"Bang Wira!" Zia menjawab dengan nada mantap.
"Kak Zia, masa Acil Fani sama Bang Wira? Tidak cocok ah!" Risma menolak. Baginya tidak cocok kalau Acil Fani yang dewasa dipasangkan dengan Wira yang usianya lebih muda. Lagi pula Wira adalah keponakan Fani.
"Bang Wira keponakan aku, Zia." Fani juga menolak perjodohan itu. Ia memang menyukai Wira, tapi sejak awal mengingatkan dirinya kalau hal itu tidak benar. Bagaimanapun Wira adalah keponakannya, anak dari kakak tirinya.
"Tapi boleh nikahkan?" Zia tidak terima wacana perjodohan yang ia sampaikan ditolak.
"Memang boleh, tapi terkesan tidak pantas, Sayang." Fani menggelengkan kepalanya dengan pelan, berusaha menjaga perasaan Zia agar tidak tersinggung. Takutnya Zia tersinggung dan menyulitkan Risman nantinya.
"Memangnya Acil Fani sudah punya pacar ya?" Risma penasaran ingin tahu apakah hasilnya sudah memiliki pacar. Karena Risma belum pernah mendengar Fani membicarakan seorang pria secara serius.
"Tidak ada." Kepala Fani menggiring pelan. Fani memang tidak memiliki pacar. Karena selama kuliah ia sangat menjaga pergaulannya. Fani tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Tujuan utamanya adalah jadi sarjana, lalu bekerja.
"Aku dengar ada yang melamar Acil Fani." Risma teringat obrolan Abba dan Amma nya.
"Siapa?" Zia langsung bertanya dengan cepat. Penasaran siapa yang melamar Fani.
"Anak temannya Kai Irfan. Bos kandang kata Abba." Risma menjelaskan info yang ia dapatkan dari obrolan Abba dan Amma nya.
"Aku belum ingin menikah." Fani menggelengkan kepala. Tujuan hidupnya saat ini masih ingin bekerja.
"Ya sudah. Kalian bertiga bicara saja tentang perjodohan ini ya. Paman mau mandi dulu." Abi bangkit dari duduknya. Abi tidak ingin ikut campur masalah ini. Fani pasti bisa mengatasinya, karena sudah cukup dewasa.
"Ih malah pergi. Tidak seru dong!" Zia menggerutu.
"Iya nih, Paman Abi, tidak seru!" Risma juga menggerutu.
"Sudah biarkan saja. Kita ganti topik saja yuk. Topik rencana interior rumah Zia." Fani menenangkan dua keponakannya. Usahanya berhasil. Seru sekali mereka membicarakan hal itu.
Sementara itu.
Abi masuk ke dalam rumah setelah minum air yang dituangkan Fani tadi.
Abi naik ke lantai atas untuk mandi biar bersiap ke mushola. Abi membuka pintu kamarnya, lalu menutup kembali. Abi membuka pintu balkon. Ia berjalan menuju balkon. Tiap sore itu dilakukannya. Pemandangan dari atas balkon kamarnya cukup indah. Menatap matahari yang tenggelam. Di kampungnya tidak banyak rumah bertingkat. Hanya beberapa buah saja rumah bertingkat. Kebanyakan adalah rumah milik keluarga Ramadan. Rumah mereka ini, rumah Ardan, rumah Aya, rumah Afi, rumah Zizi, rumah Ara. Sedang rumah Aan tidak bertingkat. Masih mempertahankan model dahulu. Tidak ada perubahan yang mencolok pada rumah itu selain tambahan kamar saja.
Keluarganya memang konglomerat rapi tidak ada yang mempertontonkan harta mereka. Karena itulah Abi merasa tidak cocok dirinya jika menikah dengan wanita yang terbiasa hidup dalam lingkungan orang kaya. Abi lebih menikmati hidup yang seperti ini. Sederhana dan apa adanya tak mementingkan tentang penampilan. Masalah pakaian pun, Abi membeli yang sederhana saja. Pakaian bermerek ia punya, tapi hanya dipakai dalam momen penting saja. Karena dalam keluarganya, mereka sering mengenakan pakaian seragam dalam acara.
Abi menatap jauh ke depan. Pucuk mushola yang terlihat olehnya. Mushola yang usianya entah sudah berapa. Mushola itu sudah ada sejak zaman dulu. Sejak Kai Raka masih kecil. Beberapa kali direnovasi sehingga menjadi lebih baik setiap waktu. Tak ada yang berubah dalam kegiatan mushola. Masih tetap ramai seperti dahulu kala. Artinya warga kampung masih dalam adat yang sama. Meski kehidupan mereka sudah modern, tapi tidak meninggalkan adat istiadat dan kebiasaan dalam beragama.
"Abi!" Terdengar ketukan di pintu dan panggilan suara Amma.
"Ya. Sebentar, Amma." Abi berjalan keluar dari balkon masuk ke dalam kamar lalu membuka pintu. Amma nya terlihat di depan pintu. Dengan wajah segar tampak sudah mandi.
"Baru pulang?" Tanya Amma.
"Iya, Amma." Kepala Abi mengangguk.
"Kita dapat undangan dari keluarga Raina. Malam ini kita makan malam di rumah mereka. Tidak usah salat magrib ke musala. Karena habis maghrib kita akan berangkat ke sana." Amma memberi informasi tentang undangan makan malam dari keluarga Raisa.
"Kai dan Nini?" Abi bertanya tentang Kai dan Nini nya.
"Mereka tidak mau ikut. Risman dan Zia yang akan menemani di sini." Amma menjelaskan tentang Kai dan Nini. Kedua mertuanya itu memang sudah sangat jarang mau keluar rumah. Kalau tidak penting betul mereka tidak akan pergi. Karena usia mereka yang sudah tua, tubuh mereka tidak sekuat dulu.
"Oh. Baiklah, aku mau mandi dulu, Amma." Abi menganggukkan kepala, setuju untuk pergi dengan kedua orang tua.
"Setelah mandi, salat Maghrib, lali kita berangkat." Rara mengatakan rencana mereka.
"Baik, Amma." Abi menganggukan kepala.
"Ya sudah. Kamu mandi saja. Amma mau ke bawah dulu."
"Iya, Amma."
Amma pergi dari depan kamarnya. Abi segera menutup pintu. Tidak ada perasaan apa-apa menerima undangan makan malam ini. Abi merasa biasa saja, karena memang tidak ada istimewa menurutnya. Tidak ada sesuatu yang membuat Abi merasa tertarik hatinya kepada Raisa.
Abi masuk ke kamar mandi. Ia melepas semua pakaian, lalu membasahi dirinya. Abi mandi dengan santai saja. Setelah mandi, ia memakai baju Koko, sarung, dan peci. Lalu turun ke lantai bawah.
Tiba di lantai bawah, ada Abba, Amma, Kai, Nini, Risman, dan Zia duduk di ruang tengah. Semua sudah mandi.
"Apa kabar, Risman?"
"Alhamdulillah, baik."
"Malam ini menginap di sini?"
"Iya."
"Perkembangan rumah kalian bagaimana?"
"Sudah hampir selesai."
"Semoga jadi sebelum hari raya haji ya."
"Aamiin."
Azan Maghrib terdengar. Mereka salat berjamaah. Risman yang menjadi imamnya. Setelah salat berjamaah selesai. Aay, Rara, dan Abi pamit pergi. Sementara Nini, Kai, Risman, dan Zia makan malam.
Abi yang menyetir mobilnya. Abba duduk di sampingnya, sedang Amma duduk di jok belakang.
"Kenapa Afi sekeluarga tidak diajak?"
"Irfan sedang tidak enak badan. Mungkin kelelahan setelah dari luar kota."
"Oh."
"Katanya tadi pagi Raisa mampir ke kantor. Apakah itu benar, Abi?"
"Iya, Amma."
"Ada apa dia mampir ke kantor?"
"Membawakan kopi panas dan kue."
"Untuk kamu?"
"Iya, Amma."
"Lama kalian mengobrol di kantor?"
"Tidak, Amma. Karena ada tamu penting yang datang ke kantor untuk membahas kerjasama. Jadi begitu mengantarkan kopi dan kue dia langsung pulang."
"Kue apa?"
"Aku tidak tahu namanya."
"Wah pasti enak tuh!"
"Aku bagikan kepada teman-teman kantor."
"Kenapa tidak dibawa pulang?"
"Kalau sudah dingin tidak enak lagi, Amma. Lagi pula menurutku lebih pas roti pisang dan bingka yang ada di kampung kita."
"Produksi toko kue tentu lebih enak."
"Tergantung kita yang menilainya."
"Iya itu benar." Abba setuju dengan Abi.
*