Langit malam terlihat gelap. Bintang-bintang tidak ada yang menampakkan sinarnya. Angin dingin yang cukup kencang membawa awan semakin menebal di atas sana. Mungkin sebentar lagi hujan. Tubuhku terasa menggigil. Ini semua karena lelaki over hemat bicara ini mengajakku ke halaman rumah sakit yang cukup sepi.
"Syaratnya apa?" Dengan suara bergetar, aku menanyakan maksudnya. Memeluk tubuh sendiri nyatanya tidak dapat memberikan kehangatan. Gamis abu-abu yang melekat di tubuh tidak bisa menghalau udara malam.
Samar, dapat kulihat wajah datar Adit yang terkena cahaya lampu dari rumah sakit. Sudut bibir kanannya sedikit terangkat, membentuk lengkungan. "Kamu jadi istri saya."
Kedua tangan yang semula di depan d**a, berpindah ke samping tubuh. Jemari mengepal kuat, ini pemaksaan namanya. "Nggak mau!"
Raut-raut ketenangan menguap dari wajahnya. "Oke, terserah kamu. Saya hanya memberikan penawaran. Keselamatan Pak Abdul ada di tangan kamu."
Aku mendengkus kesal menyikapi kesombongannya. "Nyawa semua orang tuh ada di tangan Allah, bukan ...."
"Kamu perantaranya!"
"Dengar Tuan angkuh!" Telunjuk kanan menunjuk wajahnya menyebalkannya itu. "Aku nggak mau menikah sama kamu. Selamanya nggak bakalan mau!"
Setelah menyampaikan apa keputusanku, dan merasa ia paham betul akan ucapan tersebut, aku memutar tubuh untuk segera pergi dari tempat ini. Tidak tahan dengan dinginnya udara, dan dinginnya lelaki itu. Keduanya adalah perpaduan yang mengerikan.
*****
Mulai dari saat matahari menampilkan sinarnya di ufuk timur hingga mulai condong ke arah barat, aku mencari uang pinjaman. Nyatanya, tidak ada yang kudapat selain rasa lelah dan kecewa. Jangankan orang lain, keluarga saja tidak ada yang ingin membantu. Mereka seakan lupa pada kebaikan ayah selama ini. Jika bukan karena ayah yang rela menggadaikan tanah pada seorang rentenir, Pak Andi sudah hidup di jalanan sekarang bersama anak istrinya. Namun, saat mereka sedang berkecukupan, mereka lupa pada kami.
Ingin meminjam uang pada Pak Ridho, tapi aku takut. Dia juga rentenir yang tidak akan segan menjual orang yang terlambat membayar utang. Sementara aku belum memiliki pekerjaan tetap.
Di dalam kamar yang terasa panas inilah aku mondar-mandir penuh pengharapan pada Kak Fajar. Hanya dia satu-satunya orang yang dapat kumintai tolong. Sayangnya, beberapa nomornya tidak dapat dihubungi.
Kenapa Kak Fajar sulit sekali dihubungi. Dia tidak apa-apa kan di negara orang? Semoga saja tidak.
Atau, aku menyerah saja pada Adit?
Tidak! Aku tidak akan menyerah. Hidup satu rumah, dengan orang yang tidak dicintai akan sangat sulit. Apalagi setelah tahu jika dia itu angkuh dan pemaksa. Kepalaku menggeleng kasar.
Duduk di atas tempat tidur, mata menatap lurus ke depan dengan pikiran menerawang jauh, aku mencoba mencari alternatif lain.
Kalau aku meminta tolong pada Ustaz Fadil, bisa tidak, ya? Aku sangat yakin, Ustaz Fadil memiliki pemikiran logis, tidak seperti kakaknya.
Namun, apa pantas jika aku langsung berutang padanya? Sementara aku akan menolak lamaran keluarganya.
Pusing.
Aku memijit pelan kedua pelipis untuk mengurangi beban di kepala. Ibu juga sama sepertiku, mencari bantuan ke sana-sini.
Azan salat asar berkumandang dari mesjid. Aku berdiri, menuju kamar mandi untuk mengambil wudu, untuk selanjutnya memenuhi panggilan Allah, juga mengadukan semua keluh kesah.
*****
Di depan rumah minimalis bercat putih dengan beberapa bagian berwarna hijau aku berdiri mematung. Sejenak, aku hanya menyibukkan diri memerhatikan sebuah taman di depan rumah yang diisi oleh puluhan pot bunga berwarna-warni, di susun rapi. Begitu menyejukkan mata, juga mengurangi sedikit kepenatan yang melanda.
"Ayo masuk, Nis."
Aku mendongak, melirik sosok bertubuh tegap yang mendahuluiku. Ia tersenyum hangat dengan sorot mata yang menenangkan. Seandainya Ustaz Fadil yang melamarku ... ah, tidak boleh mengandai-andai, Nissa. Itu bisikan setan. Aku menggeleng pelan, lalu menunduk mengikuti Ustaz Fadil.
Butuh keberanian yang kuat untuk bisa sampai di rumah Pak Zainal. Kami bahkan baru berkenalan kemarin, tetapi sudah berani membebani keluarga baik ini. Betapa memalukannya diriku.
"Assalamu'alaikum!" Ustaz Fadil membuka pintu rumahnya.
"Wa alaikumussalam. Lho, udah pulang, Dil? Nggak betah?" Suara seorang wanita mengalun lembut menyapa indra pendengar. Itu suara Bu Dina.
"Cuman mau nganterin Nissa, Umi." Dengan penuh hormat, Ustaz Fadil meraih tangan kanan ibunya, menciumnya penuh khidmat.
Aku mengikuti gerakan Ustaz Fadil: salim pada Bu Dina.
"Assalamu'alaikum, Tante," salamku dengan senyuman kikuk. Sungguh, aku tidak dapat bersikap normal sekarang.
"Wa alaikumussalam. Ada apa, Nak?" Beliau bertanya dengan nada semakin melembut. "Ayo duduk!"
Aku duduk di sebuah sofa berwarna putih gading tak jauh dari Ustaz Fadil. Bu Dina duduk tepat di depanku.
"Mau bicara apa? Soal lamaran itu, ya?"
"Eh ... anu, Bu-"
"Saya panggil Adit dan suami saya dulu, ya?" Tanpa menunggu jawaban dariku, Bu Dina langsung beranjak dari kursinya semula. Aku menoleh ke arah Ustaz Fadil saat mendengar kekehan darinya.
"Maafin Umi, ya? Beliau emang suka motong-motong pembicaraan, termasuk jajan anaknya," ucapnya.
Bukannya sedikit tenang, aku malah semakin gugup. Apalagi akan ada Adit. Padahal, niatnya aku ingin meminta tolong pada Pak Zainal, tanpa lelaki dingin itu. Ini namanya tetap mengalah pada Adit, lalu berakhir pada ikatan pernikahan.
Aku gelisah.
Tak butuh waktu lama, Pak Zainal sudah datang ke ruang tamu, disusul oleh Adit. Lelaki itu berwajah cerah sore ini, seolah begitu tahu jika ia akan memenangkan diriku.
"Ada apa, Nak Nissa?"
Aku menundukkan kepala mendengar pertanyaan dari Pak Zainal. Ini boleh tidak, ya? Aku masih ragu dengan keinginanku ini.
"Cerita aja, Nis," celetuk Ustaz Fadil. Aku menatapnya sekilas. Ia tersenyum, seolah senyuman tidak pernah berhenti menghiasi wajahnya yang tampan.
"Begini, Pak. Ayah saya harus dioperasi .... Kalau boleh, saya ...." Aku menggigit bibir bawah, terlalu segan mengatakan ini. Remasan pada gamis di atas paha semakin erat. "... mau meminjam uang dari Bapak."
Melirik melalui bulu mata, aku dapat melihat bibir Adit menipis dengan sudut kanan sedikit terangkat. Ia balas menatapku.
Pak Zainal mengangguk-angguk pelan. Ia menegapkan punggungnya hingga menyentuh sandaran sofa. "Adit, kamu bisa pinjemin Nissa, kan?"
"Bisa, Bi." Adit berdiri. Salah satu alisnya terangkat dengan angkuh, ditujukan padaku. "Kamu butuh berapa?"
"200 juta."
Pak Zainal dan Ustaz Fadil terlihat begitu kaget. Itu biaya yang cukup fantastis, untuk memasang ring di jantung ayah agar pembuluh darahnya melebar.
"200 juta?" Adit mengulang ucapanku dengan nada bingung. Oh, jangan bilang jika dia juga tidak bisa. "Saya tidak punya uang di sini. Kita ke bank dulu."
Bu Dina muncul dari dapur, membawa lima cangkir yang berisi teh hangat, juga piring biskuit cokelat.
Adit duduk kembali melihat ibunya menata cangkir di atas meja.
"Nanti aja ke bank-nya. Kamu cobain dulu teh calon mertua kamu."
Aku hampir tersedak ludah sendiri mendengar ucapannya. Kenapa dia begitu ingin menikah denganku?
Melalui ekor mata, aku melihat Ustaz Fadil yang tengah menyesap teh di cangkirnya. Aura hangat menghilang dari sana, tergantikan oleh raut datar.
"Ayo diminum, Nak!"
Aku mengangguki ajakan Bu Dina.
****
Suara klakson mobil dan motor yang memenuhi jalan raya menjadi satu-satunya sumber bunyi sekarang. Sementara di dalam mobil, tidak ada percakapan sedikit pun sejak Adit memasuki mobil setelah mengambil uang di bank.
Adit terlihat santai mengemudi, berbeda denganku yang entah memiliki bentuk wajah bagaimana; kacau.
Hampir 30 menit berlalu, belum ada yang ingin memulai percakapan. Aku masih enggan mengajaknya berbicara, karena biasanya hanya dibalas gumaman atau tidak sama sekali.
"Adit ...." Ini terhitung kelima kalinya aku memanggil nama Adit. Dia terdiam, entah mendengar suaraku atau sudah tuli oleh suara bising di luar.
Lima menit hening, dia mulai berbicara, "Mau bilang apa?"
"Ini ... aku anggap hutang, ya? Nanti aku bayar secara perlahan. Aku nggak mau nikah sama kamu ...," ucapku memelas.
"Kapan kamu bisa membayarnya secara lunas?"
Aku terdiam, mulai menghitung-hitung. Sekarang, belum ada pekerjaan tetap selain bekerja di kebun yang sudah digadaikan ayah. Jadi, hasil kebun itu separuhnya diberikan kepada rentenir. Jika dalam sebulan aku bisa mendapat uang sekitar 500 ribu di luar biaya pokok, kapan bisa melunasi hutangnya? Aku berdecak pelan. Mana tidak ada satu pun yang bisa digadaikan. Rumah. Palingan hanya dua jutaan. Emas. Sama sekali tidak ada di rumah.
"Bagaimana, Nissa? Tidak bisa?"
"Em ... kamu tahu, Dit? Rasulullah pernah bersabda: 'Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.' Itu hadis sahih, dari Abu Hurairah. Kalau kamu membantu aku, Allah akan membalas kebaikanmu nanti," jelasku. Siapa tahu dia luluh.
"Apa penawaranku bukan termasuk melapangkan kesulitanmu, Nissa? Kamu hanya perlu menikah dengan saya, dan semuanya selesai.
"Adit ...," panggilku dengan sedikit penekanan. "Itu bukan melapangkan, tapi mencekik."
"Lebih mencekik mana: saya biarkan kamu membayar hutang 200 juta, yang entah sampai kapan baru lunas, atau tinggal menikah dengan saya dan semua masalah habis?"
"Adit, kenapa kamu ngotot banget pengen nikah sama aku?" Aku memekik kesal.
"Karena kamu pilihan adik saya."
Jadi, dia memilih istri atas pilihan adiknya? Huh, menakjubkan sekali.
"Adit .... Di dunia ini ada jutaan, bahkan milyaran wanita. Ada yang cantik, biasa-biasa saja, jelek, seksi, sholehah, jahat, baik, menyebalkan, bodoh, pintar, dan lainnya. Kenapa harus aku?"
"Karena kamu yang memiliki semua sifat yang kamu sebutkan tadi."
"Hah?"
"Jangan protes, atau saya kenakan bunga."
"Dasar lintah darat!"
"Daripada buaya darat?"
Aargh!! Aku ingin mencekiknya! AKU INGIN MENCEKIKNYA!
*****
Satu minggu.
Aku hampir terkena serangan jantung saat Adit menyampaikan akan melaksanakan akad satu minggu setelah ayah dioperasi.
Gi-la.
Entah diciptakan dari jenis apa lelaki itu, hingga membuat keputusan yang benar-benar di luar nalar. Ditambah lagi, ibu begitu mendukung ide Adit ini.
Hari yang seharusnya menjadi hari aku menolak lamaran Adit, malah menjadi saat pernikahan aku dan dia.
Di dalam ruang rawat ayah yang berukuran empat meter persegi inilah aku berada, mengenakan gamis putih polos dengan hiasan di bagian depan, juga jilbab senada. Make up pun begitu sederhana, hasil karya Bu Dina. Adit mengenakan tuxedo putih dan celana bahan juga putih. Katanya, kami begitu serasi. Dari mana serasi itu?
Dengan keadaan yang masih lemah, ayah menggenggam tangan Adit. Keduanya menampilkan ekspresi yang hampir sama: datar dan dingin.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Aditya Maulana Yusuf, dengan anak saya Nissa Maulina, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang 10 juta rupiah dibayar tunai," ucap ayah dengan nada lemah.
"Saya terima, nikah dan kawinnya, Nissa Maulina dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Aku menahan napas beberapa saat sambil menundukkan kepala. Lelaki dingin itu, sudah sah menjadi suamiku. Dia, sudah menjadi suamiku.
Kenapa aku merasa ada tambahan beban di pundakku?
Bersama Adit, aku menyalami orang tuaku, dengan air mata yang menetes. Ini pertama kalinya, aku akan meninggalkan mereka berdua. Apa aku sekuat itu?
"Ingat, ya, Nak. Jadilah makmum yang baik untuk imammu. Jangan menjadi istri durhaka. Patuhi perintahnya. Jika suamimu melakukan kesalahan, tegur dengan baik. Jika kamu melakukan kesalahan, jangan malu untuk meminta maaf. Ridho Allah kini berpindah pada suamimu," pesan Ibu.
"Iya, Bu. Aku akan selalu ingat pesan Ibu."
Setelah puas dengan ibu, aku beralih pada Bu Dina dan Pak Zainal, mencium punggung tangan keduanya. Kini, mereka berdua adalah orang tuaku juga.
Secepat angin berlalu, aku melirik Ustaz Fadil yang berdiri di sudut ruangan, mengabadikan momen ini melalui kamera. Senyuman yang biasanya menghiasi bibirnya, kini jarang terlihat sejak beberapa hari yang lalu.
Entah kenapa, tapi terasa aneh.
*****
Jam tujuh malam, aku dan Adit sampai di rumahnya yang ada di kota setelah melalui perjalanan yang melelahkan, memakan waktu hampir empat jam.
Rumah milik Adit begitu megah, terdiri dari dua lantai. Bercat putih gading dengan pintu rumah ganda berwarna cokelat. Di sisi kanan dan kiri rumah ada halaman yang cukup luas berwarna hijau. Tidak ada bunga indah. Ini terlalu besar untuk kami berdua.
Aku mengikuti langkah Adit yang memasuki rumah. Dengan mudah, ia membuka pintunya tanpa perlu repot mengambil kunci. Apa di dalam ada orang? Siapa? Pembantu?
Adit mengempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna cokelat. Punggung tegapnya menempel di sandaran sofa. Matanya terpejam tenang. Dia tertidur, atau pingsan?
Aku masih berdiri tak jauh darinya sambil menenteng tas berisi beberapa pakaian.
"Nissa ...."
Aku tersentak kala mendengar panggilannya yang tiba-tiba. Kelopaknya masih menutup matanya yang tajam.
"Kamu sholat dulu sana! Belum sholat magrib, kan?" lanjutnya dengan mata terbuka, langsung tertuju padaku.
Aku mengangguk mengiyakan. Dia berdiri, melepas jaket hitam dari tubuhnya. Aku mengekori Adit yang berjalan terlebih dahulu menaiki tumpukan anak tangga menuju lantai dua.
Namun, kakiku tiba-tiba kaku digerakkan. Mataku hanya berpusat pada satu objek. Dari sebuah pintu kamar, seorang wanita bertubuh mungil keluar. Rambutnya yang hitam panjang sedikit berantakan, pun kaus putih yang membungkus tubuhnya. Rok hitam panjang hingga tumit menutupi kakinya.
"Udah pulang?"
Aku mundur selangkah. Wanita itu langsung memeluk Adit yang malah membalas perlakuan itu.
"Iya. Sudah makan, Sayang?"
Ini apalagi? Batinku menjerit kencang. Laki-laki dan wanita, tinggal satu rumah, saling memeluk .... Apa dia pacar Adit? Jika benar, kenapa menikah denganku?
"Adit ...."
Sepertinya mereka mendengar panggilanku yang hanya mirip bisikan pelan, terbukti dari kepala mereka menoleh padaku.
"Nissa." Adit melepas pelukannya, mengganti rangkulan di pinggang ramping wanita itu. Bayangan acara akad tadi siang berputar di kepala, membuat dadaku terasa nyeri.
"Kamar kamu di sana!" Adit menunjuk sebuah pintu tepat sebelah kamar wanita berwajah manis ini.
Meneguk ludah sekali, aku menunduk melangkahkan kaki melewati keduanya. Ada yang terasa aneh, apalagi saat suara panggilan 'sayang' Adit dan juga suara ijab qabul silih berganti mengisi indra pendengaran.
Jadi dia menikahiku untuk apa?
Aku melaksanakan sholat magrib untuk menenangkan pikiran, dilanjutkan dengan salat isya. Aku berdoa, semoga kekuatan selalu bertambah, kesabaran semakin menyertai, hingga bisa melewati semua ini.
Tapi, sampai kapan aku tersiksa dalam keadaan seperti ini? Melihat suami sendiri berpelukan bersama wanita lain.
Suara ketukan di pintu kamar terdengar, menghentikan kegiatanku berdoa. Aku melepas mukena, merapikan alat salat, mengenakan jilbab instan, lalu menghampiri pintu. Wanita itu berdiri dengan senyuman mengembang yang terlihat mengejek diriku.
"Ayo makan malam, Kak."
Kakak? Memangnya siapa dia berani memanggilku kakak?
"Kak Nissa, kan?" Dia kembali bertanya karena selalu kudiamkan begitu saja. Aku hendak menutup pintu, ingin mengabaikannya.
"Kak Nissa nggak suka sama aku?" Dia berujar dengan nada lirih.
Memangnya apa lagi? Siapa yang akan suka pada wanita yang merebut suami orang? Bahkan, ini masih hari pertama pernikahanku.
"Kalau Kakak jijik sama aku, aku bisa masuk kamar, kok. Tapi makan malam, ya? Kata Kak Adit, Kak Nissa belum makan sejak tadi siang." Dia menunduk dalam. Tangannya menyentuh pipinya sendiri. Tanpa mengucapkan apapun lagi, dia beranjak pergi, memasuki kamarnya.
Rasa bersalah merayap, menyentuh hati.
Apa aku keterlaluan? Lagian kan, dia sendiri yang salah, sudah menggoda suami orang.
Tidak ingin pusing, aku memasuki kamar, lalu menutup pintu. Jangankan untuk makan, keluar dari tempat ini saja begitu malas. Tubuh ini terasa lebih berat dari biasanya.
"Nissa!" Aura menakutkan terasa begitu kental ketika suara teriakan Adit terdengar dari luar. Aku membuang napas kesal lalu membukakan pintu untuknya.
"Aku nggak lapar!" balasku cepat.
"Terserah!" Ia berbicara dengan nada tak acuh. "Saya manggil kamu bukan cuman mengajak makan malam, tapi juga membicarakan pernikahan kita, juga tujuan saya menikahi kamu."
Tujuan? Ternyata benar, dia menikahiku karena adanya tujuan terselubung.
Dengan batin yang terus menggerutu, aku mengikuti Adit. Dia berhenti sejenak mengetuk pintu kamar wanita tadi.
"Naura, buka pintunya!" Adit begitu lembut memanggil wanita itu. Di sini, istrinya itu aku atau wanita tadi?
Kenop berbunyi diiringi daun pintu yang perlahan terbuka, menampilkan sosok mungil dengan wajah sembab. Apa dia menangis atas sikapku tadi?
"Hei, kenapa menangis?" Adit menempelkan telapak tangannya di kedua pipi Naura, menatap intens kedua mata milik wanita itu.
"Nggak papa," jawabnya. Dia menghapus air matanya menggunakan punggung tangan. Adit merangkul wanita itu dengan begitu mesra, menuruni susunan anak tangga yang melengkung turun seperti dalam film Cinderella.
Di ruang makan, Adit menarik sebuah kursi khusus, mempersilakan Naura untuk duduk. Tanpa melirik padaku, ia langsung duduk di kursi samping Naura. Aku mendengkus pelan.
"Jadi, Nissa ...," Adit menyatukan kedua tangannya di depan dagu, dengan siku bertumpu di atas meja. Tatapannya melembut ke arahku. "Mau makan dulu, atau langsung saya sampaikan tujuan sama menikahi kamu?"
"Sampaikan tujuan kamu saja dulu." Aku menjawab pertanyaannya, dengan wajah menghadap lurus padanya.
Adit terdiam sejenak. Sudut bibirnya masih setia terangkat, menampakkan senyuman yang entah memiliki arti apa.
"Adit?" Aku menegur, siapa tahu dia kehilangan kesadaran. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia menyerahkan sebuah map padaku.
"Apa ini?" Apa hubungan pernikahan ini dengan map berwarna biru muda di tangan?
"Buka!"
Mataku bergulir, membaca kata demi kata yang tertera di atas kertas hvs putih.
".... Pihak pertama mengadakan pernikahan di atas perjanjian kepada pihak kedua selama satu tahun .... Apa ini Adit?" Aku memekik, menanyakan maksudnya. Emosi tersulut, hingga ke ubun-ubun. Dia terlihat santai, dengan wajahnya yang tidak menampilkan ekspresi apapun.
"Apa kurang jelas?" Dia melipat kedua tangannya di atas meja. "Kamu saya nikahi hanya selama satu tahun, setelah adik saya melahirkan."
"Adik?"
"Naura. Adik saya hamil, dan kamu yang akan menjadi ibunya."
Apa ini? Adit menghamili adiknya sendiri?
*****