Selepas salat subuh, sebagian beban terasa berkurang, membuat pundak ini kembali ringan. Aku mengembuskan napas berkali-kali. Sajadah bergambar kakbah menjadi objek penglihatan. Tekanan dalam hidup memang sulit dihilangkan, tapi masih bisa dikurangi dengan curhat, dan sebaik-baik mengadu, hanyalah pada Allah.
Membaca juz 29 pun selesai. Aku masih terduduk di tempat, membiarkan kilasan semalam kembali berputar dalam benak.
Dengan sebelah tangan, aku meraih gagang laci, menarik dua lembar kertas dari dalamnya. Di atas materai, sudah terdapat tanda tanganku dan Adit, menyetujui perjanjian gila ini.
Jujur, ada sedikit rasa iba mendengar semua cerita Adit semalam. Tentang adiknya yang kuliah di luar negeri, lalu direnggut kesuciannya begitu saja oleh lelaki yang tidak dikenal. Untuk melindungi nama baik keluarga, aku yang dijadikan korban. Sungguh, aku merasa kasihan ... pada takdirku sendiri.
Suara ketukan pintu menyadarkanku akan realita sekarang. Diikuti sebuah sahutan lembut dari luar.
"Kak. Sarapan dulu, yuk!"
Aku melarikan arah pandang ke jam weker di atas nafas. Ternyata sudah jam tujuh. Aku berdiri dari atas sajadah.
"Makan dulu, yuk!" Dengan senyum semringah, dia mengajakku.
"Eum ... nanti saja, ya?" Guratan sedih tercetak jelas di wajahnya, meski disembunyikan oleh senyuman tipis. "Aku mau salat duha dulu," sambungku, berhasil menghilangkan rasa kecewa di wajahnya.
"Oke. Aku tunggu di ruang makan, ya? Cepetan. Kak Adit masak masakan yang enak banget."
Aku tersenyum. "Oke!" balasku sambil menunjukkan tangan, ujung telunjuk bertemu dengan ujung jempol, membentuk huruf O.
Setelah itu, aku menutup pintu. Lalu melaksanakan salat duha dengan khusyu.
*****
Memasuki ruang makan, pandanganku disambut oleh tubuh Adit yang membelakangi pintu masuk. Mata ini mencari-cari sosok Naura.
"Nissa? Ayo makan!" Suara Adit memasuki indra pendengar. Tubuhnya berputar ke arahku.
Dengan langkah agak ragu, aku menghampirinya, duduk di kursi tepat di sampingnya. Untuk beberapa saat, hanya hidangan di depan mata yang menarik perhatianku.
"Kenapa? Nggak suka?"
"Eh-enggak, kok." Aku bergerak gelisah di atas kursi. Sebelumnya, tidak pernah dalam hidupku berada dalam satu ruangan bersama lelaki asing, walaupun itu suami sendiri. Rasanya aneh saja. Naura juga ke mana, sih?
"Ayo makan. Mau saya sajikan?"
"Nggak usah!" jawabku dengan cepat. Tanganku terulur ke depan, membalik piring yang tertata rapi.
Piring putih sudah terisi nasi dan lauk. Namun, ada perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Makan sendiri, dengan Adit tepat di sampingku. Dia hanya meminum kopi di dalam cangkirnya.
"Kenapa tidak makan?" Adit meletakkan minuman pengganti sarapannya di atas meja. Ia menunduk memerhatikan layar ponselnya yang selalu berdering. Terlihat malas menanyaiku.
"Nggak papa."
Ponsel di tangan ikut diletakkan di atas meja. Netra cokelatnya menatap wajahku, membuat diri ini semakin dilanda gugup.
"Kamu banyakain makan. Saya nggak mau ibu kamu marahi saya cuman gara-gara anaknya kurus setelah tinggal bersama saya," jelasnya.
Memang. Dia tidak akan pernah peduli denganku. Dia hanya takut pada perkataan orang-orang. Tidak perlu kaget lagi akan hal itu.
Tangan dingin ini mulai menyendok makanan secara perlahan ke dalam mulut. Aroma parfum Adit tercium jelas. Seharusnya memberikan ketenangan, tetapi malah membuatku semakin gelisah.
"Nissa, saya ingin membicarakan sesuatu."
"Apa?" Aku bertanya dengan nada malas, tanpa berniat menoleh padanya. Aku lebih fokus untuk menetralkan detak jantung di dalam sana.
"Soal perjanjian kemarin ...." Embusan napasnya terdengar jelas, saking heningnya di ruangan ini. "Saya akan ingin menambahkan sesuatu. Setiap bulan, kamu akan saya berikan uang sepuluh juta, sebagai gaji atas pekerjaan kamu ini."
Aku menghentikan makan. Apa segitu murahnya dia menghargai diriku? Sepuluh juta? Saking murahnya diriku, hingga bisa dinilai dengan uang.
"Kalau kamu gaji orang, kenapa bukan wanita lain saja yang kamu pilih? Pacar misalnya."
"Saya nggak punya pacar, Nissa."
"O, benarkah?" Aku mendengkus kesal. Menatap makanan saja, aku enggan.
"Iya."
"Kalaupun tidak punya pacar, masih ada wanita bayaran di luaran sana. Kenapa harus aku yang kamu masukkan ke dalam permainan kamu ini?"
"Ini bukan permainan, Nissa. Saya serius menikahi kamu!" Nada suaranya naik satu oktaf. Hal itu membuat kepalaku semakin menunduk secara otomatis.
"Terus, kenapa harus ada perjanjian? Itu apa namanya kalau bukan permainan?"
"Kalau saya main-main, saya tidak akan mau repot membuatkan kertas seperti itu, Nissa."
Oh. Jadi makna 'permainan' berbeda antara aku dan Adit. Baiklah, aku mengalah. Karena melawan pun, tidak akan membuatku terbebas dari jeratan ini, malah membuat tenaga berkurang secara percuma.
"Aku nggak butuh uang kamu, Dit." Aku hanya butuh pengakuan kamu. Mengakui jika aku ini istri kamu. Baik secara lisan, maupun perlakuan.
"Terus kamu butuh apa? Rumah baru? Mobil?"
Aku berdiri dari kursi. Nafsu makan berubah menjadi rasa jijik saat melihat masakan yang terhidang di atas meja.
"Kamu mau ke mana?" Suara Adit terdengar nyaring saat aku hendak melewati pintu ruang makan.
Aku meneguk ludah sekali. "Kamar." Sebentar saja, aku ingin menormalkan rasa kesal dalam hati.
Tidak ada lagi yang terdengar darinya. Aku berlari-lari kecil menapaki jejeran tangga dengan buliran air mata yang membasahi wajah. Baru saja, kehormatanku dihina.
Wahai Zat Yang Maha Kuat, berikan aku kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi semua ini.
*****
Suasana hati begitu berbeda saat memasuki tempat ini. Masjid.
Setelah kepergian Adit ke kantor tadi, pintu rumah diketuk oleh Bu Ijah, salah satu tetangga. Ia mengajakku mengikuti pengajian rutin yang dilaksanakan setiap pekan di masjid ini.
Saat melangkahkan kaki melewati ambang pintu, terasa ketenangan langsung menyentuh hati. Beban yang kupikul beberapa saat ini terasa berkurang drastis.
Sebelum pengajian dimulai, aku diperkenalkan oleh Bu Ijah pada beberapa wanita lainnya yang ikut kegiatan rutin ini. Mereka sangat ramah dan hangat, membuatku begitu betah berada di antara mereka meski umur yang terlampau jauh. Hanya aku yang berusia 23 tahun di sini. Sisanya kebanyakan di atas 35 tahunan. Itu menandakan, remaja di sini kurang menyukai acara pengajian.
Ustazah Zahra sebagai pemberi materi tentang rumah tangga. Inti ceramahnya seolah ditujukan untuk menyindirku.
".... Jika kita ingin dapat hak, maka penuhi dulu kewajiban. Karena memang sudah menjadi aturan Allah, hak akan datang setelah kewajiban dilaksanakan. Misalnya saja surga. Sesungguhnya, surga itu hak manusia di dunia ini. Namun, manusia tidak akan mendapat haknya jika melalaikan kewajibannya kepada Allah. Begitupun dalam rumah tangga. Kita tidak bisa menuntut hak jika kewajiban belum dilaksanakan ...."
Hak dan kewajiban.
Bayangan selama aku tinggal di rumah Adit mulai berputar bak kaset rusak.
Makan, suami yang masak.
Rumah, suami yang membersihkan.
Nafkah, suami yang urus.
Lalu, apa saja yang aku lakukan selama ini? Apa takdir ini berlaku padaku karena telah melalaikan kewajiban sebagai istri?
Mungkin setelah ini, aku harus mulai melaksanakan setiap hal yang seharusnya istri lakukan.
Bismillah.
*****
Hampir 20 menit aku bergeming di dekat meja makan, memutar otak untuk mencari pekerjaan yang sekiranya bisa dilakukan. Namun, Adit seakan tidak memberikan cela sedikit pun.
Mau menyapu dan mengepel, rumah sudah tidak berdebu. Mau memasak, aku bingung dengan makanan favorit mereka. Jika salah, malah bisa berakhir dengan pembuangan makanan sia-sia.
Aku ingin mencari tahu. Tapi pada siapa? Mana mungkin pada tetangga, kan? Di sini sudah tidak ada satu pun orang.
Aku menahan napas sambil menggembungkan pipi, mencoba berpikir keras.
Mungkin masak seperti semalam? Nasi goreng, sup kaki kambing, dan ayam goreng.
Menggumamkan bismillah, aku memasuki area tempur untuk ibu rumah tangga; dapur.
Hampir selama sejam berkutat dengan kompor dan lainnya, masakan sudah siap. Aku menatanya persis seperti semalam. Sebelumnya, aku belum pernah menata makanan seperti ini. Di rumah, sembarangan bentuknya. Yang penting ada di atas meja. Sekarang, semuanya berubah. Semoga aku bisa beradaptasi di sini.
"Assalamualaikum .... Hmm, harum banget."
Aku yang baru selesai menempatkan sup di atas meja menoleh pada sosok Naura yang memasuki ruang makan.
"Wa alaikumussalam. Ayo makan, Nau."
Wajah pucatnya terlihat bahagia. Tanpa membuang banyak waktu, dia segera mengambil tempat, membalik piring dan menyajikan nasi di atas piringnya.
"Gimana?" Aku melipat tangan di atas meja, memerhatikan sikapnya yang mirip anak kecil, begitu ceria.
"Enak banget!" Naura menunjukkan kedua jempolnya. Yang kanan sudah ditempeli buliran nasi. Dia makan menggunakan tangan langsung.
"Alhamdulillah kalau suka." Aku tersenyum lega. "Kalau Adit suka makan apa?"
"Dia mah perut karet, Kak. Makan semua masakan, yang penting halalan tayyiban."
"Kalau kamu?"
Naura menelan makanan di mulutnya. "Aku sama aja, sih. Tapi ada beberapa makanan yang aku nggak suka. Jengkol dan makanan yang terlalu manis misalnya."
"Oh gitu."
"Huum. Kakak kenapa nggak makan?"
"Aku nunggu Adit aja."
Tarikan di sudut bibir Naura semakin ke atas. "Kakak emang istri idaman deh. Pantas aja Kak Adit langsung jatuh ...."
"Naura!"
Wanita yang baru saja disebut namanya itu tersedak makanan. Aku memberinya segelas air yang langsung tandas.
"Kakak ngagetin!" Naura memukul lengan Adit yang sudah berdiri di sampingnya.
Si pelaku malah memasang wajah datar. Mungkin namanya perlu diganti jadi tripleks.
"Assalamualaikum, Adit. Udah pulang?" Aku berdiri meraih tangannya. Namun, ia malah mengelak.
"Udah tahu masih nanya!" Suaranya berkali-kali lipat datarnya dibanding wajah lempengnya sekarang.
Aku menggigit ujung lidah, merasa salah atas sikap ini.
Setelah pulang dari masjid tadi, Bu Ijah memberikan beberapa nasehat menjadi istri yang baik. Salah satunya ya ini, menanyakan kepulangan suami.
Ini sudah betul tidak, sih?
Aku melirik Adit sekilas. Bibirnya bergerak seperti sedang mengucapkan sesuatu. Apa itu, aku tidak tahu.
"Ya udah. Makan dulu, yuk!" Aku menunduk malu. Baru saja ingin menjadi istri yang baik, malah mendapat balasan tidak mengenakkan dari Adit.
"Kamu yang masak?" Adit seakan tidak bertanya. Dari intonasi bicaranya, dia seolah meremehkan diriku.
"Iya. Maaf kalau nggak enak." Tenggorokanku terasa tercekat, menyebabkan suara yang keluar begitu kecil.
"Maaf."
Kata itu keluar dari mulut Adit. Lelaki itu masih setia menatap deretan masakan di atas meja dibanding melihatku. Aku jadi ragu, apakah dia benar mengatakan itu untukku atau aku salah dengar?
"Kenapa tidak makan?" Setelah beberapa saat hening, Adit kembali bertanya.
"Aku ... nggak lapar." Aku masih begitu kecewa dengan ucapannya barusan. Hati ini terlalu sensitif untuk menerima hinaan seperti itu meski sangat sederhana.
Suara bel rumah berbunyi nyaring. Aku meminta izin untuk mengecek tamu yang datang. Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, aku berlari kecil meninggalkan ruang makan.
Gagang pintu ganda kutarik kuat. Wanita cantik mengenakan dress hitam ketat langsung menyapa mataku. Beberapa saat, aku memerhatikan tubuhnya yang begitu ideal.
"Nyari siapa, Mbak?"
Wanita itu begitu enggan menjawab pertanyaanku. Dengan mengibaskan rambutnya yang panjang bergelombang, ia memasuki ruang tamu begitu saja.
"Mbak ini siapa, sih? Kok main masuk aja?" Aku menggerutu kesal. Ini manusia dari mana? Apa tidak tahu sopan santun?
"Pembantu diem aja!" Suara genitnya keluar, membuatku bergidik jijik.
"Saya bukan pembantu, Mbak."
Kacamata hitam wanita itu mengahalangiku memerhatikan matanya. Salah satu alis wanita di depanku ini terangkat. "Terus? Tukang cuci baju?"
Aku menahan semua emosi yang terkumpul di dalam d**a, mengeluarkannya melalui embusan napas.
"Mbak cari siapa?" tanyaku lagi.
"Panggilin Adit!" Wanita yang tidak kuketahui namanya itu langsung duduk di atas sofa. Tas tangan cantik diletakkan di atas meja kaca berbentuk bundar. Ia menyandarkan punggungnya. Paha kanan berada di atas paha kiri, memamerkan kemulusan kaki jenjangnya.
Tidak ingin berdebat, aku melangkah ke dapur.
"Siapa yang datang, Kak?" Naura bertanya setelah meminum setengah gelas air putih. Adit terlihat cuek di tempatnya, sibuk menyantap makanan di depannya.
"Nggak tau. Cewek, cantik." Aku menjatuhkan tubuhku di atas kursi. Sedikit kesal karena perlakuan wanita itu, aku meraih piring dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.
"Sundel bolong lagi, Kak." Naura berbisik sambil terkekeh. Meski nada bicaranya begitu pelan, tetapi masih dapat tertangkap oleh telingaku.
Adit mendorong kursinya ke belakang, lalu menegapkan tubuh kekarnya. Tanpa mengucapkan apapun, ia meninggalkan makanan yang tersisa setengah demi menemui wanita tadi. Sepertinya pacar Adit.
"Ayo makan, Kak. Temenin aku!" ajak Naura dengan senyuman cerianya.
******
Piring-piring kotor sisa makan tadi sudah bersih di rak khusus. Aku melap tangan hingga kering lalu keluar ruang dapur.
Naura sudah terlebih dahulu ke kamarnya setelah makan siang barusan. Lelah katanya.
Untuk menuju tangga, aku harus melewati ruang tengah terlebih dahulu. Kepala ini begitu berat jika tidak menoleh ke arah Adit dan tamunya tadi.
Mataku membulat seketika. Keduanya saling berpelukan. Ralat. Wanita tadi yang begitu posesif memeluk lengan Adit sambil menangis tersedu.
Aku dilema berat sekarang, antara mengabaikan keduanya atau memisahkan mereka.
Jika aku memilih opsi pertama, maka suamiku akan berdosa karena memeluk wanita lain, dan tugas istri adalah membantu imam untuk tetap lurus di jalan yang benar. Jadi, kupilih opsi kedua.
Dengan langkah teratur, aku berdiri di depan keduanya. Adit melebarkan mata elangnya melihatku, sementara wanita itu menarik sudut bibirnya memperlihatkan senyuman angkuh.
Angkuh + angkuh = sombong. Perpaduan yang pas.
"Lepasin Adit!" Aku melipat kedua tangan di depan d**a,menatap keduanya dengan datar.
"Emang lo siapa?" Wajahnya berubah galak. Ia berdiri. Tubuhnya lebih tinggi sedikit daripada diriku. Tentu saja karena sepatu berhak tinggi yang melapisi kaki indahnya.
"Dia suami saya, kalau kamu belum tahu."
"Suami?" Wanita itu menatap Adit beberapa saat. "Dia pacar gue! Dan kita belum putus!"
"Emang apa buktinya kalau kalian pacaran? Kalau saya tentu punya bukti kalau kami sudah menikah."
"Ini!" Wanita itu menunjukkan punggung tangan kiri beserta jemari indahnya. Sebuah cincin berhiaskan berlian berkilau melingkar pas di jari manis.
"Saya juga punya cincin, sama persis yang dikenakan Adit. Juga buku nikah. Terdaftar di KUA, dihadiri para saksi. Kamu cuman punya cincin?" Aku tersenyum meremehkan. "Cepat keluar atau saya yang seret kamu keluar!"
"Kamu jangan berani sama gue! Gue bisa aja ngeluarin lo dari dunia ini!"
"Emang kamu siapa?" Aku maju selangkah, memberikan tatapan intimidasi ke arah wanita ini.
"Gue itu anak Pak ...."
"Emang saya nanya papa kamu?" Dasar anak manja. Uang saja masih meminta pada ayah, tetapi sudah berani bersikap terlalu angkuh.
Aku mencengkram kuat lengan putihnya, menyeret wanita antah-berantah ini keluar dari rumah, lalu menutup pintu ganda dengan kuat.
Adit bergeming di atas sofa, menatapku dengan mata tajamnya.
"Kenapa? Nggak rela pacar kamu aku usir? Kalau kamu mau pacaran, silakan di luar! Aku nggak peduli."
Setelah mengatakan itu, aku berjalan melewatinya, hendak melanjutkan langkah ke lantai dua.
"Nissa ...."
Aku berhenti di tempat, mendengar langkah sepatu menyentuh lantai yang kian mendekat.
"Terima kasih." Ucapannya begitu menarik perhatianku.
"Untuk apa?"
"Mengusir wanita tadi. Saya tidak tahu lagi bagaimana cara mengusirnya, karena dia tidak ingin pergi begitu saja. Tapi saat kamu datang, dia langsung ...."
"Sama-sama." Selepas mengeluarkan dua kata itu, aku menapaki anak tangga pertama. Entahlah. Hari ini aku mudah sekali kesal. Mungkin sebentar lagi kedatangan tamu bulanan.
****