Rania mulai mengganti infus yang sudah hampir habis dengan yang baru.
“Pantas saja tumben kemarin absen. Saya kira Suster bosan menemui saya,” ujar Dirga.
“Mana mungkin saya bosan menemui pasien saya sendiri, Pak.” Rania terkekeh geli.
Pria yang jadi pasiennya ini memang sering bercanda dengan Rania. Ia memang dekat dan perhatian dengan semua pasien, tapi melihat kondisi Dirga yang sedang di tinggal pergi istrinya ke luar negeri menemani ibu mertua Dirga untuk berobat ke Jerman dan belum bisa kembali ke Indonesia. Jadilah Rania ingat dengan sang ayah yang tidak bisa didampingi istrinya jika sedang sakit.
“Ngomong-ngomong, Suster Rania kenapa belum menikah? Umurnya berapa kalau boleh saya tahu,” tanya Dirga tiba-tiba.
“Saya umur 25 tahun Pak. Kenapa belum menikah, karena belum ada calonnya,” jawab Rania dengan sungkan.Aneh rasanya orang asing menanyakan hal yang termasuk kategori pribadi. Bukan tidak suka hanya malu mengakui kalau umur 25 tahun ia masih betah sendiri “Saya juga belum memikirkan pernikahan, Pak. Masih ingin bekerja, kumpulin uang yang banyak selama masih muda,” sambungnya.
“Ya kalau sudah datang jodohnya pasti cepat menikah. Kalau nanti Suster Rania menikah jangan lupa undang saya,” goda Dirga pada suster cantik itu.
“Amin. Nanti saya akan kirim undangan spesial buat Bapak. Eh saya akan kirim sendiri tanpa menggunakan kurir,” jawab Rania dengan senyum lebar membuat pria paruh baya itu tergelak.
“Anak baik semoga jodohnya juga baik,” tandas Dirga.
***
“Kenapa makanannya cuma diliatin aja? Naksir sama itu bebek goreng?” celetuk Nathan saat tahu Eliana belum menyentuh makanannya sama sekali. Mereka sedang menikmati makan siang di kantin rumah sakit.
“Pusing aku, Nath. Ampe nggak nafsu makan,” jawab Eliana lemas. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan gairah.
“Ada masalah apa? Cerita saja,” ucap Rania setelah menghabiskan setengah porsi nasi goreng.
“Aku kira hidup kamu lempeng-lempeng aja nggak pernah ngerasain pusing,” sindir Nathan. Eliana berasal dari keluarga kaya. Pekerjaannya sering dianggap sebagai formalitas karena tanpa bekerja pun hidupnya tetap terjamin tujuh turunan. Wajar saja Nathan menganggap Eliana tidak pernah mengalami kesusahan dengan hidupnya.
“AKu juga manusia kali. Punya masalah dalam hidup,” gerutu Eliana sebal.
“Emangnya ada masalah apa?” Rania kembali mengulang pertanyaannya.
Eliana menatap Rania dan Nathan bergantian kemudian menghela napas dan tertunduk.
“Akue mau di jodohin.”
“Mámpus kamu, El,” sambar Nathan hingga mendapat delikan dari Rania.
“Jahat kamu, Nath,” ucap Eliana sedih.
“Sama siapa, El?” tanya Rania hati-hati. Ia tidak ingin membuat temannya tersinggung.
“Kata bokap, anak temen bisnisnya.”
“Duh Gusti, jaman sekarang masih aja main jodoh-jodohan,” ucap Nathan tidak habis pikir dengan pemikiran orang tua Eliana.
“Nathan, bisa diem nggak sih?” bentak Rania. Sungguh mulut mulut pria itu seperti emak-emak nawar dagangan.
“Kamu udah pernah ketemu?”
“...” Eliana hanya menggeleng.
“Udah nggak usah pusing. Siapa tahu setelah kamu ketemu cowok itu ternyata ganteng kayak Lee Min-ho, rugi kan galau terus,” Nathan kembali tergelak. Entah kemana rasa prihatinnya kepada Eliana seolah menjailinya lebih menyenangkan dari pada mengasihani.
Rania kembali menatap Nathan dengan tatapan membunuh. Reaksinya lebih menyeramkan dari pada yang punya masalah.
Rania mengelus punggung tangan Eliana “Makan dulu, jangan mikirin itu terus. Kan belum tentu cowok itu buruk, siapa tahu dia orang yang baik.”
Eliana menatap Rania dengan tatapan memelas, “Tapi kan kamu tahu aku sukanya sama Dokter Andrian. Aku masih berharap berjodoh sama dia.” Eliana hampir menangis mengatakan itu.
“Hah? Kamu suka Dokter Andrian?” seru Nathan membuat tangan Rania refleks menutup mulut pria itu.
“Ish. Kamu itu cowok tapi lemes banget. Bisa pelan nggak sih suaranya. Kamu mau seluruh kantin ini tahu kalau Eliana suka sama Dokter Andrian," bisik Rania namun dengan nada menekankan.
“Phuehhh. Tangan kamu abis pegang apa kok bau terasi,” gerutu Nathan sambil mengusap bibir yang di bekap oleh Rania.
“Tangan aku bersih. Mulut kamu yang penuh dosa makanya bau terasi,” jawab Rania sengit.
“Enak aja. Ngomong-ngomong aku pusing dengerin cerita kamu, El. Perkara jodoh ribet amat. Kalau lo nggak mau dijodohin ya tinggal tolak, kalau lo suka sama di Dokter IGD itu ya lo harus ungkapin. Kelar masalah kan,” ucap Nathan pada Eliana.
“Aku udah nolak tapi kata mami papi, aku itu nggak bisa milih jodoh sendiri. Nanti cowok yang jadi pasangan aku bakalan morotin uang aku aja. Terus kalau aku bilang suka sama Andrian, terus aku di tolak gimana?” Eliana menangkupkan tangan di wajahnya. Ia ingin menangis tapi pikirannya masih waras kalau sekarang sedang di tempat kerja.
“Ah belum apa-apa udah nyerah. Kamu harus optimis soal dokter IGD,” ucap Nathan.
“Nath, kamu cowok mah gampang, mikir nggak ribet kayak perempuan. Cewek itu lebih banyak pertimbangan. Kalau cowok pikirannya simple dan kadang nggak punya urat malu, contohnya ya kamu ini.”
“Kenapa jadi bawa-bawa aku sih, Ran?”
“Iya karena kamu itu nggak pernah memposisikan diri sebagai perempuan. Buktinya dengan gampang gonta ganti pasangan padahal kamu nggak tahu kan gimana perasaan mereka karena dicampakkan sama kamu.”
“Ah mereka udah tahu risikonya pacaran sama aku, Ran. Aku masih mencari yang terbaik jadi kalau mereka siap dengan konsekuensinya menjalin hubungan sama aku, ya udah mereka nggak boleh protes.”
“Nah kayak gini nih yang aku takutkan. Semoga dijauhkan dari jodoh model kamu ini.”
“Jangan begitu, nanti kamu kualat dan malah nikahnya sama aku.”
“Ogah!”
“Kenapa kalian yang jadi adu mulut sih, makin pusing aku kan,” keluh Eliana.
“Maaf, El. Mulut si Nathan minta dipolesi sambel.”
Rania bangun dari duduknya dan duduk di samping Eliana. Tangannya menepuk lembut pundak temannya berharap Eliana bisa lebih tenang.
“Jangan putus asa gitu. Tenangin hati dan pikiran kamu dulu. Setelah itu baru pikirkan solusianya,” ucap Rania.
Inilah yang Rania takutkan jika menyukai seseorang. Pikiran dan perasaan menjadi korban saat sesuatunya tidak berjalan lancar atau sesuai keinginan. Maka dari itu, selama ini ia selalu membentengi hatinya agar tidak mudah jatuh cinta pada seorang pria. Dan selama ini itu efektif, hidupnya tenang tanpa memikirkan hal yang berbau perasaan.