Mario Murka

1664 Words
"Dijemput hari ini? Kalau nggak, ayo pulang sama gue aja," ucap Rio sambil terus menyamakan langkahnya dengan Meisya yang berjalan begitu cepat menyusuri lorong di kampus. "Nggak," sahut Meisya singkat. "Nggak apa nih maksudnya?" "Nggak mau pulang bareng lo lah," jawab Meisya ketus, tanpa repot menoleh kepada lelaki itu. "Sombong amat." Raut wajah Rio berubah seketika, jengah dengan penolakan Meisya terus-terusan. Baru kali ini dia diacuhkan oleh seorang perempuan. "Apa salahnya pulang bareng sama teman kuliah doang kalau lo lagi nggak dijemput? Sumpah, lo itu belagu!" Meisya sontak menghentikan langkahnya dan menatap lelaki di sebelahnya ini dengan sorot mata tajam. Hanya sesaat, kemudian dia melanjutkan langkahnya kembali. "Tunggu!" Rio menahan tangan Meisya. "Mau lo apa, sih?" ujar Meisya kesal. Lelaki di hadapannya in benar-benar menguji kesabarannya. Awalnya, Meisya masih santai menghadapi Rio ini. Akan tetapi, lama-kelamaan lelaki itu malah semakin menjadi. Setiap hari selalu saja mengusiknya. Meisya berusaha melepas cekalan tangan lelaki itu di tangannya, namun tidak bisa karena pegangannya kuat. "Pulang bareng gue hari ini!" Kalau tadi lelaki bernama Rio itu masih tersenyum menggoda Meisya, tidak dengan kali ini. Raut wajah lelaki itu tampak dingin. "Kok lo jadi maksa? Hak gue dong menolak untuk nggak pulang bareng lo. Lagian, lo lupa sama status gue? Lo jangan cari masalah sama istri orang!" "Gue nggak peduli," balas Rio. Tak lama sorot matanya berubah melembut. "Gue cuma pengen dekat sama lo, Sya. Tolong kasih gue kesempatan." Meisya memejamkan matanya, mengatur deru napasnya yang naik turun, sebelum melanjutkan kembali ucapannya. "Kita bisa temanan, Rio. Tapi nggak kayak gini caranya. Temanan nggak harus pulang bareng, bukan?" "Gue mau lebih dari sekedar teman, Sya." Meisya tiba-tiba saja merinding mendengarnya. Dia memperhatikan lorong sekitar yang tampak sepi. Kelas Meisya keluar paling belakangan hari ini karena dia ada jam tambahan. Dosen yang berhalangan hadir minggu kemarin menggantinya dengan siang ini. "Rio, tolong lepasin tangan gue. Gue mau pulang," ucap Meisya lirih. Cengkraman tangan Rio pada pergelangan tangannya semakin kuat. Mungkin kulit putih Meisya sudah memerah saat ini. "Gue lepasin tangan lo, tapi ada syaratnya, gimana?" Meisya berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Pulang bareng aja, 'kan? Ayo!" Semoga saja keputusan Meisya saat ini benar. Meisya terpakasa melakukan ini, dari pada dia kenapa-napa. Rio sedang tidak bisa diajak kompromi. Lelaki itu benar-benar gila, terobsesi padanya yang jelas-jelas sudah mempunyai seorang suami. Rio menggeleng. "Sayangnya gue nggak cuma pengen pulang bareng aja. Tadi sih, iya. Sekarang gue berubah pikiran. Ada hal lain lagi yang gue pengenin." "Apa?" "Gue pengen lo cium gue, di sini... " Rio menunjuk bibirnya. Sudah lama dia membayangkan bisa merasakan bibir Meisya berwarna merah muda yang sepertinya tampak alami dimatanya. Begitu menggoda, istrinya orang satu ini memang mempesona. Tangan Meisya yang satu lagi mendarat dengan cepat di pipi Rio. "Lo jangan kurang ajar sama gue, b******n!" umpat Meisya. Dari tadi dia berusaha menahan emosinya, Meisya sungguh tak menyangka jika Rio akan keterlaluan seperti ini. Rio mencengkram rambut Meisya. Tak terima dirinya ditampar oleh perempuan itu. "Lo jangan sok suci, cewek sialan! Cewek kayak lo gini, gue yakin menikah karena ngincar harta doang. Bilang sama gue, lo butuh berapa agar gue bisa tidur sama lo?" "Gue bukan orang yang kayak gitu, b******k!" desis Meisya. Rio tertawa sumbang. "Nggak percaya gue." Meisya rasa percuma dia mengelak seperti apa pun, lelaki di dekatnya ini tidak akan mempercayainya. Meisya terus meronta dan dia berteriak, namun mulutnya segera ditutupi oleh tangan besar lelaki itu. Meisya ketakutan, tentu saja. Di dalam hati terus berdo'a agar ada orang yang lewat di lorong ini dan menyelamatkannya. Rio mendorong tubuh Meisya ke dinding. Dia melepas tangannya--memajukan wajahnya hendak mencium paksa Meisya, tiba-tiba saja bajunya ditarik ke belakang oleh seseorang. "Beraninya lo gangguin kakak ipar gue, b******k!" Seseorang yang tak lain merupakan adik sepupu jauh dari Mario itu memukul Rio bertubi-tubi. "Lo lihat aja, habis ini lo nggak bakalan tenang!" ujarnya setelah melayangkan pukulan terakhir kepada Rio hingga lelaki itu tergeletak di lantai dengan sudut bibir berdarah dan perutnya yang sakit karena terkena tendangan keras. "Ayo aku antar kakak pulang ke rumah Tante Sesil." Meisya yang tampak pucat, menganggukkan kepala begitu saja. "Aku Irfan, sepupu jauhnya Bang Mario," ujar lelaki itu menjelaskan kepada Meisya yang tampak ragu dengannya. Mereka saat ini berjalan menuju parkiran. "Aku kuliah di sini juga, tapi jurusan teknik mesin. Bang Mario minta aku untuk selalu ngawasin Kakak." Meisya mengangguk paham. "Umm... untuk yang barusan, jangan bilang sama suami aku, ya? Aku takut-- " "Maaf, kalau yang itu aku nggak bisa janji, Kak. Cowok barusan udah keterlaluan. Gimana kalau aku barusan nggak dateng?" "Tapi-- " "Dia harus dikasih pelajaran biar kapok." *** "Gue udah kasih peringatan sama lo beberapa hari yang lalu. Dan, lo abaikan itu?" Mario pernah mencegat Rio beberapa hari yang lalu ketika lelaki itu baru saja dari tongkrongannya di sebuah cafe pada malam hari. Dia memberikan peringatan kepada lelaki itu untuk tak lagi mendekati istrinya. Namun, berita yang didapatnya hari ini membuat darah Mario mendidih. Istrinya nyaris dilecehkan! Begitu mendapatkan info dari Irfan, Mario langsung menyuruh orang suruhannya untuk membawa lelaki bernama Rio itu hari ini juga ke hadapannya. Mario cabut dari kantor setelah mendapatkan informasi dari orang suruhannya kalau Rio sudah dibawa ke sebuah gedung tua yang tidak terpakai. Mario mencengkram kuat rambut lelaki yang sedang terikat di bangku saat ini, hingga lelaki itu mendongakkan kepala. Lalu, Mario menampar pipinya dengan tangan satu lagi. "Lo nggak tahu gimana berharganya dia bagi gue," lirih Mario setelah puas menendang, memukul dan menampar lelaki itu. Hatinya tersayat tak dapat membayangkan betapa paniknya Meisya saat itu. Alih-alih menemui Meisya terlebih dahulu, Mario lebih memilih untuk mengurus b******n ini. Baru lah setelah urusannya selesai, dia bisa menemui Meisya dalam keadaan tenang. "Bawa dia ke rumah sakit," ujar Mario kepada salah satu anak buahnya. Rio telah terkapar di lantai dengan kursinya yang sudah ambruk. "Dan awasi dia selama di sana." Mario memang kejam apabila menyangkut orang yang disayangnya. Tapi, dia masih sedikit punya hati. Mario tidak mau menghilangkan nyawa seseorang. Sebelum beranjak pergi, Mario berkata, "Satu lagi, jangan lupa hancurkan usaha orang tuanya. Dan, buat adik perempuannya merasakan apa yang istri gue rasain hari ini!" *** "Istri saya mana, Bi?" tanya Mario kepada asisten rumah tangganya. Dia baru saja tiba di rumah setelah pukul 7 malam. Dilihatnya tidak ada Meisya dan Adya yang biasa bermain di ruang keluarga menyambutnya pulang bekerja. "Ada di kamar, Pak." "Kalau Adya?" "Di kamar juga. Dia baru aja tidur barusan." Mario mengangguk, lalu menuju kamarnya. Saat pintu kamarnya terbuka, dilihatnya Meisya yang sedang berbaring ke arah kiri di atas ranjang dengan cahaya minim karena lampu kamar telah diganti dengan lampu tidur. Entah apa yang dilihat oleh istrinya itu, sehingga tak menyadari kehadirannya. Mario melangkahkan kaki ke arah ranjang. Mario baru menyadari jika bahu istrinya bergetar di saat dia berada di dekatnya. Istrinya tengah menangis dalam diam. Kedua tangan Mario mengepal. Apa ini masih ada kaitannya dengan apa yang dialami istrinya tadi siang? Kalau iya, Mario rasanya ingin menghajar lelaki itu kembali. Mario menyentuh lengan Meisya pelan. "Sayang... " Perlahan, Mario membalikkan tubuh Meisya. Hati Mario serasa ditusuk belati melihat air mata istrinya yang bercucuran. Mario menyeka air mata Meisya dengan ibu jarinya tanpa bertanya apa-apa. Mario ikut berbaring dan merengkuh Meisya ke dalam dekapannya. Di dadanya, tangis perempuan itu pecah kembali. Mario mengusap-usap punggung istrinya itu untuk menenangkan. "Ta-di aku-- " "Ssstt... jangan bicara apa-apa lagi. Dia nggak akan ganggu kamu lagi." Mario mengecup puncak kepala Meisya berkali-kali. "Maaf, aku nggak ada di sana buat nolongin kamu." Meisya menggeleng. Baginya, apa yang dilakukan Mario sudah lebih dari cukup dengan meminta adik sepupunya itu mengawasinya. Coba kalau tidak, Meisya tak tahu apa yang akan terjadi padanya hari ini. Lelaki bernama Rio itu bukan hanya sekedar suka, tapi lebih tepatnya terobsesi padanya. "Besok, kamu nggak usah kuliah dulu. Semisal kan ada tugas atau apa pun biar aku yang urus." Meisya mengangguk lemah. Dia sepertinya masih syok dan perlu waktu untuk kembali datang ke kampus. Meisya yakin, suaminya akan melakukan apa saja demi dirinya. Setelah Meisya tidur, Mario menuju balkon kamar untuk menelpon anak buahnya. "Gimana? Semua udah beres?" tanyanya sambil menyalakan menghisap sebatang rokok di tangannya. Sudah lama Mario tak merokok, sejak menikah dengan Meisya dia meninggalkan beberapa kebiasaan buruknya. Dan malam ini, dia perlu benda ini untuk melampiaskan emosinya. "......... " "Bagus." ".......... " "Ya udah. Nanti saya transfer buat bayaran kalian." Mario mematikan sambungan teleponnya. Tak lama setelah itu, ada video dan beberapa gambar yang dikirim padanya. Mario tersenyum puas. Sebenernya Mario juga tak ingin berbuat kejam seperti ini. Tapi, ini menyangkut orang yang disayangnya. Siapa pun, pasti hatinya akan merasakan sakit ketika orang yang disayangi mengalami suatu kejadian buruk. Mario tak peduli bagaimana reaksi terkejut anak buahnya kemarin saat dia memerintahkan itu. Mereka tak akan paham karena tak mengalami apa yang dia rasakan. Mario hanya ingin Rio merasakan balasan yang setimpal. Hanya dengan membuat lelaki itu babak belur saja, belum tentu lelaki itu akan berubah. Makanya, Mario mengikutsertakan anggota keluarga lelaki itu. Bukan tanpa alasan Mario melakukan itu. Dia sudah berpikir panjang. Mario tidak akan mengambil keputusan sembarangan. Mengenai usaha toko mebel orang tua Rio yang cukup besar, Mario sengaja membuat usaha itu bangkrut dengan membakarnya. Katakan lah Mario kejam, dia rasa dengan melakukan itu akan berimbas juga kepada Rio ke depannya. Lelaki itu tidak akan sombong dan semena-mena lagi pada perempuan dengan menggunakan uang yang dimilikinya. Tentunya, uang yang didapat dari orang tuanya. Mario sudah menyelidiki semua tentang Rio. Bagaimana dia memperlakukan seseorang yang dia inginkan. Dan untuk adiknya Rio, Mario tidak menyuruh anak buahnya sampai memperkosanya. Mario hanya menyuruh mereka untuk menakut-nakutinya. Setelah itu, merekamnya dan mengirimkan video itu kepada Rio. Impas. Setidaknya Rio juga harus merasakan bagaimana hal sama sepertinya. Ketika orang yang disayang merasa ketakutan dan dirinya tidak ada di sana untuk menyelamatkan. Begitu pun dengan Mario yang panik ketika mendapat info buruk dari adik sepupunya, sementara dia tidak ada di samping Meisya saat itu. Tak ada yang salah. Kadang kita terpaksa melakukan sesuatu hal yang buruk demi orang yang kita sayang, tak peduli bagaimana pendapat orang lain terhadap kita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD