EMPAT

3049 Words
Sinar matahari siang di kota Madrid yang terasa semakin menyengat, nyatanya tidak mampu membangunkan kedua anak cucu Adam yang sedang bergelung dalam selimut, tanpa busana. Tenaga mereka seolah habis akibat permainan panas yang mereka ciptakan sendiri, di tambah absennya kedua orang itu saat jam makan malam tiba. Ya, begitulah kejadiannya. Davenill terus melampiaskan segala hasrat cinta buta yang selama ini ia rasakan, ketika nyatanya Charlotte sudah bukan lagi mimpi di dunia fantasi ketika ia bersenggama dengan para jalang. Oleh sebab itu tak ada waktu jeda yang Davenill berikan pada Charlotte, hingga mata mereka baru bisa terpejam saat fajar akan segera menyingsing. Dalam permainan panas mengairahkan malam tadi, sejujurnya Charlotte sudah ingin meneriakkan banyak ancaman tentang pernikahan yang bisa saja ia batalkan sepihak. Namun tubuhnya terus saja berkhianat, ketika Davenill selalu berhasil membangkitkan libido seksual dalam dirinya. "Heiii... Kalian berduaaa...!" teriak Amanda di balik pintu kamar bersama gedorannya, "Mau sampai kapan bermain terus, hah?! Hei, Dalmations girl! Apa kau tidak lapar? Kalian sudah melewatkan dua waktu makan sekaligusss...! Ayo cepat banguuunnn...." lanjut Amanda, semakin kuat memukul pintu kamar yang tertutup. Ia bahkan mengikutsertakan spatula kayu yang ada di tangannya, untuk mengendor pintu agar si penghuni kamar cepat sadar. "Eghhh..." Bingo! Apa yang dilakukan Amanda ternyata tidak sia-sia, ketika nyatanya kedua telinga Charlotte lebih peka akan bunyi keras tersebut. Ia mencoba membola matanya yang masih ingin tertutup, dan seketika itu juga dirinya terlonjak pada pemandangan di depan mata. "s**t! Aku lupa," batinnya menggerutu. Wanita dengan clan Gonzalez itu sedikit melupakan sosok Davenill yang ia lihat saat membuka mata. Untung saja ada beberapa bercak merah keunguan di sekujur tubuh Davenill, sehingga rasa keterkejutan pun seketika berubah menjadi pemikiran menggelikan. Saat bayangan betapa buasnya dia menggigiti leher dan d**a sang Desainer. "Kau ingin menambahkan satu tanda kepemilikan lagi, Honey?" lirih Davenill membuat Charlotte terkejut, "Aku akan dengan senang hati menerimanya, Charl," lanjut Davenill menggesek kejantanannya di tubuh bagian bawah Charlotte. "Oh, ya ampun! Kenapa kau membangunkannya lagi, Nill. Aku lelah dan ingin tidur! Kau tidak dengar bunyi dari pintu itu semakin keras? Adikmu pelakunya!" omel Charlotte membulatkan kedua matanya, "Sekarang apa lagi ini? Kenapa kau ikut membuat Adikmu yang satu lagi mengeras juga, hem?" kesal Charlotte mencoba menyibak selimut tebal di tubuhnya. Namun junior Davenill yang sudah kembali berereksi sibuk berteriak meminta sang Kakak untuk segera membantunya, sehingga baru saja Charlotte ingin beranjak dari tempat tidur, kedua lengan kekar Davenill sudah lebih dulu membawa wanita itu untuk kembali berbaring. "Arghhh... s**t! Menyingkir dari tubuhku, Nilll... Kau sangat lengket dan bau keringat!" teriak Charlotte mencoba beralasan, "Turun, Nilll... Turunnn..." rengek Miss Gonzalez lagi.  Sayangnya Davenill bukanlah tipikal pria yang mudah mendengarkan penolakan wanita ketika sedang di mabuk asmara. Sehingga suka tidak suka, mulai hari ini ia harus menjadi wanita tangguh yang bisa sabar menghadapi kegilaan Davenill di tempat tidur. "Sekali saja, Honeyyy... Aku janji tidak akan lama dan setelah itu kita pergi mandi bersama. Oke?" bisik Davenill di telinga Charlotte. Tanpa persetujuan, Davenill bahkan langsung menjulurkan lidahnya di telinga Charlotte. Maka rencana menolak ajakan afternoon s*x Davenill yang hendak ia lontarkan pun gagal total. "Nilll... Jan-- Oughhh... Nilll..." Satu desahan panjang pun akhirnya lolos hanya kurang dari lima belas detik Davenill beraksi, dan pria itu sangat puas dengan senjata ampuh yang berhasil ia gunakan. Suara spatula kayu yang semakin nyaring terdengar dari balik pintu bahkan tak mampu berubah menjadi bom atom untuk menghentikan tindakan panas kedua manusia tersebut, hingga akhirnya Amanda berhenti menggedor pintu tak kala telinganya samar-samar mendengar rintihan memekik Charlotte dari dalam kamar. "Sialan! Awas saja sampai nanti malam kalian tidak juga keluar dari kamar! Aku janji akan membawa penjaga keamanan apartemen di bawah sana, untuk mendobrak pintu jelek ini!" kesal Amanda menendang keras daun pintu kamar. Ia berbalik kembali menuju dapur di  apartemen mewah Charlotte dan melepas apron putih yang sedari tadi dikenakannya. Fokus model bikini itu lantas tertuju pada Brenda Dasilva yang semalam tidur bersamanya dalam satu kamar. Ia pun kembali menuju ke ruang tengah, kemudian terus melangkah menuju kamar tamu setelah mengambil ponselnya dari atas sofa. Namun matanya membola besar, ketika sebaris pesan singkat terlihat di notifikasi ponselnya. "What? Pesan dari si b******k itu?! Untuk apa dia menanyakan kabar ku?" tanya Amanda membuka baru saja ingin membuka ponselnya. Tetapi dia kembali berteriak histeris, ketika melihat lima panggilan tak terjawab dari Nicholas Don Bosco juga tertera di sana. Ia berbalik dan sedikit berlari menuju balkon, melupakan keinginan untuk membangunkan Brenda. Sementara Davenill dan Charlotte masih saja terus melanjutkan afternoon s*x di dalam kamar, dengan keadaan Davenill yang kini sedang bersandar di kepala tempat tidur. "Oughhh... God! Mulutmu nikmat sekali, Honeyyy..." lirihnya terus mengelus surai hitam Charlotte. Wanita cantik itu sibuk mengisap habis batang cokelat milik Davenill dengan begitu antusias, bahkan sesekali ia memakai giginya untuk ambil bagian di sana. "Oughhh... Nooo...!" teriak Davenill kesakitan, "Jangan begitu, Honey. Itu terasa sangat sakittt..." rengeknya lagi. "Maaf, Nill. Aku kelepasan," jawab Charlotte, kembali mengoral kejantanan Davenill. "Oughhh... Charlll... Yes, Honeyyy... Shake me like that, Babyyy... Achhh..." Tapi rasa sakit itu tak berlangsung lama, ketika nyatanya Charlotte sangat mampu membuat Davenill kembali melayang tinggi. "Charlll... Berikan milikmu padaku juga, Honeyyy... Oughhh... Fuckkk... Ayo cepat, Baby. Kau tidak boleh curang seperti it-- Achhh... s**t!" teriak Davenill ketika tiba-tiba saja ujung lidah Charlotte bermain di lubang juniornya. Davenill mencoba mengapai pinggul Charlotte yang berada di depannya, dengan maksud ingin membuat wanita itu ikut meronta nikmat sepertinya. Namun, Charlotte tak juga memberikan pinggulnya. Ia sibuk mengeliat dan memainkan bokongnya hingga Davenill pun dengan cepat menghentikan permainan bibir wanitanya. "Kau jahat, Baby! Give me your p***y, Honey!" geram Davenill, mendorong Charlotte hingga terlentang di tempat tidur. Pria tampan itu pun segera merunduk, hingga sepersekian detik kemudian daging segar milik Charlotte sudah menutupi wajah Davenill. "Nilll...! Oughhh..." Kini gantian Charlotte yang berteriak histeris, saat lidah tak bertulang Davenill dengan lembut membelai kewanitaannya. Tangan Charlotte yang bebas, ia pakai menyugar rambut Davenill dan sesekali juga jambakan keras ia berikan akibat dari dunianya yang kian mengerucut. "Davenill... Oughhh... I want you, Babyyy..." Charlotte terus saja mendesah di sana. Dua menit kemudian pinggul Charlotte bergetar hebat, dan itu pertanda bahwa pelepasan pertamanya akan tiba sebentar lagi. Davenill yang berniat menggoda Charlotte pun dengan cepat menghentikan apa yang ia lakukan, hingga kedua netra biru Charlotte kembali terbuka.  "Nilll... Pleaseee..." rengek Charlotte membuat Davenill menyeringai. Charlotte mencoba mengangkat punggung dengan maksud ingin menarik kembali wajah Davenill, namun pria itu lebih dulu mengesek juniornya di depan pintu kenikmatan milik Charlotte. "Sssttt... Nilll... Achhh... Jangan menggoda ku, Baby..." rengek Charlotte kembali menghempaskan punggungnya ke tempat tidur. Sayangnya Davenill terus melakukan apa yang ia inginkan sembari terus menatap tubuh tanpa busana Charlotte yang mengeliat di tengah tempat tidur. "Kau ingin ini, Honey?" ucap Davenill di tengah aksi panasnya. "Yes, Baby. f**k me once more," rengek Charlotte sembari berusaha menumpu tubuh dengan kedua sikunya. Ia menelan salivanya dengan susah payah saat Davenill terus menggesek kejantanan keras itu di panggal birahinya, seraya sesekali memejamkan mata menahan buncahan gairah yang kian memuncak. Davenilll yang melihat hal itu pun semakin gila beraksi, hingga ibu jarinya yang bebas ia gunakan untuk memutar daging kecil di tengah kewanitaan Charlotte. "If you want to fly with me? You have to play your boobs right now, honey!" perintah Davenill yang sukses membuat Charlotte terbelalak. "Nill--" "Kau keberatan? Baiklah aku akan--" "Oke! Don't stop, Baby. Akan ku lakukan sekarang juga!" potong Charlotte segera menemas gundukan di dadanya dengan sebelah tangannya. "You're the greatest perfection I want, Honey. Come on! Shake your boobs again, Babyyy... Ughhh..." desah Davenill segera melesatkan rudalnya ke dalam lubang nikmat milik Charlotte. "Oughhh..." Satu desahan juga ikut terdengar dari mulut Miss Gonzalez dan sikunya pun tak lagi dapat menahan bobot tubuh. Banjir kenikmatan yang diberikan Davenill membuat kedua kakinya semakin terbuka lebar, bahkan tanpa tahu malu wanita itu sudah lebih dulu menggerakkan pinggulnya. "Hei! Tunggu aba-aba dari ku, Baby. Jangan mencuri start lebih dulu," kekeh Davenill menatap pinggul Charlotte yang kian kuat bergerak. "Kau terlalu lama, b******k! Cepatlah bergerak atau aku akan-- Oughhh... Yesss..." jawab Charlotte yang tiba-tiba saja histeris mendesah panjang. Davenill terkekeh melihat Charlotte yang tak jadi meluapkan emosinya, sembari terus bergerak agar wanita itu tak lagi memarahinya. "Oughhh... I love you, Honeyyy... I love you so muchhh..." racau Davenill  di tengah gerakannya. Sejak semalam ia tak habis-habisnya berpikir, mengapa milik Charlotte masih sebegitu sempit. Sampai-sampai sang junior kesayangan cepat sekali menyemburkan cairannya. "Oughhh... Nilll... Lebih cepat lagi, Babyyy..." Akan tetapi Davenill tak mau banyak bertanya, karena memang sejak dulu ia sudah mengikuti gerak-gerik Charlotte. Yang ia ketahui, Charlotte bukanlah tipikal wanita yang mudah didekati oleh banyak pria. Namun, tetap saja ia tak menyangka bisa menyetubuhi bekas kekasih Mendiang Mark Rodriguez dan mendapatkan ledakan nikmat seperti ini. "Of course, Babyyy... Katakan kau milik ku, Charlotte. Katakan sekarang juga," desah Davenill semakin mempercepat gerakan di pinggulnya. "Oughhh... Nilll... Akuuu... Achhh... Aku milikmu, Babyyy... Oughhh... Aku hanya-- Hemphhh..." teriak Charlotte terhenti, akibat bungkam bibir kenyal Davenill. Pria itu sedikit terenyuh saat Charlotte menuruti keinginannya, dan tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti apa yang pujaan hatinya inginkan juga. Desah nikmat terendam di balik lumatan bibir keduanya, dan butiran peluh pun ikut menjadi saksi perjuangan cinta Davenill yang kian membuahkan hasil. "You're mine, Honey. Oughhh... Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah mau melepaskanmu sedikit pun! Achhh..." bisik Davenill di telinga kanan Charlotte. Davenill mengumpulkan tenaganya agar dapat semakin cepat bergerak dan sejurus kemudian ia pun berteriak histeris akibat perbuatannya sendiri, "Oughhh... God! I wanna c*m, Honeyyy... Oughhh..." Charlotte yang mengetahui jika lelakinya juga akan sampai, pun turut mengambil bagian dengan ikut menggerakkan pinggulnya hingga tak sampai sepuluh detik kemudian keduanya kembali mendesah panjang. Davenill menyemburkan habis benih cintanya di dalam lubang nikmat Charlotte, dengan harapan benih yang ia tanam dari semalam itu akan menjadi zigot dan selanjutnya berkembang menjadi embrio. Keduanya pun lunglai dengan posisi masih saling berpelukan erat, namun Charlotte yang masih dihantui rasa bersalah pada akhirnya mengungkapkan segala kecemasan dalam hatinya.  "Bagaimana jika aku tidak bisa hamil lagi, Nill? Kau yakin akan--" "Aku tidak akan pernah mengingkari apa yang sudah ku katakan, Honey," potong Davenill mengecup puncak kepala Charlotte, "Jangan berpikir untuk meninggalkan aku, hanya karena nanti kita tidak bisa memiliki keturunan," bisik pria itu lagi. "Nill..." ucap Charlotte tak mampu melanjutkan perkataannya. Davenill semakin mengeratkan pelukan hangatnya di tubuh Charlotte dan membatin sumpah serapahnya pada mendiang Mark Rodriguez. "Untung saja kau sudah mati, Brengsekkk...! Jika kau masih hidup, aku jamin hari ini juga kau mati di tangan ku sendiri!" "Bagaimana pergulatan panasnya, Brother? Apa bahan bakarnya sudah habis, sehingga kalian sudah duduk di meja makan?" sindir Amanda yang baru saja keluar dari toilet. Brenda sedari dua puluh menit lalu tak kunjung keluar dari toilet yang berada di kamar tamu, sehingga mau tak mau sang model bikini itu pun harus membersihkan dirinya di toilet luar. "Ku rasa kau juga sering merasakan kehabisan bahan bakar setelah habis bertempur 'kan, Mandy? Jadi tolong kau mengerti, oke?" jawab Davenill sembari terkekeh keras. Wajah putih Charlotte kini memerah akibat dari kelakar kedua Kakak beradik di depannya, dan itu tak luput dari pengawasan mata Davenill. "Tertawa saja, Honey. Jangan pedulikan perasaan calon Adik iparmu ini," ujar Davenill mengerlingkan sebelah matanya pada Charlotte. Wanita itu pun akhirnya meledakkan tawa di antara sendok yang sedang ia pegang, membuat Amanda membola kedua matanya. Ia menatap tajam Davenill dan juga Charlotte, sembari sibuk mengeringkan rambutnya yang basah. "Hemmm... Tertawalah sepuasnya! Setelah itu jangan lupa habiskan pancake buatan ku. Awas saja jika kalian membuangnya ke tempat sampah. Aku tidak akan membuatkannya lagi!" omel Amanda. Ia melangkah cepat menuju ke kamar tamu, karena setengah jam lagi Nicholas Don Bosco akan menjemputnya untuk makan siang. "Mau ke mana dia?" tanya Davenill menatap punggung sang Adik yang kian menjauh. Charlotte hanya mengangkat kedua bahunya, sebagai jawaban bahwa ia sama sekali tak tahu Amanda akan pergi ke mana. Ia hanya sibuk memasukkan potongan pancake ke dalam mulutnya, karena memang perut wanita itu sudah sangat lapar. "Kau menyukainya?" tanya Davenill mencoba membuka percakapan lagi dengan Charlotte. Tapi lagi-lagi wanita itu hanya memberi jawaban dengan anggukan kepala, dan Davenill tak menyukai hal tersebut. "Charl, kau marah karena aku menyentuhmu?" tanya Davenill pada akhirnya. "Ukhukkk... Ukhukkk..." Charlotte pun tersedak kunyahan pancake yang coba untuk ia cerna, sehingga Davenill pun bergegas berdiri dari tempat duduknya. "Minum air putih ku saja, Honey. Nanti saja minum susunya," ujar Davenill menyodorkan segelas air yang ia ambil dari lemari pendingin di dapur tadi. Charlotte menuruti perkataan Davenill dan meneguknya hingga tandas. Setelah itu dia membulatkan kedua matanya, menatap tajam ke arah Davenill yang berada disampingnya. "Kau ini kenapa, Nill? Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih baik dari pada itu?" kesal Charlotte kembali menyuapkan potongan pancake ke dalam mulutnya. Davenill tersenyum kikuk mendengar perkataan Charlotte, namun ia masih saja menyimpan banyak pertanyaan lain di isi kepalanya. "Maaf. Emmm... Aku hanya tidak suka saja jika aku sedang bertanya dan kau tidak menjawabnya, Honey," jujur Davenill. Charlotte kembali berhenti menyuapkan makanan itu, meletakkan sendok di atas piring dan memutar tubuhnya untuk bisa berhadapan langsung dengan Davenill. "Apa yang kau khawatirkan, hem? Kau pikir aku akan meninggalkan mu setelah kita sudah menyatu seperti tadi?" tanya Charlotte menatap tajam retina biru Davenill yang sama dengan miliknya. "Tidak. Aku tidak takut kau meninggalkanku, karena aku yakin itu tidak akan pernah terjadi," tegas Davenill mengambil sepuluh jemari tangan Charlotte, "Aku hanya tak mau kita menikah hanya karena kau sudah aku sentuh, juga tidak mau pernikahan itu gagal karena kau tidak menyimpan rasa untukku," jujur Davenill. Charlotte terdiam dengan perkataan Davenill, dan sejujurnya ia sendiri pun bingung karena mereka memang baru sehari dekat seperti sekarang. Namun rasa suka sisa dari masa remajanya memang masih sangat banyak tersimpan penuh, dan rasa membutuhkan pun kini mulai muncul setelahnya. "Kita akan segera menemui Ayahku di Barcelona, Nill. Kau ingin segera memiliki ku, bukan? Jadi buang semua kecemasan tak mendasar mu ini. Aku masih sangat menyukai semua tentang mu dan aku bersedia melakukan apa pun agar rasa suka tadi berubah menjadi rasa cinta. Kau  sudah janji akan membuatku jatuh cinta, kan?" tanya Charlotte di tengah penjelasannya. Davenill tersenyum manis menatap calon istrinya, dan sebuah pelukan pun terjadi lagi di antara panasnya matahari yang menyinari kota Madrid. "Dad, aku akan pulang dengan Davenill besok. Ada sesuatu yang ingin aku katakan tentang masa depanku," ucap Charlotte berbicara Ayah kandungnya. Fabian Gonzalez mengerutkan kening tuanya di ujung telepon, namun ia mencoba untuk tenang menanggapi perkataan putri tunggalnya. "Oh ya? Siapa itu Davenill? Apa dia teman pria mu?" tanya Fabian. Charlotte mengigit bibir bawahnya ketika di tanya demikian. Hal tersebut membuat Davenill segera melumat bibir wanitanya agar ia tak lagi berbuat seperti seperti itu. "Charlll... Kau mendengarkan ku?" tanya Fabian yang bingung ketika tak lagi mendengarkan suara Charlotte. "I-iya, Dad. Aku mendengarkannya. Egh, itu. Emm... Davenill dia--" "Saya adalah calon Suami putri tunggal anda, Tuan Fabian," potong Davenill merebut ponsel Charlotte. "Nill, kau--" "Sssttt... Biar aku saja yang menjelaskan pada Ayahmu, Honey," bisik Davenill mengelak saat Charlotte ingin merebut kembali ponselnya. Alhasil, kini wanita itu hanya bisa duduk diam di pangkuan Davenilll sembari menyatukan kedua telapak tangannya. Sementara itu Fabian Gonzalez yang berada di ujung telepon sedari tadi berusaha untuk menenangkan degupan jantungnya. Akibat dari kabar mengejutkan yang baru saja ia dengar. "Perkenalkan, Dad. Nama ku Davenill Gomez. Saat ini putri kesayanganmu sedang bersamaku. Aku sudah dua tahun lebih mencintainya, bahkan sudah seperti orang gila yang terus mengikuti gerak-geriknya," ucap Davenill lagi. "Hemmm... Kedengarannya menarik," sahut Fabian dengan senyuman lebarnya. "Ya. Begitulah, Dad. Aku seorang Desainer biasa yang baru memiliki tiga butik di kota Madrid, namun itu ku bangun dari hasil ku sendiri sebelum aku lulus dari sekolah made di Milan lima tahun lalu," jelas Davenill membuat Fabian tercengang. "Apa katamu tadi? Desainer? Apa kau tahu siapa itu Charlotte Gonzalez?!" pekik Fabian terdengar sangat berang. "Maaf, Dad. Aku--" Tut... Tut... Tut... Davenill baru saja ingin menjelaskan pada Ayah Charlotte tentang silsilah keluarganya, namun Tuan Fabian sepertinya sudah sangat marah hingga memutuskan panggilan telepon itu secara sepihak. "Sudah aku bilang, bukan? Kau harus ikuti aturan mainnya jika berbicara dengan Daddy. Dia itu tidak sama seperti pria tua lain, karena Daddy ku--" "Iya. Aku tahu kau adalah putri tunggal Fabian Gonzalez yang berprofesi sebagai Milyarder garmen nomor satu di negara ini," potong Davenill terdengar lirih. "Ck. Kau ini. Aku hanya berusaha agar semuanya bisa berjalan lancar, Nill. Jangan menyindirku seperti itu. Lagi pula apa bedanya aku dengan kau dan Mandy? Kalian juga anak dari seorang Bankir nomor satu di Spanyol, kan? Tapi kalian malah sibuk mencari pekerjaan lain dari pada duduk di kursi bekas Ayah kalian," sahut Charlotte mencoba membangun kembali semangat lelakinya. "Itu karena dia sudah menceraikan Mommy ku sejak aku masih berusia tujuh tahun, Charl. Jika mereka masih bersama, aku yakin dia pun akan memaksa ku untuk menggantikan kedudukan gila itu seperti Putra keduanya," ucap Davenill lagi. Charlotte menghela nafas berat ketika mendengar kata-kata itu dari mulut Davenill, dan merasa De Vaju ketika mengingat Amanda juga pernah meracaukan serentetan kalimat hujatan pada Ayah mereka. "Tolong jangan seperti ini, Nill. Kau akan menikah dengan ku, bukan dengan Ayah ku," ujar Charlotte pengumpan seulas senyuman untuk Davenill. "Ya, itu benar. Aku memang akan menikah denganmu, Honey. Aku pun sudah berniat agar kau bahagia denganku, tapi alangkah bodohnya jika secara tidak langsung kehadiranku membuat kau harus memilih antara aku atau Ayahmu," ujar Davenill mengenggam erat jemari Charlotte, "Seorang anak di lahirkan untuk harus selalu berbakti pada kedua orang tuanya, Honey. Aku tidak ingin Ayahmu menganggap ku sebagai musuh yang harus segera dimusnahkan dari kehidupan putrinya. Apa kau akan memusuhi Ayah kandung mu sendiri? Itu tidak mungkin, Charl. Aku tidak mau merubah mu menjadi seperti iblis," lirih Davenill hampir tak terdengar. Charlotte tertegun mencerna setiap barisan kata yang Davenill ucapkan, namun peri putih dalam hatinya terus menyemangati untuk tetap melanjutkan keputusan besar tentang rencana pernikahan itu. "Kita akan segera menemuinya, Nill. Bila perlu sekarang juga jika kau terus meragukan ku seperti ini!" tegas Charlotte membuat Davenill mengangkat wajahnya. "Charl, aku--" "Sssttt... Aku menginginkanmu lagi, Nill. Kau tidak ingin memberi ku kehangatan itu lagi?" bisik Charlotte menggoyangkan pinggul dipangkuan Davenill. Seketika itu juga pikiran panjang tentang restu dari Ayah Charlotte menguap entah kemana, berganti dengan sambaran bibir Charlotte yang sudah mendarat mulut di bibir Davenill. Sore itu, matahari jingga di langit kota Madrid menjadi saksi betapa panasnya Charlotte memperlakukan Davenill di atas kursi balkon apartemennya. Dan benar-benar tak memedulikan kehadiran Nicholas Don Bosco dan Amanda, yang bisa saja mendengar desah nikmat mereka berdua dari arah ruang tamu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD