Dinner

1419 Words
"Lo dijemput nggak, Sya? Kalau enggak, pulang sama gue aja." Teman satu jurusan Meisya yang bernama Rio tersebut tak pantang menyerah. Dia terus berusaha mengambil hati perempuan yang notabene-nya merupakan istri orang itu. Rio tampak tak peduli dengan status istri yang disandang Meisya. Dari pertama kali Meisya muncul di kelasnya, Rio sudah jatuh hati pada perempuan itu. Dan semakin lama, perasaannya semakin membuncah. Persetan dengan istri orang, rasa ingin memiliki Meisya seutuhnya begitu besar. "Gue dijemput," jawab Meisya singkat, sambil memasukkan laptopnya ke dalam tasnya. "Ya, sayang banget. Padahal gue sekalian ada perlu di sekitaran komplek perumahan lo. Mau ke rumah teman gue yang juga tinggal di sana." Meisya sontak menoleh. "Lo tahu gue tinggal di mana?" Meisya menatap lelaki itu dengan sorot mata tajam. Apa lelaki ini mengikutinya? "Lo ngikutin gue?" "Eng-gak, kok," jawab Rio terbata. "Waktu itu gue main ke rumah teman gue, dan nggak sengaja lihat lo masuk ke dalam rumah itu." Mata Meisya menyipit, menatap kedua bola mata lelaki itu lurus. "Beneran, Sya, gue nggak bohong." Meisya berdehem. Tak mau terlibat pembicaraan lagi dengan lelaki itu. Dia melangkahkan kakinya keluar kelas tanpa mengucap sepatah kata pun pada Rio. Shit, gue ditinggal! Lihat aja, gue nggak bakalan nyerah buat dapetin elo. Rio mengejar Meisya yang telah meninggalkan kelas dan menyamai langkah kaki perempuan itu. "Bareng sampe depan, Sya. Kebetulan mobil gue parkir di seberang kampus." Meisya sama sekali tak menggubris lelaki itu. "Emang dijemput siapa? Suami?" "Mertua." Lagi, Meisya hanya menjawab sekenanya saja. "Oh." Hingga kemudian Meisya melihat mobil Sesil yang sudah tiba di depan kampusnya. Meisya segera masuk ke dalam mobil tersebut. Di dalam mobil itu, ada mertuanya, Adya dan juga baby sitter anaknya itu. Adya tampak tidur nyenyak di pangkuan mama mertuanya. "Cowok yang bareng kamu barusan, kelihatannya suka sama kamu," kata Sesil setelah Meisya berada di atas mobil, sambil mengusap-usap rambut sangat cucu. "Hah?!" "Iya, dia suka kamu." "Dia cuma teman sekelas aku, Ma. Dan kebetulan aja tadi bareng ke depan. Mana mungkin dia suka sama aku. Dia tahu kalau aku udah punya suami." "Tapi Mama bisa lihat dari tatapan matanya ke kamu." Sesil senang menantunya dikagumi banyak orang karena kecantikan dan kepintaran perempuan itu. Namun, jangan sampai ada yang berniat merebut menantunya ini dari anaknya. "Hati-hati, Sya. Banyak lelaki di luar sana yang modus, tak peduli jika perempuan yang diincar udah memiliki pasangan. Kalau udah suka, bakalan dikejar terus sampai dapet." Sesil bukannya menakut-nakuti Meisya. Memang sudah banyak kejadian seperti itu saat ini. Baik lelaki atau pun perempuan, banyak yang tergoda dengan orang yang sudah memiliki pasangan. Ada yang menganggap itu sebuah tantangan. Bisa merebut seseorang dari pasangan sahnya, menjadi kebanggaan tersendiri bagi segelintir orang yang mempunyai obsesi seperti itu. "Iya, Ma." Meisya sebenarnya sadar betul jika Rio itu terlihat berusaha mendekatinya walau Meisya sudah mengatakan telah bersuami dan memiliki seorang anak. Awalnya, Meisya pikir Rio akan mundur keesokkan harinya setelah dia mengatakan itu. Ternyata, lelaki itu sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Malah, semakin gencar mendekatinya. Mulai dari ajakan makan di kantin, pulang bareng, nyari buku, minta ditemani ke sana-sini. Namun, tak sekali pun Meisya mengiyakan ajakan lelaki itu. Bukannya berusaha menutupi itu dari mertuanya, tapi Meisya pikir dia bisa mengatasi masalah itu sendirian. Meisya tak mau jika Sesil nantinya menyampaikan hal itu kepada Mario jika dia bercerita tentang Rio. Selagi masih dalam batas kewajaran tahap sukanya, Meisya rasa tidak akan ada masalah. Lagi pula, menurutnya Rio itu hanya sekedar kagum padanya. "Kita makan siang dulu, Sya. Habis itu ke butik?" "Mama mau ada acara makanya nyari baju di sana?" Sesil menggeleng. "Nggak ada. Mama mau cari buat kamu." "Buat aku?" Meisya heran, seingatnya, dia tak memiliki acara apa pun dalam waktu dekat ini. "Suamimu itu katanya pengen ngajakin kamu dinner malam ini. Dia minta Mama buat nemenin kamu nyariin dress." Dinner? Meisya baru sadar jika selama menikah, mereka jarang menghabiskan waktu berduaan dengan sang suami di luar rumah. Kalau keluar, mereka pasti selalu mengajak Adya. Kecuali, kalau datang ke sebuah pesta. "Adya nanti sama Mama di rumah. Malam ini Mama nginep di rumah kalian," lanjut Sesil lagi. "Gih sana sesekali kencan keluar bareng suami, biar hubungan kalian makin romantis." Meisya mengangguk. Diam-diam, dia merasa bersalah. Selama ini, dia kira sudah merasa menjadi istri yang baik dengan mengurus anak dan melayani segala macam kebutuhan suaminya di rumah. Meisya sampai lupa, ternyata suaminya juga butuh waktu berduaan dengannya. Bukan hanya berdua ketika di atas ranjang saja. *** Mario sangat bahagia malam ini karena sudah lama dirinya menantikan momen makan malam bersama sang istri hanya berdua saja. Mereka memang bukan kali pertamanya makan malam bersama, waktu honeymoon, mereka selalu melakukannya setiap malam. Beda halnya, kali ini dia sengaja merancang makan malam romantis untuk Meisya di sebuah restoran mewah. Seperti dugaannya, malam ini Meisya tampak anggun dengan dress yang dikenakannya. Berkali-kali Mario memuji paras cantik yang dimiliki istrinya itu. Pulang dari sana, Meisya tidur di sepanjang jalan dengan satu tangannya yang digenggam oleh Mario. Sesekali Mario melepasnya jika harus mengemudi menggunakan kedua tangannya. Sudah 3 hari ini Mario mencoba untuk mengendarai mobil sendiri. Memasuki garasi depan rumah, Meisya tak kunjung bangun juga. Mario menyentuh lengan perempuan itu, lalu menggoyangnya pelan. Meisya melenguh dengan mata yang masih terpejam. Mario merasa de javu. Ingat apa yang pernah dia lakukan kepada Meisya dulu di mobilnya. Bukan mobil yang ini, karena mobil yang membuatnya kecelakaan dulu sudah rusak parah. Mario menggelengkan kepala, menepis segala pikiran kotor yang terlintas dibenaknya mendengar lenguhan Meisya. Sialnya, dress yang digunakan Meisya terangkat ketika Meisya bergerak mencari posisi tidur yang nyaman, hingga memperlihatkan paha putih mulus perempuan itu. Mario meneguk salivanya. Lama berperang dengan otaknya yang sudah mulai travelling ke mana-mana, Mario mendekatkan wajahnya pada Meisya. Nggak apa-apa, Yo. Sama istri sendiri juga, udah halal. Ketika bibir Mario menyentuh bibir Meisya, perempuan itu terbangun. Mario kira Meisya akan marah, namun diluar dugaannya. Meisya tersenyum padanya. Tanpa ragu, Mario melanjutkan aksinya. Dalam sekejap, Meisya sudah berada di atas pangkuannya. "Mau kamu di sini, boleh?" Meisya melotot. Bukan hanya Mario saja mengingat apa yang pernah mereka lakukan di mobil, Meisya juga. Bedanya, dulu mereka tak punya ikatan apa-apa. Dan juga, Meisya merasa terpaksa mengikuti kemauan Mario karena ancaman lelaki itu tentang video panasnya yang akan disebar. Di sisi lain, tubuh Meisya terkadang tidak sinkron dengan otaknya. Meisya membenci dirinya yang tidak berdaya di perlakukan semena-mena oleh Mario, namun tubuhnya kadang menikmati sentuhan lelaki itu. "Boleh nggak? Kalau nggak boleh, nggak apa-apa." Mario berusaha mengendalikan diri, walau dirasanya sangat berat. Dalam hatinya begitu menginginkan istrinya itu sekarang juga, di dalam mobil ini. "Nanti ada yang lihat gimana?" cicit Meisya pelan. "Nggak akan." Mario melihat jam di ponselnya. "Udah jam 9 lewat, nggak akan ada yang keluar dari rumah kita. Mama pasti lagi nidurin Adya di kamar. Yang lainnya, biasanya juga udah tidur jam segini." Meisya berpikir sejenak, kemudian mengangguk malu-malu. Sesil mengernyit saat melihat jam di dinding. Sudah setengah jam yang lalu bunyi mobil memasuki garasi rumah, tetapi sampai saat ini anak dan menantunya belum masuk juga ke dalam rumah. Sesil belum tidur. Dia menunggu Mario dan Meisya pulang karena Meisya lupa membawa kunci rumah yang satu lagi. Sesil membuka pintu utama, melihat apa benar mobil yang didengarnya berhenti tadi adalah mobil yang dikendarai Mario. Bisa saja dia salah dengar, bukannya dari garasi rumah, melainkan dari tetangga sebelah. Ternyata, dia tidak slaah dengar. Benar mobil milik Mario yang sudah terparkir di garasi. Sesil melongo begitu mendapati mobil yang terparkir itu bergoyang-goyang. Sesil geleng-geleng kepala karena tahu persis apa yang terjadi di balik kaca mobil yang gelap itu. Astaga, kayak nggak ada tempat lain aja. Padahal mereka bisa ngelakuinnya di kamar. Nggak sabar amat. Ini pasti maunya anak gue. Iseng, Sesil menelepon nomor Meisya. Menunggu cukup lama, baru lah Meisya mengangkat panggilan teleponnya dengan napas terengah-engah. "Halo, ada apa, Ma?" "Lagi di mana? Kok, belum pulang juga?" "Ini udah di depan, Ma." "Oh, ya udah." Sebelum mematikan sambungan teleponnya, Sesil berkata, "Emangnya enak di dalam mobil gitu, Sya? Kan sempit. Bilangin suami kamu, lanjutin di kamar aja supaya lebih puas." Sesil terkekeh, lalu mematikan teleponnya. Sedangkan Meisya, mukanya sontak memerah saat melihat mertuanya yang berdiri di depan pintu menghadap ke arah mobil. Tak lama, mertuanya itu masuk ke dalam rumah sebelum Mario melihatnya. "Mama ngomong apa barusan? Gangguin aja, sih?" "Mama tahu apa yang kita lakuin di sini." "Nggak kelihatan dari luar, Sayang!" Meisya mendengus. "Iya, nggak kelihatan. Tapi mobilnya goyang-goyang. Pasti Mama tahu lah. Aku malu, Kak." Berbeda dengan Meisya yang merasa malu, Mario malah tampak santai saja. "Nggak apa-apa. Mama juga pernah muda, dia pasti maklumin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD