LIMA

2980 Words
Arloji kulit milik Davenill masih menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas malam. Kakinya baru saja sampai di mansion milik Ibunya, sebab wanita paruh baya bernama Beatrix Spancer yang berprofesi sebagai pelukis amatir itu berencana akan pulang ke Madrid malam ini. Ibu kandung Davenill sudah hampir dua bulan berada di Negara Ratu Elizabeth, mengikuti Tour Young Art Generation yang diadakan di London. Sebenarnya Nyonya Beatrix sudah ingin pulang dari sebulan yang lalu, namun Ayah kandungnya menahan agar wanita itu merawatnya yang sedang sakit-sakitan. Ya, London adalah kampung halaman Beatrix Spancer dan ia pindah ke Madrid karena dulu dirinya menikah dengan Franco Gomez. Sayangnya pernikahan itu tak berlangsung lama, karena Franco menceraikan Beatrix akibat terganjal restu dari kedua orang tua Franco. Sehingga ketika usaha yang di bangun oleh Ayah kandung Davenill itu bankrut, Franco pun meminta pinjaman modal dari kedua orang tuanya. Sayangnya Kakek dan Nenek kandung Davenill tidak mau meminjamkan sepeser uang pun pada anaknya, namun malah menjanjikan seluruh harta mereka akan jatuh ke tangan Franco apabila pria itu segera menceraikan Beatrix dan menikah dengan wanita pilihan mereka. Karena terdesak oleh rentenir dan akan kehilangan seluruh harta, termasuk Mansion mewah tempat keluarga kecilnya berteduh. Maka Franco pun menyanggupi permintaan kedua orang tuanya, dengan alasan tak mau membuat Beatrix hidup susah. Alhasil semuanya pun kini telah berlalu hampir dua puluh enam tahun lamanya, namun masih menyimpan luka mendalam bagi Beatrix dan kedua anaknya. Hal ini pula yang kini menjadi beban dalam isi kepala Davenill, hingga membuatnya tidak fokus memainkan pencil di atas sebuah kertas yang rencananya akan ia ubah menjadi sketsa gaun pengantin untuk calon istrinya. Ia takut ketika sudah menikah nanti Charlotte juga akan meninggalkannya, sama seperti Franco Gomez--si Ayah kandung yang sangat ia benci. "Shittt...!" umpat Davenill mengacak satu kertas putih, yang sedikit lagi akan selesai ia gambar. Lagi-lagi telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin, hingga beberapa kali sketsa gambar itu basah. Terkadang juga bentuk yang ia buat di beberapa sketsa tadi tak bagus lagi di matanya, hingga sampah kertas pun meluap akibat dari tempatnya yang sudah penuh. "Apa ini tidak salah?" batin Davenill merebahkan tubuh disandaran kursi kerjanya. Bayangan Charlotte merintih nikmat, sukses membuatnya sedikit menegang. Namun wajah sang Ayah dan luka hati Ibunya, kini semakin menggeser gambaran si pujaan hati. Dan ia sangat benci berada di situasi seperti ini. "Hei, kenapa mau ada di sini?" suara seorang wanita bertanya, kini membuat Davenill menatap ke arah pintu ruangan kerjanya. "Mom! Kau sudah pulang?" sahutnya lekas berdiri dari kursi putarnya.  Davenill merentangkan tangannya lebar-lebar, dan Beatrix pun segera masuk ke pelukan hangat sang putra. "Kenapa tak memberitahuku jika Mommy sudah turun dari pesawat, hem? Aku dan Mandy pasti akan menjemput, Mom," ujar Davenill mengelus punggung belakang sang Ibu. Beatrix hanya tersenyum mendengar kecemasan Davenill dan segera melepas pelukan itu untuk menatapnya. Ia memegang kedua lengan anak lelakinya dan menatap kedua manik mata biru yang sama persis dengan miliknya itu secara intens, sebelum menemukan satu kejanggalan di sana. "Aku bukan anak kecil, Nill. Aku sudah tua dan mungkin sebentar lagi akan punya cucu. Lagi pula bukannya kau akan pergi ke Barcelona? Mandy bilang semua usahamu menaklukan wanita itu sudah terbalaskan," sahut Beatrix masih menatap Davenill. Raut wajah Davenill yang sengaja ia buat setenang mungkin untuk menyambut kepulangan sang Ibu, pun seketika kembali seperti semula dan sebuah kenyataan bagi Davenill sejak dulu. Bahwa memang ia tak pernah bisa menutupi kecemasan apa pun dari seorang wanita bernama Beatrix Spancer ini. "Egh, Ya. Itu benar, Mom," ucap Davenill sedikit kikuk. Kedua matanya melirik ke sembarang arah ketika berbicara dengan Beatrix dan wanita itu tahu betul, jika Davenill saat ini sedang berada di tingkat kecemasan tertingginya. "Ayo kita ke pantry. Aku akan membuatkanmu sesuatu sebelum kau menceritakan semuanya. Oke?" sahut Beatrix menarik lengan putranya. Davenill pun mengiyakan keinginan sang Ibu, dengan pasrah berjalan meninggalkan ruangan kerjanya. Mereka sampai di pantry yang sudah dua bulan ini tidak terpakai lagi, dan Beatrix dengan cepat pula memeriksa segala sesuatu yang berada di sana. Ia mencari bahan makanan di dalam lemari pendingin dan mengeluarkan semua makanan kaleng sebelum membuat beberapa sayuran busuk ke dalam keranjang sampah. "Kita pesan makanan saja, Mom. Tidak perlu repot-repot seperti sekarang ini," tegur Davenill menatap keranjang sampah yang penuh dengan sayuran busuk. "Ini tidak masalah, Nill. Lagi pula Mom memang berniat membersihkan seluruh mansion ini sebelum krediturnya datang mengecek seluruh isinya," jawab Beatrix tanpa menatap putranya. Kening datar Davenill berkerut dalam ketika mendengar hal itu, dan kali ini dia benar-benar tidak mengerti dengan perkataan sang Ibu, sehingga kakinya melangkah lebar menuju ke arah Beatrix berada. "Mom? Apa maksud Mom tadi?" tanya Davenill menghentikan tangan Ibunya. Beatrix sedikit mendongak, karena saat itu ia memang sedang membersihkan rak terbawah dari lemari pendingin. Ia berdiri agar sejajar dengan sang Putra, melepaskan sarung tangan plastik anti air yang berada di kedua tangannya dan berjalan meninggalkan Davenill di depan lemari pendingin. "Mommm..." ucap Davenill lagi. Beatrix sangat paham jika saat ini Davenill menuntut jawaban tentang ocehannya sendiri, dan itu jelas akan kembali mengulang luka lama dalam hatinya. "Kenapa mansion ini harus di jual, Mom? Kau yakin si gila itu tidak akan menyakitimu lagi bila dia tahu yang sebenarnya?" ucap Davenill, sudah tak bisa lagi menahan kekesalannya. Beatrix berpura-pura sibuk membuka kaleng-kaleng daging ham di atas meja kayu, namun hatinya garam ketika sifat pemaksa Franco juga dimiliki oleh Davenill. "Aku ini Ibu yang melahirkanmu, Nill. Jangan menyebutku seperti itu. Aku tidak suka!" ketus Beatrix tak juga membalikkan tubuhnya. "Kalau begitu jawab aku, Mom! Jangan karena surat kepemilikan mansion ini tertera nama Beatrix Spancer, jadi Mom bisa seenaknya mengambil keputusan tanpa memberi tahu aku dan Mandy terlebih dahulu! Aku sudah  bekerja, Mom. Katakan saja apa yang kau butuhkan dan aku akan--" "Aku butuh kebebasan, Nill! Aku tidak butuh apa pun selain pergi dan meninggalkan bangunan tua ini agar hidupku tenang dan tidak berada dalam lingkaran masa lalu itu lagi. Mau puas?!" potong Beatrix membalikkan tubuhnya. Dua bulir air mata jatuh membasahi pipi putih wanita paruh baya itu, membuat Davenill segera berlari dan mendekap sang Ibu. "Mom, please..." lirih Davenill merasa bersalah. Sebuah baru besar, rasa-rasanya saat ini sedang jatuh dari atas gunung yang tinggi dan tepat mengenai kepala seorang Davenill Gomez. Jujur saja selama ini ia tak pernah tahu apa pun tentang perasaan Ibunya, sebab dulu Beatrix sendiri yang tetap ingin tinggal di tempat itu, saat mereka mengajaknya pindah dari sana. Sehingga mereka mengira sang Ibu akan terus tinggal di tempat itu, namun ternyata pemikiran tersebut salah. "Aku ingin pindah ke London, Nill. Itu alasan yang lainnya jika kau masih ingin mencari tahu lagi," jelas Beatrix melonggarkan pelukannya, "Granpa mu sangat membutuhkan ku. Aku juga tidak ingin Spancer Gallery's terbengkalai. Aku memulai dunia dari sana, Nill. Lukisan-lukisan itu adalah bagian hidupku yang lain setelah kalian berdua. Bahkan Franco juga meninggalkanku karena aku hanyalah seorang pelukis jalanan dan kalian tahu akan hal itu," urainya mengusap air kata yang jatuh. Davenill mengambil kedua tangan sang Ibu dan menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan kekuatan agar wanita paruh baya itu tak lagi bersedih. "Lakukan apa pun yang membuatmu bahagia, Mom. Aku dan Mandy akan selalu mendukung semuanya," ucap Davenill kembali memeluk sang Ibu, "Jangan khawatirkan hubungan ku dengan Charlotte, karena dia juga pasti akan selalu mendukungmu seperti dulu-dulu," lanjutnya lagi. Mendengar nama Charlotte disebutkan, Beatrix pun tiba-tiba saja berubah antusias seperti seorang balita mendapatkan mainan baru dan senyum sumringah ia berikan untuk putranya. "Ceritakan pada Mommy semuanya, Nill. Bagaimana bisa kalian langsung akan menikah secepatnya ini? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Apa kau tidak takut menikah dengan putri milyarder itu? Ibu saja selalu mengingatkan Mandy untuk tidak memanfaatkan Charlotte, karena tak mau putri ku di tuduh macam-macam oleh Tuan Gonzalez. Tapi kau malah ingin menikahi anak tunggalnya. Kau tidak ingat kejadian di keluarga kita?" Damn it! Wajah Davenill kini berubah menjadi murah seketika. Entah karena memang wanita di depannya itu adalah wanita yang melahirkannya atau apa? Yang pasti ia terkejut mengetahui sang Ibu pun berpikir hal yang sama dengannya. Hal ini jugalah yang ia pikirkan sedari tadi, dan sebenarnya ia sangat ingin meminta pendapat dari Beatrix. Hanya saja sekarang ia tak tahu harus memulai semua cerita itu dari mana, ketika bayangan usaha kerasnya selama dua tahun ini terbayang bersama tubuh polos Charlotte yang sudah ia rasakan. "Nilll... Ayo ceritakan? Kenapa kau diam saja?" tegur Beatrix membuyarkan lamunan anaknya. "Ah, ya. Aku dan Charlotte akan menikah karena dia tak ingin aku..." ujar Davenill memberi jeda. Ia bingung apakah harus menceritakan sejujurnya, atau berbohong demi membuat sang Ibu tak larut dalam prasangka buruk. "Lalu? Dia tidak ingin kau apa, Nill?" tanya Beatrix sedikit tak sabaran. Davenill meneguk salivanya dengan susah payah. Otaknya berpikir keras untuk menceritakan hal tersebut pada sang Ibu atau tidak. "Egh, Dia. Em, maksudku dia tak mau--" "Mommyyy... Oh, my God! Mommy benar-benar sudah pulang dari London?!" histeris suara wanita muda dari balik punggung Davenill. Pria itu bernapas lega karena kedatangan sang Adik. Namun ketika ia ingin melihat Amanda juga, detak jantungnya semakin gila berpacu ketika mata birunya bersibobok dengan kedua bola mata Charlotte yang juga berwarna senada. "Oh, sayanggg... Kau datang juga akhirnya," ujar Beatrix sudah melangkah mendekati tiga wanita cantik yang berdiri di sana. "Yes, Mom. Aku bawakan lasagna, pizza, burger cheese dan juga Charlotte berjanji akan memimpin barbeque malam iniii..." pekik Amanda menunjukkan sekantong beef di tangannya. "Oh ya? Tunggu apalagi, ayo kita lakukan sekaranggg..." seru Beatrix tak mau kalah. Ia menarik tangan Charlotte dan mengajaknya untuk semakin masuk ke dalam pantry di mansion itu dan Davenill hanya bisa menggelengkan kepala, sebelum menarik lengan Amanda untuk ikut dengannya. "Eghhh... Aku tidak mau kau ajak ke mana pun, Dave! Aku mau membantu mereka menyiapkannya juga! Brendaaa... tolong akuuu..." pekik Amanda menatap sahabatnya yang terkekeh geli. Brenda lantas mengikuti langkah kaki Charlotte, tanpa mau memedulikan Amanda dan Kakaknya. Brakkk... Suara pintu di ruang kerja Davenill pun terdengar keras akibat sang Tuan yang membantingnya dengan keras. "Sakit, Dave! Apa kau sudah gila?!" teriak Amanda mengelus telinga kanannya yang memerah akibat di tarik oleh Davenill dari pantry tadi. Amanda bersiap untuk menendang kaki sang Kakak, namun Davenill lebih dulu menaruh tangannya di pinggang dengan ekspresi wajah yang sungguh terlihat seperti monster. "Kau yang gila, Mandy! Apa kau tidak dengar perkataan ku tadi?! Kau harus segera pulang ke mansion karena Ibu akan datang dari London, tapi tidak boleh membawa sahabatmu! Apa kau tuli?!" teriak Davenill semakin membulatkan kedua matanya. Semua amarah yang akan Amanda tumpahkan seketika itu juga lenyap, berganti dengan cengiran lebar dan tingkah kikuknya. "Oh itu. Emmm... Maafkan aku, Dave. Tadi itu aku--" "Jawab yang jelas, Mandy! Kau sengaja 'kan ingin membuatku terlihat bodoh di depan Mommy?" potong Davenill mengusap kasar wajahnya. Amanda yang merasa bersalah mencoba mendekati sang Kakak, lalu mulai melancarkan bujukan mautnya pada Davenill. "Maaf, Kakakku sayang. Aku tidak bermaksud begitu, tapi mereka yang memaksa untuk ikut ke sini," bual Amanda. Davenill melirik sekilas ke arah manequin yang berada di depan matanya, lantas setelah itu pandangannya jatuh lagi ke arah tempat sampah. Di sana setumpuk bola kertas hasil kegagalannya dalam menggambar sketsa bakal gaun pengantin yang akan ia buat khusus untuk sang calon istri terlihat berceceran hingga meluap keluar dari keranjang sampah, dan alarm merah di isi kepalanya pun berbunyi nyaring. "Keluar dari sini sekarang dan suruh Charlotte datang menemui ku," ucap Davenill melangkah ke meja kerjanya. "What? Apa kau gila? Bukankah sudah ku katakan jika Charlotte berjanji akan--" "Katakan saja pada Mommy aku yang menyuruhnya, Mandy! Jangan membantahku lagi. Apa kau yang akan membeli beberapa gaun untuk Charlotte saat kami akan menikah nanti?" tanya Davenill kembali mengambil selembar kertas kosong, "Katakan saja aku ingin membicarakan model gaun pengantin apa yang ingin ia kenakan. Jadi pergilah sekarang juga!" lanjut Davenill lagi. Suka tidak suka, Amanda pun segera berbalik dan melangkah pergi dari ruang kerja Davenill dengan menghentak-hentakan kakinya. Brakkk... Sang model bikini itu bahkan membanting pintunya dengan keras, hingga membuat Davenill sedikit terkejut. "s**t!" Satu umpatan keluar dari mulutnya dan lagi-lagi tangannya harus mengacak selembar kertas putih di depannya, lalu membentuk sebuah bola dan melemparkannya ke tempat sampah. Sayangnya tembakan bola kertas itu meleset dan mengenai wajah Charlotte yang baru saja membuka pintu. "Astaga! Maafkan aku, Honey. Itu--" "Kau kenapa, Nill? Apa ini?" tanya Charlotte menutup pintu, membungkuk dan memunguti bola kertas tadi. Di sana ia melihat sebuah sketsa gaun yang belum selesai di buat dan sebuah senyuman pun terbit begitu saja dari wajah cantik Charlotte. "Aku ingin seperti ini, Sayang. Hanya saja bagian bawahnya kurang lebar. Kau ingat sketsa yang aku buat saat hari terlahir kau di Santana?" tanya Charlotte mendekati Davenill. Pria itu melebarkan kedua tangan lalu memberi kode dengan mata untuk duduk dipangkuannya, dan Charlotte pun dengan senang hati melakukan hal tersebut. "Aku mencintaimu, Honey. Cup... Aku sangat mencintaimu," ucap Davenill saat Charlotte sudah duduk dan mengalungkan tangan di lehernya. "Aku tahu, Nill. Kau tidak perlu mengatakannya terus, karena itu akan membuat ku semakin merasa bersalah," lirih Charlotte memainkan jari telunjuknya di d**a Davenill. "Jangan memancingku lagi, Honey. Aku sedang--" "Kau terlalu percaya diri sekali, Tuan Davenill Gomez yang terhormat! Siapa yang lebih dulu menyuruhku kemari, hem?" lirih Charlotte tepat di depan bibir Davenill. Cup Satu kecupan mendarat cepat di bibir Davenill, dan kali ini Charlotte lah pelakunya. "Charlll..." "Yes, Babyyy... Will you bite my lips again? Or do you want another? I'll give you more, if you want to do it, Baby," desah Charlotte yang kini semakin liar membentuk pola abstrak di d**a Davenill. "Kau sangat menggemaskan, Honey. Siapa yang menyuruhmu lebih dulu menggoda seperti ini, hem?" ujar Davenill tak kalah lirihnya. Charlotte tak mau repot-repot membalas ucapan dari mulut sang calon Suami, sebab ia lebih suka jika bibir Davenill sudah beradu dengan bibirnya. Oleh sebab itu tanpa aba-aba Charlotte segera melakukan apa yang ia inginkan, dan membiarkan kedua mata Davenill membola besar akibat serangan menggebu tersebut. Tiga detik berlalu dengan keadaan Davenill mencoba menetralisir rasa bahagianya yang membuncah dan di detik selanjutnya, bibir tebalnya pun berusaha untuk menyeimbangkan lumatan rakus Charlotte. Ia menyedot lidah Charlotte layaknya seorang bayi yang sedang asyik menikmati sebotol s**u formula, lalu sesekali melepaskannya agar Charlotte yang melakukan itu juga padanya, dan tak lupa menyentuh dua gundukan kenyal di balik kemeja calon istrinya. "Kenapa kau tidak memakai bra, Honey! Aku--" "Sssttt... Aku memakainya, Baby. Tapi aku melepaskannya lagi saat mobil Mandy sudah akan sampai ke sini," potong Charlotte kembali melumat bibir Davenill. Wanita itu tak ingin mendengar Davenill mengejeknya, sehingga ia pun tak mau memberi waktu pada sang Desainer untuk berbicara lagi. Krekkk... Kedua tangannya yang bebas kini bahkan membuka paksa kemeja Davenill, sehingga terdengar seperti suara sobekan saat kancing kemeja itu terlepas begitu saja. "Emmm... Charl... Astaga, Honey. Kau-- Oughhh..." Charlotte sekali lagi tak mau membiarkan Davenill menilai aksinya, sehingga rahang dengan bulu-bulu halus milik calon Suaminya itulah yang kini menjadi sasaran si Miss Gonzalez. Ya. Charlotte mengigiti area berbulu halus itu dengan rakus, bahkan ia sudah seperti Vampire yang sedang kehausan setelah lama berpuasa darah manusia. "Honeyyy... Achhh..." Charlotte tak peduli jika Davenill menilainya seperti seorang jalang, karena memang inilah yang ia harapkan terjadi dalam dirinya. Wanita itu ingin segera memunculkan kembali rasa cinta menggebu dalam dirinya untuk seorang Davenill Gomez seperti dulu, saat dirinya masih menjadi gadis gendut dengan bintik besar di sekitar wajah dan lehernya. Sayangnya aksi itu tak berlangsung lama, karena sepersekian detik kemudian terjadi satu kesalahan yang di buat oleh Amanda Gomez. "Upsss...! Sorry, Charl. Aku--" "Apa yang kau lihat lagi, Mandy?! Keluar dari sini sekarang!" teriak Davenill mendongak ke arah pintu. Namun Amanda tak juga mau bergeser dari pintu, melainkan semakin melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Davenill. "Hei, kau tidak dengar? Aku bilang keluar dan jangan--" "Di luar ada pria tua yang datang dan mengaku sebagai asisten pribadi Ayahmu, Charl. Dia bilang kau harus ikut dengannya ke Barcelona sekarang karena Tuan Fabian Gonzalez sedang kritis!" sahut Amanda memotong amarah sang Kakak. Charlotte tersentak tiba-tiba di atas pangkuan Davenilll, bahkan kursi putar tempat mereka bergelut panas tadi hampir saja terbalik ke belakang jika Davenill tidak cepat memegang meja kerjanya. "Kau bohong, Mandy! Bagaimana--" "Ck! Aku tidak berbohong, Dalmation girl! Kau lihat saja sendiri di sana," tunjuk Amanda ke arah jendela yang masih terbuka di ruangan itu, "Mommy dan Brenda sedang berbicara dengannya di tempat kami membakar daging. Tapi anehnya, dia ingin ikut bergabung bersama kami dan sudah lebih dulu menghabiskan daging yang kami bakar pertama kalinya," jelas Amanda lagi. Charlotte yang penasaran pun segera bangkit dari pangkuan Davenill, lantas berlari secepat kilat menuju ke arah jendela. "Oh, my God! He's my Daddy, Mandy!" pekik Charlotte terdengar begitu besar. "Ayo turun, Darling. Daddy sudah datang dan juga menyuruh Lucas membeli daging tambahan!" teriak Fabian Gonzalez, menunjukkan piring berisi daging di tangannya. "Astaga, Daddy!" Charlotte memekik lagi, namun kali ini ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. "Nill... Daddy ada di bawah, Honeyyy..." rengek Charlotte membalikkan tubuhnya. Davenill yang masih dalam mode terkejut pun segera bangkit, lalu melepaskan kemejanya. Ia belum menjawab ucapan Charlotte, dan terus saja melangkah hingga menghilang di balik pintu penghubung setelah tangannya menggeser sebuah pintu kayu. "Mandy, dia kenapa?" panik Charlotte mendekat ke arah Amanda. "Dia mengganti pakaian, Charl. Kau tidak lihat kancing kemejanya terlepas di bawah sana," sindir Amanda menunjuk benda kecil berwarna hijau di bawah lantai. Arah pandang kedua mata Charlotte pun ikut menatap ke tempat yang Amanda tunjuk, dan seketika itu juga pipinya memanas tiba-tiba. Ia pun segera menatap kemeja yang ia kenakan, lalu dengan cepat berbalik untuk mengancing kemeja putihnya juga. "Mandyyy... Bisakah kau mengambilkan tas ku di pantry tadi?" ucap Charlotte sedikit hati-hati. Amanda yang tahu maksud sahabatnya pun segera mengeluarkan benda sakti kepunyaan Charlotte dari saku apron yang ia kenakan, dan sang Miss Gonzalez pun lagi-lagi berteriak akibat aksi yang Amanda tunjukkan. "Mandyyy... Kauuu..." "Hahaha... Kau pikir aku tak melihatmu saat kau melepaskan benda sialan ini tadi di mobil? Cihhh... Kau benar-benar menggemaskan, Dalmation girl! Cepat pakai dan rapikan dirimu. Itu adalah pintu penghubung menuju kamar Kakakku, dan silakan lanjutkan pergulatan panas kalian jika aura Vampire dalam dirimu masih menggebu-gebu," ucap Amanda segera berbalik dan meninggalkan Charlotte dengan kekehan tawa lepasnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD