Pandangan Serius

2009 Words
"Apakah ini sebuah pertanda kalau semua akan berakhir." *** Saat mereka datang betapa takjubnya saat tempat terpencil itu ternyata memiliki keindahan. Estel juga sedikit tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Harry mulai bertanya kepada Laki-laki tua yang bernama Gorge.  "Gorge kamu yakin ini tempat mereka semua? Di sini seakan damai, apa monster itu tidak pernah menghancurkan tempat ini." Gorge tersenyum mereka tetap masuk ke dalam sana. Gorge dipandang oleh banyaknya orang di dalam sana. Estel bersembunyi di belakang tubuh Harry. Dia takut semua orang melihatnya dengan serius.      "Entahlah semenjak ada orang pertama kali yang mendiami di sini, mereka dengan baik mengajak semua orang berkumpul di sini. Dia tidak peduli kalau banyak orang yang menghianatinya karena memang ada yang seperti itu."   "Menghianati seperti apa maksudnya?" tanya Harry lagi tidak mengerti.   "Di sini memang tempatnya nyaman, kita bisa berbicara tanpa harus bisik-bisik seperti di luar hutan tadi. Tapi, ada salah satu orang yang dengan teganya membuat gaduh hingga monster itu datang Dan menghancurkan ini semua. Ini hanya masih tahap perbaikan dulu tempat ini lebih bagus."   "Manusia itu pasti serakah hanya ingin menguasai tempat ini sendiri makanya dia coba hal-hal bodoh yang membahayakan orang lain," saut Steven menyela ucapan mereka berdua.   "Tidak seperti itu. Mereka memang datang ke sini, salah satu keluarga mereka ada yang terjatuh dari tebing itu." Gorge menunjuk ke arah atas tepat tebing yang tinggi itu.     "Di sana tempat kita bisa mencari makan kalau keadaan mendesak Dan tidak bisa keluar hutan lebih jauh, di sana ada semacam ladang jagung, tapi kan tidak bisa setiap selalu kita ambil belum lagi kalau kita masih proses menanam. Lalu, salah satu dari keluarganya itu ada yang terperosok ke dalam tebing itu Dan tewas. Mereka malah menyalahkan kita semua karena mendorongnya padahal jelas dia jatuh sendiri. Akhirnya dia dendam Dan membuat kegaduhan saat kita semua tidur malam hari. Dengan sekali hentakan dia membuat bom yang meledakkan tempat ini, setelah itu monster pun datang menghabisi kita semua yang tidak siap untuk menyelamatkan diri."   "Dasar jahat, kalau mau mati kenapa harus sama orang-orang bukannya sendiri aja menyusahkan orang lain." Lili juga ikut menyahuti ucapan mereka bagaimana tidak kesal kalau apa yang mereka lakukan itu seenaknya saja tanpa memikirkan orang lain.    "Yaudah yuk, kita masuk saja kejadian itu sudah lama Dan mereka semua pun sudah melupakan Hal tersebut." Gorge mengajak mereka masuk, menggeser kawat-kawat berduri sebagai batas untuk masuk ke daerah mereka.     Gorge mengenalkan kepada mereka semua keluarga Harry. Mereka tidak memandang senang tidak memandang tidak suka juga. Wajah mereka datar melihat dari atas sampai bawah. Setelah itu Gorge pun menjelaskan yang sebenarnya.   "Jadi, dia ini adalah salah satu keluarga yang kamu temukan di tengah hutan tadi. Mereka tidak ada tujuan, lalu mereka bilang mereka menemukan sebuah tempat di mana isinya orang-orang yang berkumpul Dan itu tempat kita. Jadi langsung saya ajak saja ke sini."   Salah satu orang langsung celetuk kepada Gorge, "Tempat kita ini semakin penuh kalau tambah orang terus bagaimana kalau bahan makanan kita semakin berkurang juga?" tanya salah satu wanita. Harry dan keluarganya saling pandang dia jadi tidak enak membebani mereka di sini.   "Gorge lebih baik kalau kita tidak boleh ke sini, kita pergi saja. Biar kita cari tempat lain." Gorge mengelus pundak Harry.   "Kita ini kan ingin kembali seperti dulu, kita butuh bersatu mungkin memang bahan makanan akan semakin sulit, tapi kalau kita tidak bersama-sama akan sulit menghancurkan monster itu. Lagian, Harry ini pandai Merancang sebuah alat untuk menghancurkan monster itu. Sedangkan istrinya Dan anak perempuan mereka bisa meracik obat untuk mengurangi rasa sakit hanya dengan tanaman herbal. Kita bisa saling menguntungkan di sini," ucap Gorge dengan jelas. Mereka hanya mengangguk menerima.   "Yasudah kalau begitu kamu terima mereka hadir di sini. Mungkin dengan mereka ada kita bisa membangun bersama-sama lagi kota yang sudah hancur itu kembali utuh." Harry tersenyum lega mereka menerima Harry di sana.     "Terimakasih, sebelumnya. Terimakasih telah menerima istri Dan anak-anak saya untuk bergabung di sini." Mereka mengangguk dan tepuk tangan bersama. Steven dan Estel tersenyum mereka seakan kembali seperti dulu lagi. Ada banyak orang di sini, tidak perlu takut dengan monster itu yang datang. .....   Malam harinya mereka sedang berkumpul bersama membakar jagung. Steven dan yang lainnya berkumpul dengan orang baru. Sedangkan Harry diajak Gorge untuk ke tempat di mana mereka, mempunyai tempat untuk merangkai sesuatu tapi sampai sekarang alat itu semua belum bisa untuk membuat mereka aman.   "Jadi ini, Harry. Di sini tempat kita Merancang alat-alat sederhana. Beberapa dari mereka ini sudah sering Merancang tapi saat dicoba belum pernah ada yang berhasil. Kita tidak pernah tahu titik lemah monster itu di mana. Bahkan mereka semua di sini memilih menyerah Dan lebih baik hidup tenang di sini," ucap Gorge.   "Tempat ini jadi udah enggak dipake lagi, Gorge?" Gorge menggeleng. Harry melihat alat-alat yang berceceran semua alat yang dirancang hanya benda-benda tajam sehingga menurutnya ini tidak efisien. Mereka hanya fokus untuk membunuh monster itu dengan kekerasan mungkin.   "Semua alatnya cuma benda tajam semua, Gorge."   "Ya, karena niat kami semua adalah membunuh monster itu tapi monster itu terlalu kuat. Kita sudah melakukan berbagai cara tapi tetap saja semua hanya memakan korban. Akhirnya sudahlah kamu putuskan untuk hidup tenang saja di sini. Kita menerima beberapa orang yang mau bersama. Sampai kita buat kota kita sepertu dulu lagi."   "Bukannya kalau kayak gitu malah kita semua enggak tenang? Saya ingin coba dengan kalian semua itu kita menghancurkan monster itu lagi." Harry meyakinkan kalau dia ke sini adalah pilihan yang tepat. Dia butuh orang-orang untuk membantunya.   "Dengan cara apa lagi? Kita semua udah sering mencoba tapi tetap saja gagal."   "Kegagalan kan bukan akhir dari segalanya. Kita coba saja lagi, dulu saya pernah membuat peluit sederhana itu mampu membuat monster itu mati. Sisanya kita buat saja pistol sederhana dari bambu-bambu yang ada. Kita buat pelurunya dari batu-batu. Tidak perlu dengan benda tajam." Gorge malah terkekeg terlihat sekali kalau Harry hanya disepelekan padahal mereka belum tahu coba.   "Harry ... Harry kamu yakin buat alat peluit doang? Kita aja yg pisau, golok, samurai udah kita coba rancang saja enggak ada yang bisa membunuh monster itu apalagi cuma alat kayak gitu." Harry hanya tersenyum ketika Gorge meremehkan alat buatannya yang sederhana. Memang kalau dipikir alat itu memang tidak layak di anggap alat yang bisa menghancurkan monster itu, malah terdengar seperti tidak masuk akal juga.   Harry membisikkan sesuatu kepada Gorge. Gorge pun mendengarkannya dengan serius. Dia mengerutkan keningnya dengan rencana Gorge itu. Apa iya yang diucapkan mereka itu benar. Tidak layak di katakan seperti itu. Tapi....   "Kamu yakin orang-orang di sini sudah tidak ada yang mau mencoba Harry. Mereka sudah tidak mau kehilangan nyawa orang-orang lain lagi."    "Gorge saya tahu rencana ini akan sulit kamu terima tapi saya berani jamin kalau kita melakukan ini semua akan berhasil." Gorge terdiam memikirkan cara yang diucapkan oleh Harry.    "Kamu yakin?" Harry dengan senyum mantapnya pun mengangguk bahwa dia memang yakin kalau apa yang direncanakannya akan berhasil. .....        Steven, Estel dan Lili berada di tengah-tengah anak-anak yang sedang berkumpul. Satu persatu dari mereka menanyakan bagaimana kehidupan mereka selama ada monster itu.    "Sama seperti kalian kita juga harus hidup dalam diam-diam rasanya tidak enak. Tapi, kalau kita sedikit berisik saja monster itu akan datang."   "Pasti kamu tertekan selama itu. Untung saja waktu itu aku Dan keluargaku langsung menemukan tempat ini."   "Aku mau bertanya kenapa monster itu kok bisa enggak datang ke sini?" tanya Steven yang penasaran. Sebenarnya sungai itu juga dibilang tidak terlalu deras masa tidak bisa monster itu dengar.   "Entahlah, aku juga enggak tahu. Tapi, aku ngalamin waktu monster itu ngacak-ngacak tempat terpencil ini. Keluarga ku jadi korbannya semua. Mereka meninggal dan aku sekarang sendirian," ucap anak laki-laki itu yang diketahui bernama Bayu.   "Terus kamu di sini tinggal sama siapa?"   "Ya sama mereka semua di sini. Walaupun di sini ada beberapa.keluarga yang utuh seperti kamu tapi di sini kita hidup bersama sudah seperti keluarga jadi aku bisa nyaman. Kalau tidak aku juga lebih baik ikut bersama keluargaku."    "Jangan bicara kayak gitu. Mungkin kamu diberikan kesempatan untuk tetap hidup karena kamu spesial. Kamu diberikan kesempatan untuk mendoakan keluarga kamu," ucap Lili menasihati Bayu. Dia juga rindu dengan keluarganya, kalau saja dia tidak bertemu dengan keluarga Steven sudah pasti dia juga hidup sebatang kara ke sana kemari tidak ada tujuan.   "Kadang aku sedih setidaknya kenapa tidak ada yang tinggal menemaniku tapi aku tahu mereka lebih bahagia di sana. Sedangkan aku yang tidak bahagia di sini."   "Udah enggak usah dipikirin, Bay kita semua kan di sini keluarga sama-sama. Jadi, yaudah apapun yang kita lakuin di sini barengan." Steven mengatakan itu sambil mengelus punggung Bayu.   Setelah itu mereka saling berbincang-bincang ringang. Lili pamit untuk melihat-lihat ke sana kemari. Di sini benar-benar nyaman tanpa ada rasa takut seperti saat di luar. Lili ingin kalau bisa memutar waktu dia bisa bersama keluargamya di sini tapi ternyata semua hanyalah bayangan yang membuat dirinya pun tidak bisa menyelamatkan keluarganya.   "Hey...." panggil seseorang kepada Lili membuat Lili langsung menengok ke belakang.   "Ngapain di sini?" tanya orang itu. Laki-laki dengan perawakan tinggi berbeda dengan dirinya sedikit, terlihat lebih tua dari Lili sepertinya.   "Eh maaf ya. Tempat ini enggak boleh sembarangan di masukin ya?" tanya Lili kikuk mundur dari tempatnya. Dia hanya ingin duduk dipinggir sungai ini. Terlihat damai dengan sungai yang masih jernih.   "Tidak, cuma aku baru lihat kamu aja."    "Oh ya kenalin aku Lili Penghuni baru di sini."    "Lili? Saya Joe. Kapan menempati sini?" tanya Joe lagi.  "Em baru tadi siang kok. Belum lama juga."   "Pantesan mukanya asing ya walaupun semua orang di sini juga sebenernya aku enggak kenal," ucap Joe duduk di samping Lili yang berdiri.   "Kenapa diri, sini duduk aja bareng,"    "Emm aku kira tadi ini tempat kamu jadi aku mau langsung pergi aja enggak enak."   "Hahaha ... Di sini enggak ada kok yang namanya tempat sendiri-sendiri semua sama-sama. Kamu sendiri ngapain di sini sendiri?" tanya Joe lagi. Padahal tadi dia sudah mengatakannya kepada Joe kalau dia memang sedang lihat-lihat saja.   "Kan tadi aku udah bilang Joe kalau aku lagi jalan-jalan aja lihat ini tempat ini soalnya 'kan emang baru tadi siang aku ke sini."    Joe cengengesan dia baru ngeh, "Hahaha ... maaf-maaf tadi aku enggak fokus. Sini duduk," ucap Joe menyuruh Lili untuk duduk di sampingnya.   "Iya," jawab Lili kemudian duduk di samping Joe.   Lama mereka hening menikmati air di depan mereka yang masih jernih Dan belum Kotor. Lili mengawali ucapannya lagi. "Kalau kamu di sini udah lama? Kelihatan tahu banget tentang semuanya."   "Tahu apa? Wkwkw bahkan aku aja belum ngasih tahu apapun tentang keadaan di sini."   "Ya kelihatannya aja sih," jawab Lili sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia juga asal ngomong aja sih, lagian hanya diem-dieman kan Lili jadi bingung sendiri.   "Wkwkw ... Iya tapi ucapan kamu bener kok. Emang aku di sini udah lama malah aku bisa dibilang periode pertama lah."   "Kayak Pemerintahan aja ada priode-priodenya," jawab Lili sambil memutar bola matanya malas.    "Ya mungkin bisa dibilang kayak gitu lah. Dulu waktu aku sama beberapa temenku di sini juga pada serakah pengen nempatin sini, Li. Pada saling berebut buat nempatin tempat di sini. Padahal, tempat ini luas bisa bareng-bareng tapi ya itu tadi manusia itu serakah tidak pernah cukup." Ucapan yang dilontarkan oleh Joe cukup mengingat keluarganya dulu. Di mana saudara-saudaranya juga dengan tega membunuh adiknya sendiri yaitu Ibunya. Mereka serakah ingin menguasai harta keluarga Lili. Belum lagi kesulitan ekonomi saat keadaan seperti kemarin membuat mereka juga saling membunuh. Joe melihat ke arah Lili yang terdiam dan malah bengong. Padahal, dia sedang menceritakan sesuatu tapi malah dianggurin.   "Lili, kenapa malah diem aja? Kamu enggak nyimak dari tadi aku ngomong apa aja?" tanya Joe menyentuh bahu Lili membuatnya kaget.   "Eh ... Maaf kalau buat kamu kaget. Soalnya kamu bengong aja dari tadi takutnya kesambet lagi," gurau Joe. Lili hanya meringis.    "Hehe ... Maaf tadi aku emang lagi kepikiran sama keluarga aku saat kami ceritain tentang keluarga kamu. Soalnya cerita kamu sama banget sama keluarga aku yang udah meninggal."    "Lah bukannya denger-denger yang datang itu satu keluarga ya. Atau kamu bukan bagian keluarga mereka?" tanya Joe bingung. Tadi dia memang sempat mendengar obrolan-obrolan orang-orang mengenai pendatang baru tapi dia juga belum tahu siapa itu. Tapi, sepertinya Lili ini orang baru juga terlihat dari pandangannya yang berbeda dengan tempat ini. ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD