04-Jealous

1889 Words
Makasih yang udah kasih vote dan komennya Happy reading :) "Baby, tidakkah kau ingin mandi?" tanya Bisma yang baru saja membereskan alat makan mereka. Annelise menatapnya serius, kemudian dengan sedikit gugup menjawab, "Eum... tidak." "Kenapa?" "Kakiku masih sakit." "Aku bisa membantumu-" "Tidak!" tolak Annelise cepat. Bisma menaikkan sebelah alisnya bingung. Tolakan Annelise terdngar seperti sangat tidak ingin di bantu kali ini. Padahal gadis itu tipe yang rajin mandi. Setelah mengerti apa yang di pikirkan tunangannya, Bisma tertawa kecil. "Membantu dalam arti menggendongmu ke kamar mandi dan sekedar menyiapkan air, Baby. Apa kau berpikir aku akan membantu memandikanmu?" Wajah Annelise langsung merona mendengar ucapan Bisma. Ia segera menunduk tak berani menatap Bisma lagi. Bisma terkekeh melihatnya dan duduk di hadapan Annelise. "Jadi kamu benar-benar berpikir seperti itu, hm?" "Tidak, ha-hanya saja aku malu. Sudahlah, aku tak mau mandi," ucap Annelise kemudian tapi tetap menunduk. "Fine. Setelah kamu bisa jalan lagi, kita akan segera fitting gaun." Annelise mendongak menatap Bisma lantas memberikan anggukan patuh. "Dokter memperkirakan aku bisa berjalan dengan normal setidaknya seminggu lagi. Bagaimana dengan kuliahku?" "Jangan khawatir, aku bisa memanggil dosenmu jika kau mau. Tapi bedrest lebih baik untukmu. Pilih saja." "Baiklah, hanya untuk seminggu aku akan kuliah private." "Good, untuk seminggu juga lebih baik kau tinggal di rumah kita." "Tidak mungkin—" "Tidak mungkin, seharusnya kau memang tinggal di sana sejak aku kembali, Baby. 3 minggu lagi, tidak ada salahnya jika kita tinggal bersama mulai sekarang—" "Bisma—" "Jangan memotong, Annelise. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di apartemen dengan keadaan seperti ini. Setidaknya di sana akan ada banyak orang-" "Kamu sudah mempekerjakan banyak orang di rumah itu?" "Oh, s**t! Kubilang jangan memotong. Got it?" Annelise pun kembali mengangguk dengan sedikit cemberut. Ia tahu Bisma tak benar-benar marah kali ini. Pria itu hanya sedikit kesal padanya yang terus memotong ucapannya. "Di sana banyak orang yang bisa membantumu selagi aku bekerja." "Itu berlebihan, Bisma. Aku akan bisa sedikit berjalan nanti sore. lihat saja. Dokter mengatakan bisa berjalan maksudnya benar-benar berjalan dengan baik. Bukan sama sekali tidak bisa. Aku juga tak butuh bedrest karena hanya kakiku yang terluka." "Sudah?" Annelise melotot mendengar tanggapan Bisma. "Aku serius, Bis." "Aku juga sangat serius, Baby. Aku tidak akan bisa berkonsentrasi saat bekerja jika meninggalkanmu sendirian di sini." "Kita lihat nanti sore. Jika aku benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa, aku akan tinggal bersamamu." "Baiklah. Dengan catatan kau tidak boleh memaksakan kakimu." "Deal " "Okay, aku akan segera kembali setelah menebus obatmu." Annelise mengangguk. "Hati-hati." "Kau juga, jangan beranjak dulu." Bisma berdiri dan mengusap kepalanya sebelum mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. "Aku pergi." Setelah itu Bisma keluar dari kamar Annelise. Annelise tersenyum melihat punggung Bisma yang baru saja menghilang di balik pintu. Ia suka jika Bisma memperhatikannya. Ia suka sikap lembut dan manis pria itu. Annelise selalu bahagia jika Bisma ada di dekatnya karena gadis itu begitu mencintai tunangannya. Tapi Annelise sering kalang kabut dengan sifat over protective Bisma yang bisa di katakan over over and over itu. Annelise nyaris overdose jika sudah berhadapan dengan si Bisma yang over protect padanya. Annelise sering mendebat pria itu dengan segala peraturan gilanya tapi semua itu berakhir dengan ia yang selalu kalah. Prinsip Bisma adalah memberi peraturan, negosiasi bodoh karena peraturannya hanya akan berubah sedikit dan akhirnya Bisma juga yang pasti menang. Bisma akan selalu memenangkan perdebatan mereka yang bisa di katakan sangat sering terjadi itu. Ponsel Annelise remuk dan Bisma membawanya untuk di perbaiki jika bisa. Dan Bisma akan membelikannya yang baru jika tidak bisa. Annelise menolak Bisma yang akan langsung membelikannya tadi dengan alasan banyak hal penting di ponsel itu. Dan kini ia sangat bosan hanya duduk di atas kasur tanpa melakukan apa pun. Ia melihat remote televisi ada di meja yang cukup jauh dari tempatnya sekarang, andai Annelise bisa menghidupkan televisi dengan berkedip, ia pasti sudah melakukannya. Berjalan kesana dan mengambil remote hanya akan memancing amarah Bisma walau sekarang pria itu tak disini. Bagaimana dengan tidur? Annelise melihat jam dinding. Baru jam 9 pagi mana mungkin ia kembali tidur? Baiklah, Annelise akan menunggu sampai Bisma datang seperti orang bodoh. *** Waktu menunjukkan pukul 1 siang. Bisma belum juga kembali dan Annelise sudah tidur 2 jam karena bosan tadi. Ia terus mengumpati Bisma yang belum muncul juga. Hanya menebus resep dokter dan Bisma menghabiskan waktu 4 jam. Ini sudah lewat jam makan siang, apa pria itu ingin tunangannya mati kelaparan? Oh... sejak kapan Annelise berubah jadi wanita dramatis seperti ini? Annelise menyiapkan wajah kusut saat mendengar suara orang memasukkan kode apartemennya. Pintu kamarnya tak lama terbuka dari luar. Siapa lagi jika bukan si tampan Bisma Karisma. Annelise memalingkan wajahnya dari pria yang berjalan ke arahnya itu. "Kamu menunggu lama, ya?" Pertanyaan menjengkelkan itu membuat Annelise mendengus. "4 jam bukan waktu yang lama untukmu karena bukan kamu yang sedang menunggu," sindirnya. Bisma terkekeh dan duduk di sebelah Annelise. "Maafkan aku, Baby, jalanan Jakarta kau tahu, kan." Annelise memutar matanya sebal. "Harusnya aku tak menunggumu untuk mengambilkan remote itu," rajuknya dan mengarahkan dagunya pada meja yang sedikit jauh di belakang Bisma. Bisma ikut melihatnya kemudian kembali menatap Annelise, mengusap kepala gadis itu dengan sayang. "Lupakan televisi, ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu saat ini." Annelise mulai memasang wajah serius. Bisma terkekeh lagi. "Ada apa dengan wajahmu, Baby, aku tidak akan membicarakan hal seserius itu." Annelise beralih menatap bucket bunga di sebelahnya duduk lantas mengambilnya karena yakin Bisma memberikan itu padanya. Annelise tidak menyadarinya tadi karena sibuk ingin ngambek pada Bisma. Annelise juga melihat beberapa kantung belanjaan di sebelah kaki Bisma. "Kau terlambat karena itu semua?" tanya Annelise melirik barang-barang yang Bisma bawa. Tak hentinya Annelise menghirup aroma bunga mawar yang masih segar itu. Bisma mengangguk dan membawa kantong dengan ukuran cukup besar bertuliskan McDonals berwarna merah ke pangkuannya. "Kita bicara sembari kamu makan." Bisma membukakan kotak itu dan meletakkannya di pangkuan Annelise. Annelise memilih menu favorite-nya di dalam kotak itu kemudian melahapnya dengan semangat. Sepertinya ia sangat kelaparan. "Aku tadi mendapat telepon dari toko perhiasan untuk cincin kita." Bisma mengambil kotak belanjaan berukuran kecil dan mengeluarkan isinya. Membuka kotak kaca perhiasan itu dan menghadapkannya pada Annelise. "Bagaimana?"  Annelise mengangguk cepat dan menyodorkan jemari kirinya pada Bisma. Bisma segera memasangkan milik Annelise pada jari manis gadis itu. Annelise menatap jarinya yang begitu pas menerima cincin itu. "Bagus, aku menyukainya. Kamu sudah mencoba milikmu?" "Milikku sudah pasti pas. jangan khawatir." Annelise kembali mengangguk dan menyodorkan jemarinya pada Bisma agar melepas lagi cincinnya. Bisma mengembalikan cincin itu ke kotaknya. "Aku yang akan menyimpan." Annelise mengangguk tak keberatan. "Oh, apa itu? Berikan padaku," ucap Annelise menunjuk kantung bertuliskan nama toko cupcake langganannya. Bisma menahan kedua pergelangan tangan Annelise yang ingin meraihnya. "Habiskan dulu yang ada di tanganmu, Sayang." Annelise menatap paha ayam di tangannya kemudian mengangguk. "Baiklah, lepaskan." Bisma melepaskan tangan Annelise. Annelise memakan ayamnya dengan cepat. "Hati-hati, Baby, atau ayam itu akan berbalik memakanmu." Annelise mendelik ke arah Bisma karena candaan receh pria itu. "Ambilkan aku cupcake-nya." Annelise memasukkan tulang ayamnya ke kotaknya tadi. "Heishh, itu jorok, Babe." Bisma mengambil tissue basah dan membersihkan tangan Annelise dari minyak. Annelise tersenyum menatapnya dan mengecup pipinya dengan cepat. "Eii, kau agresif sekali." Annelise tertawa kecil dan mengambil tissue kering untuk membersihkan minyak di pipi Bisma karena bibirnya tadi. Bisma mengambil kotak cupcake dan memberikan 1 cup rasa coklat pada Annelise. "Berikan padaku." Annelise meminta semuanya tapi Bisma kembali meletakkannya di bawah. "Satu dulu" "Aku ingin semuanya. Biarkan aku yang membawanya." "No, Babe, habiskan itu dulu." Annelise menggerutu. Ia sebal jika Bisma sudah menjadi pengatur seperti ini. Annelise memakan cupcake nya dengan perlahan. "Ini enak sekali." "Satu lagi." Bisma mengambil kantung belanjaan bertuliskan merk ponsel ternama. "Ponselmu mungkin bisa di perbaiki tapi butuh waktu. Pakai ini dulu." Annelise menerima ponsel dari Bisma dan membukanya. Nomornya juga sudah terpasang di sana. Memory card-nya juga milik Annelise. Pria itu melakukannya dengan baik. "Aku menunggu ponselku," ucapnya kemudian kembali menatap Bisma. "Akan ku berikan jika sudah selesai diperbaiki nanti. Dan siapa Fahri?" "Siapa?" tanya Annelise tak yakin dengan pertanyaan Bisma. "Fah-ri." Bisma menekan ucapannya. "Apa dia mengirim pesan?" Annelise segera membuka aplikasi pesannya. "Aku sedang bertanya, Annelise." "Sebentar. Biar aku membacanya dulu." Bisma merebut ponsel Annelise dan nyaris membantingnya ke lantai. "Bisma!" pekik Annelise terkejut. Bisma menghela napasnya kasar. "Aku bertanya baik-baik padamu! Bukankah kau menginginkan pertanyaan baik-baik setiap kamu dekat dengan pria lain? Tapi apa ini? Kau mengabaiakn pertanyaanku! Sepertinya memberimu luang sedikit saja bukan ide baik, Annelise." Kilatan tajam dari mata Bisma membuat Annelise langsung tersadar dengan kesalahannya. "Bu-bukan begitu. Dia sepupuku—" "Dengan panggilan sayang?" "Berikan dulu ponselku!" ucap Annelise kesal. "Good, kau berteriak di hadapanku, Annelise. Demi pria sialan itu? Pria yang kau sebut sepupu?" "Bisma." Annelise menyentuh lengan pria itu agar tunangannya lebih tenang. "Dia menganggap aku adalah adiknya." "Kau bilang sepupumu lalu sekarang dia 'menganggapmu' adiknya. Well, penjelasan yang sangat mudah diterima, Annelise Annastasia." Annelise menghembuskan napasnya pelan. Annelise berpikir dengan mengatakan bahwa Fahri adalah sepupunya maka Bisma akan langsung percaya dan tidak mempermasalahkan hal ini lagi. Tapi memang dasarnya Annelise tak bisa berbohong pada Bisma, maka dia tadi mengatakan Fahri sudah menganggapnya seperti adik sendiri agar Bisma paham kedekatan mereka. "Kau membacanya dari awal, kan? Aku tidak ada apa-apa dengannya," ucap Annelise begitu lembut. Paham sekali dengan sifat Bisma yang satu ini. Dan Annelise menyesal memancing kemarahan Bisma. "Biarkan aku baca lagi dari awal," ucap Bisma penuh penekanan. "Sweetie, aku akan pulang 2 minggu lagi. Dan kau membalas 'aku sangat merindukanmu, cepat pulang' 'aku juga merindukanmu sayangku, tunggu aku.' 'Pasti. Kau punya hutang mengajakku makan pizza jumbo di restoran mahal itu.' 'Aku akan mentraktirmu hingga perutmu meledak, Sweetie.' 'Aku tak sabar akan hal itu'. Lalu 4 jam yang lalu dia kembali mengirimkan pesan, diikuti belasan pesannya yang lain karena tidak kau balas 'Sweetie, kau sedang apa' 'Hey' 'My sweet Annelise, are you busy?' 'Tidak biasanya kau mengabaikan pesanku, Love'. Love?" Bisma menatap Annelise tajam. "Love?" ulangnya sekali lagi. "Sumpah demi Tuhan Fahri sepupuku, Bisma. Dia anak dari kakak ibuku." "Panggilan menjijikkan itu, kau tak keberatan?" "Aku sudah— "Persetan dengan sudah melarangnya!" potong Bisma dengan menaikkan volume suaranya. "Aku sedari tadi menahannya demi mendengar penjelasanmu tapi saat ku tanya kamu malah mementingkan pesan darinya. Sialan! Aku bisa gila karena memahamimu, Annelise!!" teriak Bisma akhirnya. Pria itu berdiri dan mengusap wajahnya kasar. Annelise memejamkan matanya. Benar, dia salah karena tidak bisa menjaga perasaan Bisma. "Maafkan—" "Kau yang selalu memancingku dengan hal-hal seperti ini! Tidak becus menjaga diri, heh?" Annelise sudah berkaca-kaca mendengar ucapan pedas dari Bisma. "Maafkan aku. Aku akan lebih melarang Fahri memanggilku begitu." "Sweetie, sayangku, my sweet Annelise. Mungkin itu bisa diterima jika hanya kalian bersaudara. But, 'love' its no excuse, Annelise." "Tapi kami memang—" "Batasi itu mulai sekarang, atau aku sendiri yang akan menemuinya. Jangan lagi mendebatku!" "Aku mengerti," ucap Annelise akhirnya. "Maafkan aku," ucap Annelise dengan nada menyesal. Bisma memberikan ponsel gadis itu dan kembali duduk. "Maaf membentakmu." Bisma menarik kepala Annelise ke dadanya. Mengecup kepala gadis itu berkali-kali. "Aku yang bersalah di sini," sesal Annelise semakin menenggelamkan wajahnya di d**a Bisma. Bisma mengusap kepalanya dengan sayang. "Minum obatmu dan segera istirahat." Bisma merasakan Annelise mengangguk dalam dekapannya tapi belum ingin melepaskannya. "Baby, you okay?" tanya Bisma khawatir. "Im okay, " jawab Annelise pelan. "Aku hanya sangat merasa bersalah padamu. Maafkan aku." Bisma menarik kepala Annelise dari dekapannya dan menatap mata gadis itu. "Tidak apa-apa. Jangan mengulanginya, Baby." "Aku berjanji." Thanks voment nya guys
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD