam pasti akan disidang dan dipecat besok!” ucapnya lagi dengan lantang. Suaranya menggema di lorong rumah sakit. “Pak, terus kita mau ngapain?” Aku menanyakan persoalan yang sepertinya akan membuat tensi Pak Rustam naik tinggi. “Seharusnya tadi kamu cegah Dokter Adam dari melakukan kebodohan ini, Naira!” bentaknya lagi. Aku pilih berdiam, tidak berniat untuk membela diri. Pak Rustam tidak tahu kalau aku terlibat percekcokan dengan Dokter Adam sebelum aku mengizinkannya masuk ke ruang operasi. Aku sudah berusaha mencegahnya dari melakukan kesalahan fatal ini. Namun, aku kalah telak dari prinsip seorang Dokter Adam yang ingin menyelamatkan satu nyawa yang sedang dalam bahaya di depannya tadi. Tidak berselang lama, ruang operasi terbuka dan aku melihat Dokter Adam keluar dari sana dengan setelan operasi, maskernya telah dibuka dan dia menatapku sambil tersenyum. Ia melepaskan satu persatu pakaian operasinya dan mencuci tangannya dengan gerakan yang sempurna, tidak ingin ada bakteri yang tertinggal. Aku melompat-lompat tak sabar untuk menemuinya. Saat ia usai mencuci tangannya, aku berlari dan ingin memeluknya, tetapi lantas Dokter Adam menghentikan perbuatanku “Stop, Naira! Aku harus bersih-bersih dulu. Setelah itu, kalau kamu mau peluk aku, silakan,” ucapnya sambil memainkan kedua alisnya. Padahal tadi dia sudah bersih-bersih, dasar perfeksionis! Aku tertawa lucu, dasar dokter gila! Bisa-bisanya dia bercanda di saat sebentar lagi dirinya akan didepak keluar dari rumah sakit ini karena tindakan nekatnya ini. “Pasiennya gimana?” Aku menanyakan kondisi pasien yang telah ia tangani. “Syukurlah, pasiennya sudah aman dan sebentar lagi akan dipindahkan keruangan pemulihan untuk pemantauan selanjutnya,” jelasnya lagi. Tidak bisa menahan rasa terharu, aku mengacuhkan larangannya dan berhamburan memeluk dokter tampan most wanted di Rumah Sakit St. Charles Medical itu di hadapan Pak Rustam yang berhasil membuat pria paruh baya itu membelalak tidak percaya dengan tindakanku. Dokter Adam terkekeh dan membalas pelukanku erat. "Aku harus mengganti pakaianku dan setelah itu kita pulang karena sudah waktunya istirahat, ya!" ajaknya. "Kamu dan aku sudah sama-sama lelah setelah kejadian sejak pagi tadi." Aku melepaskan pelukanku dan melirik arloji yang sudah menunjukkan angka 02.00 AM. Benar apa yang dikatakan oleh Adam. Banyak kejadian yang sudah terjadi dan tubuh ini juga sudah hampir mencapai batasnya. "Sebelum ke penthouse-ku, kita pergi ke kosanmu dulu, ya! Ambil barang-barang yang kamu butuhkan." … Kami mampir ke kosanku untuk mengambil barang-barang karena Adam kekeh mau aku berpindah ke salah satu unit hunian miliknya, yang katanya jauh lebih aman dari tempat yang aku tinggali. Aku tidak bisa menolak. “Loh? Kok, pintunya terbuka?” Aku heran. Perasaan sebelum aku keluar aku telah mengunci pintu kamar kosanku dan sekarang pintunya malah terbuka. Adam tanpa banyak bicara menarik aku untuk bersembunyi di balik tubuhnya, kami perlahan memasuki kamarku yang sepertinya berantakan sekali. “Ini pasti maling!” sewotku. Siapa yang tidak kesal melihat kamarnya yang sepertinya telah dilanda badai, pakaian di mana-mana dan semuanya serba diacak-acak. “Apa ada yang hilang?” Aku menggeleng kecil, ternyata semua barangnya tidak ada yang hilang. 'Ini pasti bukan kerjaan maling! Dan aku yakin ini adalah ulah oknum yang merasa dirinya terganggu dengan kehadiran aku,’ batinku dalam diam, tetapi aku tidak boleh membiarkan Adam tahu asumsiku barusan. Setelah usai membereskan kekacauan yang ada, Adam menarik dua koper besarku dan kami lantas pergi dari kosanku menuju penthouse Adam. kunci kosan biarlah aku pegang sementara dan akan aku kembalikan pada Bu Mary, pemilik kos tempatku tinggal, besok sekalian pamit. Tidak ada obrolan terlibat sepanjang perjalanan. Kami membelah jalanan kota malam yang terasa dingin sekali. Hingga sampailah mobil hitam mengkilap yang dikemudikan oleh Adam masuk ke sebuah pelataran parkir yang berada di hadapan sebuah gedung tinggi menjulang di hadapan kami. Pria itu memarkirkan mobilnya di parkiran yang tertulis aksara AC, mungkin singkatan nama Adam, Adam Collin. “Yuk!” Aku hanya mengikuti langkahnya, dari lobi hingga sampailah kami di lantai 20 bangunan itu. Sekali lagi aku hanya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan hanya bisa membuntuti langkah pria itu tanpa berkomentar apa pun. Tiba di unit yang tertulis AC01. “Ini unit tempat tinggal aku. Dan kamu akan menempati yang ini.” Pria itu menunjukkan salah satu unit yang berhadapan dengan unit huniannya “Ini keycard-nya kamu tinggal tempelkan saja.” Adam mengulurkan sekeping kartu padaku dan aku menyambutnya cepat. “Oh iya! Ini aku harus bayar berapa perbulannya?” Aku tidak mungkin menempatinya secara gratis, bukan? Emang aku siapanya dia. Lucu sekali berharap agar diberi tempat tinggal gratis. Adam mengulas senyumannya yang terlihat sangat manis. “Kamu masuk saja dulu, besok-besok kita bicarakan bayarannya. Maaf, isi kulkasnya masih kosong karena belum sempat aku isi." Masih banyak yang ingin aku katakan padanya, tapi ya sudahlah, masih ada hari esok untuk berbincang dengannya. Sekarang waktunya untuk istirahat dan menyiapkan mental untuk menghadapi hari besok yang sudah pastinya akan berat sekali. “Ya sudah, sebelumnya makasih, ya. Maaf merepotkan mu," ucapku dan membalas senyumannya. “Sama-sama, Naira,” jawabnya lembut. Adam berbalik dan melangkah pergi. Aku lantas menempelkan key card di tanganku pada pengimbas di hadapan pintu dan melangkah masuk setelah menekan tuas pembuka pintunya. Koperku aku biarkan tergeletak sembarangan dalam hunian ini. Rasa kantuk beserta kelelahan mulai terasa dan menyiksa, hingga akhirnya aku memilih untuk merebahkan tubuhku di atas sofa di ruangan tamu dan tanpa menunggu lama untuk aku masuk ke alam bawah sadar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD