"Dan akhirnya dia pun percaya untuk ikut bersama laki-laki itu."
****
Estel memandang curiga orang itu. Dia tidak tahu niat laki-laki itu apa sampai menerima Estel Dan keluarganya untuk ikut dengan mudahnya. Kalau pun Estel jadi orang itu pasti Estel tidak akan mudah menerima orang baru apalagi banyaknya orang-orang yang tidak sependapat dengannya.
"Kenapa Estel?"
"Ngapain kita ikut dia, Pi? Yakin dia bukan orang jahat?" Mereka Semua mengerutkan keningnya mendengar ucapan Estel.
"Estel kamu enggak boleh ngomong kayak gitu."
"Ya lagian kenapa dia nerima kita gampang banget, Pi sedangkan kita aja orang baru. Apa emang niat bapak tua ini memang jelek sama kita?" tanya Estel lagi. Harry menundukkan pandangannya meminta maaf. Lalu, dia mendekat ke arah anaknya.
"Estel kamu kan yang semangat cari tempat di mana banyaknya orang-orang masih berkumpul kenapa sekarang kamu malah enggak percaya." Harry berkata dengan tegas bukan marah tapi dia juga tidak enak dengan Bapak itu kalau anaknya main berbicara seenaknya.
"Estel enggak boleh kayak gitu niat bapak ini kan baik. Sebentar lagi kita akan selamat Estel dengan berkumpul bersama mereka."
"Aku enggak mau, Pi. Papi enggak belajar dari Kakek Tono sama Cucunya. Alat kita hilang gara-gara mereka yang serakah. Kita kehilangan alat penting itu."
Harry menghembuskan napasnya kasar, memang alatnya yang sudah dia pikirkan matang-matang itu hilang begitu saja. Apalagi pistolnya juga raib di mana alat itupun susah untuk didapatkan. Tapi, bukan berarti dia juga tidak percaya orang-orang.
"Sudah, Papi bilang yang hilang biarkan saja. Kita ikuti saja Paman ini. Siapa tahu dengan kita ikut dengan Paman ini kita bisa berkumpul dengan orang-orang. Selama ini kita hanya hidup bersama keluarga kita saja. Sedangkan kita tidak tahu di mana orang-orang."
"Nak. Dulu anak saya juga persis seperti kamu dia ragu untuk ikut bersama orang-orang yang masih hidup. Takut kalau orang-orang itu mencelakakan kami. Tapi, pada akhirnya kita bisa hidup berdampingan bersama mereka. Mereka bisa belajar walaupun dengan keterbatasan yang ada asal kamu tahu." Paman itu pun mendekat ke arah Estel mengelus kepala Estel agar Estel tidak perlu merasa takut bersama mereka.
"Aku tidak percaya karena aku pernah dikhianati." Mereka Semua saling pandang. Kini tugas Angelina yang meluluhkan hati anaknya. Hanya Angelina yang selalu bisa mencairkan suasana.
"Estel sayang. Paman ini kelihatan tulus kok membantu kita, kamu enggak perlu takut. Kita akan selalu melindungi satu sama lain kamu percaya 'kan sama Mami?"
"Mi, aku takut kalau kita ke sana nanti kita kenapa-kenapa. Aku enggak mau kalian kenapa-kenapa aku takut."
"Percaya sama Mami dan Papi. Kita akan baik-baik ya. Yuk kita ikut Paman ini. Hari sudah mau malam Dan juga akan turun hujan. Estel enggak kasihan sama adik kalau nanti kehujanan?"
Paman itupun langsung menyambar, "Tenang aja di sana kita seperti tempat pada umumnya. Ada rumah yang kita bangun bersama-bersama. Di sana meman aman. Kalian bisa berbicara dengan tenang tanpa kalian harus ngerasa takut." Tidak ada kebohongan dalam raut Paman itu. Sampai akhirnya Estel pun mengangguk. Dia memikirkan adiknya. Kalau adiknya sampai kehujanan nanti malah kasian jadi akhirnya dia mengalah untuk ikut.
"Yaudah, Mi aku mau ikut Paman ini." Angelina tersenyum sambil menengok ke arah lainnya.
"Baik, yuk ikut saya. Agak lumayan jauh semoga saja kita sampai sebelum hujan. Mari...." Paman itu membawa kita ke tempatnya.
Harry menengok ke kanan dan kiri. Dia percaya pasti orang ini akan mengantarkan mereka memang ke tempat tujuan. Laki-laki itu tahu tentang surat kabar yang tersebar bahwa masih banyak orang-orang yang hidup.
.....
Di sisi lain, Octa melihat ke arah pertama mereka tadi berhenti. Tapi, kenapa mereka sudah tidak ada.
"Sial, di mana mereka. Padahal aku udah cepet-cepet ambil ini semua tapi kenapa mereka malah udah pergi." Octa melihat ke arah kanan kiri. Berjalan menyusuri jalan yang di depannya sudah terlihat kota.
Kota ini sungguh berantakan. Kota Mati yang sejak monster itu muncul Octa yakin orang-orang langsung berpencar entah ke mana. Octa memang asli pedalaman. Dia mencari Werd Pamannya tapi tidak ketemu waktu itu.
Sejak monster itu muncul, dia kehilangan keluarganya. Tapi, keluarganya mengatakan kalau dia masih memiliki Paman dia pun langsung mencari Pamannya itu. Dia berharap Pamannya mau menerima dia karena dia tidak tahu lagi harus hidup bersama siapa.
Tapi, naas saat dia tahu keberadaan Pamannya. Baru dia akan menghampirinya Pamannya mati di depan matanya dan itu sebabnya dia sangat membenci Steven. Karena menurutnya Steven lah yang membuat Pamannya mati.
Padahal, Werd yang juga tidak tahu kalau dia masih memiliki seorang keponakan. Dia hanya tahu istri Dan anak-anaknya mati di tangan monster itu.
"Ah sial ke mana mereka. Lihat saja kalau sampai ketemu bisa aku pastikan mereka pasti akan mati. Mereka yang duluan membunuh Pamankuj jadi aku yang akan membunuh mereka dengan tanganku sendiri." Octa kesal karena memang tidak ada orang-orang itu sekarang. Entah ke mana mereka pergi. Padahal, setahunya mereka masih pergi ke daerah kota ini untuk mengambil barang-barangnya. Tapi, kenapa malah mereka sudah tidak ada.
.....
Hampir sejam mereka berjalan. Estel pun lelah dan lagi-lagi dia tidak percaya dengan laki-laki itu. Dia berhenti dan meminta kejelasan kenapa belum juga sampai.
"Lama banget sih kenapa enggak sampai-sampai? Apa jangan-jangan kamu boongin kita ya."
"Sebentar lagi sampai kok, nak. Memang tempatnya agak jauh tapi setelah ini kita akan sampai," ucap Laki-laki itu.
"Ya tapi sampai kapan kenapa enggak ketemu-ketemu juga."
"Estel...."
"Pi, tadi dia kan bilang sebentar kenapa belum ketemu juga. Apalagi kita Ini dengan sungai yang arusnya deras. Apa jangan-jangan kita mau dibunuh."
"Saya tidak akan memakan kalian. Tenang saja, lagian kita juga bukan manusia kanibal yang makan manusia. Memang rumah kita semua dekat dengan sebuah sungai yang deras. Monster itu tidak akan mendengarnya."
Harry pun menyahuti, "Ya memang benar monster itu tidak akan mendengar suara air ini , Stel. Itu kenapa kalau Papi ajak kamu atau Kakak kamu mencari makan di dekat arus yang deras agar kita bisa berbicara bebas. Monster itu tidak akan dengar." Estel terdiam ya benar juga arus yang deras mungkin tidak akan membuat monster itu berbunyi.
"Tapi, kenapa sampai sekarang belum sampai juga?" tanya Estel lagi. Paman itupun tersenyum dan menujuk ke arah depan. Mereka Semua melihat ke arah yang ditunjuk Paman itu betapa takjubnya mereka saat melihat ke arah depan.
.....