Mario bercerita kepada papanya perihal apa yang telah dilakukannya kepada Rio dan keluarga. Penyebab dia melakukan hal itu, yang tak lain adalah bermula dari kejadian yang menimpa Meisya.
Dia butuh bantuan papanya semisalkan ada hal yang tak diinginkan terjadi.
"Papa nggak marah?" tanya Mario melihat ekspresi papanya yang biasa saja. Padahal, dulu papanya marah besar sampai memukulnya ketika dia melakukan kesalahan yaitu, ketahuan menghamili Meisya.
Abas--papanya Mario menggeleng.
"Tapi, bukan berarti Papa benerin tindakan kamu juga."
"Terus gimana, Pa?"
"Papa maklumin perlakuan kamu itu sebagai bentuk kecewa kamu karena istri kamu nyaris dilecehkan. Tapi, kamu juga harus bisa mempertanggungjawabakan apa yang telah kamu perbuat."
"Aku 'kan udah bilang alasan aku ngelakuin itu."
"Itu berlebihan, Nak."
"Papa nggak ngerasain apa yang aku rasa hari itu. Gimana kalau Irfan telat datang dan Meisya udah dilecehkan? Istri aku bisa-bisa trauma, Pa. Papa nggak ngerti gimana rasanya di posisi aku. Aku yang nggak bisa berada setiap saat di samping istriku untuk melindunginya."
"Papa paham sekali apa yang kamu rasain. Gimana pun juga, kamu harus mikir ke depannya dampak dari apa yang udah kamu lakuin."
"Makanya itu aku minta bantuan Papa. Tapi semisal dia ngelapor ke polisi, dia juga salah. Meisya bisa laporin dia."
"Oke kalau yang itu. Yang lainnya gimana? Nggak seharusnya kamu melibatkan anggota keluarganya yang lain untuk ngebalas rasa sakit hatimu."
"Dia harus rasain apa yang aku rasa. Dan aku hanya memberikan pelajaran kepadanya agar jera."
"Dengan membakar toko milik orang tuanya juga, apa menurut kamu benar ngelakuin itu?"
"Biar dia kapok, Pa. Nggak semena-mena lagi karena biasanya manfaatin harta orang tuanya yang nggak seberapa untuk menjerat perempuan."
Abas menghela napasnya. "Itu bukan tugas kamu, Yo. Ada kalanya dia akan mendapatkan balasan atas perbuatannya suatu saat nanti. Sekarang, kamu menghancurkan usaha orang tuanya, bukan hanya berdampak untuk dia aja. Bagaimana kelangsungan hidup anggota keluarganya yang lain ke depannya? Siapa tahu, hanya usaha itu saja yang mereka miliki untuk kelangsungan hidup mereka ke depannya."
"Kamu lupa gimana kamu saat kuliah dulu? Kamu juga pernah nakal, Yo! Namun, seiring berjalannya waktu, kamu bisa berubah, bukan?"
Muka Mario memerah--mengingat betapa nakalnya dia saat masih kuliah. Dia juga suka menghamburkan uang orang tuanya, terutama untuk perempuan. Makanya, dulu dengan mudahnya dia memberi Meisya sejumlah uang saat perempuan itu meminta pertolongan padanya.
"Semua orang akan berubah pada waktunya. Papa rasa, dengan kamu memukulnya sampai babak belur dan memberikan ancaman padanya, itu sudah cukup. Papa yakin dia nggak akan berani muncul di depan Meisya lagi."
Abas menepuk-nepuk bahu Mario.
"Pergi minta maaf sama keluarga Rio itu. Akui semua yang telah kamu lakukan."
"Tapi, Pa-- "
Abas menggeleng, pertanda tak ingin ucapannya dibantah.
"Papa temenin. Apa pun yang terjadi, Papa akan usahain buat bantu kamu. Karena bagaimana pun, kamu melakukan itu demi istri yang kamu cintai."
***
Keesokan harinya, Mario mendatangi rumah Rio dengan papanya. Tak seperti dugaannya, keluarga Rio menyambut kedatangan mereka dengan baik. Awalnya, mereka sempat terkejut dengan kedatangan Abas Sanjaya ke rumah mereka. Abas yang notabene-nya seorang pengusaha terkenal. Memiliki perusahaan besar dengan cabang di mana-mana.
Mario menyampaikan permintaan maafnya dengan tulus dan direspons baik oleh keluarga itu.
Pembicaraan antara kedua keluarga itu berlangsung cukup lama dan mereka memilih untuk berdamai secara kekeluargaan.
Abas berjanji akan mengganti segala kerugian yang dialami oleh orang tua Rio. Untungnya, tidak ada setengah toko yang terbakar itu. Api cepat dipadamkam. Jadi, masih banyak yang bisa mebel yang tidak terkena kobaran si jago merah.
Dan mengenai Rio yang masih berada di rumah sakit, orang tuanya memaklumi hal itu. Tindakan yang dilakukan oleh anaknya memang tak dapat dibenarkan. Bisa-bisanya anak mereka mendekati perempuan yang merupakan istri orang dan nyaris melecehkannya. Papanya Rio malah berterima kasih karena tidak melaporkan anaknya ke pihak berwajib.
"Sekali lagi, saya dan anak saya mohon maaf," ujar Abas sebelum beranjak pergi dari sana. "Nanti, ada orang saya yang akan mengurus semuanya. Kalau ada yang kurang, jangan segan untuk menghubungi saya."
Abas memberikan kartu namanya kepada papanya Rio.
"Sama-sama, Pak. Terima kasih juga atas itikad baiknya mengunjungi kami. Saya juga minta maaf atas perlakuan Rio kepada menantu Bapak."
Mario tersenyum begitu keluar dari rumah keluarga Rio.
"Udah lega sekarang?" tanya Abas ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
Mario mengangguk.
"Lain kali jangan diulang lagi. Cukup kali ini Papa bantuin kamu nyelesaiin semuanya."
"Iya, Pa. Nggak akan lagi."
"Bagus."
***
Meisya sudah masuk kuliah lagi seperti biasa. Namun, dia selalu diantar jemput oleh Pak Bimo. Sopir yang sudah mengabdi selama kurang lebih 10 tahun bersama keluarga Mario itu, selalu datang menjemput Meisya satu jam sebelum kelas Meisya berakhir. Layaknya seorang bodyguard, Pak Bimo menunggu Meisya tak jauh dari kelas perempuan itu berada. Dan Meisya sama sekali tak merasa keberatan. Dia memaklumi hal dilakukan suaminya itu sebagai bentuk perlindungan untuknya.
Walau sudah dipastikan tidak akan ada lagi yang mengusiknya, tetap saja Mario meminta Pak Bimo untuk menjaga Meisya di saat dirinya tak berada di sisi perempuan itu.
Sebenarnya Pak Bimo sudah kembali lagi menjadi sopir orang tuanya Mario sejak lelaki itu sudah rutin mengendarai mobil sendiri. Namun, Mario kembali menariknya menjadi sopir pribadi Meisya karena sekalian untuk menjaga istrinya itu. Pak Bimo sendiri yang baru berusia 31 tahun, juga sudah menguasai ilmu bela diri. Makanya, dia selalu menjadi andalan di keluarga besar Mario.
"Gimana kuliah kamu hari ini?" tanya Mario pada Meisya di sebuah restoran. Dari kampus, Meisya menuju restoran yang tak jauh dari kantor Mario agar mereka bisa makan siang bersama.
"Lancar."
Mario manggut-manggut.
"Sore ini jadi mau ke rumah sakit?"
"Jadi."
"Kamu yakin?"
Meisya mengangguk sembari tersenyum. "Aku nggak apa-apa, kok."
Mario dan Meisya akan menjenguk Rio ke rumah sakit hari ini. Awalnya, Mario sama sekali tak berminat menceritakannya kepada Meisya. Namun, istrinya itu malah tahu dari Sesil yang kelepasan berbicara.
Meisya tidak marah pada Mario. Dia tak menyangka jika suaminya itu sampai segitunya membalas apa yang dilakukan Rio padanya. Mengetahui Rio yang sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit, Meisya ingin mengetahui bagaimana keadaan lelaki itu. Meisya telah memaafkannya. Namanya manusia, wajar apa bila melakukan kesalahan. Yang penting, setelah ini mau berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan Meisya harap, Rio juga nantinya menemukan seseorang yang benar-benar tulus kepadanya.