Mario memasuki rumah dengan seulas senyuman yang mengembang dibibirnya. Lega rasanya di saat ketakutannya belakangan ini lenyap sudah.
Di ruang tamu, Mario melihat istrinya tengah berbicara dengan seseorang yang dikenalnya. Seseorang itu tak lain adalah mantan pacarnya dulu, Pelangi.
"Aku pulang, Sayang." Di depan mantan kekasihnya sendiri, Mario tak segan untuk menunjukkan rasa sayangnya kepada Meisya. Bukan sengaja untuk membuat mantan kekasihnya itu cemburu, bukan. Ini adalah kebiasaan yang dilakukan Mario setiap pulang kerja. Memeluk dan mencium istrinya.
Pelangi menahan tawanya. Bukannya iri, dia malah bersyukur mantan kekasihnya itu benar-benar terlihat tulus menyayangi sahabatnya. Mario telah banyak berubah, dan Pelangi bisa melihat itu dengan jelas.
Setelah melepas tangannya dari pinggang Meisya yang sedang duduk, pandangan Mario beralih pada Pelangi.
"Udah dari tadi, Ngi?"
"Lumayan."
Mario manggut-manggut.
"Ada apaan? Tumben hari biasa gini dateng ke sini."
"Lagi mau rencanain bisnis nih, sama Meisya."
"Wah, bisnis apaan tuh?" Mario melirik Meisya yang berada di sampingnya. Pasalnya, Meisya tak bercerita apa pun kepadanya. Biasanya, hal sekecil apa pun yang dilakukan istrinya itu, dia selalu diberitahu.
"Aku bikinin kamu kopi." Meisya bangkit berdiri.
Mario menghela napas. Meisya masih bersikap dingin kepadanya. Bahkan, tak bercerita apa pun mengenai bisnis yang hendak dijalaninya. Mario tak sabar rasanya untuk mengatakan hasil tes yang didapatkannya hari ini. Dan semoga saja hal itu bisa membuat sikap Meisya kembali menghangat kepadanya.
"Bikininnya pake cinta ya, Sayang. Jangan manis-manis banget, karena kamu udah manis!" seru Mario kepada istrinya itu sambil terkekeh. Mengabaikan sikap dingin sang istri.
Pelangi melongo mendengar seruan Mario terhadap sahabatnya itu. "Sekarang gombalnya lebih jago ya, Kak?"
Mario tertawa kecil.
"Habisnya gemesin banget sama sahabat kamu itu. Kalau lagi marah, dinginnya udah ngalahin es batu. Kan aku jadi takut."
"Suami-suami takut istri sekarang?" ledek Pelangi.
"Apa pun demi membuat istri bahagia."
"Bucin parah. Perasaan dulu waktu sama aku nggak gitu-gitu amat."
Mario menggaruk tengkuknya.
"Eh, salah aku salah ngomong, ya?"
"Enggak juga, kok." Mario menerawang. "Perjuangan aku buat dapetin dia itu susah banget, Ngi. Kamu tahu sendiri 'kan gimana bejatnya aku dulu, pernah nyakitin dia?"
Pelangi mengangguk paham.
"Jangan sia-siain dia, Kak. Aku yang maju paling depan kalau aku dengar kamu nyakitin dia suatu saat nanti. Kamu berurusan sama aku!" Dari dulu semenjak kuliah, Pelangi memang selalu pasang badan terhadap Meisya. Tak membiarkan siapa pun menyakiti hati sahabatnya itu.
Mereka pernah bertengkar dan Meisya menjauhi Pelangi. Meisya yang merasa tak pantas bersahabat dengan orang yang selalu baik kepadanya, sedangkan dia malah berbuat hal yang tak sepantasnya di belakang Pelangi. Meisya terpaksa harus menghindar karena selalu dihantui rasa bersalah karena telah berkhianat dengan berhubungan badan bersama Mario, yang notabene-nya saat itu masih merupakan kekasih Pelangi.
Meisya dan Pelangi saling menjauh hingga suatu saat Pelangi mengetahui tentang kehamilan Meisya. Di saat berada pada titik terendah dalam hidupnya, Pelangi kembali mengulurkan tangan padanya. Meisya bersyukur bisa mengenal perempuan seperti Pelangi.
"Nggak bakal lah! Cinta aku udah mentok sama dia aja," ucap Mario yakin. Tak ada keraguan ketika dia mengucapkan kalimat itu.
Tak lama, Meisya datang membawa kopi untuk Mario dari arah dapur. Dia melihat suami dan sahabatnya tengah asik berbicara, jangan lupakan senyum yang terpancar dari kedua orang yang pernah menjalin kasih itu. Entah kenapa, Meisya merasa dadanya sesak.
Apa Mario masih ada rasa cinta terhadap Pelangi?
Meisya tahu bagaimana rasa cinta yang dimiliki Mario dulu terhadap Pelangi. Bahkan, dulu Mario menolak untuk menikahinya karena Pelangi. Masih terbayang jelas oleh Meisya bagaimana Mario yang mabuk dan menyentuhnya dengan menggumamkan nama Pelangi. Dan lelaki itu juga berkata hanya akan menikah dengan Pelangi, tidak dengannya atau perempuan mana pun.
"Sya?"
Meisya mengerjap karena Pelangi memanggil namanya. Dia berdehem, lalu meletakkan secangkir kopi di atas meja di depan Mario duduk.
"Terima kasih, Sayang. Kopinya dibikin sesuai request aku, 'kan?"
Meisya memutar bola matanya.
Mario mencubit pipi istrinya itu gemas. "Jangan lama-lama marahnya," bisiknya di dekat telinga Meisya.
***
Mario baru saja selesai mengenakan baju usai mandi ketika Meisya masuk ke dalam kamar.
"Tolong anterin Pelangi, dia nggak bawa mobil."
"Nggak mau."
"Kak!"
"Nanti kamu cemburu. Mikir yang enggak-enggak. Biarin dia pulang di anter sopir kita aja."
"Siapa yang bakalan cemburu? Aku? Nggak bakal lah cemburu sama sahabat sendiri."
Mario berdecak. Tadi dia dapat melihat dengan jelas raut wajah istrinya itu saat kembali dari dapur membawakannya secangkir kopi.
"Jangan aneh-aneh deh, Sya. Masa iya, kamu biarin aku berduaan sama cewek lain di dalam satu mobil?"
"Pelangi kan bukan orang lain. Dia sahabat aku. Dia nggak bakalan godain kamu. Nggak tahu kalau sebaliknya.
"Itu aja kamu mikirnya udah ke mana-mana. Pokoknya aku nggak mau." Mario tampak serius dengan ucapannya yang menolak untuk mengantar kan mantan kekasihnya itu. Bukannya tega membiarkan Pelangi pulang sendiri malam-malam, tapi dia ingin menjaga hati istrinya. Mario tahu, Meisya tak mungkin tidak memiliki rasa cemburu terhadap sahabatnya itu.
"Aku panggilan Pak Bimo, biar dia yang anter Pelangi," ucap Mario keluar dari kamarnya tanpa menghiraukan decakan kesal Meisya.
***
"Sayang, sampai kapan aku tidurnya dipunggungin terus? Kan sedih." Mario memasang tampang sedihnya saat Meisya tak juga mau menghadap ke arahnya.
Mario melingkarkan tangannya pada pinggang Meisya, namun tak ada penolakan lagi dari istrinya itu seperti kemarin-kemarin.
"Aku kangen." Mario merapatkan tubuhnya dan mengendus leher Meisya.
"Kangen siapa? Kangen Pelangi atau Sonya?"
Mario sontak tertawa mendengar nada ketus yang keluar dari mulut Meisya. Apa istrinya sedang cemburu? Mario senang sekali kalau begitu. Berarti Meisya masih mencintainya, bukan?
"Kangen kamu lah!"
Mario menggigit kecil cuping Meisya membuat perempuan itu meringis. Dia menepuk tangan Mario yang melingkar di pinggangnya.
"Nggak usah gigit-gigit!"
"Galak amat istriku."
"Emang! Sana balikan sama Pelangi atau Sonya lagi kalau nggak mau punya istri galak."
Mario terkekeh. "Walau galak begini juga aku tetap sayang sama kamu."
"Pret!"
Tawa Mario semakin kencang mendengar umpatan istrinya itu.
Setelah tawanya reda, Mario menarik badan Meisya agar berbalik menghadapnya. Mario mengecup kilat bibir istrinya itu setelah wajahnya berada di hadapannya persis.
"Nggak boleh ngumpatin suami kayak gitu, Sayang. Dosa." Mario mengecup kembali bibir istrinya itu membuat Meisya melotot kesal karena kecolongan untuk kedua kalinya.
Meisya masih kesal pada suaminya itu perihal anak yang dibawa Sonya. Dia tidak tenang sebelum tahu kebenarannya.
"Aku ada berita baik untuk kamu." Mario bangkit duduk, lalu meraih amplop yang berada di atas nakas. "Coba kamu baca!"
Ragu, Meisya membuka amplop yang berlogo rumah sakit tersebut. Setelah membacanya, Meisya menghela napasnya.
"Aku udah bilang kan, kalau bayi itu bukan anak aku?" Mario meraih jemari Meisya. "Aku memang b******n banget dulu, Sya. Aku mengakui gimana brengseknya aku. Suka main perempuan. Tapi, aku nggak pernah tidur sama sembarangan orang."
Mario tersenyum getir. "Hanya dia yang aku pernah tidurin sebelum kenal kamu. Aku dulu udah pernah bilang sama kamu, 'kan? Aku juga takut kena penyakit, Yang. Tapi, waktu sama kamu, enggak tahu kenapa aku nggak mikir ke situ lagi."
Pipi Meisya merona jika Mario membahas hal intim tentang mereka berdua.
"Mungkin karena kita emang ditakdirkan jodoh kali ya, Sya? Tapi lucu aja gitu, cowok b******k kayak aku bisa dapet perempuan baik kayak kamu. Mimpi apa aku?"
Kata orang, jodoh itu adalah cerminan diri sendiri. Mario tidak sepenuhnya mempercayai itu. Menurutnya, tak semua orang mendapatkan pasangan sesuai cerminan diri sendiri. Ada kalanya, orang baik bertemu dengan orang yang tak baik, namun berusaha merubah untuk menjadi baik. Namun, tak jarang pula orang baik yang berjodoh dengan orang tak baik dan tidak berusaha untuk berubah. Dari sana Tuhan ingin menguji kesabaran kita. Apa bila kita sanggup melewatinya, percaya lah semua akan indah pada waktunya. Kalau tidak di dunia ini, di alam sana nantinya kita akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang telah kita perbuat di dunia ini.
Mario menatap lekat kedua mata istrinya itu. "Aku mohon, jangan pernah berniat pergi dari aku apa pun yang terjadi. Jika ada masalah, mari kita hadapi bersama. Setiap orang yang berumah tangga itu pasti ada aja masalahnya. Namun, yang diselesaikan itu masalahnya, bukan rumah tangganya yang berpisah."
Diam sejenak, kemudian Meisya menganggukkan kepalanya.
"Maafin aku juga udah bersikap dingin sama kamu."
"Nggak apa-apa, aku ngerti." Mario meraih Meisya ke dalam dekapannya. "Aku sayang banget sama kamu, Sya. Cuma sama kamu, nggak akan ada yang lain."
"Aku juga, sayang banget kamu," cicit Meisya malu-malu dengan menyembunyikan wajahnya di d**a Mario.
Meisya sudah berpikir negatif kemarin ini, dan bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi di depan. Tak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Meisya, untuk berjaga-jaga itu wajar saja. Hati istri mana yang tidak sakit melihat ada perempuan datang membawa seorang anak dan mengaku jika anak itu merupakan anak dari sang suami? Apa lagi dia juga tahu persis bagaimana masa lalu suaminya itu, yang jauh dari kata baik.
Meisya sudah melewati masa itu, pikirannya udah tenang kembali. Ternyata, suaminya mampu meyakinkan hatinya kembali. Semoga saja untuk ke depannya mereka lebih bijak lagi dalam menghadapi masalah. Karena, sejujurnya Meisya pun hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Ingin menua bersama Mario di sisinya.