Perasaan Risau

3108 Words
"Ternyata jumlah mereka tidaklah sedikit." *****     Saat mereka sudah lelah menunggu, mereka memutuskan untuk pulang saja karena hari sudah semakin senja. Kalau mereka pulang terlalu malam takut malah beresiko Dan terjadi sesuatu nantinya.   "Stev ayo kita pulang saja mereka sepertinya tidak muncul lagi," ucap Harry. Udara juga semakin Dingin apalagi mereka menggunakan baju yang tidak tebal.   "Iya, Pi. Akupun sudah sangat lelah dan mengantuk," ucap Steven sambil mengucek matanya. Dia sempat ketiduran juga tadi karena lelah menunggu. Sedangkan Harry lebih memilih untuk sekalian mencari makan.   "Papi, sendiri ambil semua ikannya?" tanya Steven saat dia melihat tentengan sang Ayah penuh dengan ikan-ikan.   "Iya, tadi kamu tertidur sebentar jadi Papi tidak tega membangunkan kamu," ucap Papinya lagi.   "Kenapa? Maaf ya, Pi Steven bukan bantu Papi malah tidur," ucap Steven merasa bersalah.   "Udah enggak papa santai aja. Yuk pulang." Steven mengangguk mereka berjalan pulang. Sudah menunggu lama manusia kanibal itu untuk mencari keberadaannya tapi malah tidak ada. Jadi, mereka memutuskan untuk pulang saja.     Mereka berjalan bersama hingga tiba-tiba mendengar ada sebuah suara. Suara yang munculnya dari kanan Kiri. "Pi...."   "Tenang," ucap Papinya lagi. Dia sebenarnya gugup tapi dia harus bisa menenangkannya.   Steven membulatkan Matanya saat melihat apa yang terlihat dari sana. Dia meneguk ludahnya. Lalu, segera untuk menarik Papinya ke bawah sungai yang ada bantuan besarnya.  Papinya, tidak mengerti dengan Steven yang tiba-tiba menariknya.   "Kenapa, Stev?" tanya Papinya bingung.   "Itu orang-orang yang waktu itu membunuh Paman Werd lalu memotong kepalanya. Bukan mereka sebenarnya tapi, tampilan mereka sama, Pi," jawab Steven.   "Kamu yakin mereka? Mereka seperti manusia sama seperti kita, Stev."   "Waktu itu aku juga mengira seperti itu. Tapi, saat Paman Werd menyuruhku kabur ternyata Paman Werd di habisi oleu makhluk itu." Harry mengangguk percaya. Dia pun mengamati mereka.    Kalau kalian melihat mereka pasti tidak akan menyangka tampilan seperti orang zaman dahulu, dengan pakaian lusuh tapi memang terlihat seperti manusia sama seperti kita. Setelah mereka berjalan agak jauh Harry menarik Steven untuk mengikutinya. Dia akan mencari tahu dari mana asal mereka. Dan ada apa saja di dalamnya.   "Mau ke mana, Pi?"   "Kita ikuti mereka. Jangan sampai lolos. Kita harus cari tahu sebenarnya mereka apa," ucap Papinya lagi sambil tetap berjalan.   "Tapi, hari semakin malam kalau kita ikuti yang ada semakin bahaya karena penerangan yang sangat terbatas bahkan tidak ada." Harry menyetujuinya tapi mereka harus tetap mencari tahu.   "Udah kamu tenang aja. Pasti enggak bakal ada apa-apa kok sama, Papi. Asalkan kita jalan pelan-pelan. Ingat ya semakin hari malam, akan semakin bahaya dengan monster itu jadi kita harus berjalan dengan tenang kamu mengerti?" Steven mengangguk. Sebagai anak laki-laki dia harus seperti Ayahnya. Tidak boleh lemah.    "Stev sepertinya mereka hidup berkelompok," ucap Harry saat ternyata mereka bertemu lagi dua orang totalnya as Lima orang manusia tapi seperti manusia purba. Sangat sulit dipercaya memang saat zaman sudah maju tapi, apa yang mereka libat benar nyata.   "Iya, Pi. Mereka bertambah Dan sepertinya masih satu bagian dari mereka. Buktinya mereka tidak saling menerkan." Harry mengangguk saat melihat mereka ke arah sini. Harry pun langsung menarik Steven sembunyi.       Setelah terlihat tidak ada orang mereka melanjutkan jalan lagi. Steven dan Harry masih mengikuti mereka dari belakang. Tempat ini semakin sepi. Tidak ada siapapun. Hutan ini benar-benar mati, entah berapa orang yang masih hidup di saat seperti ini.   Lama mereka berdua berjalan mengikuti mereka sampailah mereka di tempat kubu  atau semacam tempat yang memang perkumpulan mereka di sana. Terlihat ada beberapa orang yang terkumpul di dalam sebuah jeruji besar dengan mulut di tutup. Keadaan benar-benar sunyi hanya ada API di tengah-tengahnya. Sudah seperti sama persis dengan keadaan zaman purba.   "Stev hari sudah malam kita sudah tahu tempat mereka di sini. Lebih baik kita pulang, kita bisa ke sini lagi besok."   "Tapi, kenapa tidak sekalian saja kita cari tahu, Pi dari pada kita harus bolak-balik."   "Terlalu beresiko saat malam jadi lebih baik kita pulang saja ayo." Steven menghembuskan napasnya. Dia tidak ingin datang ke sini lagi tapi dia tetap tidak bisa menolak Papinya jadi hanya bisa menurutinya.   Mereka berbalik arah berjalan untuk pulang. Untung saja tadi mereka sudah menandai setiap jalan agar tidak tersasar. Tapi, setidaknya ingatan Harry masih jelas saat mereka ke sini tadi. .....    Sedangkan di rumah Angelina sedang mengajari anaknya belajar. Walaupun, Estel belajar dengan malas-malasan tapi Angelina dengan sabar menghadapi anaknya.   "Ayo, Estel ini baca lagi."   "Udah, Mi aku capek dari tadi suruh baca mulu."   "Kebanyakan ngulangnya dari tadi. Ayo dong kamu mau pinter 'kan."   "Aku cuma mau belajar ballet, Mi," jawab Estel lalu dia bangkit untuk mengambil sesuatu.   "Estel kamu mau ke mana ayo belajar dulu. Kalau enggak belajar nanti kamu bodoh."   "Belajar pun enggak ada gunanya saat disituasi seperti ini, Mi, yang seharusnya dilakukan saat ini adalah mencari tahu gimana bisa membunuh monster itu," ucap Estel dengan membawa sesuatu membuat Maminya mengerutkan keningnya sambil memangku bayinya.   "Apa itu?"   "Kemarin saat hari sudah malam aku sempat ke rumah lama kita yang sangat berantakan. Tapi, aku sempet mengambil sesuatu," ucap Estel menyerahkan sebuah kertas yang ternyata foto kakaknya dan juga keluarganya.   "Aku nemuin foto itu di kamar, Kakak sebelum aku pingsan untung aku masih menyimpannya di saku Dan saat aku cari untung masih ketemu." Mata Angelina berkaca-kaca. Dia juga tidak menyangka anak keduanya harus mati padahal posisinya tidak jauh dari Angelina seharusnya dia bisa menolong kala itu.   Estel bangkit ke belakang Maminya. Memeluk leher Maminya lantas mengecup pipi Maminya. Angelina mengelus Pipi Estel.   "Mi, Estel enggak mau belajar, Estel mau ballet. Estel juga mau buat cara supaya monster itu bisa mati."   "Estel monster itu bukan sembarangan monster tidak ada yang bisa membunuhnya. Apalagi kamu masih kecil Hal yang paling aman kita lakukan hanyalah untuk selalu waspada," ucap Angelina lagi. Estel melepaskan pelukan di leher Ibunya.   "Sampai kapan kita di sini? Sampai kapan situasi kita kayak gini, Mi."   "Mami tidak tahu."   "Makanya itu aku mau mengalahkan monster itu."   "Estel udah kalau udah enggak mau belajar mending kamu istirahat aja. Tidak usah berkhayal untuk membuat monster itu mati. Orang-orang dewasa saja tidak ada yang bisa membunuh monster itu apalagi kamu."   "Ya makanya seharusnya kita belajar itu, Mi."   "Sudahlah, Estel khayalanmu terlalu tinggi. Mami ingin menidurkan adikmu," ucap Angelina bangkit. Estel menghembuskan napasnya kasar. Kalau Maminya tidak mau mengajarinya. Maka dia akan tetap mencari caranua sendiri.     Estel bangkit dia berjalan ke tangga hendak ke luar. Tapi, Maminya malah memanggilnya lagi.   "Mau ke mana kamu, Estel udah malem."   "Aku mau cari tahu sendiri. Kalau, Mami enggak mau kasih tahu." Angelina langsung menghampiri anaknya yang bandel itu. Bisa-bisanya anak itu ingin pergi padahal hari sudah malam.   "Estel kamu jangan aneh-aneh. Papi, kamu lagi enggak ada jangan membahayakan Mami dan adik kamu karena tingkah kamu itu." Angelina lantas menarik tangan Estel untuk turun dari tangga itu.   "Mi, Estel mau buat kita semua selamat. Mami mau kita semua enggak aman di sini. Mami, mau terus-terusan hidup kayak gini. Kalau bukan kesadaran masing-masing yang berani siapa lagi yang bisa." Estel tetap memaksa untuk mencari tahu itu.    "Kamu masih kecil. Jangan berfikiran layaknya kamu sudah dewasa. Kalau kamu mau menghancurkan, kamu fikir dengan mudah kayak kamu bikin Kakak kamu mati." Angelina yang tersulut emosi karena rasa kesalnya dengan anaknya itu. Bisa-bisanya anaknya itu malah membuat keputusan seenaknya.   "Mi—" Suara monster itu, terdengar lagi. Angelina langsung menarik tangan anaknya. Dia masuk ke dalam untuk menghampiri bayinya.     Mereka merasakan sepertinya monster itu ada di atas mereka. Angelina langsung mengambil bayinya. Dia memeluk kedua anaknya erat. Bayinya merengek, terpaksa dia Harus menutup mulut sang bayi. Monster itu semakin dekat rasanya. Jangan sampai, dia tahu keberadaan Angelina di sini. Bisa bahaya kalau sampai itu terjadi.     Lama-lama suara itu kian menjauh Dan sepertinya sudah hampir pergi. Angelina menghembuskan napasnya.    Angelina mendiamkan anaknya yang paling kecil, dia merasa takut malah kalau terjadi dengan bayinya saat dia terpaksa menutup mulut anaknya.   Estel hanya terdiam, dia sedang berpikir bagaimana caranya agar makhluk itu bisa pergi dari sini. Saat bayinya sudah aman dengan dia yang berikan ASI. Angelina menatap Estel yang masih diam di sana.   "Kamu lihat 'kan. Betapa mengerikannya suara itu? Betapa berbahaya makhluk itu. Mami, cuma enggak mau kalau kamu dalam bahaya. Mami, sudah kehilangan kakak kamu Dan enggak mungkin, Mami harus kehilangan kamu juga, Estel makanya Mami enggak mau kamu aneh-aneh."   "Estel cuma mau kita aman, Mi. Estel mau kita seperti dulu lagi aman tanpa takut dengan monster itu ataupun makhluk apapun itu."   "Enggak usah aneh-aneh, Estel. Papi sama Mami aja enggak tahu caranya supaya mereka pergi. Gimana bisa kamu yang masih kecil." Estel menghentakkan kakinya kesal. Dia lantas keluar saja Dari kamar Ibunya.   "Estel kamu mau ke mana jangan aneh-aneh lagi," ucap Angelina dia pun segera menyusul anaknya. Ternyata Estel hanya duduk di tempat biasa dia Dan Steven tidur. Dia menghela napasnya kasar.   "Maaafin, Mami, Estel. Mami enggak maksud untuk marah-marah sama kamu. Mami cuma khawatir sama kamu. Selamat istirahat ya," ucap Angelina. Dia duduk di kursi makan untuk tetap menjaga anaknya. Estel adalah anaknya yang keras kepala. Kalau dia lengah pasti anaknya kabur. Tapi, tangannya sejujurnya pegal harus menggendong bayinya. ....    Steven dan Harry terjebak gemerlap Dan mereka belum sampai di rumah. Jarak rumahnya juga masih lumayan malah mereka baru saja melewati danau tempat mereka tadi siang.   Srek....    Steven dari Harry langsung membulatkan Matanya lebar-lebar. Saat melihat manusia aneh itu ada di depannya.   Mereka langsung ingin menyerbu Steven dan Harry. "Pergi kalian mau ngapain kalian."   Mereka malah menyerang, Harry tanpa banyak berucap. Steven di dorong mundur oleh Papinya. Harry langsung menyerang mereka.   Steven maju untuk membantu. "Stev kamu ngapain?" tanya Papinya sambil melihat ke arah anaknya. Tadi, dia sudah menyuruh Steven untuk mundur tapi anaknya malah melawan manusia itu.   "Steven Papi bilang mundur."   "Enggak, Pi. Steven enggak mau diam aja saat Papi diserang."   "Stev—" Harry semakin panik. Suaranya Dan Steven pasti mengundang  monster itu untuk datang. Waktu mereka tidak banyak. Dalam waktu sepuluh detik pasti akan muncul makhluk tersebut.   "Stev makhluk itu akan muncul. Kita lari setelah teriak dan selengkat kaki mereka." Harry dan Steven masih kewalahan menghajar makhluk itu.   "Iya, Pi." Mereka meluncurkan rencananya. Setelah Harry mengaba-ngaba mereka. Mereka langsung saja teriak.   "Ahhhhhhhhh....." Makhluk itu ternyata langsung berhenti menyerang Harry dan Steven. Kesempatan ini tidak akan mereka sia-siakan untuk kabur. Jadi, dia langsung saja menarik Steven untuk berlari. Makhluk itu benar muncul. Harry mau tidak mau langsung membawa Steven bersembunyi di mana ada sebuah sumur. Dia bersembunyi dibalik sebuah sumur itu.   "Srek...." Terdengar rasanya tubuh dikoyak-koyak oleh monster tersebut. Saat ini bergeser lagi sialnya, Harry menimbulkan suara pelan. Tapi, karena monster itu berada hanya beberapa langkah dari tempatnya sepertinya monster  itu mendengarnya. Harry dan Steven segera merangkak pelan ke samping. Agar tidak menimbulkan suara. Tapi, monster itu tetap tidak pergi dari tempatnya. Masih berada di depannya. Kalau begini terus mereka akan mati, tapi tidak dia harus menutup mulut anaknya. Dan juga hidugnya untuk tidak bernapas.   Harry rasanya sudah sangat tidak kuat, dia ingin pingsan. Steven pun sama napasnya sudah semakin pendek, karena Papinya menutup mulutnya dengan sangat erat. Sungguh, dia sudah tidak kuat lagi. Perlahan-lahan napasnya semakin habis.       Mereka berdua pun lama-lama semakin tidak sadarkan diri. Entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka sudah terlalu lelah juga. ......     Angelina bangun dari tidurnya. Dia semalam tertidur di meja makan kayu. Dia mengucek matanya, bayinya masih terlelap. Dia memilih bangkit dan menaruhnya di kamar. Tangannya kebas semalaman harus memangku bayinya belum lagi semalam rewel.      Setelah dia menidurkan bayinya di kamar. Dia melihat ke tempat tidur anyaman, yang ditiduri oleh Estel. Tapi, satu sisi dia baru sadar, suaminya dam Steven belum pulang. Ke mana mereka, sampai jam segini masih belum ada tanda-tanda mereka pulang.    Angelina semakin was-was. Dia malah takut kalau terjadi sesuatu dengan mereka. Angelina naik tangga ke atas membuka penutup pintu kayu yang memang sudah dirancang dengan keras untuk berjaga-jaga. Cahaya yang masuk ke dalam mata Estel saat terbuka pintu itu membuatnya terbangun.   "Mi...." panggil Estel.   "Ya, sayang. Mami menganggu tidurmu ya," ucap Angelina karena jika pintu itu terbuka Maka akan langsung tersorot ke wajah anaknya karena posisi tempat tidur mereka yang tepat berada di bawahnya.    "Mami, mau ke mana?" tanya Estel sambil mengucek matanya dan terbangun.   "Mami mau lihat ke luar sebentar, Papi kamu sama Kakak kamu dari semalem belum pulang," ucap Angelina lagi.   "Aku ikut, Mi," jawab Estel dengan muka bantalnya tetap bangun menyusul Maminya.   "Udah enggak usah kamu tidur aja lagi, semalem kamu tidur malem kan karena, Mami."   "Enggak papa aku mau ikut Mami aja," ucap Estel lagi. Angelina yang tidak mau berdebat dengan anaknya lagi pun mengangguk dan tersenyum.   Estel pun bangkit dan menyusul Maminya naik. Sampai di atas udara sangat sejuk tapi kesepian melanda mereka.    "Papi sama Kakak dari semalem belum pulang, Mi?" tanya Estel lagi. Padahal, tadi sudah diberi tahu tapi mungkin memang anaknya belum sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya.   "Belum, Mami juga  baru bangun tapi mereka belum ada."   "Mereka baik-baik aja 'kan, Mi?" tanya Estel sambil menoleh ke kanan Kiri untuk mencari. Tapi, benar-benar tidak ada siapapun di sana.   "Semoga saja pasti mereka baik-baik aja kok. Kita berdoa aja," jawab Angelina menenangkan anaknya. Padahal, dia sendiri juga merasa khawatir dia takut kalau suami Dan anak pertamanya tidak kembali.   "Enggak ... Enggak, enggak mungkin mereka pasti kembali," batin Angelina lagi. Angelina menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau memikirkan Hal buruk malah takut terjadi sedemikian rupa seperti apa yang dipikirkan.   "Mami kenapa geleng-geleng?" tanya Estel lagi.   "Hm? Enggak kok udah yuk masuk, Mami mau bikin sarapan buat kamu," ucap Maminya lagi mengajak Estel untuk masuk. Dia menengok ke belakang lagi, berharap Suaminya Dan anaknya pulang tapi tetap saja. Tidak ada mereka. Rasa cemas dalam hati Angelina membuatnya tidak tenang. Dia belum siap kalau sampai suaminya tidak kembali.   Dia turun dari tangga, tapi karena tidak fokus kakinya terhantuk tangga Dan terkenal kukunya hingga berdarah. "Awh...."   "Mami kenapa?"   "Ayo kita buruan masuk dulu, Mami enggak papa," ucap Angelina menyuruh Anaknya untuk segera masuk dulu takut monster itu muncul lagi. Apalagi kini tidak ada Steven maupun suaminya. .....   Sampai di dalam dia melihat ke arah Kakinya. Rasanya perih, dia mengelap dengan kain yang ada.   "Kuku, Mami copot pasti perih banget," ucap Estel yang ngeri melihat kuku Maminya sampai terkelupas.   "Enggak papa kok. Udah kamu sama adik kamu aja gih di di kamar, Mami mau masak dulu buat kita makan."   "Biar, Estel bantu aja, Mi dari pada Mami sendiri. Adik juga diem kok."   Angelina pun membiarkan Estel untuk membantunya. Dia jalan dengan terpincang-pincang dengan menahan perih. Kakinya sudah diikat dengan kain agar darah tidak semakin keluar.   "Mi kita mau masak apa?" tanya Estel.   "Hanya tersisa kentang ini saja. Hari ini kita makan kentang rebus aja ya," ucap Angelina.   "Iya, Mi." Angelina mengambil kentang itu di bawah alat-alat masaknya. Lalu, memberikannya kepada Estel.   "Estel ini kamu kupas kentangnya. Cuma ada Lima biji mungkin cukup untuk kita makan sampai malam."   "Papi sama Kak Steven gimana, Mi? Sampai sekarang belum pulang."   "Mereka sedang cari sumber makan sekalian mungkin, udah kamu enggak usah pikirkan mereka. Mereka pasti baik-baik aja Dan hari ini mereka pasti pulang." Estel mengangguk dia mengambil pisaunya Dan mulai mengupas kentang itu. Angelina mengambil panci untuk merebus air. Menunggu sampai mendidih sambil menunggu anaknya mengupas kentang. Setelah dia menaruh panci di atas tungku api dengan kayu bakar.    Setelah api menyala, Angelina menutup panci tersebut. Dia mengambil pisau satu lagi untuk membantu anaknya.   "Mami kakinya masih sakit, biar Estel aja yang masak," ucap Estel lagi pengertian.   "Enggak papa. Nanti juga sebentar lagi sembuh. Kamu juga lapar 'kan jadi biar cepet selesai Mami bantu."      "Enggak kok, Mi Estel enggak laper." Setelah mengucapkan itu malah perutnya berbunyi membuat Angelina tertawa.   "Tadi katanya enggak laper kok bunyi perutnya," ucap Maminya menggoda.   "Hehehe. Tadi cacingnya, Mi yang bunyi bukan Estel."     "Haha, kamu ada-ada aja, sih sayang. Mana ada cacingnya yang bunyi."   "Ada, Mi. Ini buktinya barusan."   "Hahaha iya deh," jawab Maminya.   Mereka pun bersama-sama mengupas kentang tersebut. Setelah itu membelahnya menjadi empat bagian. Setelah selesai, Angelina mengambil sebuah baskom Dan menaruhnya di sana. Setelah itu mencucinya, baru memasukkannya ke panci. "Dah kamu mandi dulu aja. Setelah mandi nanti mateng kok," ucap Angelina.   "Nanti aja, Mi."   "Ayo dong sayang. Ini udah siang nanti keburu panas kamu mandinya."   "Yaudah iya, Mi." Estel lalu mengambil bajunya. Dia naik ke tangga atas karena kamar mandi ada di atas rumah mereka jadi dia pun harus ke luar sana dulu.   "Estel Inget jangan ngelakuin aneh-aneh. Mami tunggu kamu balik cepet ke sini lagi. Kalau kamu aneh-aneh, Mami marah," ucap Angelina lagi saat anaknya ingin ke luar dari sana.   "Iya, Mi," jawab Estel nurut. Angelina tersenyum. Dia pun melanjutkan membereskan perlengkapan yang lain. . ....    Sambil mandi Estel sambil berfikir gimana caranya dia bisa membunuh monster itu. Dia semalaman masih berfikir Hal itu. Tapi, seketika dia ingat sesuatu. Papinya pernah memberikannya peluit kecil waktu ke kota kemarin.   "Kira-kira di mana ya peluit itu. Coba nanti aku langsung cari aja deh," ucap Estel lagi. Dia mandi dengan terburu-buru bukan karena takut dia harus mencari peluitnya itu. Dia akan memodifikasinya seperti yang diajarkan Papinya. Setelah, Papinya datang nanti.    Beberapa saat kemudian Estel selesai untuk mandi. Dia segera mengelap tubuhnya lalu memakai bajunya lagi. Dia keluar Dan langsung masuk lagi ke rumahnya di bawah tanah.   "Sudah selesai, Es?" tanya Maminya yang sedang mengaduk kentang di dalam tungku tersebut.   "Sudah, Mi."   "Handuknya jangan lupa dijemut lagi,," ucap Angelina mengingatkan anaknya yang selalu terbiasa menaruh handuk bekas mandi mereka dengan sembarangan.   "Iya nanti aja, Mi."   "Estel itu dijemur dulu."   "Mami lihat peluit aku enggak. Peluit aku di mana ya?" tanya Estel mengalihkan pertanyaan dari Maminya itu.   "Peluit mana? Emang kamu punya peluit?" tanya Maminya lagi yang bahkan tidak tahu peluit mana yang dimaksud oleh anaknya itu.   "Itu, peluit itu dikasih sama Papi kata Papi bisa untuk melemahkan satu atau dua.monster kalau kita lettakkan di telinganya." Angelina mengerutkan keningnya dia benar-benar tidak tahu malah soal peluit.   "Mami, enggak tahu, Stel. Kamu punya peluit aja, Mami enggak tahu," jawab Angelina lagi dengan jujur.   "Tapi, Papi pernah kasih itu ke Estel, Mi. Waktu lagi di Kota Dan situasi mendesak."   "Emangnya kamu taruh di mana?"   "Enggak tahu waktu itu Estel pingsan jadi Estel enggak tahu di mana itu. Mami masa enggak tahu, itu bisa buat bantu kita kalau ada monster."   "Enggak tahu, Mami, Stel. Yaudah mending kita makan dulu nanti diinget-inget lagi." Angelina mengangkat kentang itu ke mangkuk Dan menyajikanya di meja. Estel hanya menghela napasnya kasar. Kalau hilang apa, Papinya punya yang lain. Sayang sekali, baru saja dia tadi senang memiliki ide itu.   "Estel udah enggak udah dipikirin, dipikirin nanti aja kamu makan aja dulu." Angelina menyuruh Estel untuk tidak perlu memikirkan itu. Nanti saja dipikirkan karena waktunya mereka makan. Walaupun, dia tidak tahu peluit apa yang dimaksud tapi dia akan membantu Estel untuk mencarinya nanti.   "Udah kamu enggak usah pikirin nanti, Mama bantu nyari," ucap Maminya lagi. Estel pun mengangguk dan pasrah. Nanti dia akan mencarinya lagi. ..... Tbc ... Jangan lupa vote and commennya. Makasiii.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD