Cacian

1287 Words
"Biarlah orang lain memandang kita sebelah mata saat kita sedang berusaha dan merintis dari bawah. Kita lihat apa respon mereka saat apa yang kita usahakan ini sudah berhasil nantinya." ****     "Loh, Li kamu kok sendiri yang lain mana?" tanya Angelina saat melihat Lili menyerahkan Eveline sendirian.   "Mereka lagi di ruangan yang buat ngerangkai alat, Nyonya," jawab Lili.    "Mereka langsung buat hari ini?"   "Iya, Nyonya."    "Duh mereka ini. Aturan bantu yang lain dulu untuk siap-siap bukan malah langsung kayak gitu." Angelina kan tidak enak, mereka baru di sini tapi seakan sudah orang lama. Respon orang-orang saja semalem benar-benar membuat Angelina takut, takut mereka diusir dari sini.   "Jadi itu suami kamu ya, nak yang semalem membuat rencana untuk menghancurkan monster tersebut." Angelina melihat ke Ibu Mirna yang masih bersamanya memotong wortel.    "Iya, Bu. Saya jadi enggak enak aja kita orang baru udah masuk-masuk ke tempat lain. Takut, dikira enggak sopan."    "Sebenernya enggak papa. Toh, ruangan ini juga siapa saja boleh memakai asal tidak merugikan." Angelina hanya menghembuskan napasnya. Lili memilih untuk membantu Angelina memasak di sini toh di sana sudah ada anak-anak Harry. Dia takut kalau Angelina butuh bantuan menjaga Eveline. *****      Harry dan anak-anaknya berkutat dengan alat-alat mereka. Anak-anaknya hanya membantu jika Harry membutuhkan sesuatu. Gorge pun juga sama. Harry dengan serius melihat sketsa yang sudah dia buat. Alat-alat hampir semuanya ada di sini. Mungkin Hany beberapa saja yang tidak lengkap.   "Kamu ngelakuin Hal kayak gini dari kapan, Har?" tanya Gorge untuk mencairkan suasana yang hening.   "Saya ngelakuin kayak gini udah lama. Dulu Papa saya sering membuatkan mainan untuk saya karena tidak mampu membeli. Ternyata sekarang berguna juga."   "Kamu yakin ini bakal berhasil?"   "Tidak. Tapi, saya tetap akan membuat monster itu mati."   "Kenapa ingin sekali menghancurkan monster itu Harry? Banyak orang di sini lebih memilih hidup dengan aman di sini tanpa ada monster yang menganggu."   "Tapi, kita tidak tahu sampai kapan tempat ini akan menjadi aman bukan?  Kalau monster itu sudah tidak ada kehidupan akan kembali lagi seperti dulu. Masa depan anak-anak bisa kembali cemerlang." Gorge melihat keseriusan Harry memang sangat kuat. Dia tidak peduli dengan berbagai tantangan yang bisa saja Membahagiakan dirinya nantinya.    "Kalau sampai akhirnya, anda yang kenapa-kenapa bagimana?" tanya Gorge lagi.   "Saya akan tetap melakukan apapun untuk anak saya sekalipun saya yang harus kenapa-kenapa." Jawaban Harry membuat Estel dengan serius mendengarkan ucapan Papinya. Papinya ingin melakukan ini untuk anak-anaknya Dan orang lain lalu bagaimana dengan dirinya. Kalau kayak gitu Estel tidak setuju. ....        Seharian setelah merangkai alat yang hampir jadi itu Estel jadi pendiam. Walaupun umurnya yang masih kecil tapi pikirannya sudah dewasa. Papi Maminya selalu menganggap kalau Estel yang sulit diatur padahal Estel hanya ingin menunjukkan yang terbaik.    "Estel kamu kenapa diem aja?" tanya Maminya. "Enggak papa, Mi."   "Enggak biasanya kamu diem aja. Ada masalah?" tanya Maminya mendekat ke arah anaknya. Suaminya masih merangkai alat seperti radio walaupun bukan radio asalkan alat itu bisa untuk bersuara nyaring Dan membuat monster itu merasakan sakit.   "Pi, Mi...." ucap Estel berbicara kepada kedua orang tuanya.   "Ya kenapa?" tanya Maminya lagi.   "Kenapa Estel? Muka kamu murung banget, nak."   "Aku mau minta sesuatu sama kalian boleh?" tanya Estel lagi. Papi Maminya saling berpandangan Dan tersenyum.    "Tentu selama kita bisa. Kita bakal kasih."    "Aku mau kita netep di sini aja, Mi, Pi. Enggak usah bunuh monster itu aku takut."    "Loh kenapa?" tanya Papinya tidak mengerti dengan anaknya yang tiba-tiba mengatakan Hal itu.   "Aku enggak mau aja kalau Papi banyak berkorban buat kita yang ada Papi sama Mami ninggalin kita."  Harry meletakkan barangnya.   "Estel Papi ngelakuin ini demi masa depan kalian. Papi enggak mau kalian enggak bisa menggapai masa depan kalian. Lagian dengan kita bisa ngancurin monster itu bukan cuma keluarga kita aja yang bebas tapi semua orang. Kita bakal hidup seperti dulu lagi, nak."    "Tapi, kalau ini membahayakan untuk Papi kenapa harus dilanjutkan?"   "Semoga aja enggak kamu percaya Dan yakin aja kalau semua Sudah ada jalannya."   "Di sini kan tenang, Pi monster itu juga enggak bakal dateg. Atau kita buat aja sekolah di sini. Siapa pun yang pinter ngajar kita bakal belajar di sini." Estel tetap membujuk orang tuanya untuk tidak mencoba-coba membunuh monster itu. Walaupun pada awalnya dia setuju tapi dia merasa ragu saat ini. Takut kalau semua yang mereka rencakanan malah berakhir berantakan."   "Estel bisa kita belajar kayak gini tapi tetep aja Papi mau kita semua terbebas dari monster itu." Estel menghela napasnya kasar. Papinya keras kepala dia tidak akan bisa dengan mudah menyuruh Papinya untuk tidak melakukan itu. Tapi, dia juga takut.    Salah seorang langsung memyidirnya, "Anaknya aja bilang kayak gitu tapi kekeh aja mau ngelakuin itu. Gimana sih. Enggak kasihan sama anak? Udah mikir nyawanya banyak?"    "Maaf, bu saya enggak mikir kayak gitu. Saya cuma mau yang terbaik untuk kita semua Dan menurut saya ini yang terbaik."   "Terserah ingat ya jangan pernah nyoba di daerah sini. Kita enggak mau kalau tempat kita ini kayak dulu lagi. Bukannya orang baru sadar diri malah seenaknya lagi." Orang tersebut langsung meninggalkan Harry dan keluarganya. Padahal, tadinya mereka sedang di dekat sana menghangatkan diri dekat dengan api unggun.   "Udah enggak usah dengerin mereka kita fokus aja sama tujuan kita. Estel kamu kan ngeliat semua yang kemarin Papi lakuin jadi tenang aja." Harry mengelus kepala anaknya lalu dia bangkit. Dia bangkit untuk menyimpan alat-alatnya besok dia akan mencobanya. Alat ini mungkin sudah bisa digunakan.    "Oh iya, Estel besok ikut Papi ya. Biar kamu lihat." Harry berbalik lagi ke arah Estel.    "Emangnya udah siap?" tanya Estel.    "Yuk ikut Papi kita coba di ruangan yang tadi." Estel mengangguk dia yang tadinya tidak setuju pun juga penasaran ingin melihat hasilnya. Estel mengikuti Papinya begitupun dengan keluarganya. Lili mengikuti mereka pula karena dia tidak dekat dengan siapapun di sini. Ada juga Joe tapi Joe yang dia kira bisa membantu ternyata Lili salah. Sudah sewajarnya dari awal Lili tidak mempercayai siapapun selain keluarga Harry yang membantunya sedari awal. Keluarga Harry yang selalu ada bersamanya. Apalagi Angelina yang sudah menganggapnya sebagai anak.    "Li kamu kalau mau istirahat duluan aja enggak papa," ucap Angelina.   "Enggak nyonya saya juga mau lihat. Supaya nanti bisa bantu juga."   "Lili kamu bukannya tadi ngantuk ya?" tanya Steven. Steven mengamati Lili yang menguap dari tadi.   "Enggak kok aku enggak ngantuk. Mau lihat juga penasaran," jawab Lili sambil tertawa.     Dari jauh Joe Dan teman-temannya melihat keluarga baru itu. Mereka baru tahu ada tambahan anggota di tempat ini.    "Itu yang katanya bisa bunuh monster bener?" tanya temennya.   "Katanya sih gitu," jawab Joe yang juga sebenarnya tidak yakin dengan mereka.    "Masa sih. Enggak yakin gue. Kita aja yang kerja bareng-bareng banyak yang enggak selesain malah si Yoni mati waktu itu gara-gara monster itu."   "Eh tapi denger-denger ya. Mereka juga sempet ngalamin musuh lain selain dari monster dari manusia kanibal juga."    "Kata siapa? Emang bener manusia kanibal ada beneran? Gue kok enggak yakin. Ya jaman sekarang gitu masa ada manusia makan manusia." Rekan-rekan Joe malah sibuk dengan pendapat mereka masing-masing tapi ada yang membuatnya tertarik. Manusia kanibal apakah itu benar? Joe bahkan belum pernah mendengarnya.   "Tunggu tadi kata lo manusia kanibal? Mereka ngadepin yang namanya manusia kanibal juga?"   "Iya, Joe. Soalnya sore tadi Pqk Gorge kan gue tanya-tanya emang tuh orang dari mana semua dijelasin sama Pak Gorge katanya mereka orang pinter bisa ngerangkai-ngerangkai sesuatu gitu. Dia juga yang buat manusia kanibal itu pada mati. Menurut kalian pada percaya enggak sih?"    "Emm ... Kalau gue sih enggak percaya karena belum lihat langsung ya jadi ya enggak."   "Kalau gue sedikit percaya aja. Soalnya masa kayak gini makanan pada susah. Bisa makan aja sukur apalagj makanan kita enggak kayak dulu yang siap Saji sekarang makanan malah kayak hewan. Ya jadi mungkin aja karena susah cari makan mereka saling bunuh." Joe mendengarkan pendapat mereka masing-masing. Tapi, perkataan mereka ada benarnya juga. Manusia kanibal itu mungkin ada waktu itu. " ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD