Tiba di rumah sakit, aku melihat IGD yang sudah hiruk-pikuk dengan dokter, pasien, dan perawat yang berlarian ke sana-kemari. Dan Dokter Adam juga telah bergabung dengan para tenaga medis yang lainnya, terlihat beberapa pasien korban dari kecelakaan beruntun. Televisi yang ada di dekat meja resepsionis sedang membawakan berita langsung mengenai kecelakaan beruntun yang baru saja terjadi.
Dokter Adam meminta aku menunggunya di bagian nurse station yang berada di dalam ruangan penanganan pasien.
Kalian bertanya apa yang aku rasakan saat ini? Jantungku bekerja di luar dari hari-hari biasa dan kakiku melemah saat melihat kondisi para pasien yang berdarah-darah sedang terbaring lemah di atas brankar. Bahkan tidak sedikit pasien yang sampai tidak sadarkan diri.
Lebih parahnya lagi, ada anak kecil yang sedang terbaring dengan alat bantuan pernapasan berada tepat di depan aku membuat aku tanpa sadar menitikkan air mata.
Sedih? Iya, siapa yang bisa menahan air matanya jika berada di posisi aku saat ini dan melihat satu pemandangan yang membuat sedih?
Kulihat dokter Adam yang sedang memberikan arahan pada para dokter konsulen, dibantu oleh dua orang dokter lainnya. Kulihat wajah tampan itu begitu cemas dan pastinya dia kecewa karena tidak bisa turun tangan sendiri menangani para korban.
“Pasang monitor! Setelah itu panggil dokter anestesi standby malam ini!” perintah Adam pada salah satu nursenya.
Aku melihat nurse itu dengan cekatan memasang selang infus dan monitor tanda vital, sementara temannya berlari menuju ke tempatku menunggu dan melihat kesibukan yang sedang terjadi. Ia lantas menggapai gagang telepon dan menelepon seseorang yang aku yakini adalah dokter anestesi, yang dimaksud Adam barusan untuk datang segera ke IGD.
Tak berselang lama, pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang dokter wanita yang aku kira usianya mungkin sepantaran dokter Adam, bergegas menangani pasien yang membutuhkan pemeriksaan darinya.
Dokter wanita yang memiliki tag name 'Melia' itu mengecek sebentar dan menyiapkan alat yang apalah itu, aku tidak tahu namanya karena ini bukan bidangku. Jadi. semuanya asing bagiku.
Aku hanya bisa melihat dan memperhatikan mereka satu persatu. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain itu. Tentu saja aku hanya akan merepotkan mereka jika aku ikut campur.
“Dok! Pasien ini pneumothorax traumatik dan sepertinya harus segera dioperasi!”
“Bentar lagi bagian radiologi akan datang, tensinya masih bagus, Hemoglobin-nya rendah. Setelah ini, aku akan lapor dan Dokter Adam bisa telpon orthopedic dan BTKV untuk konsul. Saya permisi dulu.”
Dokter Melia yang cantik itu lantas bergegas pergi setelah menjelaskan kondisi salah satu pasien pada Adam dan aku melihat wajah tampan itu seketika keruh. Ia terlihat serius dan lelah di saat yang sama.
Salah satu dokter yang bertugas malam ini lantas melaporkan kondisi pasien sesuai instruksi dari dokter Melia barusan karena tidak mungkin untuk mereka meminta Dokter Adam yang melakukannya, sementara Dokter Adam sedang dalam fase penangguhan pekerjaannya. Ia seharusnya tidak berada di tempat ini meski dalam keadaan terpaksa.
Hatiku bagaikan diremas oleh tangan yang tak kasat mata. Sedih memang, tetapi aku tidak bisa menangis. Aku hanya bisa merasakan kecewanya seorang dokter yang tidak bisa berbuat apa-apa sedangkan ia sebenarnya mampu menolong orang-orang.
Selang beberapa menit kemudian, seorang dokter paruh baya masuk ke ruangan keramat itu, wajahnya tegas dan langkahnya diayun dengan mantap. Ia berjalan dengan aura yang tidak biasa. Semua orang juga terlihat sangat menghormatinya dari cara pandang mereka.
Sementara Adam akhirnya bisa kembali ke sampingku, tidak banyak yang bisa aku lakukan selain mengelus lembut bahunya. “Semuanya pasti akan baik-baik saja, Dokter Adam Collin,” ucapku sembari memanggil nama beserta gelarnya.
Adam tersenyum sendu dan berkata, “Kamu tau, Naira? Rumah sakit ini sebenarya sedang kekurangan tenaga ortopedik, dan Dokter Bagas tidak bisa melakukan operasi karena pasca operasi pada pergelangan tangan kanannya setelah kecelakaan awal bulan lalu.”
Adam menjelaskan kondisi rumah sakit dan Dokter Bagas padaku, membuat aku sedikit memahami kegalauannya saat ini.
“Kamu yang sabar, ya.” Lagi-lagi hanya kata-kata penyemangat itu yang bisa aku ucapkan untuk membuat Dokter Adam merasa tenang.
Dokter Bagas, pria paruh baya senior yang baru saja ikut bergabung, melangkah tegas mendekatiku dan Dokter Adam.
“Saya sudah konsultasi dan ortho setuju untuk operasi. Sebentar lagi Dokter Sally akan datang untuk memastikan kondisi pasien dan sepertinya akan siap-siap dioperasi.”
“Dokter Adam. Maaf, saya sudah menelpon Dokter Randy untuk menangani pasien ini,” ucap beliau serba salah. Dokter Randy adalah salah satu dari tenaga medis yang bisa mereka andalkan selain Dokter Adam, itulah yang kutangkap dari perbincangan yang terjadi di antara mereka.
“It’s okay, Dok, saya mengerti,” jawab Dokter Adam sambil menundukkan wajahnya, menyembunyikan rasa sedih yang ada dalam hatinya.
“Dok!” Tiba-tiba panggilan nurse itu menyita perhatian Dokter Bagas, dan pria paruh baya itu lantas segera kembali menangani pasien yang baru saja diperiksanya, meninggalkan aku dan Dokter Adam berdua saja.
Keadaan kembali kalang kabut. Kami hanya bisa memperhatikan dari kejauhan.
"Dok! Dokter Randy terjebak macet karena ada kecelakaan kecil di areanya!” lapor salah satu nurse yang baru saja menerima panggilan telepon.
Aku melihat Dokter Adam membuka langkah untuk mendekati Dokter Bagas. “Dok! Pasien ini harus segera dioperasi! Dokter Randy tidak bisa datang dengan tepat waktu. Tolong biarkan saya menggantikannya,” ucap dokter Adam dengan gurat khawatir.
“Tapi ....”
“Serahkan pasien ini kepada saya sebelum kondisinya makin tambah parah!” pinta dokter Adam dan masih bisa sampai pada indra pendengaranku.
Langkahku berayun dan menuju ke arah dokter tampan itu. “Dokter Adam, aku mohon jangan lakukan ini,” bujukku.
“Naira, pasien ini semakin drop dan harus segera dioperasi, sementara Dokter Randy masih terjebak macet. Tentu saja aku harus segera menggantikannya! Mana mungkin seorang dokter membiarkan pasien dalam keadaan yang membahayakan nyawanya?!” bicaranya tanpa menatap wajahku.
Tidak mungkin aku mengajak Adam bertengkar di depan pasien, akhirnya aku menarik Adam ke samping tanpa menghiraukan tatapan mata tajam yang sedang menatapku.
“Adam, kamu jangan lupakan kondisimu! Kamu saat ini sedang tidak bisa praktik!” Aku mengingatkannya kembali pada kondisinya yang bagaikan telur di ujung tanduk. Ia bisa pecah kapan saja jika salah mengambil langkah.
“Naira, lebih baik surat izin praktik aku mereka cabut saja. Aku akan melakukan apapun asalkan aku bisa menyelamatkan nyawa orang-orang!” kekeh Adam yang masih keras kepala.
“Adam! Demi satu nyawa kamu malah melupakan ribuan lagi nyawa di luar sana, yang mungkin kapan saja membutuhkan kamu! Apa kamu sadar itu, Adam?!” Aku tersentak karena terkejut saat menyadari jika aku baru saja membentak Adam.
Aku menghela napas dan meraup kasar wajahku setelah merasa bersalah karena telah membentaknya.
“Aku mengerti kekhawatiran kamu, Naira, tetapi saat ini apakah aku punya pilihan lain lagi, hm? Apakah kamu sanggup melihat anak kecil yang masih terbaring menahan kesakitan di sana kehilangan sosok ayahnya?"
Adam menunjuk pada para pasien kecelakaan. Ada anak kecil yang menangis dan berusaha ditenangkan oleh beberapa orang nurse.
"Dan ini terjadi karena seorang dokter yang egois, yang ingin mempertahankan jabatannya sehingga mengabaikan satu nyawa yang seharusnya masih bisa diselamatkan!”
Adam melanjutkan, “Sebagai seorang penegak hukum, apakah kamu tidak sedih saat oknum yang berbuat jahat malah terbebas dari hukuman sementara yang tidak berdaya hanya bisa menangisi ketidakberdayaan mereka, Naira?”
Adam terus-menerus mencecar aku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab saat ini.
Air mata yang coba aku tahan akhirnya menerobos keluar dari kelopak mataku dan mengalir deras membasahi pipiku. Malu? Mungkin urat maluku sudah putus karena aku mengacuhkan mata-mata yang sedang memperhatikan kami. Aku tidak peduli dan menumpahkan tangis semauku. Biarlah mereka mengatakan aku cengeng, bodo amat dengan semua itu.
Adam menarikku cepat ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku. Wangi maskulin yang menguar dari tubuh pria jangkung ini berhasil membuat aku sedikit tenang dan akhirnya melepaskan diri dari dalam pelukannya.
Aku menghapus air mata yang perlahan mulai berhenti dan mencoba menetralisir napasku.
Aku menarik napas panjang dan menatapnya tegas. “Lakukan tugasmu, Dokter Adam Collin, apa pun itu hasilnya. Aku akan tetap di belakang kamu. mari kita berjuang bersama,” ucapku yang pada akhirnya mengizinkan pria itu melakukan operasi, yang mungkin saja ini akan menjadi operasi terakhirnya sebagai seorang dokter.
“Terima kasih, Naira. Tunggu aku, ya! Usai operasi ini kita pulang bersama,” ucapnya sambil menghapus jejak air mataku yang seakan tidak ada hentinya mengalir. Aku mengangguk kecil dan tersenyum, memberikan kekuatan pada Adam dan aku sendiri.
Dokter Bagas akhirnya mendekat. “Dok! Apakah Dokter Adam yakin ingin melakukan ini?” ujarnya.
“Saya sudah siap!” balas Adam dengan lugas. Aku tersenyum melihatnya yang melangkah dengan percaya diri, meski harus mengorbankan masa depannya.