BAB 3

1184 Words
___ Dua hari setelah Cancri kehilangan mainannya, pria itu terlihat masih menunggu kepulangan Marcus. Kini Cancri berada diruang kerjanya, menatap beberapa laporan keuangan yang selalu ia cek setiap satu bulan sekali. Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu terdengar ribut, cukup mengganggu bagi Cancri yang kini sedang fokus pada uang-uang yang masuk kepadanya dengan jumlah besar. Pria itu tak peduli pada tamu didepan pintu, sekarang ia hanya ingin menikmati semua kebahagiaan yang ada padanya. Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan kembali berbunyi, membuat Cancri merasa terganggu dan segera menatap kearah pintu. Pintu itu terbuka dengan otomatis, menampakkan sembilan belas orang elit tingkat golden yang bertugas kurang baik belakangan ini. “Ada apa?” tanya Cancri. Semua orang menelan kasar ludah mereka masing-masing, mereka melirik Cancri yang memilih bersandar dan menutup mata. “Kau yang meminta kami menghadap,” sahut Bride. “Oh, itu.” Cancri membuka matanya dan segera berdiri, ia memilih duduk di atas meja dan menyeringai. “Gaji kalian tidak akan dibayar selama satu tahun ini, tidak ada penolakan dan tidak pula ada tawar-menawar. Kalian melakukan kesalahan, dan kalian pantas mendapatkannya.” Para elit golden saling tatap, mereka merasa jika kesialan benar-benar datang diwaktu yang tidak tepat. “Itu hadiahku, dan porsi makan kalian aku kurangi. Anggap saja aku sedang membantu kalian menurunkan berat badan,” ujar Cancri. Para elit golden tidak mengatakan apa pun. Mereka hanya berdiri, dalam kondisi mental yang nyaris tak bisa dikatakan baik-baik saja. “Pain, apa kau gila? Satu tahun tidak memberi kami gaji, ada apa ini?” tanya Lady. “Kalian bekerja tidak baik, dan aku juga kehilangan mainanku karena ulah kalian. Jadi, apa kalian sudah sadar akan kesalahan yang kalian perbuat?” tanya Cancri. “Pain, dia istri dari anak tirimu sendiri. Apa yang membuatmu melakukan ini? Kau sedang mencari masalah dan itu buruk.” Marcus menatap tajam Cancri. “Marcus, apa kau bodoh?” tanya Cancri kemudian. “Kau yang bodoh, Pain!” sahut Deslin. “Dan kalian semua memang bodoh,” ujar Cancri lagi. “Apa yang membuatmu sangat tertarik pada wanita itu?” Selena membuka suara, ia hanya ingin tahu apa yang membuat majikannya begitu tertarik kepada Hazel. “Kalian ingat cincin pernikahanku dan Felica?” tanya Cancri. “Pain, apa maksudmu?” tanya Mona. “Apa kelebihan cincin ini menurutmu, Mona?” Cancri balik bertanya. “Cincin itu bisa di gunakan sebagai tanda hidup atau matinya seseorang yang mengenakan cincin yang sama dan terhubung. Bukan hanya itu, cincin itu bisa menunjukkan letak tubuh seseorang walau orang tersebut sudah mati.” “Dan kalian akhirnya akan mengerti mengapa aku melakukan ini di kemudian hari,” sahut Cancri. “Apa maksudmu?” tanya Marcus. “Haruskah aku memberi informasi kepada kalian yang berkhianat kepadaku?” Cancri memasang tampang dingin, ia mengalihkan tatapannya kearah dinding. “Pain,” panggil orang-orang itu. “Ada apa? Apa hadiahku masih kurang?” tanya Cancri. Marcus melirik Bride, dan sungguh sial saat tatapan mata teman-temannya juga menghujamnya begitu tajam. “Kalian boleh keluar.” Cancri turun dari atas meja, ia kembali duduk pada kursinya dan membaca laporan keuangan. Semua elit tingkat golden memilih keluar, mereka harus berdiskusi tentang maksud dan tujuan Cancri menahan Hazel. Mereka juga ingin menyelidiki apa hubungan Hazel dan cincin pernikahan Cancri. Setelah pintu kembali tertutup, Cancri memilih berdiri. Pria itu meletakkan lembaran kerjanya di atas meja, ia kemudian menatap cincin yang ada di jari manisnya. “Felica, dimana kau sekarang?” tanya pria itu begitu pelan. Disaat Cancri sedang termenung, suara pintu terbuka menggema. Pria itu menatap cepat, ia bisa melihat Ashura yang sedang melangkah ke arahnya. Gadis kecil itu masih mengenakan pakaian tidur, wajahnya sudah terlihat lebih baik sekarang. “Daddy,” panggil Ashura. Di rentangkannya kedua tangan, meminta sang ayah segera menggendongnya. “Sayang, ada apa?” tanya Cancri. Ia segera meraih tubuh Ashura, mengecup pipi anaknya dan mengusap wajah cantik sang putri. “Daddy, apa kita bisa bermain ke pusat kota hari ini?” tanya Ashura. Cancri melangkahkan kakinya kearah rak buku, dan dengan otomatis pula rak buku itu terbuka. Ada sebuah ranjang berukuran besar di dalam sana, dan pria itu segera meletakkan tubuh Ashura. “Daddy, apa boleh?” tanya Ashura lagi. “Ashura, kondisimu belum pulih.” Cancri tersenyum hangat, tangannya terulur dan diletakkan di atas dahi Ashura. Demam sang anak hanya turun sedikit, dan itu membuatnya khawatir. “Daddy, apa setelah sembuh aku bisa ke Amerika?” tanya Ashura. Cancri melirik putri kecilnya. “Apa yang menarik disana?” “Aku ingin berlibur,” sahut Ashura. “Baiklah, kau akan mendapatkannya.” Cancri tersenyum, ia segera merebahkan tubuhnya dan memeluk Ashura. “Daddy, aku lapar.” Ashura menyentuh bagian hidung Cancri, ia mencubit gemas hidung mancung ayahnya. “Apa kau ingin Daddy memasak untukmu?” tanya Cancri. “Ya, dan aku ingin disuapi.” “Kau mendapatkannya, Sayang.” Pria itu segera duduk, ia meraih tubuh Ashura dan segera keluar dari ruangan tersebut. Cancri menuju pintu, setelah terbuka ia segera bergegas pergi kearah lift. “Daddy, apa dulu Mommy selalu memasak makanan untuk Daddy?” tanya Ashura. “Tentu, apa kau juga ingin berkunjung ke makan Mommy-mu?” tanya Cancri. “No, Dad. Aku ingin ke Amerika,” sahut Ashura. Cancri memasuki lift dan tak memerlukan waktu lama pintu lift segera tertutup dan membawanya ke lantai dasar mansion. Tak memerlukan waktu yang lama, Cancri kini sudah sampai pada lantai dasar mansionnya. Pintu lift segera terbuka, bibir Cancri mengulas senyum dan ia beranjak pergi. Pria itu menuju kearah dapur, ia menatap para pelayan yang kini sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Sangat ramai, bagaimana jika kita ke mansion utara.” Cancri segera beranjak pergi dari dapur, ia menuju pintu keluar dan segera menuju kearah utara. Pria itu merasakan hangatnya sinar mentari pagi, bahkan sapuan angin sepoi pada tubuhnya terasa sangatlah lembut. “Daddy,” panggil Ashura lagi. “Ada apa, Sayang?” tanya Cancri. “Kapan kita bisa bermain keluar?” tanya Ashura. “Setelah pekerjaan Daddy selesai, dan kau juga harus sudah sehat saat itu.” Cancri mengecup pipi putrinya, ia terus melangkah dan tak peduli saat para pelayan membungkukkan tubuh padanya. “Pain, kita harus bicara secepatnya.” Cancri mengalihkan tatapannya, ia melihat Marcus memasang tampang serius. “Ada apa?” tanya Cancri. “Prince terlihat berada di hutan perbatasan Golden Snake dan Roulette. Ia juga terlihat membawa jari tangan milik Hazel, ku rasa dia sengaja memancingmu keluar.” “Bukan urusanku,” sahut Cancri, ia segera melanjutkan langkah. Marcus bergerak cepat. “Tapi, bagaimana jika itu sangatlah penting?” “Wanita itu hanya sampah, dan tidak lebih penting dari anakku.” Cancri menatap Marcus, ia masih merasa marah. “Baiklah, maafkan aku. Aku sudah mengerti apa yang kau maksud beberapa waktu lalu, bisakah kita menyelidiki ini bersama-sama?” tanya Marcus. “Akan aku pikirkan, aku harus menemani putri kecilku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD