11. Menghilangkan Jejak

2667 Words
Di saat Ara begitu bahagia, karena Reza telah melamarnya dan juga mengungkapkan kalau pria itu mencintai dirinya. Di salah satu club malam terkenal di Jakarta, terlihat Sintia tengah duduk di meja bartender. Sengaja wanita cantik, yang saat ini menggunakan mini dress dengan mempertontonkan belahan dadanya itu sedang mencari mangsa. Ya, selain Sintia ingin minum-minum beralkohol supaya sedikit mengurangi rasa kesal dan marahnya pada Papanya Nizam, serta sahabatnya Ara. Tujuan lainnya ia ingin merayu p****************g, agar ia bisa mendapatkan uang. "Berikan aku minum," pinta Sandra pada bartender di hadapannya. "Oke, tunggu sebentar Nona." Setelah racikan alkohol selesai dibuat, bartender langsung menyajikan minuman itu ke hadapan Sintia. Saat ia ingin minum, tiba-tiba bahunya terasa ada yang menyentuh. Seketika ia menoleh, dengan senyum menggoda. Terlihat seorang pria dewasa, dengan setelan kemeja sama celana kain. Pria itu duduk di samping Sintia, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Sintia. "Ayo kita ke tempat biasa, Sayang?" ajak pria di samping Sintia. Sintia yang sudah tahu maksud pria di sampingnya, ia pun menyiapkan kata-kata agar ia bisa mendapatkan uang lebih dari pria di sampingnya. "Oke, tapi aku minta bonus lebih. Karena malam ini aku juga akan main lebih lama denganmu, Om Surya," sahut Sintia tanpa rasa takut. "Baiklah ... sesuka hati kamu, Sayang. Karena yang terpenting buat diriku puas denganmu," ucap Surya dengan langsung merangkul Sintia, agar wanita itu ikut berdiri dan mengikutinya. Sintia yang tadi sudah terlanjur memesan minuman beralkohol, meminta Surya untuk membayarnya. "Tunggu Om, aku belum minum minumanku. Aku juga belum membayarnya, jadi tolong bayarin, ya," rayu Sintia, dengan bermanja di lengan Surya. "Tidak masalah," jawab Surya langsung mengambil dompetnya, kemudian mengambil beberapa lembar uang dan menaruhnya di meja bar. Terlihat selama Surya membayar, Sintia dengan tenang meminum minuman racikan bartender tadi. Begitu selesai, ia dengan senyum manis langsung mengajak Surya ke hotel yang kebetulan tidak jauh dari club' ia datangi malam ini. "Ayo, Om." "Ayo ... tapi, apa kamu sudah makan malam?" tanya Surya perhatian. "Belum, Om. Kita makan di hotel saja, karena aku ingin buru-buru mandi juga," jawab Sintia, seraya menatap Surya. Cup! "Baiklah, kita cepat ke hotel saja. Kemudian lakukan apapun yang kamu mau dahulu, setelah itu berikan kepuasan untukku, dan aku akan memberikan uang banyak padamu malam ini," ucap Surya, setelah mengecup bibir Sintia singkat. Surya adalah seorang suami, dan seorang ayah dari dua orang anak. Tapi, pria itu seolah tidak pernah puas dengan kehidupan rumah tangganya bersama istrinya. Ia pun mencari kepuasan di luar, salah satunya dengan Sintia. Mobil yang dikendarai Surya mulai melaju menuju hotel biasanya, tempat mereka berkencan. Tanpa mereka sadari, jika keduanya tengah diikuti oleh seorang pria muda dan seorang wanita dewasa. Pria muda itu adalah anak, dan istri dari Pak Surya. Mereka sengaja mengikuti, karena keduanya ingin melihat sejauh mana pria yang selama ini mereka berdua banggakan. Tidak sampai sepuluh menit, karena memang hotel itu tidak jauh dari club' tadi. Mobil yang dikendarai Surya telah masuk di pelataran hotel, kemudian menuju parkiran. Berbeda dengan mobil yang dikendarai oleh putra Surya, sengaja putra Surya memarkirkan di depan karena itu lebih leluasa untuk pergi bila sewaktu-waktu mereka telah mendapatkan bukti perselingkuhan dari Papanya. Sintia dan Surya masuk ke dalam hotel, dengan bergandengan tangan. Terlihat senyum bahagia di wajah mereka, Surya pun datang ke resepsionis untuk memesan kamar terlebih dahulu tanpa melepaskan genggaman tangan Sintia sedikit pun. "Selamat malam, dan selamat datang di hotel kami. Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis dengan nada sopan. "Aku ingin memesan kamar," jawab Surya cepat. "Baik. Tunggu sebentar, ya, Pak," resepsionis itu pun mulai melakukan tugasnya. "Ini, Pak, kunci kamarnya. Anda juga di wajibkan untuk membayar sekarang, itu untuk kenyamanan bersama," sambung resepsionis seraya memberikan kunci kamar pada Surya. "Oke, aku bayar sekarang." Surya tanpa ragu mengeluarkan uang dari dompetnya lagi, lagi-lagi untuk wanita yang sama. Sedangkan Sintia hanya diam, tanpa melakukan apapun ia hanya melihat ke sekeliling hotel. Sesaat netranya menatap dua orang yang menatapnya dengan tatapan sulit di artikan menurutnya, tapi kemudian ia mengabaikan tatapan itu. 'Kenapa dua orang itu menatapku begitu, aneh?' batin Sintia. Entah merasa takut atau tidak, ia lebih mendekat ke arah Surya dan mengaitkan tangannya di lengan Surya. Pria dewasa itu bukannya menolak, ia malah merasa senang karena sikap Sintia jauh lebih manis dari biasanya. Setelah naik lift, dan menemukan kamar inap mereka. Sintia dan Surya masuk ke dalam kamar hotel, Sintia begitu antusias ia sedikit berlari lalu melepas hae heelsnya. Kemudian menuju kamar mandi, tentunya untuk mandi. Agar saat ia berhubung dengan Surya, ia terlihat wangi. Saat Surya dan Sintia telah berada di kamar, istri dari Surya meminta kunci duplikat pada resepsionis hotel. Segala cara mereka lakukan, agar istri dan anak sulung Surya tahu kelakuan Surya selama ini dengan bermain banyak wanita. "Selamat malam, apa bisa saya meminta kunci duplikat dari pria yang memesan kamar tadi?" ucap istri sah Surya tanpa berbasa basi dahulu. "Ti--tidak bisa, Bu," tolak resepsionis. "Saya istrinya, dan pria tadi adalah suami dan ayah dari putraku ini. Tolong berikan agar kami tahu kelakuan pria yang menurut kami hebat dan bertanggung jawab selama ini, tapi di belakang kami pria itu begitu berengsek," jelas istri Surya dengan netra berkaca-kaca. Resepsionis memandang iba pada istri Surya, karena naluri sesama wanita ia pun memberikan kunci duplikat itu tanpa pikir panjang lagi. Ia juga tidak takut, jika akan di tegur oleh manager hotel. "Saya mengerti apa yang Anda rasakan saat ini, Bu. Saya pun pernah mengalami posisi itu setahun silam, sekarang saya sudah lepas dari pria berengsek yang terlihat baik di depan kita. Tapi, dibelakang pria itu menusuk ribuan pisau hingga wanita seperti kita merasakan sakit yang sangat luar biasa." "Baiklah ... saya akan memberikan kunci duplikat ini, dan mereka berada di kamar 103 Setelah ini, jika Anda melihat sesuatu yang buruk. Maka saran saya lepaskan pria itu, jangan pernah memaafkan ataupun memberikan kesempatan kedua pada pria yang pernah melukai perasaan kita," ucap resepsionis dengan nasehatnya. "Iya, saya tahu. Terima kasih, Mbak," jawab istri Surya. Setelah menerima kunci duplikat itu, istri Surya langsung menggandeng tangan putra sulungnya dengan menuju kamar inap Surya dan Sintia. Tidak sampai sepuluh menit, istri dan putra sulung Surya telah berada di depan kamar inap Surya. Keduanya masih berdiri, sesaat saling memandang sebelum masuk ke dalam kamar. Memang saat itu, istri dan putra sulung Surya telah mendengar suara desahan dari dalam kamar. Tapi, mereka seolah menulikan itu semua. Sebab tujuan keduanya adalah melihat kelakuan pria yang menurut mereka panutan. Cekelek! Brakkk! Putra sulung Surya mendobrak pintu dengan kasar menggunakan kaki kanannya, setelah itu pria muda itu masuk dengan diikuti Ibunya dari belakang. Surya yang saat ini berada di atas tubuh Sintia, dalam posisi tidak mengenakan pakaian langsung terkejut mendengar dobrakan pintu. Begitu pula Sintia, ia seketika menoleh, dan merasa bingung kenapa ada suara gaduh. "Om Surya, ada apa?'' tanya Sintia tanpa melepaskan tangannya di pinggang Surya. Begitu pula Surya masih berada di atas tubuh Sintia, dengan jarak antara wajahnya sama Sintia tidak terlalu jauh. "Aku tidak tahu, mungkin di kamar sebelah," sahut Surya, karena telah dikuasai napsu. Surya berniat menciumi Sintia lagi, tapi gerakan itu langsung terhenti saat putra sulungnya menarik tubuhnya dari belakang. "Oh, jadi begini kelakuan Papa di luar bersama wanita jalang ini. Dengan menyakiti Mama?!!" tanya putra sulung Surya penuh kemarahan, setelah menghempaskan Surya di samping Sintia. Istri Surya hanya memandang pemandangan menyakitkan di depannya dengan tatapan pilu, dan sakit hati. Tanpa suara ia meneteskan air mata, tangisnya seketika pecah. Dengan kekuatan tersisa, istri Surya langsung menghampiri Sintia yang kini dalam posisi duduk di sandaran ranjang seraya menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Plakk! Plakkk! Tamparan cukup keras, dan berulang kini mendarat di pipi Sintia. Ia pun merasakan perih, dan juga sakit secara bersamaan. Sesaat ia tidak bisa berpikir jernih, kenapa tiba-tiba ada seseorang yang menamparnya. ''Dasar wanita jalang kamu!! Berani-beraninya kamu menggoda suamiku, hah?!" murka istri Surya. Surya yang tersadar dari keterkejutannya, langsung melindungi Sintia. Karena kesempatan itu, Sintia bisa mengambil mini dress-nya kemudian memakai dengan cepat. "Sudah, Sayang, jangan pukul dia lagi. Bukan dia yang salah, tapi aku," Surya menahan tangan istrinya. "Cih, jadi kamu lebih membela dia begitu?!" bentak istri Surya dengan kemarahan. Putra sulung Surya yang sedari tadi diam, langsung menepis tangan Papanya. "Jangan berani menyentuh Mamaku, dengan tangan kotormu ini. Karena Anda telah kehilangan hak Anda, setelah Anda mengkhianati cinta dan juga kepercayaan Mama," marah putra sulung Surya. Degh! Surya selama ini tidak pernah melihat orang-orang yang selama ini ia sayangi marah padanya seperti saat ini, selama ini ia hanya melihat kelembutan dan sayang dari istri dan anaknya. Tapi, kini Surya sadar karena ulahnya telah membuat orang-orang yang ia sayangi kecewa. Bahkan membencinya, karena tidak ingin kehilangan ia langsung meminta maaf pada istri dan anaknya. "Maafkan Papa, Ma. Maafkan Papa, ya, Nak. Papa khilaf, selama ini Papa selalu merasa kurang hingga mencari kepuasan di luar," Surya berusaha meraih tangan istrinya, tapi di tepis begitu saja oleh istrinya. ''Tidak ada kata maaf buat seorang pengkhianat, kita bertemu di pengadilan nanti, dan ingat hak asuh kedua anak berada di tanganku," sinis istri Surya sebelum melangkah keluar kamar hotel, dengan diikuti si sulung yang sedari tadi diam dengan merangkul sang Mama. Surya bergegas cepat mencari baju dan juga celananya. Ia tidak ingin kehilangan, ia akan meminta maaf lagi sampai istri dan anaknya mau memaafkan semua kesalahannya. 'Aku tidak ingin kehilangan mereka, aku harus meminta maaf meskipun dengan sujud sekali pun akan kulakukan,' gumam Surya seraya memakai celananya. Sintia yang selesai berganti pakaian, tidak mau kehilangan kesempatan untuk meminta uang dari Surya. "Om! Om belum memberiku uang, sekarang beri aku uangnya karena aku telah menemani Om di sini. Bahkan, aku juga mendapatkan tamparan dari istri Om," Sintia mendekati Surya seraya menodongkan tangannya layaknya anak kecil. "Tidak ada uang untukmu, karenamu aku sekarang akan di gugat cerai istriku. Sekarang kamu minggir, cepat!" tolak Surya, dengan nada marah. "Tapi ---" Seketika ucapan Sintia terpotong, begitu Surya mendorong tubuh Sintia hingga terjatuh di ranjang. Kemudian pria dewasa itu pergi meninggalkan Sintia yang terlihat mengenaskan. "Sial! Kenapa hari ini begitu apes buatku, aku tidak mendapatkan uang malah tamparan keras dari wanita sialan itu,' marah Sintia dengan memukul kasur berulangkali. Sesaat Sintia berpikir, pekerjaan seperti ini hanya akan membuatnya terluka. Bukan hanya fisik, tapi batinnya juga. Karena di anggap perusak rumah tangga orang. 'Aku harus mencari satu pria kaya raya, untuk kujadikan mesin ATM-ku, dan itu adalah cowoknya Ara,' batin Sintia dengan rencananya. Sintia ingin cepat kaya raya, tapi dengan jalan pintas yaitu merebut kebahagiaan sahabatnya sendiri. Ia pun akan menutup mata hatinya, atas semua kebaikan Ara dan orang tua Ara padanya selama ini. Wanita yang ambisius, dan juga selalu iri akan kebahagiaan Ara. Kini semakin menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. **** Di New York Amerika, tepatnya di mansion Pak Peter Orlando. ''Sekarang apa yang harus kita lakukan? Aku tidak mau kamu masuk ke dalam penjara, karena perbuatanmu ini Tristan," tanya Dion dengan pandangannya masih mengarah ke jasad Pak Peter. "Tentu saja dengan menghilangkan jejak, Dion. Jika kamu tidak ingin aku masuk ke penjara, maka bantu aku melakukan membereskan ini," pinta Tristan dengan nada datarnya. "Aku mau ke kamar, bau darah ini sungguh mengganggu indra penciumanku, dan aku tidak menyukainya," sambungnya. Tujuannya satu, ia ingin ke kamarnya. Setelah itu ia ingin membersihkan diri dari aroma darah yang menempel di tubuhnya. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia mendengar nada keluhan dari Dion. "Bagaimana caranya?" "Setidaknya kamu membantuku dulu, Tristan. Jangan lepas tangan seperti ini," harap Dion. "Hehee ... aku tidak tertarik membantumu mengangkat jasad Tua Bangka itu, Dion." "Lebih baik aku ke kamar lalu mandi dan berganti pakaian saja. Apa kamu tidak ingat, kalau aku sangat membencinya?" kekeh Tristan dengan menoleh ke arah Dion. "Tapi ---" "Lakukan tugasmu sebagai bawahanku, bukan sebagai sahabat. Aku janji akan memberikanmu imbalan yang pantas, Dion," potong Tristan dengan nada tegas, tanpa mau dibantah. "Bukan seperti itu maksudku, Tristan. Aku melakukan semuanya dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun darimu." "Karena aku menganggapmu sebagai saudara, dan tidak ingin kejahatanmu ini diketahui pihak polisi itu saja," terang Dion dengan nada tulus. "Terima kasih, Dion. Mulai sekarang, kamu satu-satunya orang yang kupercaya, dan sudah kuanggap keluargaku sendiri," jawab Tristan tidak kalah tulus, setelah itu ia tersenyum pada Dion. Dion yang melihat senyuman tulus sahabatnya merasa senang, setidaknya Tristan tidak berubah menganggapnya sahabat. Dion paham kalau Tristan sangat membenci Pak Peter, mengingat perlakuan kasar Pak Peter pada sahabatnya waktu kecil dulu. "Baiklah, aku akan membereskan kekacauan ini dengan cepat. Kamu pergi saja, dan bersihkan tubuhmu dulu," ucap Dion seraya menghampiri dan menepuk pundak kanan sahabatnya. "Hemm ... akan kuambilkan pakaian ganti untukmu, setelah aku mandi tentunya," jawab Tristan dan langsung menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah Tristan pergi ke kamarnya, seperti ucapannya Dion melakukan tugasnya dengan mengangkat tubuh Pak Peter ke taman belakang rumah. Begitu sampai di taman belakang Pak Peter ditaruh di tanah, terlihat jasad itu hanya dibungkus asal dengan kain putih saja. Dion yang tidak mau ada saksi mata yang melihat jejak pembunuhan itu, ia bergegas kembali ke dalam rumah untuk membersihkan noda darah di lantai hingga bersih. Tidak lupa ia juga mengambil vas bunga, dan membawa ke belakang. Beruntung pembantu tengah keluar. Jadi, tidak ada saksi mata yang melihat pembunuhan tadi. Dalam lima belas menit, Dion telah menggali kuburan untuk Pak Peter. Setelah dirasa sudah cukup dalam, Dion mulai mengubur jasad Pak Peter beserta vas bunga yang dipakai Tristan untuk membunuh Pak Peter tadi. 'Akhirnya selesai juga, semoga rahasia ini terkubur bersama jasad Om Peter,' gumam Dion seraya menyeka keringat di wajahnya. Saat Dion berharap tidak ada yang tahu tentang jejak pembunuhan Pak Peter, di dalam kamar terlihat Tristan sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Sesuai katanya tadi, saat ia akan turun ke bawah tidak lupa ia menbawakan pakaian ganti untuk sahabatnya. Begitu ia menuruni anak tangga terakhir, ia mulai mengedarkan pandangannya. Tapi, tidak menemukan sahabatnya. Tristan pun mulai mencari keberadaan Dion. Hingga ia melihat Dion berada di taman belakang melalui tembok kaca, yang menjadi pembatas antara ruang dan taman. Sesaat sebelum ia beranjak ke taman belakang, ia menaruh pakaian ganti Dion di sofa tengah. "Apa sudah selesai?" tanya Tristan begitu sampai di samping sahabatnya. Dion yang mendengar pertanyaan dari suara yang sangat dikenalnya seketika menoleh. "Iya, sudah. Sesuai yang kamu pinta, dan kuharapkan agar kamu tidak mendapatkan masalah nanti." "Apakah Tua Bangka itu kamu kubur di sini?" tanya Tristan lagi dengan menujuk gundukan tanah. "Iya, sengaja aku menaruh pot-pot bunga itu agar tidak ada yang tahu kalau di bawah tanah itu ada jasad Om Peter," terang Dion. "Bagus. Sekarang pergilah, bersihkan dirimu. Pakaian gantinya ada di sofa tengah," ucap Tristan, dengan pandangan ke makam Pak Peter yang di atasnya di penuhi pot bunga. Tanpa menjawab Dion bergegas masuk, dan melakukan apa yang dikatakan sahabatnya. Sebab tubuhnya juga sudah sangat lengket karena keringat dan juga tanah. Sepeninggal Dion, terlihat Tristan dengan senyum sininya berbicara pada makam Pak Peter. 'Aku sangat bahagia saat melihatmu terkubur di sini, tanpa ada yang mendoakan kematianmu.' 'Sekarang kamu tidak akan lagi menyakitiku dengan cambukan maupun pukulanmu, karena sekarang kamu sudah mati,' kekeh Tristan, dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Tristan selalu saja sedih, saat ia mengingat perlakuan Pak Peter padanya. 'Jika saja kamu bisa menyayangiku selayaknya seorang ayah pada putranya, mungkin aku akan menjadi pria yang beruntung mempunyai ayah sepertimu.' 'Aku bisa membanggakanmu pada teman-temanku, kalau ayahku selain penyayang tapi juga kaya.' 'Namun, kenyataan tidak seperti impian. Selama aku kecil kamu tidak ada hentinya menyiksaku dan Mama, hingga timbul rasa dendam untuk membalas semua rasa sakit, yang selama ini kamu berikan padaku.' 'Sekarang aku bisa menunaikan dendamku, dan aku sangat bahagia. Tidak ada penyesalan sama sekali dalam hatiku.' Tristan terus saja bergumam meluapkan apa yang ada dalam hatinya pada gundukan tanah tempat pembaringan Pak Peter. 'Ma ... aku telah melenyapkan pria yang selama ini menyakitimu.' 'Tenang saja, Ma, dia bukan satu-satunya orang yang mati di tanganku. Tapi, masih ada mereka akan menjadi gilirannya,' gumam Tristan dengan senyum devil-nya. Setelah melihat dengan puas makam Pak Peter, Tristan dengan angkuhnya pergi menuju kamarnya. Senyum bahagia terus terbingkai di bibir seksinya, karena ia merasa puas telah membunuh seseorang yang selama ini pernah menyakiti baik dirinya, dan mendiang Mamanya selama menjadi istri Pak Peter. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD