TWY Part 3b

1102 Words
“Gilá..gilá! Ini benar-benar gilá!” seru Lona salah satu perawat di ruang VVIP. Ia langsung berseru saat sampai di bagian resepsionis ruang VVIP. Tentu saja membuat yang di sana terkejut. “Ada apa sih kamu kok histeris begitu? Lupa kalau ini rumah sakit?” sindir Ajeng. “Gimana nggak histeris. Aku habis ketemu artis Korea,” mata Lona berbinar saat mengatakan itu. “Siapa maksud kamu?” Eliana nimbrung begitu datang dari ruang pasien. “Itu lho Mbak Eliana, anak dari pasien kamar nomor lima ganteng banget. Ya Tuhan, ternyata di dunia ini beneran ada orang ganteng. Aku kira cuma ada di n****+ doang.” “Kamu tahu dari mana kalau itu anaknya?” tanya Eliana antusias. “Tadi aku sempat ke ruangan pasien Mbak karena mau bawa obat, si Rania kan lagi di panggil Dokter Rahman jadi aku gantiin. Pas di sana aku dengar dia manggil papa,” jelas Lona. “Tadi emang ada cowok yang lewat tapi nggak lihat mukanya. Cuma lihat punggung dan dari belakang emang kelihatan keren. Dan yang aku dengar-dengar pasien di kamar itu katanya salah satu orang terkaya di Indonesia,” ucap Ajeng. “Wah keren dong. Tapi pasti orangnya nggak mungkin single. Model begitu mah minimal punya lima pacar atau tiga istri,” ucap Lona dengan wajah menganalisa. “Dan yang terpenting mana mungkin mau noleh cewek modelan kayak kita,” celetuk Ajeng lagi. “Hei! Kamu jangan pesimis begitu kalau berhadapan sama cowok keren bin tajir. Nggak semua di lihat dari fisik dan uang, ada juga yang lebih memilih wanita biasa tapi tulus,” jelas Eliana memberi semangat. Karena ia sendiri bukan tipe wanita kaya yang memandang pria dari hartanya. Rania berjalan mendekati ketiga wanita yang nampak serius dengan obrolannya. “Kerja.. kerja. Kalian mau makan gaji buta. Hah?” ucap Rania menirukan nada bicara Mona. “Ih Mbak Rania kayak Mbak Mona aja,” protes Ajeng membuat yang lain tertawa. “Oh iya Mbak Rania, pasien kamar nomor lima nanyain Mbak. Kalau nggak sibuk tolong ke ruangan beliau,” jelas Lona hingga membuat Eliana dan Ajeng menatap curiga. Rania yang sadar mendapat tatapan tajam dari Eliana dan Ajeng hanya bisa menunjukkan wajah bingung “Kalian kenapa liatin aku kayak gitu?” “Nggak apa-apa. Buruan gih ke sana sebelum pulang. Kali aja penting,” jelas Eliana. “Iya Mbak, mungkin saja penting. Buktinya saya tanya ada keperluan apa, malah nggak mau bilang. Katanya mau sama Suster Rania. Aku kok curiga kalau pasien itu suka sama Mbak Rania.” Lona memicingkan matanya. “Hus! Ngawur kamu. hati-hati bicara nanti keluarga pasien dengar.” “Iya nih, jangan sembarangan kalau ngomong. Apalagi sampai si Mona tahu kalian bergosip, habislah kalian." Lona menggaruk tengkuk karena merasa tidak enak pada Rania. “Eh. Maaf ya Mbak, aku cuma bercanda.” “Iya nggak apa-apa. Aku ke loker dulu baru ke sana,” jawab Rania kemudian berlalu. Saat Eliana hendak pergi untuk melanjutkan tugasnya, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Lona hingga langkahnya terhenti. “Kenapa sih?” Tanya Eliana kesal. “Mbak, lihat itu cowok yang aku maksud,” bisik Lona diikuti tatapan Eliana dan Ajeng pada sosok yang di maksud. Mata ketiganya seolah terpana dengan sosok pria yang berjalan menuju arah mereka. Pria dengan kemeja hitam dengan lengan di gulung, wajahnya benar-benar seperti lukisan sempurna yang di ciptakan oleh Tuhan. “Gilá hot banget,” ucap Eliana kagum. “Tapi kayak pernah lihat,” gumamnya. “Pasti lihatnya di drama korea, iya kan? Nggak nyalahin sih bisa disamakan sama artis korea, ganteng banget sih.” “Idih! Kamu terlalu lebay deh, Lon,” cibir Eliana. “Bodinya nggak nahan,” celetuk Ajeng. Biasa Ajeng paling jarang berkomentar soal cowok karena ia sudah memiliki tunangan. Saat sosok yang di maksud berlalu, kompak ketiganya menghirup udara seakan kehabisan napas. Menatap sosok pria itu seakan membuat keduanya lupa untuk menghirup oksigen saking terpesonanya. “Kalian kenapa kok mukanya tegang?” tanya Rania tiba-tiba. Melihat ketiga rekannya bersikap aneh tentu saja Rania curiga dan penasaran. “Kamu melewatkan pemandangan indah,” ucap Eliana. “Ah kalian aneh banget dari tadi. Udah aku pergi dulu,” jawabnya kemudian berlalu. Ia sama sekali tidak tertarik tentang kelanjutan ucapan dari temannya. “Selamat sore Bapak Dirga,” sapa Rania begitu pintu ia buka. “Sus Rania, sibuk? Tadi Suster lain yang membawakan obat.” “Maaf ya, Pak. Tadi saya harus bertemu dengan salah satu dokter jadi tugasnya saya di gantingan oleh Suster Lona,” jelas Rania dengan sabar. Ia berdiri di sebelah tempat tidur Dirga. “Saya hanya kesepian, butuh teman untuk di ajak mengobrol. Kalau bukan Suster Rania yang selalu menemani saya, mungkin saya minta pulang saja. Tidak betah rasanya,” ujar Dirga. “Saya siap menemani Bapak sambil menunggu jam pulang beberapa jam lagi. Bapak jangan merasa sendirian, Suster yang lain juga pasti mau menemani Bapak kok.” “Rasanya semakin tua semakin merasa sepi. Anak-anak punya kesibukan masing-masing makanya kalau mengunjungi Papanya hanya sebentar-sebentar,” raut kesedihan muncul pada wajah pria itu. “Jangan bicara begitu, Pak. Mungkin anak banyak tidak sepenuhnya mencurahkan waktunya untuk Bapak. Tapi bukan berarti mereka tidak sayang. Kadang beberapa orang memiliki cara lain untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Ada yang bilang secara langsung ada yang dalam bentuk perhatian. Mungkin anak-anak Bapak bukan tipe blak-blakan tapi perhatiannya dalam bentuk tindakan.” “Kamu benar. Anak saya jarang mengungkapkan rasa sayang secara langsung. Seperti Sally, ia kadang suka marahin saya kalau lalai menjaga kesehatan tapi sebenarnya itu bentuk kasih sayangnya,” jelas Dirga sambil tersenyum. “Nah itu dia. Saya juga suka marah sama papa kalau makan makanan yang dilarang dokter. Tapi itu semua saya lakukan karena sayang. Takut kalau sakitnya papa kumat.” “Kenapa bukan Mama kamu yang melarang?” Rania tersenyum lembut, “Mama udah lama meninggal. Saya hanya tinggal bersama Papa dan adik laki-laki saya.” “Maaf Sus, kalau saya membuat Suster Rania sedih” pria itu merasa tidak enak hati. “Ah Bapak kenapa minta maaf, tidak masalah kok Pak,” jawab Rania. “Papa kamu masih bekerja?” “...” Rania mengangguk “Papa masih kerja di sebuah perusahaan ekspor sebagai manajer keuangan.” “Oh ya. Apa nama perusahaannya?” “PT Wangsa Indonesia, Pak,” jawab Rania. Dirga mengangguk, “Itu perusahaan itu mengekspor minyak sawit mentah, kan? Papa kamu hebat bisa bekerja di sana.” Rania hanya bisa mengulum senyum karena ayahnya mendapat pujian dari orang lain. Ia sendiri sebagai anak sangat bangga dengan ayahnya karena bekerja keras tanpa mengeluh lelah demi dua anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD